Faidatin Sumpah Allah dalam al Quran

TESIS

Diajukan kepada Program pascasarjana Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

Gelar Magister Agama

Oleh : FAIDATIN

Nim : 02.2.00.1.05.01.0142

SEKOLAH PASCASARJANA KONSENTRASI TAFSIR HADITS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kepada ke hadirat Allah swt. Atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dianugerahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan tesis ini.

Shalawat serta salam penulis haturkan kepada pahlawan revolusioner nabi Muhammad saw. yang telah mengajarkan kepada umatnya rambu-rambu ajaran Islam lewat hadits-hadits beliau sehingga dapat menganggat martabat manusia sebagai makhluk

yang sempurna. Banyak pihak yang telah membantu penulisan tesis ini yang rasanya sulit untuk

desebutkan satu persatu, tanpa mengurangi penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak, berikut ini secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, MA. Dan bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., keduanya selaku pembimbing kami yang telah memberikan bimbingan dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, yang telah memberikan bimbingan dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., Bapak Prof. Salman Harun, dan bapak Dr. Fuad Jabali MA., selaku tim penguji yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan tesis ini. 4. Bapak direktur Program Pascasarjana dan Rektor IUN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program pascasarjana (S2) dengan berbagai fasilitasnya.

5. Sekolah Budi Mulia dua bintaro yang telah memberikan izin kepada penulis untuk tidak mengajar setiap hari Selasa guna mencari maraji’ tesis dan menyelesaikan studi ini. 6. Orang tua penulis bapak H. Askan Syukur dan ibunda Hj. Khalifah juga kakak-kakak penulis al ; As’umi, Aslamiyah, Khairul Anam MA., Fathimah Askan MA., Ahsan Askan Lc. MA., semuanya telah memberikan perhatian dan dukungan yang sangat besar kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini. 7. Teman-teman seangkatan dan teman-teman yang telah membantu penulis dan

memberikan fasilitas dalam menyelesaikan tesis ini. Akhirnya semoga Allah memberikan balasan yang setimpal atas segala kabaikan, bantuan dan dorongan tersebut, penulis hanya dapat mengucapkan banyak terima kasih, jakamulllah khairan . Semoga tesis ini bermanfaat dan menggugah pembacanya untuk berlomba dalam memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin.

Jakarta, 14 April 2007

( Faidatin Askan )

F. Kewajiban manusia terhadap waktu dan akibat menyia-nyiakannya… ………………………………………………… 112

BAB IV. WAKTU-WAKTU YANG DIGUNAKAN ALLA UNTUK BERSUMPAH ( Antara penafsiran Sayyid Quthb dan Quraish Shihab) A. Waktu Fajar (sumpah Allah dalam QS. al-Fajr ) …………………… 114 B. Waktu Subuh (sumpah Allah dalam QS. al-Muddatstsir dan

at-Takwir) ………………………………………………………….. 120 C. Waktu Dhuha (sumpah Allah dalam QS. asy-Syams dan adh-Dhuha ) ………………………………………………………… 122 D. Waktu Nahar (sumpah Allah dalam QS. asy-Syams dan al-Lail) ……. 143 E. Waktu Ashr (sumpah Allah dalam QS. al-Ashr) …………………….. 144

F. Waktu Malam (sumpah Allah dalam QS. al-Lail, al-Insyiqaq

dan al-Muddatstsir) …………………………………………………… 149 G. Waktu Kiamat ( sumpah Allah dalam QS. al-Qiyamah ) ……………...160 BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan …………………………………………………………….164 B. Saran-saran …………………………………………………………….167

PEDOMAN TRANSLITRASI ARAB – LATIN

Vokalisasi

Vokal pendek

Vokal panjang

Diftong

au

ai

Singkatan-singkatan

Subhanahu wa ta’ala

SAW.

Shalla Allahu ‘alaihi wa sallam

QS.

Qur’an surat

Ra.

Radhiya Allahu ‘anhu

a.s.

‘Alaihi sallam

HR.

Hadits riwayat H. Hijriyah

h./hal.

Halaman

t.p.

Tanpa penerbit

tt.p.

Tanpa tempat terbit

t.th.

Tanpa tahun

Syaddah

Syaddah atau tasydid dalam bahasa Arab dilambangkan dengan tanda ( ّ ) dalam translitrasi dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi syaddah tersebut, Rabbana ditulis ﺎ ﻨﺑّر dan sebagainya.

ﻢﻴﺣﺮﻟﺍ ﻦﲪﺮﻟﺍ ﷲﺍ ﻢﺴﺑ BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi masyarakat muslim, al-Qur’an adalah Firman Allah yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. 1

Karena Muhammad sebagai penerima dan penyampai al-Qur’an diyakini sebagai Nabi terahir, 2 tidak ada lagi Nabi dan Rasul sesudahnya. Ini artinya tidak akan

ada lagi kitab samawi lain yang diturunkan. Al-Qur’an berperan sebagai pembeda antara yang hak dengan yang batil (al-Furqân) 3 sebagai penjelas bagi segala

sesuatu 4 , sebagai nasihat (maw’izhah) dan lain-lain. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa al-Qur’an mempunyai cakupan sangat luas, baik untuk

kehidupan dunia maupun akhirat. Keluasan cakupan masalah yang dibahas di dalam al-Qur’an tidak didukung dengan metode pembahasan yang sistematis. Suatu masalah dibahas diberbagai tempat, bukan pada satu ayat atau surat. Al- Qur’an tidak menggunakan metode sebagaimana metode penyusunan buku-buku ilmiah. Di samping hal tersebut, al-Qur’an sangat jarang menyajikan suatu masalah secara rinci. Ia lebih banyak menyajikannya secara ijmal atau garis besar yaitu prinsip pokok-pokoknya saja dan secara parsial (juz’i secara terpisah-pisah).

1 Muhammad Ismail Ibrahim, al-Qur’an wa I’jazuh al-‘Ilmi (Kairo : Dâr al-Fikr al- ‘Arabi, t.th,) h. 12 Secara istilah, al-Qur’an adalah firman Allah (kalâmullah) yang menjadi

mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad, ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawâtir , dan menjadi ibadah dengan membacanya. lihat Amir ‘Abd al-‘Aziz, Dirasat fi ‘Ulûm al-Qur’an (Beirut : Dâr al-Furqân, 1403 H/1983 M), h. 10

2 Lihat QS. 33 : 40 3 lihat QS. al-Baqarah : 185 4 lihat QS. al-Nahl : 89

Keberadaan al-Qur’an yang demikian inilah antara lain yang menjadi sebab kenapa ia terus menerus menjadi obyek kajian para intelektual muslim maupun non-muslim dan diyakini orang muslim sebagai kitab suci yang tetap aktual sepanjang masa. Rasyid Ridla mengatakan bahwa jika al-Qur’an diturunkan dan disusun menurut gaya bahasa buku atau disusun berbab-bab akan hilanglah

keistimewaannya dari kitab-kitab lainnya. 5 Perlu ditegaskan bahwa al-Qur’an yang berada di tengah-tengah kita

sekarang ini, sebagaimana dikatakan Quraish Shihab, diyakini tidak berbeda sedikitpun dengan al-Qur’an yang disampaikan Nabi Muhammad 15 abad yang

lalu. 6 Berbagai macam masalah yang dibicarakan al-Qur’an, diantaranya adalah

tentang waktu dan sumpah Allah. Masih banyak manusia dan hamba Allah yang belum memanfaatkannya dengan baik, padahal al-Qur’an telah memerintahkan kepada umatnya untuk memanfaatkan waktu semaksimal mungkin, dan mengisinya dengan berbagai amal yang baik dan berguna baik di dunia maupun di

akhirat. 7 Sumpah Allah, mengapa Allah banyak bersumpah dalam al-Qur’an Kenapa Allah banyak bersumpah dengan memakai term waktu ? Oleh karena itu

dalam hal ini penulis akan membahas secara spesifik mengenai sumpah Allah berkenaan dengan waktu dalam al-Qur’an , apa hikmah dibalik itu semua.

5 Muhammad Rasyid Ridla, al-Wahy al-Muhammadi (Kairo : al-Maktab al-Islâmi, t.th.), h. 143-144

6 M. Quraish Shihab, Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam, dan Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed)., Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta : Tiara

Wacana, 1995), h. 135 7 Lihat QS. al-Ashr : 1-3

Selain itu ada beberapa alasan yang mendorong untuk mengkaji masalah waktu, al: Pertama : menyadari betapa besarnya perhatian islam terhadap waktu, baik yang

diamanatkan oleh al-Qur’an maupun sunnah. 8 Kedua : memperhatikan sejarah orang-orang muslim generasi pertama (sebagai

genarasi terbaik) yang sangat memperhatikan waktu, dibanding generasi berikutnya. Ketamakan mereka dalam memanfaatkan waktu mengalahkan

ketamakannya dalam hal dirham ataupun dinar. Dan besarnya perhatian mereka terhadap waktu telah menghasilkan antara lain : sejumlah ilmu yang bermanfaat, amal shaleh, jihad yang baik, kemenangan yang nyata, dan sebuah peradaban yang mengakar kokoh dengan panji yang menjulung tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sejarah para sahabat, tabi’in, dan generasi-generasi ilmuwan dan filosof. Ketiga : melihat kondisi real kaum muslimin sekarang cenderung kurang memanfaatkan waktu dengan baik.

Dengan demikian yang menajdi fokus dalam kajian ini adalah ayat-ayat waktu secara umum dan ayat-ayat sumpah dengan memakai term waktu dalam al- Qur’an. Hal ini kiranya salah satu yang mendorong penulis untuk mengangkat tema di atas yaitu : “ Sumpah Allah Dalam al-Qur’an ; Telaah terhadap sumpah

8 Dari sunnah dapat dilihat dari hadits nabi SAW. “ Carilah yang lima sebelum datang yang lima, yaitu : Manfaatkanlah masa mudamu sebelum datang masa tuamu ( dengan ibadah ),

gunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu ( dengan amal shaleh), gunakanlah masa kayamu sebelum datang masa miskinmu ( dengan sedekah ), gunakanlah masa hidupmu sebelum datang masa matimu ( mencari bekal untuk hidup mati ), gunakanlah masa senggangmu sebelum masa sempitmu. Ibnu al-Mubarak mengetengahkan dalam az-Zuhd Juz.. 2, Abu Naim dalam kitab al-Hilyah juz. 4, h. 148, Ibnu Abu Syaibah, hadits no. 34319, al-Qudha’I dalam Musnad asy- Syihab ( 729), al-Baihaqi dalam asy-Syuab hadits no. 10250 melalui Amr bin Maimun. al- Misykat hadits no. 5174. dan iman Hakim mengetengahkan (hadits no. 7846 ) melalui Ibnu Abbas. Lihat Aidh bin Abdullah al-Qarni, Siyathul Qulub, terjemahan ( Bandung : Ibs, 2004 ) h. 100

Allah yang berkenaan dengan waktu” . Mengingat betapa pentingnya waktu dalam kehidupan ini, sehingga Allah menggunakannya bersumpah dalam al- Qur’an.

Pada prinsipnya, dimensi waktu dan masa itu tidak berlaku pada dzat Allah SWT. dia tidak mengenal adanya siang ataupun malam, masa sekarang, masa yang telah lalu, dan masa yang akan datang. Allah SWT. pun tidak berkembang, berkurang, ataupun berubah. Dia tidak mengenal anak-anak, yang

kemudian beranjak dewasa, lalu menjadi tua. Dia tidak berawal dan tidak berakhir. Maka ketika al-Qur’an menyebutkan Allah swt itu sebagai dzat yang Maha pertama dan yang terakhir, bukan berarti ada permulaan dan ada berakhirnya.

Zaman atau waktu yang berlalu ini adalah ciptaan Allah, sebagaimana juga makhluk yang lainnya. Karenanya, Dia Maha ada sebelum adanya makhluk di alam jagat raya ini. Maha kekal dan Maha abadi setelah hancur leburnya seluruh makhluk pada hari akhir nanti.

Waktu yang dialami manusia di dunia berbeda dengan waktu yang dialaminya kelak di akhirat. Ini disebabkan dimensi kehidupan akhirat berbeda dengan dimensi kehidupan dunia. Waktu adalah sesuatu yang relative, oleh karena itu Allah tidak barada di dalam waktu dan tidak pula terikat oleh waktu seperti kita. Bagi Allah tidak ada siang dan tidak ada malam, tidak ada masa lalu dan tidak ada masa kemudian. Allah tidak kadaluarsa, tidak berubah dan tidak berkembang, tidak menua dan tidak membesar dan tidak berkesudahan . Dzat yang awal dan akhir. Tetapi Keawalan dan keakhiran-Nya bukanlah temporal.

Bagi Allah SWT. tidak ada soal “sebelum” dan “sesudah”, karena waktu dan alam semuanya adalah ciptaannya. 9

Berbeda dengan manusia tidak dapat melepaskan dari waktu dan tempat. Mereka mengenal masa lalu, kini dan masa depan. Pengenalan manusia tentang waktu berkaitan dengan pengamalan empiris dan lingkungan. Kesadaran kita tentang waktu berhubungan dengan bulan dan matahari, baik dari segi perjalannya (malam saat terbenam dan siang saat terbitnya) maupun kenyataan

bahwa sehari sama dengan sekali terbit sampai terbenamnya matahari, atau sejak tengah malam hingga tengah malam berikutnya. Perhitungan semacam ini telah menjadi kesepakatan bersama. Namun harus digarisbawahi bahwa walaupun hal itu diperkenalkan dan diakui oleh al- Qur’an (seperti setahun sama dengan dua belas bulan pada surat al-Taubah ayat 36), al-Qur’an juga memperkenalkan adanya relativisme waktu sebagaimana di atas.

Al-Qur’an juga berbicara tentang waktu yang ditempuh malaikat menuju hadirat-Nya. Salah satu ayat al-Qur’an menyatakan perbandingan waktu dalam sehari kadarnya sama dengan lima puluh ribu tahun bagi makhluk lain (manusia)

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. (QS. al-Ma’arij : 4)

9 Musthafa Mahmud, Min Asrâri Qur’an, terjemahan, Pustaka Firdaus, Cet. Ke-3, h. 15

Sedangkan dalam ayat lain disebutkan bahwa masa yang ditempuh oleh para malaikat tertentu untuk naik ke sisi-Nya adalah seribu tahun menurut perhitungan manusia.

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.

Ini berarti bahwa perbedaan sistem gerak yang dilakukan oleh satu pelaku mengakibatkan perbedaan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu sasaran.

Batu, suara, dan cahaya masing-masing membutuhkan waktu yang berbeda untuk mencapai sasaran yang sama. Kenyataan ini pada akhirnya mengantarkan kita kepada keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu demi mencapai hal yang dikehendakinya. sesuatu itu adalah Allah SWT.

Dalam penelitian ini penulis akan lebih banyak membahas mengenai waktu-waktu yang ada dalam kehidupan dunia sebagaimana yang kita rasakan sekarang. Berkenaan dengan eksistensi, urgensi, dan cara mengisi dan memanfaatkan waktu. Serta mengetahui keutamaan waktu yang ada dalam al- Qur’an sebagaimana Allah kemukakan melalui sumpahnya, yaitu : waktu Fajar, waktu Subuh, waktu Dhuha, waktu Siang, malam sore dan waktu Malam.

B. Identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah Berdasarkan pada uraian di atas, dapat ditemukan sebuah permasalahan mendasar dalam penelitian ini : Kitab suci al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan bagi umat manusia mencakup berbagai macam pokok permasalahan, diantaranya B. Identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah Berdasarkan pada uraian di atas, dapat ditemukan sebuah permasalahan mendasar dalam penelitian ini : Kitab suci al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan bagi umat manusia mencakup berbagai macam pokok permasalahan, diantaranya

), maka hal tersebut merupakan sebagian dari bukti kekuasaan-Nya yang agung. 10 Bagaimana kita mengetahui sesuatu yang agung itu dan bagaimana pula kita

memanfaatkannya. Dengan demikian identifikasi penelitian ini adalah menguak ayat-ayat al- Qur’an yang berkaitan dengan sumpah Allah dengan makhluknya (waktu). . Meliputi hakekat dan makna sumpah dalam al-Qur’an, hakekat dan makna waktu dalam al-Qur’an serta korelasinya dengan aspek kehidupan.

Untuk mengarahkan pertanyaan di atas, maka sebagai pembatasan dan perumusan masalah ini adalah : Bagaimana konsep sumpah Allah yang berkenaan dengan waktu dalam al-Qur’an. Khususnya menurut penafsiran Sayyid Quthb dalam tafsirnya FÎ Zhilâl al-Qur’ân dan Quraish Shihab dalam tafsirnya al- Misbah. Keduanya telah memanfaatkan waktuya sehari-hari khususnya dalam menuangkan ilmunya yang menjadi sebuah karya tafsir yang populer.

C. Tujuan dan signifikansi Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah, sebagai berikut :

a. Menjelaskan sumpah Allah dalam al-Qur’an

10 Lihat, Ibnu Qayyim al-Jauzyyah, al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur’an (Beirut : Dâr al-Fikr, 1998 ), h. 3 10 Lihat, Ibnu Qayyim al-Jauzyyah, al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur’an (Beirut : Dâr al-Fikr, 1998 ), h. 3

c. Menganalisis redaksi ayat-ayat sumpah yang berkenaan dengan waktu

dan signifikasi penelitian tersebut adalah :

1. Manfaat ilmiah : untuk memperkaya khazanah ilmiah di bidang tafsir al-Qur’an

2. Manfaat untuk masyarakat : menambah wawasan bagi yang membacanya dan secara khusus dapat memberikan kontribusi positip mengenai keagungan waktu yang digunakan Allah untuk bersumpah.

3. Manfaat untuk diri sendiri : memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan kuliah program Magister Agama Islam di UIN Syarif Hidayatullah jakarta .

E. Tinjauan Pustaka Dilihat dari penafsiran secara tematik mengenai sumpah Allah berkenaan dengan waktu memang belum kita temukan, namun tulisan tentang waktu dan sumpah Allah secara umum banyak ditemukan dalam berbagai tulisan, diantaranya ada tulisan yang khusus membahas sumpah-sumpah Allah tersebut, seperti kitab yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauzi yang diberi judul at-Tibyân fi Aqsâmi al-Qur’ân . Dalam kitab yang hanya terdiri dari satu jilid ini, Ibnu Qayyim berusaha untuk menguraikan makna sumpah-sumpah Allah dalam al-Qur’an. Uraian-uraian tersebut nampaknya diarahkan untuk membuktikan sebuah teori E. Tinjauan Pustaka Dilihat dari penafsiran secara tematik mengenai sumpah Allah berkenaan dengan waktu memang belum kita temukan, namun tulisan tentang waktu dan sumpah Allah secara umum banyak ditemukan dalam berbagai tulisan, diantaranya ada tulisan yang khusus membahas sumpah-sumpah Allah tersebut, seperti kitab yang ditulis oleh Ibnu Qayyim al-Jauzi yang diberi judul at-Tibyân fi Aqsâmi al-Qur’ân . Dalam kitab yang hanya terdiri dari satu jilid ini, Ibnu Qayyim berusaha untuk menguraikan makna sumpah-sumpah Allah dalam al-Qur’an. Uraian-uraian tersebut nampaknya diarahkan untuk membuktikan sebuah teori

merupakan tanda-tanda kekusaannya yang agung. 11 Uraian tentang waktu dan sumpah Allah juga banyak ditemukan dalam

kitab-kitab tafsir, seperti kitab tafsir Fî Dhilâl al-Qur’an karya Sayyid Qutb. Kitab ini merupakan tafsir kontemporer bercorak fundamentalis atau pergerakan,

terdiri dari 30 juz dan disusun dengan menggunakan methode tahlili 12 dengan memberikan judul atau tema setiap sub pokok pembahasan di setiap surat. Buku

ini ditulis dengan gaya bahasa sastra yang tinggi dengan kandungan hujjah yang kuat sehinga mampu menggugah nurani iman yang membacanya. Adapun mengenai pembahasan ayat yang berhubungan dengan sumpah, Sayyid Quthb tidak pernah memberikan tema sumpah secara khusus, namun beliau lebih cenderung kepada makna muqsam bih. Seperti dalam QS. al-Fajr, beliau memberikan tema demi fajar dan malam sepuluh, dalam QS. asy-Syams beliau memberikan tema fenomena alam semesta, dalam QS. adh-Dhuha, beliau memberikan tema berhentinya wahyu dan kesenangan sementara waktu dan sebagainya. Menurut penulis, tafsir ini merupakan tafsir yang unik yang enak untuk dikaji mengingat penulis tafsir adalah seorang mujahid yang berjuang dan berdakwah pada zamannya dan orang yang memperjuangkan waktunya untuk al- Qur’an hingga akhir hayatnya.

11 Lihat, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur’an, Ibid 12 Metode tafsir tahlili adalah satu metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an

dengan cara berusaha menjelaskan kandungan al-Qur’an dari seluruh aspeknya dan menerangkan arti ayat-ayat tersebut, kata-demi kata secaraberurutan berdasarkan urutan-urutannya dalam mushaf, Lihat Abd al-hayy al-Farmawi, al-Bidâyat fi Tafsîr al-Qur’ân (Mesir : Maktabah al- Jumhuriyyah, 1977),h. 52

Uraian tentang waktu dan sumpah Allah juga ditemukan dalam kitab tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab. Kitab ini merupakan kitab tafsir kontemporer Indonesia. Terdiri 30 juz menjadi 15 jilid dan disusun dengan menggunakan metode tafsir tahlili. Yang menguraikan ayat-ayat al-Qur’an menurut urutan mushaf. Sehingga setiap ayat yang mengandung sumpah dibahas sendiri-sendiri dan terpencar-pencar diberbagai tempat dalam tafsir tersebut. Berbeda dengan tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, Quraish Shihab dalam tafsirnya tidak memberikan

judul atau tema secara khusus di setiap surat. Beliau berusaha menjelaskan ayat - ayat tersebut dengan mengambil banyak pendapat dari mufassir lain. Perlu diketahui penulis adalah orang yang istiqamah memanfaatkan waktu fajar dan subuh untuk menuangkan ilmu-ilmunya yang dimiliki hingga terbitlah tafsir al- Misbah ini.

Uraian menarik tentang sumpah Allah juga dapat ditemukan dalam tafsir yang disusun oleh seorang doctor wanita yang dikenal dengan sebutan Bint al- Syathi’ dengan judul al-Tafsir al-Bayâni li al-Qur’an al-Karîm. Nilai lebih dari tafsir ini dapat dilihat pada pengkajian ayat-ayat al-Qur’an secara mendalam dengan diusut dari arti linguistik setiap kata dalam al-Qur’an, serta mempelajari konteks spesifik kata itu dalam ayat-ayat dan surah-surah tertentu sarta konteks umumnya dalam al-Qur’an.

Salah satu temuan penting dari pendekatan linguistik ini adalah bahwa setiap kata yang dipergunakan oleh al-Qur’an tidak dapat digantikan oleh kata yang lain meskipun kata-kata tersebut dianggap sebagai sinonim dalam kitab-kitab kamus tafsir.

Berbeda dengan semua uraian yang terdapat dalam kitab-kitab di atas. Dalam tulisan ini, penulis ingin berusaha menjelaskan konsep sumpah Allah berkenaan dengan waktu dalam al-Qur’an secara tematik dengan menjelaskan sumpah dan waktu dalam al-Qur'an terlebih dahulu kemudian mengkaji seluruh ayat-ayat sumpah yang berkenaan dengan waktu khususnya berdasarkan penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid Quthb. Bagaimana keduanya mengungkapkan keagungan waktu tersebut.

F. Metodologi Penelitian Untuk mendapatkan hasil kajian yang lebih komprehensif dan utuh, dalam penelitian ini akan digunakan metodologi yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Sumber Penelitian Penelithan ini bersifat library research, dalam artian semua sumber data yang digunakan berasal dari bahan-bahan tertulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

Adapun sumber primer yang dipakai dalam menulis tesis ini adalah : Al- Qur’an tarjamahan 30 juz, guna mengetahui berbagai sumber dalil yang berkaitan dengan pembahasan tesis.

Sedangkan buku skundernya adalah terdiri dari buku-buku Tafsir, buku- buku Ulumul Qur’an khususnya yang berhubungan dengan pembahasan sumpah Allah dalam al-Qur’an, buku-buku yang membahas tentang waktu dan buku-buku lain yang menunjang pembahasan tesis.

2. Methodologi pendekatan analisis Karena obyek penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an yang tergelar

dianalisis dan dibahas kandungan-kandungannya sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. 13 Disamping pendekatan tafsir tematik, dalam penelitian ini akan

digunakan juga pendekatan filosofis, yaitu pembahasan yang manitik beratkan pada pengungkapan hikmah dan pokok pikiran yang terkandung dalam suatu pernyataan atau teori. Dan untuk menganalisis data, metode yang ditempuh adalah metode deduktif, induktif dan komparatif.

3.Tehnik Penulisan Penulisan tesis ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi dan

Desertasi IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta : IAIN Press. 2000)

G. Sistematika Pembahasan Pembahasan dalam penelitian ini dapat disistematikan sebagai berikut : pembahasan diawali dengan pendahuluan yang menguraikan seputar kelayakan studi ini. bagian ini merupakan bab pertama yang berisi latar belakang, permasalahan: identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka,

13 Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung :Mizan, 1995), h. 87

Selanjutnya pembahasan ini menguraikan tentang wawasan sumpah (qasam) dengan tujuan untuk mengantarkan dalam memahami penafsiran ayat- ayat sumpah (qasam), dalam bab ini pembahasan terdiri dari definisi sumpah, term sumpah / kata-kata yang mempunyai makna sumpah dalam al-Qur’an, unsur- unsur yang membentuk sumpah, Macam-macam sumpah (qasam) dalam al-

Qur’an, serta tujuan sumpah (qasam) dalam al-Qur’an. Bab ketiga penulis mencoba mengemukakan tentang waktu dan kehidupan yang terdiri dari definisi waktu, term waktu dalam al-Qur’an, korelasi waktu dengan aspek keidupan, karakteristik waktu, kewajiban manusia terhadap waktu, serta akibat menyia-nyiakannya.

Bab keempat merupakan jawaban dari bab-bab sebelumnya, yang menjelaskan tentang sumpah Allah yang berkenaan dengan waktu antara penafsiran Quraish Shihab dan Sayyid Quthb. Misalnya : waktu Fajr, waktu Subuh, waktu Dhuha, waktu nahar/ Siang, waktu Ashr, waktu Malam, dan waktu Qiyamah.

Bab kelima merupakan bab terakhir dari penelitian ini yang terdiri dari kesimpulan, sebagai jawaban permasalahan di atas dan saran-saran.

BAB II

WAWASAN SUMPAH DALAM AL-QUR ’AN

A. Pengertian Sumpah

1 Secara bahasa sumpah adalah terjemahan dari kata qasama, 2 hilf, dan aiman. 3 Sedangkan secara istilah, dalam kamus bahasa indonesia, ada tiga

pengertiannya, yaitu : 1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci untuk menguatkan kebenaran dan

kesungguhannya. 2. Pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu

tidak benar. 3. Janji atau ikrar yang teguh akan menunaikan sesuatu 4 . Menurut Jurjani, sumpah adalah menguatkan salah satu dua berita dengan menyebutkan

nama Allah atau sifatnya. Menurut Kazim Fathi al-Rawi, sebagaimana yang dikutib oleh Hasan Mansur Nasution sumpah / qasam adalah sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan apa yang dikehendaki oleh yang bersumpah. Hal

ini ada kalanya dimaksudkan untuk menegaskan atau untuk mengingkari. 5 Dari berbagai definisi di atas, pengertian sumpah dalam pembahasan ini lebih

cenderung kapada makna sumpah adalah sesuatu yang dikemukakan untuk menguatkan berita yang ada. dan yang dimaksud dengan sumpah Allah adalah

1 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir : Kamus Arab Indonesia , Surabaya : Penerbit Pustaka Progessif, 1997, h. 1119 lihat juga Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr

al-Fikr, tth ) jilid. 12, h.478 2 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir : Kamus Arab Indonesia ,.h.289 lihat juga

Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab,.jilid 9, h.53 3 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir : Kamus Arab Indonesia. h.1590 lihat juga

Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, jilid.13, h.462 4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta

: Balai pustaka, 1995 ), h. 974 5 Hasan Mansur Nasution, Rahasia Sumpah Allah dalam al-Qur’an, ( Jakarta : Khazanah

Baru, 2002 ) h. 6 Baru, 2002 ) h. 6

B. Kata-kata yang mempunyai makna sumpah dalam al-Qur ’an

Adapun kata-kata yang mempunyai makna sumpah dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut : (Qasam digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 33x, Hilf 13x,

yamin 6 sebanyak 71x dan aliyyah 2x. )

B. 1. Qasam

Secara bahasa kata Qasam berasal dari bahasa Arab yang bentuk jama’ nya adalah aqsâm yang berarti sumpah. 7 Secara istilah ada beberapa pengertian

qasam menurut ulama nahwu, antara lain : menurut az-Zarkasyi, Qasam adalah suatu pernyataan yang diungkapkan untuk memperkuat (ta’kid) suatu berita. 8

Menurut Muhammad Bakr Ismail, Qasam adalah salah satu uslub Qur’ani yang dimaksudkan untuk memperkuat (ta’kid) pembicaraan dan menampakkan

maknanya. 9

Kata qasam muncul dalam Al-Qur’an dalam bentuk berikut: 10

1. Qa sa ma , dalam bentuk fiil madhi 1x, mudhari’ 1x, isim maf’ul (maqsum) 1x dan al-qismah sebanyak 3x.

2. Dengan tambahan alif sin dan ta’ (Istaqsama) sebanyak 1x.

3. Dengan mudha’af ain (muqassimat) 1x.

6 Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, (Cairo : Dâr Arab al-islâmi, 1999 ), Cet. Ke-I, h. 21-34

7 Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, jilid.12, h. 478. lihat juga Ahmad Warson Munawwir, al- Munawwir : Kamus Arab Indonesia, h. 1119

8 Badr ad-Dîn Muhammad bin Abd Allah az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulūm al-Qur’an, tahqiq, ‘Abd al-Qadir Atha’ (Beirut Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1988) juz. 3 h. 45

9 Muhammad Bakr Ismail, Dirasat fi ‘Ulūm al-Qur’an, (Kairo : Dâr al-Manan, 1991) h. 363

10 Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, h. 24

4. Bersumpah dengan fi’il madhi 8x dan mudhari’ 12x.

5. Qâ sama: Madhi 1x

6. Taqâsama: Madhi 1x

7. Iqtasama dengan isim fail 1x.

8. Qasam: Isim 1x. Dengan melihat kepada maknanya, kita dapat membagi menjadi 3 bagian utama: Bagian pertama: Yang mencakup jenis yang pertama qasama, dan yang kedua istaqsama, dan yang ketiga qassama, ketiga jenis ini digunakan untuk menunjukkan kepada pengeluaran bagian (ifrâz an-nashîb), sedangkan kata qasam yang ditambahkan dengan huruf-huruf ziyadah seperti sin dan ta’ yang menunjukkan permintaan atau permohonan, dan yang menggunakan tadh’if menunjukkan kekuatan dan berlebih-lebihan.

Dalam menggunakan qasam ini, terkadang muncul salah satu dari dua konsekuensi di atas menjadi lebih kuat dari bagian yang lain sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah, “ Nahnu qassamna bainahum….” Yang menunjukkan kepada bagian yang ditentukan sekaligus juga menunjukkan penentuan masing-masing bagian sendiri-sendiri. Sedangkan firman Allah, “ Laha sab’atu abwâb…” menunjukkan kepada suatu penentuan masing-masing bagian saja, sedangkan firman Allah, Wa an tastaqtasimu bi al-azlâm, dimaksudkan untuk mengetahui bagian yang ditentukan saja.

Bagian kedua: Mencakup jenis keempat: aqsama dan kelima: qâ sama, keenam: Taqâsama, kedelapan al-qasam. Aqsama berarti hilf, diambil dari kata

qasâmah 11 yang berarti sumpah (aymân) . Adanya kesamaan makna (sinonim) dalam bahasa Arab bisa terjadi

dikarenakan adanya keterkaitan beberapa kabilah dengan bangsa Quraisy, dan kedudukan ka’bah dalam diri bangsa Arab disertai dengan perbedaan dialek (lahjat) dan istilah-istilah bahasa mereka yang mengharuskan kita mendapati

adanya serapan dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab terutama dipengaruhi oleh pertemuan berbagai bangsa pada musim haji dan melebarnya jaringan pasar. Atas dasar inilah, Subhi Shaleh meyakini adanya sinonim dalam Al-Qur’an, karena Al-Qur’an telah diturunkan dengan bahasa Quraisy yang memiliki keindahan gaya bahasa dan cara pengekspresiannya. Bahasa ini telah memberikan banyak gesekan untuk menerima dialek bahasa Arab lainnya dan mengadopsi beberapa kosakata dari bahasa tersebut, hingga akhirnya bahasa-bahasa kabilah itu menjadi bagian dari bahasa Arab yang dipakai, maka tidak heran jika Al-Qur’an menggunakan kata-kata baru yang diadopsi dari bahasa lain disamping menggunakan bahasa Quraisy yang murni. Dengan ini, penafsirkan adanya sinonim antara kata aqsama dengan hilf dalam firman Allah, Wa aqsamu billahi jahda aimânihim, dan yahlifuna billah ma qalu… sebagaimana sinonimnya kata

ba’atsa 12 dengan arsala.

11 Dikutib Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, h. 24- 25

12 Dikutip Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, h. 25- 26

Hal ini berbeda dengan penelitian Bintu Syathi’ yang membedakan antara aqsama 13 dan hilf. . Menurut penulis apa yang telah disebutkan bahwa Al-Qur’an

menggunakan aqsama hanya pada tempat-tempat yang tidak mengandung pengkhinatan/penyalahan sumpah itu juga kurang benar. Hal itu dikarenakan dalam menggunakan kata aqsama, Al-Qur’an tidak hanya mengkhususkan selamanya pada sumpah yang jujur dan baik saja, tetapi Al-Qur’an juga menggunakan aqsama dalam beberapa tempat berikut

a. Dalam tempat-tempat yang di dalamnya terdapat sumpah yang jujur, seperti sumpah yang disandarkan kepada Dzat-Nya Yang Maha Tinggi.

Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan: "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar- benar beserta kamu?" Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang merugi. (QS Al-Ma’idah: 53),

13 Menurut Bint Syathi’ “ apa –apa yang menurut ahli- ahli linguistik dianggap sebagai sinonim, ternyata tidak pernah muncul dalam al-Qur’an dalam pengertian yang benar-benar sama

pada saat al-Qur’an menggunakan sebuah kata. Karena itu , kata tersebut tidak dapat di tukar dengan kata lain yang biasanya dipandang sebagai sinonim kata pertama tadi dalam kamu-kamus bahasa Arab dan kitab-kitab tafsir. Hal ini seperti kata aqsama dan hilf yang dianggap sebagai sinonimnya ternyata setelah diteliti diseluruh tempat al-Qur’an tentang ke dua kata tersebut dengan berbagai bentuknya, Bint Syathi’ berkesimpulan bahwa aqsama digunakan untuk jenis sumpah sejati yang tidak pernah dilanggar. Sedangkn hilf selalu digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar

Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mu`jizat pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah: "Sesungguhnya mu`jizat-mu`jizat itu hanya berada di sisi Allah". Dan apakah yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mu`jizat

datang mereka tidak akan beriman. (QS Al-An’am: 109),

Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh- sungguh: "Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati". (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (QS An-Nahl: 38).

b. Dalam sumpah-sumpah yang dusta sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah

… lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu- ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".(Al-Maidah: 106).

Sumpah yang disebutkan dalam ayat ini adalah sumpah yang mengandung suatu kedustaan. Hal ini dibuktikan dengan kesaksian Al-Qur’an bahwasanya Allah berfirman setelahnya:

Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: "Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas,

sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri". (QS. al-Mâidah: 107),

Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". Seperti

demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran). (QS. ar-Rūm: 55)

Di dalam ayat ini jelas menunjukkan sumpah yang dusta, mengingat penutup ayat tersebut adalah “ kadzâlika kânu yu’fakūn” , berarti berpaling dari I’tiqad yang benar kepada I’tiqad yang batil, dari ucapan yang jujur menjadi ucapan yang bohong, dari perbuatan yang bagus menjadi perbuatan yang buruk.

Bagaimana sumpah mereka dinilai sebagai sumpah yang jujur, sedangkan Allah berfirman,

". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? (QS. al-Fathir: 37)

Yang menunjukkan bahwa sumpah itu adalah sumpah yang dusta dan dimasukkan dalam catatan mereka oleh Allah pada hari kiamat. Demikian pula dengan ayat: (Al-An’am: 24),

Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah dari pada mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan.

Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyrikin Mekah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun, ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil) nya di pagi hari, (Al-Qalam: 17)

Jadi, sumpah di sini merupakan sumpah yang dinilai Allah sebagai sumpah yang dusta. Setelah memaparkan berbagai pendapat di atas, maka pendapat yang dinilai rajih yaitu bahwa aqsama dan hilf jika dilihat kepada asli peletakan katanya jelas tedapat perbedaan antara satu kata dengan kata lainnya, tetapi jika di lihat dalam penggunaan, kedua bahasa ini memiliki kesesuaian dan kesamaan, sehingga makna salah satunya juga merupakan makna yang lain,

Bagian ketiga : apa yang dikandung kata qismah yang berarti pembagian (tauzi’) dan mengandung kemungkinan arti sumpah (yamin), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah (Al-Hijr: 90-91).

Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (azab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah), (yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al Qur'an itu terbagi-bagi.

B.2. Hilf

Secara bahasa kata hilf adalah berasal dari bahasa Arab dari kata halafa – hilfan – wa halifan billahi sama dengan Aqsama billâhi yang berarti bersumpah dengan nama Allah. Kata hallafa wa ahlafa wa astahlafa berarti menyuruh bersumpah. Al-hilfu wal uhlufatu sama dengan al-yamin yang berarti sumpah.

Hilfun kadzibun berarti sumpah palsu. Menurut Ibnu Mandzur dalam kitabnya lisân al-Arab dijelaskan bahwa hilf berasal dari kata al-hilfu wa al halifu, yang keduanya menunjukkan sumpah, jadi hilf merupakan sinonim dari aqsama.

Yahlifu – hilfan – hilfn – mahlufan 15 . Adapun secara istilah, terdapat beberapa pengertian antara lain : menurut

Zamakhsyari sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad Mukhtar as-Salami, hafl adalah kata yang digunakan untuk menekankan suatu sumpah. 16 Menurut penulis

“Karena kata hilf itu digunakan Al-Qur’an sebanyak 13x tanpa terkecuali seluruhnya menunjukkan bahwa hilf itu digunakan untuk sumpah yang dikhianati. Dengan demikian hilf adalah kata yang digunakan untuk menekankan suatu sumpah yang dikhianati.

Bentuk kata hilf dalam al-Qur’an terdiri dari jumlah ismiyyah hanya ada pada ayat, wala tuti’ kulla hallâfin mahin. Dan di ayat-ayat lainnya yang

14 Ahmad warson Munawwir, al-Munawwir, h. 289-290 15 Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, jilid. 9, h. 53 lihat juga Muhammad Mukhtar as-Salami,

al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an , h. 21-23 16 Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, h. 21-23 al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an , h. 21-23 16 Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, h. 21-23

Al-Qur’an tidak menggunakan kata hilf kecuali untuk menunjukkan bahwa orang yang mengucapkannya itu bisa jadi berdusta atau berkhianat dalam sumpahnya. Kesesuaian antara susunan yang diungkapkan Al-Qur’an dan antara makna yang dibawa oleh kata hilf itu sendiri memberikan suatu gambaran kemu’jizatan kejelasan (I’jaz bayani) Al-Qur’an, dan menunjukkan bahwasanya

Al-Qur’an itu benar berasal dari Allah. Hal itu dikarenakan jumlah ismiyyah— sebagaimana yang ditetapkan oleh para ulama balaghah—biasanya dimaksudkan untuk menetapkan atau memantapkan sesuatu, sedangkan jumlah fi’liyyah dimaksudkan untuk memperbaharui sesuatu dan menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi.

Memperbaharui sesuatu dengan menggunakan fi’il mudhari; itu lebih jelas maknanya daripada menggunakan fi’il madhi. Karena itu, Al-Qur’an mengungkapkan hilf dengan menggunakan fi’il madhi hanya satu kali saja, dan dikhususkan penggunaanya untuk kaum mukminin saja, tepatnya ketika mereka meneguhkan kejujuran sumpah sebagai penekanan atas tekad mereka di masa mendatang. Dengan demikian, pengungkapan hilf dengan fi’il madhi bermaksud untuk memberikan kuatnya realisasi atas sumpah-sumpah mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah, “ Dzâlika kaffâratu Aimânikum idza hilftum.

17 Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, h. 23

Dalam ayat lainnya, kata hilf diungkapkan dengan fi’il mudhari’ yang menunjukkan kepada suatu perbaruan di masa mendatang, yaitu apa yang sesuai—dari segi bentuk—dengan realitas mereka dan pendustaan mereka terhadap Rasulullah dan kaum mukminin, sampai-sampai kata hilf yang diungkapkan Al-Qur’an dengan menggunakan jumlah ismiyyah itu memakai bentuk shighah mubâlaghah yang menunjukkan perbaruan sumpah dari sumpah yang dusta ini. Allah berfirman, wala tuthi’ kulla hallâfin mahin.

B.3. Yamin Secara bahasa, kata yamin berasal dari bahasa Arab yang jama’nya aimunu

wa 18 aimân, sama dengan al-Qasamu artinya sumpah. Sedangkan secara istilah, yamin berarti kata untuk memperkuat sesuatu perkara dengan menyebut nama

Allah. Sumpah harus ditepati, bila seseorang melanggar sumpahnya, maka orang tersebut wajib membayar kaffarat. 19 Dan sumpah yang tidak disengaja karena

tergelincir lidah dan sebagainya tidak ada dosa, karena itu tidak perlu membayar kaffarat. 20

Dalam Al-Qur’an, Yamin selalu disebutkan dalam bentuk isim. Sebagaimana paparan di bawah ini :

18 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir : Kamus Arab Indonesia, h. 1590. lihat juga Ibnu Mandzur, Lisân al-Arab, jilid 13, h.458. lihat juga Allâmah kamal faqih Imani, Tafsir Nūrul

Qur’ân , terjemahan ( Jakarta : al-Huda, 2003) jilid. 2. h. 218. lihat juga Rahmad Taufiq Hidayah, Khazanah Istilah al-Qur’an (Bandung : Mizan 1996) Cet. Ke-6 h. 33

19 QS. 66 : 12, Adapun kaffarahnya adalah : memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian kepada 10 orang miskin, atau memerdekakan seorang budak, atau puasa selama

3 hari . (lihat QS. al-Maidah /5 : 89 ) 20 QS. al-Baqarah /2 : 225 dan surat al-Maidah /5 : 89 3 hari . (lihat QS. al-Maidah /5 : 89 ) 20 QS. al-Baqarah /2 : 225 dan surat al-Maidah /5 : 89

b. Kata yamin diulang sebanyak 9 kali dalam Al-Qur’an yang menunjukkan tangan kanan yang dalam keseluruhan penggunaannya selalu menggunakan bentuk mufrad seperti firman Allah (Ash- Shaffât:93).

Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat).

Ada pula yamin yang disandarkan kepada Allah sebagaimana dalam ayat

(Az-Zumar: 67) . ﹶﻥﻮﹸﻛِﺮﺸﻳ ﺎﻤﻋ ﻰﹶﻟﺎﻌﺗﻭ ﻪﻧﺎﺤﺒﺳ ِﻪِﻨﻴِﻤﻴِﺑ ﺕﺎﻳِﻮﹾﻄ ﻣ ﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍﻭ ...

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Ayat (Az-Zumar: 67) ini termasuk ayat yang mengandung unsur mutasyabih yang disikapi ulama dengan: menerima teks ayat tersebut terlebih dahulu disertai dengan penyucian yang sempurna (tanzih kamil) kepada Allah dari segala sesuatu yang menyerupai-Nya. Cara pertama : Menetapkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk diri-Nya sendiri dan menyucikan-Nya dari segala penyerupaan dengan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Malik bin Anas yang ditanya tentang makna firman Allah (QS. Thâha: 5),

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.

Ia pun mengangkat kepalanya dan berkata, “Maksud dari bersemayam (istiwa’) itu tidak diketahui, lalu bagaimana cara bersemayamnya juga tidak dapat menembus logika, mengimani hal ini merupakan kewajiban, karena manusia hanya mempunyai otak yang terbatas.

Cara kedua: Menggunakan cara pengungkapan majaz, yang mana kata

yamin menunjukkan kepada kesempurnaan kekuasaan dan pengaturan yang sempurna dalam seluruh langit, serta kepemilikannya yang tidak ada seorang pun yang menyerupainya..

Cara ketiga : Bahwa kata yang mutasyabih di atas tidak mengandung arti yang sesungguhnya dan tidak pula mengandung arti kiasan, tetapi hal itu hanya merupakan penggambaran akan keagungan Allah , dengan tanpa mengartikan kata qabdhah (pemegangan kekuasaan) atau yamin itu secara sesungguhnya atau secara kiasan. Kata ini hanyalah merupakan suatu bentuk perumpamaan. “Kata- kata mutasyabih merupakan suatu peringatan akan Maha dahsyatnya keagungan Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, dan amat remehnya perbuatan para makhluk yang dibuat bingung dengan ilusi-ilusi yang dinisbahkan kepada kekuasaan Allah. Selain itu, kata ini juga menunjukkan bahwa kehancuran alam merupakah hal yang sangat mudah dan hina bagi-Nya. Seluruh hal ini disajikan melalui bentuk perumpamaan dan imajinasi, tanpa mengungkapkan kata qabdhah atau yamin secara hakikat ataupun majaz.

Cara-cara pengungkapan seperti ini—meskipun berbeda zhahirnya—tetapi pada akhirnya berakhir pada satu hal: yaitu menyucikan Allah secara sempurna.

Kata yamin diulang sebanyak 16 kali dengan menggunakan bentuk mufrad dan jamak. Kata yamin terkadang menunjukkan sisi yang realistis (nyata) 21 ,

sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah: (QS. al-Kahfi: 17)

Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke

sebelah kanan

kata hilf dan yamin. Menurut Ibrahim Anis dkk. Bahwa qasam sama dengan yamin 22 yang mempunyai makna sama-sama sumpah, begitu juga hilf.

Kata Yamin selain bermakna sumpah, juga bermakna kanan, sebagaimana firman Allah yang artinya : “dan golongan kanan”, alangkah bahagianya golongan

kanan itu”. 23 Sedangkan yamin yang bermakna sumpah adalah merupakan kata isti’arah (kata pinjaman) dari al-Yadd (tangan) sebagai suatu ungkapan terhadap

yang dilakukan orang yang bersumpah dengan orang lain. 24

3.4. Aliyyah

Secara bahasa Aliyyah berarti juga sumpah, jamaknya Alâyâ, sedangkan bentuk fi’ilnya yaitu alâ, yûlî, Ilâ’, i’tala, ya’tali, I’til, dan ta’alla, yata’alla,

ta’alliyan, 25 yang memiliki sinonim dengan kata aqsama, dan hilf. Menurut as- Sayyid Sabiq Alâ secara bahasa berarti menolak dengan bersumpah (al-Imtina bi

21 Muhammad Mukhtar as-Salami, al-Qasam fi al-lughah wa fi al-Qur’an, Ibid, h. 31-35 22 Ibrahim Anis dkk., Mu’jam al-Wasith, juz. II, Cet. Ke-2 (Mesir : Dâr al-Ihya al-Turâts

al- “Arabi, 1973), h. 735. 23 Lihat QS. Al-waqiah : 27

24 Husain ibn Muhammad al-Raghib al-Isfahani, Mufradât fi Gharîb al-Qur’an, juz. I, (Mesir : al-Maktabah al-Hadîtsah, 1970 ), h. 184.

25 Ibid, h. 35 25 Ibid, h. 35

Materi dasar dari Aliyyah ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali.

a. Dalam bentuk mudhari dari Alâ, (Al-Baqarah: 226)

Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka

sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Dalam bentuk mudhari dari I’tala (An-Nur: 22)

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.

Aliyyah dalam dua ayat di atas dimaksudkan untuk menekankan larangan bersumpah. Dalam ayat pertama, untuk menekankan larangan bagi suami yang bertekad tidak menggauli istrinya dan mendatangkan bahaya bagi istrinya tersebut (tidak

26 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ( Kairo : al-Fath al-i’lam al-‘Araby, 2004 ) h. 600 26 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, ( Kairo : al-Fath al-i’lam al-‘Araby, 2004 ) h. 600

Dalam ayat kedua, menekankan larangan bersumpah bagi orang-orang yang memiliki kelebihan anugerah bahwa mereka tidak akan memberikan bantuan kelebihan anugerah yang dimilikinya kepada kaum kerabat, atau orang-orang fakir, atau masing-masing dari keduanya.

Setelah dilihat dari berbagai konteks al-Qur’an yang berhubungan dengan sumpah Allah, maka penulis berkesimpulan, walaupun kata qasam, hilf, aiman, dan aliyyah mempunyai arti yang sama yaitu sumpah, namun terdapat perbedaan dalam pemakaiannya. Kata qasam dalam al-Qur’an sering menunjukkan adanya makna kesungguhan dan keseriusan, dengan makna lain qasam berarti sumpah sejati. Kata hilf dalam al-Qur’an selalu dikaitkan dengan pelanggaran , kedustaan, dan orang-orang munafiq. Dengan makna lain hilf berarti sumpah palsu atau sumpah yang dilanggar. Kata aiman dalam al-Qur’an menunjukkan sumpah dalam pengertian yang umum yaitu mencakup makna qasam dan hilf. Sedangkan kata aliyyah dalam al-Qur’an digunakan untuk menolak dengan bersumpah.

C. Unsur-unsur yang membentuk sumpah Allah dalam al-Qur ’an

Lahirnya suatu sumpah dikarenakan adanya unsur-unsur yang mendukungnya. Sedikitnya ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk sampai menjadi sebuah sumpah, yaitu : muqsam bih, muqsam ‘alaih dan adât al-qasam.

C.1. Muqsam bih