M Najmil Husna Wawasan Sihir dalam Tafsir al Kabir

TESIS

Diajukan Kepada Sekolah Pasca Sarjana Konsenterasi Tafsir-Hadis Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Magister Agama

Oleh :

M. Najmil Husna

Pembimbing :

Prof. DR. H. Ahmad Thib Raya, MA. DR. Abdul Wahib Mu ’thi, MA.

SEKOLAH PASCA SARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1 4 2 7 H/2 0 0 7 M

Alhamdulillah adalah kata yang paling tepat untuk penulis ucapkan sebagai wujud syukur kepada Allah Swt., atas hidayahNya kepada penulis, hingga dapat menyelesaikan tesis ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah saw., juga para sahabat dan keluarganya sebagai cermin diri sejati dari setiap diri yang menginginkan Allah.

Pada pengantar ini, penulis ingin berterima kasih kepada

beberapa orang yang telah berjasa membantu penyelesaian tesis ini. Pertama sekali kepada Ayahanda tercinta, Mursyid Tarekat al-Syattâriyyah wa al-shamadiyyah , Murabbi Pondok Pesantren Al-Husna Medan, guru dan pembimbing ruhani penulis, Buya KH. Drs. Usman Husni, MA dan Ibunda tersayang, sumber inspirasi penulis, Ummi, Hj. Aidatul Fauziah, Hsb, dan semua adik-adik penulis, M. Aidil Husna dan M. Ahyal Husna, serta terima kasih kepada teman-teman “ Para Pencinta Tuhan” Handoko, Amrullah, dan Sholihin, diskusi-diskusi kita sangat membantu penulis. Terima kasih juga kepada keluarga besar Pondok Pesantren Al-Husna.

Kemudian kepada guru akademik penulis, Ustad DR. H. Ramli Abdul Wahid, MA dan Ustad Prof. DR. H. Syahrin Harahap, MA, dan teman-teman Tafsir-Hadis ALFU IAIN-SU tahun 98, yang mendukung

penulis untuk menetapkan hati bertahan ditafsir-hadis. Selanjutnya,

Thib Raya, MA sebagai pembimbing I tesis ini dan Ustad DR. Abdul Wahib Mu’thi, MA sebagai pembimbing II, yang banyak memberikan bimbingan, masukan dan kritikan terhadap tesis ini. Kemudian kepada fihak-fihak lain yang ada di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana UIN SYAHID Jakarta, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan yang telah diberikan selama ini.

Terima kasih penulis kepada teman-teman kelas Tafsir-Hadis

Sekolah Pasca Sarjana UIN SYAHID 2003, Badru Tamam, Fathurrozi, Hafizurrahman, Fakhrurrazi, Bang Irwansyah, Kholilurrahman dan lain- lain. Jangan pernah tanya apa yang diberikan Allah kepada kita, tapi tanyakanlah apa yang bisa kita berikan kepada Allah.

Terakhir, terima kasih kepada keluarga besar penulis di Ciputat Tangerang, yang telah mendukung, memotivasi dan membakar semangat penulis untuk menyelesaikan tesis ini, semoga Allah Swt., membalas jasa- jasa mereka.

Kupersembahkan tesis ini kepada semua orang yang sedang merenungi hakekat alam, dan yang sedang mencari kebenaran yang tak lagi terbantahkan. Kritik saran dan masukan-masukan penulis harapkan sebagai pengembangan tesis ini nanti ke depan. Amin .

M. Najmil Husna

PENGESAHAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “ Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr”, yang ditulis oleh M. Najmil Husna, NIM : 03.2.00.1.05.01.0002, program studi : Tafsir- Hadis. Telah disetujui pembimbing untuk dinilai oleh tim penguji atau

tim penilai.

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.DR.H.Ahmad Thib Raya, MA DR. Abdul Wahib Mu’thi Tanggal :

Tanggal :

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudul Wawasan Sihir Dalam Tafsîr al-Kabîr telah diujikan dalam sidang munaqasyah Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal ________________________ 2007 M. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama pada program strata 2 konsenterasi Tafsir-Hadis.

Jakarta, ______________ 2007 M

Panitia Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

_____________________________ ______________________________ Nip.

Nip.

Anggota-Anggota

_____________________________ ______________________________ Nip.

Nip.

_____________________________ ______________________________ Nip.

Nip.

PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman transliterasi yang digunakan di dalam tesis ini adalah pedoman transliterasi Arab-Latin yang ada di buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi oleh UIN Jakarta Press dengan sedikit modifikasi.

Huruf Arab

Huruf Latin

Huruf Arab

Huruf Latin

ﺍ tidak dilambangkan ﺽ dh ﺏ b ﻁ th ﺕ t ﻅ zh ﺙ ts ﻉ ‘

ﺝ j ﻍ gh ﺡ h ﻑ f

ﺥ kh ﻕ q ﺩ d ﻙ k ﺫ dz ﻝ L ﺭ r ﻡ m ﺯ z ﻥ n ﺱ s ﻭ w

ﺵ sy ﻩ h ﺹ sh ﺀ ` ﻱ y

Keterangan tambahan :

a. Vokal Tunggal sihr ﺮﺤـﺳ h. Penulisan Kata

b. Vokal Rangkap kaifa ﻒـﻴﻛ amr khâriq li al-‘âdah

c. Maddah

al-‘ibârah ﺓﺭﺎـﺒﻌﻟﺍ ﺓﺩﺎﻌـﻠﻟ ﻕﺭﺎـﺧ ﺮـﻣﺃ

d. Ta` Marbuthah al-syahâdah ﺓﺩﺎﻬﺸﻟﺍ i. Huruf Kapital

e. Syaddah al-umm ﻡﻷﺍ al-A’râf ﻑﺍﺮ ﻋﻷﺍ

f. Kata Sandang

al-Baqarah ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

Fakhr al-Dîn ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺮﺨﻓ

al-Râzi ﻱﺯﺍﺮﻟﺍ Karâmiyah ﺔﻴﻣﺍﺮﻛ

g. Hamzah

al-mas`alah ﺔﻟﺄﺴﳌﺍ

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keistimewaan dan kelebihan yang dimiliki Al-Quran sangat berdampak baik, bagi orang-orang yang beriman dan meyakini kebenarannya.

Ini dimaknai dari kandungan surat al-Anf â l : 2, bahwa orang yang beriman akan bertambah keimanannya jika mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan kepada mereka. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak beriman atau munafik terhadap kebenaran Al-Quran, menimbulkan dampak buruk yang sangat memalukan. Bahkan mereka menyatakan bahwa Al-Quran adalah buku sihir, yang mampu menyihir orang-orang hingga berubah dari keyakinan yang selama ini dipegang (mengikuti keyakinan nenek moyang) kepada keyakinan yang menetapkan tauhid keesaan Allah Swt. Ini dijelaskan Al-Quran di dalam

surat al-Ahq â f (46) : 7 yaitu,

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka, Ini adalah sihir yang nyata.

Bahkan, para rasul yang mengemban amanah untuk menyampaikan kebenaran ajaran Allah Swt. juga disebut sebagai penyihir-penyihir gila oleh Bahkan, para rasul yang mengemban amanah untuk menyampaikan kebenaran ajaran Allah Swt. juga disebut sebagai penyihir-penyihir gila oleh

Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, ia adalah tukang sihir atau orang gila .

Demikianlah, beberapa bukti yang ditampilkan Al-Quran tentang

kebekuan hati orang-orang kafir dan ketertutupan rasa orang-orang munafik untuk menerima kebenaran ajaran Allah Swt. Oleh karenanya, muncul ketertarikan dalam diri penulis untuk mengangkat tema sihir dalam sebuah penelitian yang berbentuk tesis ini.

Sihir, sebenarnya bukanlah sebuah istilah yang baru di tengah-tengah masyarakat, sebab dalam kenyataannya sihir telah ada sejak zaman para nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Kisah perjuangan Nabi Sulaiman as., yang berhadapan dengan penyihir-penyihir kaumnya telah diabadikan Al- Quran dalam surat al-Baqarah (2) : 102-103. Begitu juga dengan perjuangan Nabi Musa as., yang mesti berhadapan dengan pakar-pakar sihir Fir’aun. Kisah ini

juga telah diabadikan Al-Quran dalam surat al-A’r â f (7) : 103-122. Bahkan ada riwayat hadis dalam Sunan al-Nasâi dari Zaid ibn al-Arqam, yang menceritakan juga telah diabadikan Al-Quran dalam surat al-A’r â f (7) : 103-122. Bahkan ada riwayat hadis dalam Sunan al-Nasâi dari Zaid ibn al-Arqam, yang menceritakan

Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham. 1

Fenomena mistis, 2 tentang sihir juga sampai ke masa kita sekarang. Masyarakat sangat menggandrungi tayangan-tayangan televisi yang menyiarkan acara-acara mistis. Mulai dari tayangan yang dikemas dalam film- film sejarah klasikal hingga telenovela-telenovela kehidupan modern. Selain

itu, kemunculan tokoh-tokoh mistis seperti Dedi Corbuzer, Romi Rafael dan David Cover Field, menyebabkan antusias masyarakat kepada dunia mistik semakin tajam dan menjurus kepada kesesatan. Bahkan pengaruh tayangan- tayangan tersebut meresap sampai ke anak-anak kecil, yang notabenenya adalah penerus-penerus perjuangan agama dan bangsa.

Penelitian tentang kaum fakir di India, menunjukkan bahwa dengan latihan dan keyakinan dari fikiran dan olah tubuh manusia, seseorang mampu melakukan sesuatu yang luar biasa. Pada tahun 1853 M, seorang Maharaja di Lahore Pakistan pernah meminta seorang fakir bernama Haridas untuk menunjukkan kemampuannya. Haridas dikubur dengan peti mati yang

1 Muhammad ‘Ali al-Shâbûni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H), jilid 1, h. 54. Untuk selanjutnya akan disebut dengan al-Shâbûni.

2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mistik memiliki 2 arti, yaitu : a. Sub sistem yang ada dalam hampir semua agama dari sitem religi untuk memenuhi hasrat manusia

mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan seperti tasawuf atau suluk. b. Hal-hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia yang biasa.

Dalam tesis ini, penulis menggunakan arti mistik yang kedua. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988), h. 588.

digembok dan tanaman gandum ditanam di atas tanah kuburannya. Empat puluh hari kemudian, kuburan haridas digali. Ketika peti mati dibuka, ternyata Haridas masih hidup dan sehat. Selain itu, dia juga mampu berbaring di atas

ranjang berpaku tanpa cedera. 3

Di Cina, juga dikenal adanya pengobatan akunpunktur, dengan menggunakan energi chi dan yin-yang . Di Massachussets, pada tahun 1692 M

lebih dari 150 orang dihakimi karena dituduh sebagai penyihir. Bahkan pada abad ke 17 M di Eropa, jika ada orang yang memiliki tanda lahir, maka akan dituduh sebagai penyihir, seperti peristiwa berdarah yang terjadi di Inggris.

40.000 orang disiksa karena memiliki tanda lahir. 4

Berita-berita penganiayaan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai penyihir juga sampai ke Indonesia. Di Jawa Tengah, hampir ratusan orang diculik, dibunuh atau dikeroyok massa karena tuduhan sebagai dukun santet yang suka menyihir. Bahkan seseorang lebih mudah menyalahkan nenek tua yang tinggal di tepi hutan sendirian, sebagai orang yang menyihir sapinya hingga sakit atau ladangnya hingga rusak. Padahal dia tidak mau menerima kenyataan, bahwa dia tidak merawat sapi dan ladangnya dengan baik.

3 Rhiannon Lassitier, The Unexplained Series : Supranatural, terj. Veronica Angel, Misteri Supranatural , (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2001), h. 7.

4 Ibid., h. 4.

Salah satu pengertian sihir adalah, waktu antara akhir malam sebelum terbit fajar. Dari makna ini, bisa difahami bahwa terjadi kesamaran terhadap sesuatu yang dilihat mata ketika waktu malam menjelang fajar. Boleh jadi sesuatu yang dilihat itu adalah kenyataan dari keadaan yang sebenarnya, dan boleh juga sebaliknya. Oleh karenanya, sihir merupakan tipu daya atau kekuatan pesona yang digunakan untuk memalingkan penglihatan dari

keadaan yang sebenarnya. 5

Dalam lingkup akidah, sihir termasuk dalam kategori sesuatu yang terjadi di luar hukum kebiasaan, atau disebut dengan amr kh â riq li al-‘ â dah . Di samping sihir, muncul juga istilah-istilah lain yang dinyatakan sebagai suatu kemampuan yang luar biasa ( amr kh â riq li al-‘ â dah ), yaitu mukjizat dan karamah. Bila kemunculan kemampuan yang luar biasa tersebut dari diri seorang Nabi atau Rasul, maka disebut dengan mukjizat. Tetapi jika kemunculannya bukan dari diri Nabi atau Rasul, maka boleh jadi hal itu adalah

karamah atau sihir. 6

Para ulama dari kalangan ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah membenarkan keberadaan kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan di luar hukum kebiasaan. Imâm Haramain misalnya, menyatakan bahwa jika

6 Ibn Manzhûr, Lisân al- ‘Arab, (Beirut : Dâr al-Ma’ârif, t.th), jilid 3, h. 1951-1952. ‘Abdussyakûr al-Hâj Hasan, al-Nubuwwah Bain al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah, (Malaysia : Jami’ al-‘Ulum al-Islamiyah, 2003 M/1424 H), h. 278-279.

kemampuan yang luar biasa tersebut datang dari seseorang yang membawa risalah kenabian, maka disebut sebagai mukjizat. 7 Ciri utama mukjizat selalu diiringi dengan adanya tantangan dan tidak diusahakan kemunculannya. 8 Artinya, mukjizat seperti sebuah pertolongan Allah Swt., kepada para Nabi dan RasulNya sebagai bukti kebenaran ajaran yang disampaikan mereka.

Sedangkan kemunculan karamah berasal dari diri seorang wali,

dengan syarat tidak menyalahi hukum syari’at dan sesuai dengan kaidah- kaidah agama. Artinya, karamah terjadi bukan karena ada misi kenabian, dan bukan pula sebagai sebuah pengantar yang mengindikasikan ke arah

kenabian. 9 Oleh karenanya, karamah hanyalah suatu bentuk kemuliaan yang diberikan Allah Swt., kepada hamba-hambaNya yang benar-benar shalih dan patuh kepada hukum-hukumNya. Baik sihamba itu menyadari bahwa ia

memiliki kemampuan yang luar biasa ataupun tidak. 10 Karamah boleh juga bersifat suatu kemampuan yang bukan di luar hukum kebiasaan. Seperti seseorang yang dianugerahi Allah Swt., sifat istiqamah, hingga dia stabil dalam

beribadah. 11 Namun demikian, karamah bukan untuk dipertontonkan, dan

7 Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti ’ al-Adillah, (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1995 M/1416 H), h. 129-130.

8 Said Sâbiq, al- ‘Aqîdah al-Islâmiyah, terj. Muktamar Islami, Akidah Islam, (Bandung : CV. Diponegoro, 1995 M), h. 349-350.

10 Imâm al-Haramain, Kitâb al-Irsyâd Ila Qawâti ’ al-Adillah, h. 131-132. Ibid. 11 Said Sâbiq, al- ‘Aqîdah al-Islâmiyah, h. 351-352.

tidak perlu digunakan sebagai penantang karena sifatnya memang bukan untuk menaklukkan.

Adapun sihir, sebagaimana tinjauan makna bahasa yang lalu, hanyalah sebuah tipuan pandangan mata. Kemampuan sihir muncul dari seorang yang kafir, fasik dan munafik. Allah Swt., memang memberikan kelebihan tersebut kepada mereka sebagai istidr â j . Yaitu agar mereka tetap

tenggelam dalam kekufuran, kefasikan dan kemunafikannya. 12 Kemampuan sihir seseorang sering digunakan untuk menghancurkan atau menipu. Oleh karenanya, kemampuan sihir ada yang didapatkan dari proses pembelajaran

atau latihan dan ada juga lewat bantuan syeithan. 13

Ada sekelompok orang yang meyakini eksistensi black magic dan white magic . Bila sesuatu yang luar biasa tersebut keluar dari seorang nabi, wali, ulama atau orang yang shalih, maka mereka mengatakan hal itu adalah white magic . Begitu juga sebaliknya, bila muncul dari seorang dukun, peramal atau

non muslim dinamakan black magic . 14 Dari pengertian ini tampak ada kesimpang siuran, sehingga sangat perlu dicari pengertian yang lebih logis.

12 Abû Bakr ibn Muhammad ibn Sayyid al-Hanbali, al-Tashdîq bi Karâmah al-Auliyâ min ‘Aqîdah Atbâ’i Khatm al-anbiyâ, terj. Saefullah MS, Karamah Para Wali Menurut Pandangan

Ahlussunnah 13 , (Jakarta : Darussunnah Press, 2004), h. 22. Ibid., h, 23. 14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2000), Vol 1, h. 270.

Dalam memahami kenyataan dan pengaruh yang dikeluarkan dari sihir, pendapat para ulama terbagi dalam dua kelompok, yaitu : 15

1. Kelompok yang meyakini bahwa sihir mempunyai pengaruh dan benar- benar nyata. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah . Mereka berpedoman kepada surat al-Baqarah (2) : 102 dan riwayat asbâb al-nuzûl surat al-Falaq (113) : 4 yaitu,

hadis yang diriwayatkan oleh Zaid ibn al-Arqam tentang seorang Yahudi yang bernama Labîd ibn al-A’sham menyihir Nabi Muhammad saw., sehingga beliau sakit dan merasa berbuat sesuatu, padahal tidak.

2. Kelompok yang tidak meyakini keberadaan dari fakta sihir dan juga tidak percaya bahwa sihir itu berpengaruh. Pendapat ini diusung oleh mufassir-mufassir dari kelompok Muktazilah. Mereka berpedoman

kepada surat al-A’r â f (7) : 116 dan Thâh â (20) : 66-69. Mereka juga berpendapat bahwa jika sihir dapat membuat sesuatu yang luar biasa, seperti berjalan di atas air, terbang di udara atau merubah tanah menjadi emas, maka kehebatan mukjizat akan sirna, sebab keduanya sama-sama sebuah perbuatan yang dilakukan dengan luar biasa. Di samping itu, manusia tidak perlu susah-susah bekerja, cukup dengan sihir saja maka kebutuhan hidup terpenuhi.

15 Al-Shâbûni, Tafsîr Âyât al-Ahkâm, h. 54-55.

Imam al-Zamakhsyâri dalam tafsir al-Kasysy â f mewakili kelompok Muktazilah, menyatakan bahwa sihir sebenarnya sesuatu tipuan yang tidak pernah terjadi dengan sebenar-benarnya. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al-falq pada ayat yang mengandung kata al-naff â ts â t . Secara zahir, apa yang dilakukan orang-orang yang meniup tali temali dengan membaca mantera-mantera menurutnya tidak mempengaruhi apa-apa. Jika seseorang

ingin mempelajarinya, tentu ia akan mampu dan bisa melakukan seperti yang dilakukan oleh para tukang sihir tersebut. Imam al-Zamakhsyâri juga menukil sebuah sya'ir yang menyebutkan bahwa mempelajari sihir bukan untuk

diamalkan, tetapi untuk mencari kelemahannya. 16 Menurut penulis, ungkapan Imam al-Zamakhsyâri ini, menjadi salah satu sebab yang membuat Imam al- Râzi termotivasi untuk melakukan penafsiran maksimal terhadap ayat-ayat tentang sihir.

Adapun Syeikh Muhammad Abduh dalam tafsir al-Man â r mengingkari keberadaan sihir. Ini ditemukan ketika dia menafsirkan surat al- Falaq pada ayat yang berbunyi, wa min syarr al-naff â ts â t fi al-'uqad . Menurutnya, yang dimaksud dengan al-naff â ts â t adalah orang-orang yang mengadu domba antar sesame. Merekalah orang-orang yang memutuskan persaudaraan dan tali silaturrahim. Mereka juga membakar semangat dendam di antara kelompopk-

16 Imâm al-Zamakhsyâri, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut : Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1415 H/1995 M), Jilid 4, h. 816-817.

kelompok orang yang telah menjalin ikatan persaudaraan. Mereka ini dinamakan al-nam îmah. Sedangkan al-namîmah menurutnya merupakan salah

satu cabang dari ilmu sihir. 17 Di samping itu, perbuatan al-nam îmah membawa kepada kesesatan, karena orang yang berbuat demikian akan cenderung ingin menyesatkan orang lain. Pengkaburan kebenaran menjadi kesesatan menurut Syeikh Muhammad Abduh adalah perbuatan sihir.

Begitu juga Syeikh Rasyîd Ridha. Sebagai murid Muhammad Abduh, dan banyak memberi komentar dalam tafsir al-Man â r berpendapat bahwa ilmu sihir hanya sebuah kebohongan dan tipu daya belaka. Dia sependapat dengan gurunya Muhammad Abduh dan mengusung pendapat kelompok Muktazilah. Ini ditemukan dalam penafsirannya terhadap surat al-An' â m : 7. Menurutnya, ayat tersebut sangat jelas menerangkan bahwa sihir merupakan perbuatan tipuan dan kebohongan dan tidak dapat memberi manfa'at atau mudharat. Sedangkan terhadap hadis Imam Bukhari yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah tersihir, Rasyid Ridhâ mentakwilkannya. Bahwa Rasul tidak tersihir tetapi pandangan istri-istrinya yang tersihir sehingga melihat Nabi saw

seolah-olah melakukan sesuatu padahal beliau tidfak melakukannya. 18 Selain

itu, menurutnya perawi hadis tersebut dinilai cacat oleh mayoritas ulama.

Ibn Kastîr dalam Tafs î r al-Qur â n al-'A zh î m menyatakan bahwa ilmu sihir dapat dipelajari dan nyata keberadaannya. Bahkan seseorang yang mahir sihir dapat merubah sesuatu kepada sesuatu yang lain. Tetapi mempelajari

ilmu sihir menurutnya makruh karena hanya akan mendatangkan bahaya. 19 Al- Marâghi dalam penafsirannya terhadap surat al-baqarah : 102 menyatakan bahwa para penyihir sanggup melakukan sesuatu yang luar biasa karena

menggunakan perantara. Ada yang menggunakan jin dan ada juga yang menggunakan alat-alat yang dibacakan mantera. Semuanya ini membuktikan bahwa sihir ada dan bisa dipelajari. Hanya terdapat perbedaan ulama dalam

hukum mempelajarinya. 20

Imam Fakhr al-Dîn al-Râzi tampil dengan kitab tafsirnya Maf â tih al- Ghaib mewakili kalangan mufassir-mufassir ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah banyak memberikan kontribusi pemikiran dan perhatian terhadap masalah sihir. Oleh karenanya, Penulis memilih untuk meneliti kitab tafsirnya tersebut. Di samping itu, penobatan para ulama terhadap kitab tafsirnya bahwa kullu syai’ in f î hi illâ al-tafs î r (semua ilmu ada di dalam kitabnya, kecuali tafsir itu sendiri), juga memacu penulis untuk membuktikannya.

Penulis berasumsi, bahwa ada alasan dan bukti yang valid dari penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat tentang sihir, sehingga sihir

19 20 Ahmad Mushthofa al-Marâghi, Tafsîr al-Marâghi, (Beirut : Dâr al-Fikr, t.t) Jilid 1, h. 181.

dinyatakan bukan sesuatu kemampuan yang luar biasa dan tidak berada di luar hukum kebiasaan ( kh â riq li al-‘ adah ). Artinya, pendapat Imâm al-Râzi tentang kenyataan sihir berbeda dengan mazhab yang dianutnya, yaitu mazhab ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah . Bahkan, di sisi lain Imâm al-Râzi mewajibkan belajar ilmu sihir, sebagaimana wajib belajar terhadap ilmu-ilmu Agama yang lain. Upayanya ini sangat terlihat ketika dia menafsirkan firman Allah Swt., dalam

surat al-Baqarah (2) : 102. Dalam menjelaskan ayat tersebut, Imâm al-Râzi mengaitkannya dengan ayat sebelumnya, yaitu al-Baqarah (2) : 99-101. Kelompok ayat-ayat tersebut menceritakan tentang keburukan pekerjaan Yahudi. Salah satunya adalah mempelajari sihir dan mengajarkannya guna menghancurkan orang

lain. 21 Menurutnya, Sihir adalah sesuatu yang sebab kemunculannya masih tertutup atau tersembunyi, sehingga yang tergambar bukan hakikat sebenarnya, melainkan sebuah tipu daya dari kebohongan belaka. 22 Selanjutnya, ia menyatakan bahwa sihir hanyalah perbuatan yang memalingkan pandangan orang dari pandangan yang sebenarnya. Dia juga

melandasi penafsirannya ini kepada surat al-A’r â f (7) : 116. 23 Dalam hal ini,

21 Imâm al-Râzi, Tafsîr al-Fakhr al-Râzi al-Musytahar bi al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al- Ghaib , (Beirut : Dâr al-Fikr, 1993 M/1414 H), jilid 2, h. 220. 22

Ibid., h. 223. 23 Ibid.

terlihat Imâm al-Râzi seolah-olah hendak menyatakan bahwa selama seseorang belum mengetahui hakikat sesuatu, maka dia masih tersihir oleh sesuatu itu.

Kemudian Imâm al-Râzi menyatakan bahwa sihir bisa dan wajib dipelajari dan diperbolehkan untuk mengajarkannya, apalagi digunakan untuk menghancurkan sihir juga. Pernyataannya ini menimbulkan konflik dikalangan ulama. Untuk itu, di dalam tesis ini penulis mencoba untuk menganalisis

penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat yang berkenaan dengan sihir, sehingga dapat ditemukan sintesa dari hakikat sihir tersebut. Oleh karenanya, penulis membuat judul tesis ini adalah wawasan sihir dalam kitab Tafs î r al- Kab î r karya Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian-uraian yang lalu, terdapat berbagai permasalahan seputar sihir. Untuk itu, penulis telah merumuskan satu masalah yang akan penulis coba untuk membahasnya, yaitu bagaimana penafsiran Imâm al-Râzi tentang sihir dalam kitab tafsirnya.

C. Kajian Pustaka

Literatur-literatur sihir antara lain, kitab Syams al-Ma’ ârif al-Kubrâ dan Manba’ Ushûl al-Hikmah karya Imâm ‘Ali Al-Bûni. Didalam kitabnya itu, Imâm

‘Ali al-Bûni banyak sekali membahas cabang-cabang ilmu sihir. Mulai dari persoalan kaitan angka-angka Arab-Romawi terhadap jiwa manusia, wifik- wifik, jampi-jampi, mantera-mantera hingga tentang ilmu ramalan atau perbintangan. Selain itu, ada juga kitab al-Awfâq karya Imâm al-Ghazali yang mengkhususkan kajian tentang wifik-wifik. Kemudian kitab Tâj al-Mulk karya Teungku Kota Karang yang berbahasa Melayu, mengkhususkan kajian pada

alamat dan gejala-gejala alam serta perbintangan. Selain itu, ada juga kitab Mafâtih al-Ghaib karya Ahmad Mûsâ al- Zarqâwi yang terdiri dari 232 halaman, berisi tujuh risalah, banyak menceritakan masalah mantera-mantera yang digunakan untuk menyihir. Kemudian kitab Fath al-Mâlik al-Majîd atau sering disebut Mujarrabah al-Dairâbi karya Ahmad al-Dairâbi, terdiri dari 143 halaman. Banyak membahas masalah- masalah ayat-ayat hikmah, do’a-do’a hikmah yang dapat digunakan sebagai penghancur dan tangkal sihir. Ada juga buku Bahjah al-Sâmi’în Fî Taskhîr Muluk al-Jîn A jma’ în karya ahli-ahli sihir yang terkenal dengan panggilan Hud-Had. Kemudian buku al-Sab’ al-Kawâkib al-Sayyârah karya filosof Yunani Hilmus yang banyak menceritakan tentang ilmu perbintangan dan ramalan bintang.

Ada juga kitab al-Rahmah Fî al-Thib Wa al-Hikmah karya Jalâl al-Dîn al- Sayûthi yang banyak menguraikan tentang bacaan-bacaan yang dapat digunakan sebagai do’a pengobatan. Kemudian kitab al-Thibb al-Rakkah karya

Dr. Abdurrahmah Ismâ’il yang banyak mengulas tentang kedokteran dan kesehatan, dengan menggabungkan metode modern dengan metode masa lalu. Kemudian ada juga kitab yang banyak berisi ramalan-ramalan karya Abû Ma’syar al-Falaki yang bernama Thâli’ al-Maulûd Li al-Rijâl Wa al-Nisâ ‘ Alâ al- Burûj . Kitab ini banyak mengulas masalah-masalah perjodohan. Selanjutnya kitab al-Fihrasât karya Muhammad ibn Ishaq yang banyak menguraikan

masalah-masalah gejala-gejala alam dan kaitannya dengan ramalan. Dan masih banyak lagi kitab-kitab dan buku-buku yang membahas sihir.

Selanjutnya ada buku yang berjudul Daf’ al-Syar Min al-Hasd Wa al- Sihr karya Ibn Qayyim Al-Jauziyah, mengkhususkan pembahasan pada tafsir surat al-Falq (113). Dalam bukunya al-Thibb al-Nabawi , Ibn Qayyim juga banyak mengarahkan kajian kepada terapi atau pengobatan orang yang terkena sihir. Selanjutnya, buku yang berjudul al-Munqiz al-Qur â n Li Ibth â l al-Sihr wa ‘Il â j al- Mas al-Syay â th î n karya Syeikh Muhammnad al-Shâyim, membahas tentang ayat-ayat al-Quran dan surat-surat yang dapat dijadikan sebagai penangkal sihir ( ruqyah ). Selain itu, dia juga menyebutkan sebab–sebab orang terkena sihir, dan jenis–jenis penyakit yang disebabkan oleh sihir.

Untuk literatur yang telah membahas tentang Imâm al-Râzi, penulis menemukan buku yang berjudul Manhaj al-Fakhr al-R â zi fi al-Tafs î r Baina Man â hij Mu’ â sh í rihi karya Muhammad Ibrâhîm ‘Abd ar-Rahmân. Dalam Untuk literatur yang telah membahas tentang Imâm al-Râzi, penulis menemukan buku yang berjudul Manhaj al-Fakhr al-R â zi fi al-Tafs î r Baina Man â hij Mu’ â sh í rihi karya Muhammad Ibrâhîm ‘Abd ar-Rahmân. Dalam

membahas sekilas tentang kitab tafsirnya. Kemudian, penulis menemukan tesis S2 karya Surahman Amin yang berjudul Wawasan Jin Dalam Al-Quran : Studi Tentang Tafsir Maf â tih al-Ghaib Karya al-Râzi , terbitan Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah tahun 1425 H/ 2004 M, mengungkapkan pandangan al-Razi tentang asal–usul jin, tujuan penciptaan jin, perbedaan jin dengan manusia, seputar kehidupan jin dan solusi terapi al-Quran untuk menghindari Jin. Demikianlah beberapa literatur yang telah penulis temukan. Adapun pembahasan sihir atau tentang Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi dan kitab tafsirnya yang lain, banyak tersebar di berbagai kitab atau buku, tetapi dalam bentuk sub-sub judul pembahasan.

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk menjawab rumusan masalah sebagaimana yang telah ditetapkan pada sub bahasan sebelumnya.

2. Untuk memberikan solusi bagi masyarakat terhadap sikap muslim dalam menghadapi sihir.

3. Untuk mengkritisir faham yang selama ini berlaku di masyarakat, yaitu sihir terlarang untuk dipelajari dan digunakan.

Sedangkan kegunaan yang dinginkan dari penelitian tesis ini adalah :

1. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap aktifitas pengembangan pemikiran tokoh-tokoh tafsir, sekaligus sebagai perbandingan bagi para peneliti-peneliti sihir dan peneliti-peneliti kitab tafsir Maf â tih al-Ghaib .

2. Sebagai aktualisasi petunjuk-petunjuk Al-Quran dalam memberikan solusi qurani ketika menghadapi persoalan-persoalan sihir.

3. Sebagai upaya untuk menetralisir faham tentang ilmu sihir yang berkembang di masyarakat.

E. Sumber Dan Metode Penelitian

Telah menjadi suatu ketetapan, bahwa setiap penelitian yang akan dilakukan mesti menggunakan beberapa metode dan teknik penelitian. Untuk itu, penulis juga menggunakan beberapa teknik dan metode serta langkah– langkah yang diterapkan selama melaksanakan penelitian.

1. Obyek, Jenis dan Pendekatan Penelitian Obyek penelitian tesis ini adalah kitab Tafs î r al-Kab î r Wa Maf â tih al- Ghaib karya Imâm Fakhr Dîn al-Râzi. Oleh karenanya, jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, sebab cara pengumpulan data-datanya didapatkan dengan membaca penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat–ayat tentang sihir. Selain itu, disertakan juga pembacaan buku– buku atau

kitab–kitab yang terkait dengan pembahasan materi ayat dan literatur– literatur yang terkait dengan judul penelitian.

Sedangkan pendekatan yang akan dipakai adalah, pendekatan linguistik dan filosofis . Dengan maksud, memberikan batasan–batasan dari makna yang terkandung dalam penafsiran Imâm al-Râzi. Kemudian mengungkapkannya secara logis berdasarkan aspek–aspek yang menjadi perhatian Imâm al-Râzi selama menafsirkan ayat–ayat tentang sihir.

Selanjutnya, berdasarkan pokok dan rumusan masalah yang telah ditetapkan, maka untuk menemukan konsep yang utuh tentang sihir dalam penafsiran Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, digunakan teknik eksploratif. Sedangkan untuk mengungkapkan data–data dari berbagai sumber tentang sihir, digunakan teknik deskriptif.

2. Sumber data penelitian

Sesuai dengan judul tesis ini, maka sumber primer yang penulis gunakan adalah kitab Tafs î r al-Kab î r Wa Maf â tih al-Ghaib yang diterbitkan oleh Dâr al-Fikr Beirut pada tahun penerbitan 1993 M/ 1414 H. Kitab tafsir ini terdiri dari 17 jilid yang terbagi dalam 32 juz. Kemudian yang menjadi data primernya adalah teks-teks penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzi terhadap ayat–ayat tentang sihir, yang berjumlah 63 ayat.

Selanjutnya, untuk memudahkan penelusuran ayat-ayat Al-Quran tersebut, penulis menggunakan al-Mu’ jam al-Mufahras Li Alf â z al-Qurân karya Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqi. Sedangkan untuk memudahkan pelacakan hadis-hadis Nabi saw., tentang sihir, penulis menggunakan al-Mu’jam al- Mufahras Li Alf â z al-Hadîts al-Nabawi karya A.J Wensink. Sebagai alat bantunya, penulis menggunakan CD Maus û ’ah al-Qur â n al-Karîm dan CD Mausû’ ah al-Kutb al-Tis’ah.

Adapun sumber sekundernya adalah beberapa kitab tafsir yang dianggap pembanding penafsiran Imâm al-Râzi, seperti Tafsîr al-Qurân al- ‘Azhîm karya Ibn Katsîr dan buku-buku lain yang membahas sihir, seperti buku al-Sharâim al-Battâr karya Abdus Salam Bali, Khazînah al-Asrâr karya Muhammad Haqq an-Nâzili dan al-Azkâr karya Jalâl al-Dîn al-Sayûthi.

3. Teknik pengolahan dan analisis data

Dalam pengolahan dan analisis data, penulis menggunakan metode content

analysis untuk menganalisis ide-ide Imâm al-Râzi dalam penafsirannya. 24 Sedangkan untuk mencari wawasan ayat-ayat Al-Quran tentang sihir, penulis menggunakan metode tematik. Dalam proses analisis data, penulis telah menyusun beberapa langkah yang akan diterapkan, yaitu :

a. Mengelompokkan dan menganalisis beberapa ayat tentang sihir dengan

menampilkan penafsiran Imâm al-Râzi.

b. Mencari makna atau pengertian yang terkandung dalam penafsiran- penafsiran Imâm al-Râzi.

c. Menganalisis penafsiran Imâm al-Râzi dengan membandingkannya kepada penafsiran mufassir-mufassir lain.

d. Menyeleksi seluruh infromasi–informasi yang relevan dengan permasalahan dan menyusunnya sesuai dengan outline yang telah ditentukan.

4. Teknik pengambilan kesimpulan Dalam pengambilan kesimpulan, penulis menggunakan metode induktif dan deduktif secara bersamaan. Ini berguna untuk menemukan sebuah kesimpulan tentang penafsiran sihir sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Imâm al-Râzi. Selanjutnya, teori tersebut akan dikemas menjadi sebuah konsep

24 Jalaluddin Rahmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1989), h.122.

Qurani sehingga dapat ditawarkan bagi pengembangan ilmu, terutama ilmu tafsir Al-Quran, khususnya penafsiran mufassir.

F. Sistematika Pembahasan

Tesis ini terdiri dari lima bab. Untuk bab yang pertama dijelaskan latar belakang permasalahan, pokok dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Ini

dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang teknik dan cara penulis dalam mengkaji, mencari dan menemukan solusi dari permasalahan yang akan diteliti.

Adapun pada bab yang kedua, penulis membahas tentang profil Imâm al-Râzi dan kitab tafsirnya. Pada bab ini, penulis menguraikan riwayat hidup Imâm al-Râzi dan segala yang berhubungan dengan kehidupannya, keintelektualitasannya dan ditutup dengan uraian sikap Imâm al-Râzi terhadap mazhab-mazhab Islam. Selanjutnya penulis menguraikan profil kitab tafsir Imâm al-Râzi, sumber-sumber literatur penafsirannya, metode penafsirannya dan sikapnya terhadap ilmu-ilmu Al-Quran. Dengan uraian-uraian tersebut penulis menemukan gambaran umum sosok seorang Fakhr al-Dîn al-Râzi.

Sedangkan pada bab yang ketiga, penulis mencantumkan deskripsi umum wawasan Al-Quran tentang sihir, dengan diawali penjelasan terhadap hakekat sihir dari segi pengertiannya dan perbedaannya dengan mukjizat dan Sedangkan pada bab yang ketiga, penulis mencantumkan deskripsi umum wawasan Al-Quran tentang sihir, dengan diawali penjelasan terhadap hakekat sihir dari segi pengertiannya dan perbedaannya dengan mukjizat dan

Pada bab yang keempat, penulis menjabarkan pandangan-

pandangan dan penafsiran-penafsiran Imâm al-Râzi terhadap ayat-ayat sihir. Pada bab ini dimulai dengan deskripsi tentang asal mula sihir, jenis-jenis sihir, hukum sihir dan penyihir (dukun) dan diakhiri dengan penjelasan tentang upaya pengobatan sihir. Uraian-uraian tersebut dimaksudkan untuk menemukan konsep sihir yang diinginkan oleh Imâm al-Râzi dalam kitab tafsirnya. Dengan demikian, akan ditemukan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan.

Sedangkan pada bab yang terakhir, yaitu bab yang kelima, penulis akan menyimpulkan pembahasan dan mengupayakan rumusan masalah baru, sebagai saran untuk pengembangan tesis ini.

BAB II

FAKHR AL-DÎN AL-RÂZI DAN TAFSIR AL-KAB Î R

A. Profil Fakhr al-Dîn al-Râzi

Ada 3 orang ulama dari berbagai bidang keilmuan yang punya julukan sama, al-Râzi. Mereka semua berasal dari satu daerah, yaitu Ray. 1

Penulis akan menyebutkan sebagiannya, agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman ketika disebutkan nama al-Râzi.

1. Abu Bakr Muhammad ibn Zakariâ al-Râzi. Popular sebagai dokter ( al- thab î b ). Menurut Ibn Khalkan, dia adalah seorang dokter yang memiliki dedikasi tinggi dan punya banyak karya tulis yang sangat bermanfaat. Imâm al-Râzi (penulis tafsir) banyak menukil pendapat-

pendapatnya. 2

2. Abû al-Husein Ahmad ibn Fâris ibn Zakariâ al-Râzi. Populer sebagai pakar bahasa dan sastra. Menurut Ibn Khalkan, dia juga seorang

1 Alî Muhammad Hasan al-‘Imâry, al-Im â m Fakhr al-D î n al-R âzi Hayâtuhu wa Âtsâruhu , (Uni Emirat Arab : al-Majlis al-a’lâ al-Syu`ûn al-Islâmiyah, 1969 M), h. 35 a/ d 39. Selanjutnya

akan disebut al-‘Imâry. 2 Syams al-Dîn Ahmad ibn Muhammad ibn Abû Bakr ibn Khalkan, Wafay ât al-A’yân wa

Anbâ` al-Abnâ al-Zamân , (Beirut : Dâr al-Shâdir, 1978 M/ 1398 H), jilid 5, h. 157-158. Selanjutnya akan disebut Ibn Khalkan.

penulis yang handal, terbukti dari 2 bukunya yang menjadi referensi ulama 3 al-Mujmal dan Hulliyah al-Fuqah â .

3. Fakhr al-Dîn al-Râzi, pengarang kitab tafsir al-Kab î r . Dia dikenal juga sebagai pakar ilmu tauhid dan penganut mazhab Imâm Syâfi’i. 4 Demikianlah beberapa ulama yang dinisbahkan kepada kata al-Râzi dalam penabalan nama-nama mereka. Untuk penelitian tesis ini, penulis

mengarahkan kajian kepada Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi, si pengarang tafsir. Berikut ini akan diuraikan pribadi Imâm al-Râzi al-Mufassir.

1. Nama, Kelahiran, keluarga dan Kepribadian Imâm al-Râzi.

Nama asli Imâm al-Râzi adalah Muhammad ibn ‘Umar ibn al- Husein ibn al-Hasan ibn ‘Ali al-Râzi al-Qurasyi al-Bakri al-Thabrastâni. 5 Nasabnya diduga sampai ke sahabat Nabi saw., Abû Bakr al-Shiddîq, sehingga dia dinisbahkah ke Quraisy dari kelompok Tâim. Adapun julukan yang disematkan para ulama kepadanya adalah Abû ‘Abdullâh, Abû al- Ma’âli, Abû al-Fadhl, Ibn al-Khathîb al-Ray. Sedangkan gelar yang diberikan

kepadanya adalah al-Imâm, Fakhr al-Dîn, Syeikh al-Islâm dan al-Râzi. 6 Gelar

3 Ibid, jilid 1, h. 118. 4 Ibid, h. 248-249.

5 Ismâ’îl Abû al-Fidâ` Ibn Katsîr, al-Bid â yah wa al-Nih â yah , (Beirut : Dâr al-Kutb al- ‘Ilmiyyah, t.th), jilid 7, juz 13, h. 57. Selanjutnya akan disebut Ibn Katsîr.

6 Al-‘Imâry, al-Im â m Fakhr al-D î n al-R âzi Hayâtuhu W a  tsâruhu , h. 11-12.

yang sangat banyak ini menjadi saksi akan kehebatan ilmu yang dimilikinya. Bahkan banyak para ulama yang memuji keluasan ilmu dan kedalaman pemahamannya terhadap persoalan-persoalan agama.

Imâm al-Râzi dilahirkan di kota Ray pada tanggal 25 Ramadhân tahun 544 H/ 1150 M. Wafat di kota Harrât pada hari senin di hari raya Idul Fithri pada tahun 606 H, diusia 62 tahun 6 hari. 7 Imâm al-Râzi terlahir di

tengah-tengah keluarga Arab yang telah bermukim di Thabrastan, tepatnya di kota Ray. Ayahnya adalah seorang ulama terkemuka di sana, bernama Imâm Dhiyâ’ al-Dîn Abû al-Qâsim al-Râzi. Dia adalah seorang pakar ilmu fiqh dan ushûl. Dia juga murid Abû al-Qâsim al-Anshâri, yang juga adalah murid Imâm al-Haramain. Oleh karenanya, pengaruh mazhab kalam al- asy’ariyah pada diri Imâm al-Râzi sangat besar, karena ayahnya juga

bermazhab al-asy’ariyah , dan dia juga pernah mendidik Imâm al-Râzi. 8 Setelah menimba ilmu dari ayahnya, Imâm al-Râzi juga menimba ilmu dari beberapa ulama terkenal di daerahnya, seperti Majd al-Dîn al-Jîlî, Muhammad al-Baghawi dan Imâm al-Kamâl al-Samnâni. Selanjutnya, dia melakukan perjalanan ilmiyah ( rihlah ‘ilmiyyah ) ke beberapa kota di sekitar daerah Ray, seperti Bukhâra, Khawârizm dan daerah-daerah lainnya. Akan

7 Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn ‘Abd al-Wâhid al-Syaibâni Ibn al-Atsîr, al-K â mil F î al-T â r î kh , (Beirut : Dâr al-Kutb al-‘Ilmiyyah, 1988 M/1418 H), jilid 10, h. 350. Lihat juga

Ibn Katsîr, al-Bid â yah wa al-Nih â yah , juz 4, h. 57. 8 Ibn Khalkan, Wafay ât al-A’yân , jilid 4, h. 252 Ibn Katsîr, al-Bid â yah wa al-Nih â yah , juz 4, h. 57. 8 Ibn Khalkan, Wafay ât al-A’yân , jilid 4, h. 252

Râzi untuk kembali ke kota Ray. 9

Di kota Ray, Imâm al-Râzi menemui Sultan Syihâb al-Dîn al- Ghouri untuk membawanya menghadap Sultan ‘Alâ` al-Dîn Muhammad ibn Tuksyi al-Khawârizmi. Ternyata sultan menyambut baik keinginan Imâm al- Râzi untuk mengembangkan ide-ide ajarannya. Bahkan Sultan Syihâb al-Dîn al-Ghouri memberikan dana untuk mensubsidi usaha pengembangan ajaran- ajarannya. Dari sini tampak bahwa ada jalinan kuat antara penguasa daerah Ray dengan Imâm al-Râzi, bahkan anaknya ada yang dinikahkan dengan

salah seorang dari penguasa tersebut. 10

Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzi juga memiliki saudara kandung yang dijuluki Rukn al-Dîn. Berbeda dengan Imâm al-Râzi, Rukn al-Dîn memiliki sifat yang sangat tidak baik, dia merasa dirinya lebih pintar dan lebih alim dari Imâm al-Râzi. Bahkan dia sangat iri melihat perhatian dan pengaruh besar Imâm al-Râzi terhadap masyarakat di masanya. Untuk menghindari

9 Ibid., h. 251-252. 10 Ibid., h. 250.

perpecahan di antara saudara, sekaligus menunjukkan kecintaannya dalam bersaudara, Imâm al-Râzi meminta kepada sultan Khawârizmi untuk mempekerjakan saudaranya itu. Lantas sultan menerima permohonannya,

dan memberi pekerjaan sebagai pengawal benteng di istana. 11 Imâm al-Râzi juga memiliki 5 orang anak. Yang paling besar bernama Dhiyâ’ al-Dîn, yang dijuluki Abdullâh, anak yang kedua bernama

Muhammad dan yang ketiga bernama Syams al-Dîn. Sedangkan anak yang keempat dan yang kelima adalah perempuan. Salah satu dari anak perempuannya, ia nikahkan dengan salah satu petinggi kerajaan yang

bernama, Jalâl al-Dîn Tuksyi ibn Muhammad ibn Tuksyi. 12 Pada tahun 617 H tentara Tar Tar di bawah pimpinan Jenghis Khan menyerbu kota Ray dan membunuh penduduknya. Bahkan mereka masuk ke kota Harrât tempat keluarga Imâm al-Râzi menetap. Mesjid tempat Imâm al- Râzi mengajarkan ilmu-ilmunya dibakar oleh mereka. Demi keselamatan keluarganya, Jalâl al-Dîn Tuksy suami salah seorang anak perempuan Imâm al-Râzi, mengerahkan semua kemampuan untuk melindungi rumah dan keluarga mertuanya. Akan tetapi, ketika tentara Tar Tar sampai ke lokasi rumah Imam al-Razi, mereka menangkap seluruh keluarganya dan orang-

11 Al-‘Imâry, al-Im â m Fakhr al-D î n al-R âzi Hayâtuhu W a Âtsâruhu , h. 23-24. 12 Ibid., h. 25-26.

orang yang ikut berlindung di rumah tersebut. Keluarga Imâm al-Râzi diasingkan ke Samarkand, sedangkan yang lain dibunuh. 13 Ayah Imâm al-Râzi mendidiknya dengan sangat baik dalam lingkungan yang sangat religius, sehingga kepribadian al-Râzi terbentuk menjadi seorang manusia yang wara’ dan shaleh. Bahkan Imâm al-Râzi melakoni hidup secara sufistik. Ini dilihat dari beberapa wirid, shalat, puasa

dan jenis-jenis ibadah lain yang telah menjadi rutinitasnya. Imâm al-Râzi juga sangat mencintai para ulama. Dia sangat mengharap keberkahan dari ulama- ulama yang pernah ditimba ilmunya. Selama hidupnya, Imâm al-Râzi sangat sering menangis, karena ingat akan mati dan juga karena nikmat Allah Swt., kepadanya. Dia merasa ilmu yang dia miliki merupakan cobaan besar bagi

dirinya, yang akan dimintai pertanggung jawabannya. 14

Selain itu, Imâm al-Râzi memiliki akhlak yang sangat mulia. Dia mencontohkan praktek budi pekerti tersebut ke anak-anaknya, hingga ketika anaknya Muhammad wafat, dia memujinya dengan mengatakan anak tersebut adalah anak yang shaleh. Bahkan dia memohon kepada siapa saja yang teringat kepada anaknya tersebut, untuk mendoakannya dengan

13 Ibn al-Atsîr, al-K â mil F î al-T â r î kh , h. 409. Lihat juga al-‘Imâry, al-Im â m Fakhr al-D î n al- R âzi Hayâtuhu wa Âtsâruhu , h. 27.

14 Ibn Katsîr, al-Bid â yah Wa al-Nih â yah , h. 57-58.

membaca surat al-Fâtihah . 15 Demikian beberapa kepribadian Imâm al-Râzi dalam keluarga dan masyarakatnya.

2. Intelektualitas Imâm al-Râzi.

Awal karir intelektul Imâm al-Râzi dimulai dari pendidikan yang diberikan oleh ayahnya sendiri, yaitu Imâm Dhiyâ’ ad-Dîn. Dari ayahnya,

Imâm al-Râzi belajar ilmu fiqh dan ilmu ushûl. Dia memperdalam fiqh atas mazhab Imâm al-Syâfi’i, bahkan dia sangat membela mazhab tersebut walaupun sangat ironis kalau disebut ta’ashshub . Bahkan Imâm al-Râzi

memiliki karya dalam bidang fiqh, yaitu kitab al-Thar î qah al-‘Al â iyah dan Syarh al-Waj î z . Dalam bidang ushul yaitu kitab Ibth â l al-Qiy â s . Kemudian Imâm al-Râzi juga hapal kitab al-Mu’tamad karya Imâm Hasan al-Bashri dan

kitab al-Mustashf â karya Imâm al-Ghazâli. 16

Dalam bidang ilmu kalam, Imâm al-Râzi belajar ke Imâm Majd al- Dîn al-Jîlî. Bahkan Imâm al-Râzi juga hapal kitab al-Sy â mil karya Imâm al- Haramain dalam bidang ilmu kalam. Selanjutnya, dia juga menyusun karya dalam bidang ilmu kalam, antara lain yaitu kitab Ta`sîs al-Taqdîs, Asrâr al- Tanzîl Wa Anwâr al-Ta`wîl, I`tiqâdât Firaq al-Muslimîn Wa al-Musyrikîn, Risâlah

15 Al-‘Imâry, al-Im â m Fakhr al-D î n al-R âzi Hayâtuhu W a Âtsâruhu , h. 25. 16 Ibid., h. 19.

al-Jauhar al-Fard dan al-Mathâlib al-‘Âliyyah . Di dalam karya-karyanya ini,

Imâm al-Râzi sangat membela faham asy’ariyah . 17

Dalam bidang filsafat dan ilmu mantiq, Imâm al-Râzi sangat membela filsafat, walaupun dia bermazhab asy’ariyah . Ini terlihat dari beberapa karyanya yang membias dengan faham-faham filsafat. Karya- karyanya di bidang filsafat antara lain adalah Syarh al-Isyârat, Lubâb al-Isyârat

dan al-Mulakhkhas Fî al-Falsafah . Dalam karya-karyanya tersebut, Imâm al- Râzi sangat mendukung pemikiran filosof semisal Ibn Sînâ dan al-Thûsî. 18 Dalam bidang kedokteran, nama Imâm al-Râzi tercatat sebagai salah satu tokoh yang paling berpengaruh. Karya-karyanya dibidang kedokteran, seperti Masâil al-Thib, Kitâb Fi al-Handasah dan Mashâdirât Iqlîdis , dibaca dan menjadi referensi para tokoh-tokoh kedokteran setelahnya. Bahkan menurut al-Qifthi, Imâm al-Râzi sempat mendalami ilmu kimia, walaupun tidak sehebat pengetahuannya dalam kedokteran. Pengaruh keilmuannya ini juga mempengaruhi penafsirannya, seperti analisisnya terhadap surat al-Muzammil (73) tentang masalah pertumbuhan uban di

rambut. 19

17 Al-‘Imâry, al-Im â m Fakhr al-D î n al-R âzi Hayâtuhu W a Âtsâruhu , h. 45-46. 18 Ibid., h. 48-49. 19 Ibid., h. 54-55.

Dalam bidang ilmu hadis, keilmuan Imâm al-Râzi tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dalam Mîzân al-I’tidâl , al-Zahabi memasukkan Imâm al-Râzi dalam kelompok al-dhu’afâ . Akan tetapi, yang melegakan adalah hadis-hadis fadhâil al-suwar yang ia cantumkan dalam kitab tafsirnya, menunjukkan bahwa dia juga punya perhatian terhadap hadis- hadis Nabi saw. Begitu juga dalam bidang sastra Arab, Imâm al-Râzi tidak

terlalu populer, walaupun dalam penafsirannya kelihatan perhatian yang sangat besar terhadap bidang kebahasaan. Hampir seluruh persoalan kebahasaan dalam penafsirannya dinukil dari tafsir al-Kasysyâf karya Imâm

al-Zamakhsyari. 20 Tetapi, ini juga tidak menguatkan bukti bahwa Imâm al- Râzi sangat minim pengetahuan dalam bidang kebahasaan. Dari berbagai uraian yang lalu, terlihat bahwa intelektualitas Imâm al-Râzi hampir mencapai tingkat kompleksitas. Wajar saja jika para ulama setelahnya banyak menukil pendapat-pendapatnya untuk berbagai bidang. Untuk itu, karya-karya Imâm al-Râzi hampir mencapai ratusan. Ada yang telah diterbitkan dan ada juga yang masih dalam bentuk manuskrip,

tersimpan di berbagai perpustakaan. Karya-karya tersebut antara lain : 21 kitab Tafsîr Mafâtih al-Ghaib , Tafsîr Sûrah al-Fâtihah, Tafsîr Sûrah al-Baqarah ‘Alâ al-Wajh al-‘Aql, Kitâb Syarh al-Wajîz, Kitâb al-Tharîqah al-‘Alâiyah, Kitâb Lawâmi’

20 Ibid., h. 56 s/d 58. 21 Ibid., h. 209 s/d 213.

al-Bayânât, Kitâb al-mahshûl, Kitâb Fî Ibthâl al-Qiyâs, Syarh Kitâb al-Mufashshal, Syarh Saqth al-Zindiq, Syarh al-nahj al-Balâghah, Kitâb Fadhâil al-Shahâbah, Kitâb Manâqib al-Imâm al-Syâfi’i, Kitâb Nihâyah al-‘Uqûl Fî Dirâyah al-Ushûl, Kitâb al- Muhshal, Kitâb al-Mathâlib al-‘Âliyah, Kitâb al-Arba’în Fî Ushûl al-Dîn, Kitâb al- Ma’âlim, Kitâb Asâs al-Taqdîs, Kitâb al-Qadhâ Wa al-Qadr, Risâlah al-Hudûts, Kitâb Ta’jîz al-Falâsifah, Kitâb al-Barâhin al-Bahâ`iyah, Kitâb al-Lathâif al-

Ghiyatsiyah, Kitâb Syifâ al-‘Ali Min al-khilâf, Kitâb al-Khalq Wa al-ba’ts, Kitâb al- Khamsîn Fî Ushûl al-Dîn, Kitâb ‘Umdah al-Nazhâr, Kitâb al-Akhlâq, Kitâb al-

Risâlah al-Shahâbiyah, Kitâb al-Risâlah al-Majdiyah, Kitâb ‘Ishmah al-Anbiyâ, Kitâb al-Mulakhkhash Fî al-Hikmah, Kitâb al-abâhits al-asyriqiyah, Kitâb al-Inârât Fî Syarh al-Isyârât, Kitâb Lubâb al-Isyârât, Syarh Kitâb ‘Uyûn al-Hikmah, al-Risâlah al-Kamâliyah Fî Haqâi al-Kamâliyah, Risâlah al-Jauhar al-Fard, Kitâb al-Ri’âyah, Kitâb Fî al-Raml, Kitâb Mashâdirât Iqlîdis, Kitâb Fî Ikhtibârât al-Samâwiyah, al- Ikhtibârât al-‘Alâiyah, Kitâb Fî al-Handasah, Kitâb Nafsah al-Mashdûr, Kitâb Fî zam al-Dunyâ, Kitâb ihkâm al-Ahkâm, Kitâb al-Mausûm Fî al-sirr al-Maktûm, Kitâb al- Riyâdh al-Mûniqah, Risâlah Fî al-Nafs, Risâlah Fî al-Nubuwwât, Kitâb al-Milal Wa al-Nihal, Kitâb Dankalusya, Kitâb Mabâhis al-Wujûd, Kitâb Nihâyah ijâz Fî Dirâyah al-I’jâz, Kitâb al-Asyribah, Kitâb al-Thibb al-Kabîr dan lain-lain.

3. Sikap Imâm al-Râzi Terhadap Mazhab-Mazhab Islam

Masa kehidupan Imâm al-Râzi bertepatan dengan kepemimpinan Dinasti ‘Abbasiyyah di pertengahan abad ke enam hijriah. Pada masa itu, kemunculan berbagai mazhab dan aliran dalam memahami ajaran agama menyebabkan terjadi banyak pertentangan, bahkan menjurus kepada saling mengkafirkan. Umat muslimin saat itu terperosok ke fanatisme mazhab dan aliran. Masing-masing mengunggulkan mazhab dan alirannya, sesuai dengan