Excludes commitments that were both scheduled for completion and actually completed by September 30, 1998.

2 Excludes commitments that were both scheduled for completion and actually completed by September 30, 1998.

Akibat dari LOI tersebut Indonesia tidak dapat secara mandiri menentukan arah dan kebijakan ekonomi (hukum ekonomi). LOI menjadi buku panduan wajib yang harus ditaati. Maka tidak mengherankan jikalau banyak Undang-undang dalam bidang ekonomi yang bertentangan dengan konstitusi, sehingga cacat konstitusional.

Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

D. Sistem Hukum

Ekonomi

Sistem hukum Indonesia mengalami perubahan mendasar setelah MPR RI periode 1999 – 2004 melakukan addendum (perubahan melalui penambahan) terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. Hasil dari addendum tersebut secara ringkas, antara lain: (1) penegasan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (Pasal 1 Ayat (3)), (2) Adanya ketentuan impeachment terhadap

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

Presiden dan Wakil Presiden RI (Pasal 7A – 7B), (3) menghapus keberadaan Dewan Pertimbangan Agung, dan dimunculkannya Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16), (4) membentuk Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22C – 22D), (5) penyelenggaraan PEMILU dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang independen (Pasal 22E Ayat (5)), (6) mengatur tentang Bank Sentral (Pasal 23D), (7) kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MahkaMah Agung dan Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 Ayat (1), (8) pembentukan Komisi Yudisial (Pasal 24B), (9) mempertegas pengaturan tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28 A – 28J), (10) penegasan prinsip demokrasi ekonomi dalam pengelolaan perekonomian nasional, yaitu prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Pasal 33 Ayat (4)), dan (11) penegasan tanggung jawab sosial negara terhadap penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak (Pasal 34).

Salah satu buah manis dari reformasi politik Indonesia adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi, setelah terjadi empat kali amandemen terhadap UUD 1945. Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Selanjutnya Pasal 24C ayat (1): menegaskan kewenangan adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK diatur oleh Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Fungsi pokok dari MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution) dan lembaga penafsir final (the final interpreter of constitution). Implementasi MK sebagai lembaga pengawal konstitusi adalah bahwa MK mengawal dan menegakkan konstitusi agar dilaksanakan sebaik-baiknya sekaligus mencegah

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan bernegara. Implementasi MK sebagai lembaga penafsir final konstitusi berarti bahwa putusan MK berisi penafsiran terhadap konstitusi menjadi acuan final dan tertinggi yang mengatasi segala perbedaan penafsiran mengenai konstitusi yang terjadi

sebelum adanya putusan MK tentang hal tersebut. 23 Sejak itu banyak Undang-undang yang dibuat dalam kurun

waktu 2003 - 2013 yang diajukan uji materil ke MK. Menurut data MK, secara keseluruhan sejak tahun 2003 – Juni 2013 ada 795 Undang- undang yang diajukan ke MK, 125 dari permohonan dikabulkan, 166 permohonan ditolak, 138 permohonan tidak dapat diterima dan 49 permohonan dinyatakan ditarik kembali. Ada 311 perkara yang dalam

proses untuk disidangkan. 24

Hal demikian membuktikan betapa buruknya proses legislasi yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI. Bahkan Mahfud M.D (Ketua MK) mengatakan Pemerintah dan DPR RI tidak paham konstitusi dan merupakan hasil pesanan (ada transaksi jual beli pasal)

sehingga kualitas Undang-undang menjadi buruk. 25 Penyebab banyak Undang-undang bidang perekonomian yang

diajukan permohonan uji materil ke MK, adalah:  Ketidakpahaman Pemerintah dan DPR RI terhadap norma-norma

UUD 1945 sehingga dalam perumusan pasal-pasal Undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Pernyataan tersebut terasa absurd, karena sesungguhnya tidak mungkin Pemerintah dan DPR RI yang diisi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman yang juga terlibat aktif dalam proses addendum UUD 1945 tidak memahami norma-norma UUD 1945. Mungkin

23 Kata Pengantar Ketua MK RI, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, MK RI, Jakarta, 2010, Hlm. V – VI.

Pengujian Undang-undang, www.mahkamahkonstitusi.go.id, Diakses 14/06/2013. 25 Redaksi, MK Kabulkan 97 Permohonan Uji Materil, Potret Pembuatan Undang- undang yang Buruk?, www.republika.co.id, melalui www.mahkamahkonstitusi.go.id, Diakses 02/05/2012.

24 Mahkamah Konstitusi,

Rekapitulasi

Perkara

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

kata-kata yang lebih tepat adalah adanya kesengajaan untuk berpaling dari norma-norma UUD 1945, karena faktor politik

(dalam dan luar negeri), kepentingan kelompok/golongan tertentu, dan semakin menipisnya nasionalisme.

 Ratifikasi Konvensi WTO (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994) secara faktual dijadikan acuan utama pembentuk Undang-undang selain konstitusi, sehingga Undang-undang yang dihasilkan lebih merefleksikan ketentuan WTO ketimbang UUD 1945, baik dari aspek filosofi maupun yuridisnya. Liberalisasi dan kapitalisasi menjadi hal biasa dalam Undang-undang, sementara sosialisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila semakin ditinggalkan.

 Adanya keterlibatan pihak asing dalam penyusunan Rancangan Undang-undang sehingga secara sistematis dan terencana berbagai kepentingan asing masuk ke dalam Undang-undang yang bersangkutan. Maka jangan aneh jika Undang-undang lebih pro asing ketimbang pro nasional. Menurut Eva Kusuma Sundari (Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), berdasarkan informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN), setidaknya ada 76 Undang-undang yang RUU-nya dibuat oleh pihak asing. Tujuan pihak asing adalah meliberalisasikan berbagai sektor vital di Indonesia,

migas, perbankan/ pembiayaan, kelistrikan, pertanian, penanaman modal (investasi) dan kehutanan. 26 Pihak asing tersebut antara lain IMF, Bank Dunia dan USAID, serta negara-negara lain yang berkepentingan terhadap Indonesia.

meliputi

pertambangan,

Beberapa Undang-undang bidang ekonomi yang telah diajukan permohonan uji materil dan telah diputus oleh MK, antara lain:

 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

MK dalam Putusan Nomor 21-22/PUU-V/2007, menyatakan: Pertama, Pasal 22 Ayat (1) sepanjang menyangkut kata- kata “di

muka sekaligus” dan “berupa:

26 www.tempo.co.id/readnews, Diakses (07/06/2012).

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun;

b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan

c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”.

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 22 Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 dimaksud menjadi berbunyi:

(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.

(2) Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan, antara lain:

a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan;

c.penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

(3) Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

(4) Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pertanahan.

Alasan hukum yang menjadi dasar putusan MK tersebut, antara lain:

1. Bahwa ketika pemberian hak-hak atas tanah demikian (HGU, HGB, dan Hak Pakai) diberikan dengan perpanjangan di muka sekaligus, apakah tidak justru meniadakan atau mengurangi kewenangan negara untuk melakukan tindakan pengurusan

(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad). Terhadap pertanyaan ini Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian dapat mengurangi, sekalipun tidak meniadakan, prinsip penguasaan oleh negara, dalam hal ini berkenaan dengan kewenangan Negara untuk melakukan tindakan pengawasan

(bestuursdaad), pengaturan

(toezichthoudensdaad) dan pengelolaan

meskipun terdapat ketentuan yang memungkinkan negara, in casu Pemerintah, untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah dimaksud dengan alasan-alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal, namun oleh karena

(beheersdaad). Alasannya,

karena

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

hak-hak atas tanah dimaksud dinyatakan dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2), kewenangan kontrol oleh negara untuk melakukan

( toezichthoudensdaad ) maupun pengelolaan (beheersdaad) menjadi berkurang atau bahkan terhalang sebab: (1) kewenangan negara yang terdapat dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal tersebut bersifat sangat eksepsional dan terbatas. Dikatakan eksepsional dan terbatas karena negara tidak boleh menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah tersebut di luar alasan-alasan yang secara terbatas (limitatif) telah ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal. Dengan kata lain, negara tidak lagi bebas menjalankan kehendaknya untuk menghentikan atau tidak memperpanjang hak-hak atas tanah sebagaimana jika perpanjangan hak-hak atas tanah itu tidak diberikan secara di muka sekaligus; (2) karena pemberian dan perpanjangan hak- hak atas tanah tersebut diberikan sekaligus di muka, maka ketika negara menghentikan atau membatalkan perpanjangan hak-hak atas tanah dimaksud, meskipun telah didasarkan atas alasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal tetap berhak mempersoalkan keabsahan tindakan negara tersebut. Keadaan demikian sudah tentu tidak akan terjadi jika perpanjangan hak- hak atas tanah itu tidak diberikan secara sekaligus di muka. Karena, apakah pemberian hak-hak atas tanah itu akan diperpanjang atau tidak jika jangka waktunya telah habis, hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan negara. Dengan kata lain, perpanjangan hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka memperlemah posisi negara dalam menguasai hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945; (3) karena pemberian dan perpanjangan hak-hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka tersebut juga menghambat negara untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk memperoleh hak-hak atas tanah tersebut secara adil. Misalnya, tatkala negara hendak mengalihkan hak-hak atas tanah tersebut kepada pihak lain setelah jangka waktu hak-hak atas tanah itu habis, hal itu menjadi tidak mungkin dilakukan karena antara

tindakan

pengawasan

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

pemberian hak dan perpanjangan diberikan sekaligus di muka. Sementara itu, dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal, alasan pemerataan kesempatan tersebut di atas tidak termasuk salah satu alasan yang dapat digunakan oleh negara untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah. Dengan demikian, karena adanya ketentuan bahwa HGU, HGB, dan Hak Pakai dapat diberikan dan diperpanjang sekaligus di muka tersebut sebagian dari kewenangan negara untuk melakukan tindakan pengelolaan (beheersdaad), dalam hal ini kewenangan untuk melakukan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak atas tanah secara lebih adil dan lebih merata, menjadi terhalang. Pada saat yang sama, keadaan demikian menyebabkan negara terhalang pula untuk melakukan kewajibannya melaksanakan perintah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945,

yaitu pemerataan kesempatan untuk menjaga kepentingan yang dilindungi konstitusi sebagaimana telah diuraikan di atas.

2. Bahwa terkait dengan pertanyaan apakah pemberian hak-hak atas tanah yang dapat diperpanjang di muka sekaligus tersebut bertentangan dengan demokrasi ekonomi, sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Mahkamah telah menyatakan tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, maka masalahnya sekarang, apakah pemberian hak-hak atas tanah demikian yang dapat diperpanjang di muka sekaligus bertentangan dengan demokrasi ekonomi, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Terhadap permasalahan tersebut Mahkamah berpendapat, bahwa meskipun terhadap HGU, HGB, dan Hak Pakai yang dapat diperpanjang di muka sekaligus itu negara dikatakan dapat menghentikan atau membatalkan sewaktu-waktu, namun alasan penghentian atau pembatalan tersebut telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal. Dengan demikian, di satu pihak, kewenangan negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut tidak lagi dapat dilakukan atas dasar kehendak bebas Negara karena terikat pada alasan limitatif yang

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

ditentukan dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal, di lain

penanaman modal dapat mempersoalkan

pihak,

perusahaan

keabsahan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah itu. Dari perspektif demikian, pemberian perpanjangan hak-hak atas tanah sekaligus di muka tersebut telah mengurangi dan bahkan melemahkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Sebab, kewenangan untuk menghentikan atau tidak memperpanjang perpanjangan hak-hak atas tanah yang jika tidak terdapat kata-

secara

hukum

kata “dapat diperpanjang sekaligus di muka” sepenuhnya merupakan keputusan yang lahir dari kehendak bebas negara. Namun, setelah hak-hak atas tanah tersebut dinyatakan “dapat

diperpanjang sekaligus di muka”, maka wewenang Negara untuk menghentikan atau tidak memperpanjang hak-hak atas tanah dimaksud tidak lagi merupakan keputusan yang sepenuhnya lahir dari kehendak bebas negara. Demikian pula, karena adanya limitasi dalam alasan penghentian atau pembatalan hak- hak atas tanah yang “dapat diperpanjang di muka sekaligus” tersebut, kewenangan negara untuk menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah dimaksud menjadi terbuka untuk dipersoalkan secara hukum oleh perusahaan penanaman modal, hal mana tidak akan terjadi jika tidak ada kata-kata “dapat diperpanjang di muka sekaligus”. Berkurang atau melemahnya kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagai akibat dari adanya kata- kata “dapat diperpanjang di muka sekaligus” makin jelas jika dihubungkan dengan ketentuan tentang penyelesaian sengketa sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Penanaman Modal yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah mufakat.

(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui arbitrase atau

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.

(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.

Terjadinya pengurangan atau pelemahan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi yang diakibatkan oleh adanya ketentuan bahwa hak-hak atas tanah (HGU, HGB, dan Hak Pakai) “dapat diperpanjang di muka sekaligus” itu dalam kaitannya dengan ketentuan dalam Pasal 32 UU Penanaman Modal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

menghentikan atau membatalkan hak-hak atas tanah (HGU, HGB, dan Hak Pakai)

a. Apabila negara, c.q.

Pemerintah,

yang “dapat diperpanjang di muka sekaligus” itu di mana kemudian tindakan itu dipersoalkan secara hukum oleh pihak

penanam modal maka berarti telah terjadi sengketa penanaman modal antara Pemerintah dan penanam modal. Dengan demikian maka berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Penanaman Modal di atas;

b. Pemerintah, menurut Pasal 1 angka 12 UU Penanaman Modal adalah

“Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan

Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Artinya, tatkala Pemerintah melakukan tindakan penghentian atau pembatalan hak atas tanah tersebut ia adalah bertindak atas nama negara dalam

pemerintahan

negara

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

kualifikasi

de jure empirii (pemegang kedaulatan), sehingga apabila keabsahan tindakannya diragukan maka pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negaralah yang mempunyai kompetensi absolut untuk mengadilinya. Karena hubungan antara negara, c.q. Pemerintah, dan penanam modal dalam konteks pemberian dan perpanjangan HGU, HGB, dan Hak Pakai tersebut adalah hubungan antara pemberi izin dan penerima izin, bukan hubungan kontraktual;

c. Namun ternyata, tindakan negara yang sesungguhnya dilakukan dalam kualifikasi sebagai

de jure empirii tersebut, terutama oleh Pasal 32 Ayat (4) UU Penanaman Modal, akan

“diadili” oleh arbitrase internasional. Arbitrase adalah sarana penyelesaian sengketa antar pihak-pihak yang sederajat.

Berarti, tindakan negara tersebut oleh Pasal 32 Ayat (4) UU Penanaman Modal secara implisit dikualifikasikan sebagai tindakan subjek hukum perdata biasa (de jure gestiones) yang kedudukannya sederajat dengan penanam modal. Seharusnya klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase dicantumkan dalam rumusan kontrak, kasus demi kasus, bukan dalam perumusan Undang-undang yang berlaku umum dan bersifat permanen yang justru mempersulit Pemerintah sendiri. Lagi pula, rumusan dalam Pasal 32 Ayat (4) UU Penanaman Modal memperlihatkan indikasi ketidakpercayaan terhadap institusi peradilan di Indonesia yang dilegalisasikan secara permanen oleh pembentuk Undang-undang. Hal demikian juga berarti mengurangi makna kedaulatan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945.

Maka telah nyata bahwa pemberian hak-hak atas tanah yang “dapat diperpanjang di muka sekaligus” dalam rumusan Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2) maupun kata- kata “sekaligus di muka” dalam Pasal 22 Ayat (4) UU Penanaman Modal telah mengurangi, memperlemah,

keadaan tertentu menghilangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Dengan demikian, dalam menilai konstitusionalitas Pasal 22 UU Penanaman Modal di atas, baik dilihat dari sudut pandang prinsip penguasaan

atau

bahkan

dalam

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

oleh negara, yang di dalamnya termasuk perlindungan terhadap kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi, maupun dari sudut pandang kedaulatan rakyat di bidang ekonomi, sebagaimana terkandung dalam pengertian Pasal 33 UUD 1945, telah ternyata bahwa pemberian hak-hak atas tanah kepada perusahaan penanaman modal baik HGU, HGB, maupun Hak Pakai yang dapat diperpanjang di muka sekaligus, sebagaimana diatur dalam Pasal

22 UU Penanaman Modal, bertentangan dengan prinsip penguasaan oleh negara maupun kedaulatan rakyat di bidang ekonomi sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945. Dengan dinyatakannya Pasal 22 UU Penanaman Modal bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, sementara Pasal 22 UU Penanaman Modal tersebut merujuk pada dan berkait dengan Pasal 21 huruf a UU Penanaman Modal, maka sesuai dengan pendirian Mahkamah terhadap Pasal 39 UU Penanaman Modal sebagaimana telah diuraikan di atas, ketentuan yang berlaku terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya sepanjang berkaitan langsung dengan penanaman modal. Khusus mengenai pemberian, perpanjangan, dan pembaruan hak-hak atas tanah (HGU, HGB, dan Hak Pakai) berlaku ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah.

 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas. Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003 menyatakan: (1) Bahwa Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi

wewenang ”. Pasal 12 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 menyatakan, “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

dimaksud dalam ayat (2)” . Mahkamah menilai ketentuan dimaksud tidak sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang

a quo yang menyatakan bahwa penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan. Secara yuridis, wewenang penguasaan oleh negara hanya ada pada Pemerintah, yang tidak dapat diberikan kepada badan usaha sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-undang a quo . Sementara, Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap hanya melaksanakan kegiatan tersebut berdasarkan kontrak kerja sama dengan hak ekonomi terbatas, yaitu pembagian atas sebagian manfaat minyak dan gas bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam lapangan hukum administrasi negara, pengertian pemberian wewenang ( delegation of authority ) adalah pelimpahan kekuasaan dari pemberi wewenang, yaitu negara, sehingga

de ngan pencantuman kata “diberi wewenang kepada Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap” maka penguasaan negara menjadi hilang. Oleh karena itu, kata- kata “diberi wewenang” tidak sejalan dengan makna Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, di mana wilayah kerja sektor hulu adalah mencakup bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang salah satunya adalah minyak dan gas bumi, yang merupakan hak negara untuk menguasai melalui pelaksanaan fungsi mengatur ( regelen ), mengurus ( bestuuren ), mengelola ( beheeren ), dan mengawasi ( toezichthouden ). Oleh karena itu, adanya kata- kata “diberi wewenang” dalam Pasal 12 ayat (3) dimaksud adalah bertentangan dengan UUD 1945.

(2) Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata-kata “paling banyak ”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 22

Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang a quo yang berbunyi “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk mem enuhi kebutuhan dalam negeri” sebagaimana bertentangan dengan UUD 1945. Dari bunyi pasal tersebut bahwa

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tidak melaksanakan tanggung jawabnya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) yaitu prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Mahkamah menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan ketentuan Pasal

a quo yang mencantumkan kata-kata “paling banyak” maka hanya ada pagu atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat

22 ayat (1) Undang-undang

saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah- rendahnya (misalnya hingga 0,1%). Oleh karena itu, Mahkamah

menganggap kata- kata “ paling banyak ” dalam anak kalimat “.... wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen)

...” harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan

penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-undang

a quo. Bahwa Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang berbunyi “(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat

dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu” Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

Selanjutnya dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 keberadaan BP migas sebagai Badan Pelaksana yang diamanatkan oleh Undang-undang

karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan dinilai membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Pola unbundling yang memisahkan kegiatan hulu dan hilir disinyalir sebagai upaya pihak asing untuk memecah belah industri migas nasional untuk mempermudah penguasaan oleh asing. MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf A, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Frasa dengan Badan Pelaksana dalam Pasal 11 ayat (1), frasa melalui Badan Pelaksana dalam Pasal 20 ayat (3), frasa berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (1), frasa Badan Pelaksana dan dalam Pasal 49 dan seluruh hal yang berkait dengan Badan Pelaksana dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

dinyatakan

dibubarkan

 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan.

MK dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan: (1) Bahwa UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4226) bertentangan dengan Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(2) Bahwa UU No. 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4226) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

Alasan hukum MK memutus demikian, antara lain: Pertama, bahwa untuk menyelamatkan dan melindungi serta

mengembangkan lebih lanjut perusahaan negara (BUMN) sebagai aset negara dan bangsa agar lebih sehat yang selama ini telah berjasa memberikan pelayanan kelistrikan kepada masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, baik yang beraspek komersial maupun nonkomersial sebagai wujud penguasaan negara, sehingga ketentuan Pasal 16 UU No. 20 Tahun 2002 yang memerintahkan

sistem

pemisahan/pemecahan usaha

ketenagalistrikan ( unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk BUMN yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non- komersial. Dengan demikian akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Keterangan ahli yang diajukan pemohon telah menjelaskan pengalaman empiris yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko, sistem unbundling dalam restrukturisasi usaha listrik justru tidak menguntungkan dan tidak selalu efisien dan malah menjadi beban berat bagi negara, sehingga oleh karenanya

bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.

Mahkamah

berpendapat

Kedua, Mahkamah berpendapat pembuat Undang-undang juga menilai bahwa tenaga listrik hingga saat ini masih merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga oleh karenanya menurut pasal 33 ayat (2) UUD 1945 harus tetap dikuasai oleh negara, dalam arti harus dikelola oleh negara melalui perusahaan negara yang didanai oleh pemerintah (negara) atau dengan kemitraan bersama swasta nasional atau asing yang menyertakan dana pinjaman dari dalam dan luar negeri atau dengan melibatkan modal swasta nasional/asing dengan sistem kemitraan yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa hanya BUMN yang boleh mengelola usaha tenaga listrik, sedangkan perusahaan swasta nasional atau asing hanya ikut serta apabila diajak kerja sama oleh

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

BUMN, baik dengan kemitraan, penyertaan saham, pinjaman modal dan lain-lain. Persoalannya adalah apakah yang dimaksud dengan perusahaan negara pengelola tenaga listrik hanyalah BUMN, dalam hal ini PLN, ataukah bisa dibagi dengan perusahaan negara yang lain, bahkan dengan perusahaan daerah (BUMD) sesuai

daerah? Mahkamah berpendapat, jika PLN memang masih mampu dan bisa lebih efisien, tidak ada salahnya jika tugas itu tetap diberikan kepada PLN, tetapi jika tidak, dapat juga berbagi tugas dengan BUMN lainnya atau BUMD dengan PLN sebagai “holding company”.

Ketiga, merujuk pandangan Hatta dan pandangan para ahli sebagaimana tersebut di atas tentang penjabaran Pasal 33 UUD 1945 dapat disimpulkan secara ringkas bahwa makna dikuasai oleh negara ialah bahwa terhadap cabang produksi yang telah dimiliki oleh negara, maka negara harus memperkuat posisi perusahaan tersebut agar kemudian secara bertahap akhirnya dapat menyediakan sendiri kebutuhan yang merupakan hajat hidup orang banyak dan menggantikan kedudukan perusahaan swasta, baik nasional maupun asing.

Keempat, adanya kenyataan inefisiensi BUMN yang timbul karena faktor-faktor missmanagement serta korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, bak pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara untuk dapat melaksanakan kewajiban konstitusionalnya sebagaimana disebut dalam Pasal 33 UUD 1945.

Kelima, meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam

unbundling dalam ketenagalistrikan yang te rcermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai

pengelolaan

dengan

sistem

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia.

Keenam, Mahkamah berpendapat cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam Undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

Ketujuh, Menimbang bahwa oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No.

20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan ( prospective ) sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat surut ( retroactive ). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan izin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan izin usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi.

kekosongan hukum ( rechtsvacuum ), maka Undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang

Kedelapan, guna

menghindari

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. MK dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, memutuskan:

Pertama, menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Kedua, menyatakan Pasal 1 angka 18, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 50, Pasal 51, Pasal 60 ayat (1), Pasal 71 serta Pasal 75 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Alasan hukum yang dikemukakan MK sebagai dasar hukum memutus demikian, antara lain adalah:

Pertama, bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil serta sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah termasuk wilayah dan sumber kekayaan alam yang dikuasai oleh negara. Dalam makna yang lain, menurut Mahkamah,

Negara

merumuskan

kebijakan, melakukan

Bab IV. Perkembangan Hukum Ekonomi Indonesia

pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk dalam wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil yang kesemuanya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan adanya anak kalimat “dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka sebesar-besar kemakmuran rakyatlah yang menjadi ukuran utama bagi negara dalam menentukan pengurusan, pengaturan atau pengelolaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, penguasaan oleh negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus juga memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif yang dimiliki masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak masyarakat adat serta hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, misalnya hak akses untuk melintas, hak atas lingkungan yang sehat dan lain-lain;

Kedua, bahwa menurut Mahkamah dalam wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil telah terdapat hak-hak perseorangan, hak masyarakat hukum adat serta hak masyarakat nelayan tradisional, hak badan usaha, atau hak masyarakat lainnya serta berlakunya kearifan lokal yaitu nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Pada satu sisi Pasal 61 Undang- undang

a quo mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisional, dan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun dan menjadi acuan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, akan tetapi pada sisi lain hak-hak masyarakat adat/tradisional dan kearifan lokal tersebut potensial dapat dialihkan dalam bentuk HP-3 atau diserahkan kepada swasta dengan pembayaran ganti kerugian. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya hak-hak masyarakat adat/tradisional yang bersifat turun-temurun, padahal hak-hak masyarakat tersebut mempunyai karakteristik tertentu, yaitu tidak dapat dihilangkan selama masyarakat adat itu masih ada. Selain itu, akan mengakibatkan pula tereliminasinya masyarakat adat/tradisional

Dasar-dasar Pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia

dalam memperoleh HP-3, karena kekurangan modal, teknologi serta pengetahuan. Padahal, negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ( vide Pembukaan UUD 1945 alinea keempat dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945). Pasal 10 Undang- undang

a quo juga telah mengatur pengalokasian ruang perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam empat kawasan, yaitu kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut. Menurut Mahkamah pengalokasian kawasan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam beberapa kawasan dengan maksud untuk memberikan jaminan dan perlindungan atas kawasan tertentu yang harus dilindungi merupakan hal yang perlu diatur sebagaimana telah dinyatakan dalam Undang-undang

a quo . Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan pendekatan terpadu

(Integrated Coastal Zone Management ), yang meliputi antara lain sektor perikanan, perhubungan, pariwisata, mineral, lingkungan, dan lain-lain;