Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP

D. Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP

Asumsi selanjutnya yang tidak tepat mengenai Program studi DLP adalah tujuan pendiriannya untuk mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit 11 . Kontak pertama pelayanan medis pada sistem JKN dilakukan di FKTP. Apabila FKTP tidak mampu memberikan pelayanan kesehatan, maka dapat melakukan rujukan ke jenjang lanjutan yaitu FKTL. Tingginya angka rujukan ke rumah sakit (FKTL) menjadi salah satu tolok ukur rendahnya kualitas layanan primer. Berdasarkan asumsi inilah Dokter Layanan Primer (DLP) diprediksi menjadi solusi dalam memperkuat pelayanan primer. Padahal Data

Nasional Rasio Rujukan peserta BPJS dari FKTP, baik tahun 2015 12 , maupun 2016 (s/d bulan Agustus 2016) 13 , menunjukkan bahwa angka rasio total rujukan dari FKTP masih di bawah patokan BPJS 15%, yaitu 12%. Lihat misalnya rasio rujukan tahun 2016 pada Tabel

7 berikut.

Tabel 7. Rasio Rujukan dan Kunjungan FKTP per Tahun 2015-Agustus 2016 Jenis FKTP

Kunjungan

Rujukan Rasio

Dokter Praktik Perorangan

941.582 9.92% Klinik TNI

216.458 22.87% Klinik POLRI

112.554 16.62% Klinik Pratama

5.871.107 12.23% RS Tipe D Pratama

919 10.11% Dokter Gigi Praktik Perorangan

Sumber: laporan BPJS Agustus 2016

Gambaran rujukan pada tiap divisi regional (divre) juga masih dibawah 15 %, lihat Tabel 8 berikut.

Tingginya rasio rujukan terhadap kunjungan pada salah satu jenis FKTP diasumsikan merupakan sebab dari kurangnya kompetensi dokter di pelayanan primer sehingga cenderung untuk merujuk. Padahal tingginya angka rujukan pada beberapa lokasi

11 Contoh “Selama ini angka rujukan masih tinggi karena kompetensi dokter di layanan primer masih perlu ditingkatkan” - See more at: http://www.depkes.go.id/article/view/16102300002/perkuat- upaya-promotif-preventif-melalui-DLP.html#sthash.Wihin0b6.dpuf

12 Mundiharno, Direktur Perencanaan Pengembangan & MR, BPJS: Jaminan Kesehatan Nasional: Pencapaian & tantangan dari sudut pandang penyelenggara, Presentasi pada Kongres InaHEA ke-3 Yogyakarta, 28 Juli 2016

13 Laporan BPJS Agustus 2016, permintaan melalui PB IDI

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI

Puskesmas belum berarti kelemahan terletak pada dokter di pelayanan primer. Istilah yang tepat untuk masalah ini adalah ketidakmampuan FKTP, bukan ketidakmampuan dokter di layanan primer.

Tabel 8. Rasio Rujukan Menurut Divisi Regional (Divre)

Divisi Regional Kunjungan Rujukan Rasio

Divre Aceh dan Sumatera Utara 7.402.741 1.042.110 14,08% Divre Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi

6.478.934 82.202 1,27% Divre Sumatera Selatan, Belitung, Bengkuliu

3.175.120 394.355 12,42% Divre Jabodetabek

14.187.563 1.490.919 10,51% Divre Jawa Barat

7.733.042 956.814 12,37% Divre Jawa Tengah dan Yogyakarta

13.270.594 1.321.992 9,96% Divre Jawa Timur

11.324.645 1.623.738 14,34% Divre Kalimantan Timur, Tengah, Selatan dan Utara

2.637.044 273.505 10,37% Divre Sulawesi Selatan, Tenggara, Barat dan Maluku

3.865.883 291.516 7,54% Divre Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, Maluku Utara

2.022.480 20.513 1,01% Divre Bali, NTB, dan NTT

2.900.005 269.131 9,28% Divre Papua dan Papua Barat

637.523 39.463 6,19% Divre Banten, Kalimantan Barat dan Lampung

Sumber: Laporan BPJS, Agustus 2016.

Terdapat beberapa permasalahan radikal yang berimplikasi pada lemahnya FKTP, yaitu:

1. Fasilitas Kurang Memadai

FKTP mempunyai beban berat dalam memberikan pelayanan kesehatan. FKTP umumnya memiliki fasilitas yang kurang lengkap jika dibandingkan dengan rumah sakit. Data Riset Fasilitas Kesehatan Nasional menunjukkan bahwa sebanyak 2,4% Puskesmas di Indonesia mengalami rusak berat dan 9,9% mengalami rusak sedang. Puskesmas pada wilayah dengan rasio rujukan tinggi cenderung memiliki presentase tinggi Puskesmas dengan kerusakan sedang hingga berat.

Kelengkapan peralatan kesehatan menjadi salah satu kunci pelayanan kesehatan yang berkualitas. Poliklinik umum dan Puskesmas di Indonesia yang memiliki kelengkapan alat diatas 60% hanya sebesar 42,4%. Bahkan sebesar 3,7% dan 6,3% Puskesmas belum

memiliki alat esensial pemeriksaan yaitu stetoskop dan tensimeter 14 . 14 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.” Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan

Puskesmas 2011.” 2011.

22 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI

Senada dengan itu, pada tahun 2016, berdasarkan hasil Diskusi Kelompok terfokus, DJSN telah mengidentifikasi bahwa beberapa daerah fasilitas pelayanan yang ada tidak memungkinkan dokter umum menangani jumlah kasus penyakit yang seharusnya 144 penyakit. Misalnya Jawa Tengah (Semarang) hanya 126 diagnosis; Bali (Denpasar) hanya 110 diagnosis; Sulawesi Selatan (Makasar) hanya 122 diagnosis; Kepulauan Riau (Batam) hanya 121 diagnosis; Kalimantan Tengah (Palangkaraya) hanya 97 diagnosis; Sumatera Barat (Padang) hanya 130 diagnosis; Kota Bekasi hanya 126 diagnosis; Kabupaten Bekasi hanya 122 diagnosis dan Klinik TNI hanya 115 diagnosis.

2. Layanan Pengobatan Tidak Adekuat

Sesuai dengan peraturan menteri kesehatan, biaya obat akan disokong oleh BPJS termasuk dalam biaya kapitasi, namun pembelanjaan dilakukan mandiri oleh FKTP atau tenaga kefarmasian dari Dinas Kabupaten 15 . Berdasarkan 144 diagnosis penyakit yang dapat ditangani oleh FKTP, tentu harus dipersiapkan obat dengan kapasitas pasien yang datang. Data tahun 2011 menunjukkan sebanyak 74,6% Puskesmas tidak menerima pelatihan Penggunaan Obat Rasional. Selain itu, sebesar 44,2% Puskesmas tidak memiliki pedoman pengobatan dasar. Sedangkan supervisi Dinas Kesehatan dalam hal pengawasan, evaluasi dan bimbingan program pengobatan hanya berjalan pada 51,4% Puskesmas di

Indonesia 16 . Dapat dimengerti mengapa penyediaan obat di Puskesmas masih banyak masalah. Rata-rata Puskesmas hanya mempunyai 70 % obat yang diperlukan 17 .

Tenaga kesehatan penyelenggara pelayanan pengobatan ditangani oleh ahli kefarmasian. Jumlah presentase apoteker, S1 Farmasi dan D3 Farmasi pada seluruh Puskesmas di

Indonesia secara berturut-turut adalah 14,3%, 7,5% dan 26,7% 18 . Keabsenan tenaga ahli tersebut berimbas pada kualitas pelayanan pengobatan Puskesmas sehingga menjadikan lemahnya FKTP.

3. Biaya Pelayanan di Atas Biaya Penggantian

Sistem pelayanan JKN mengadopsi prinsip kapitasi dalam penerapannya. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menyokong dana kapitasi per kapita per bulan pada FKTP. Standar kapitasi untuk FKTP adalah Rp. 2000 – Rp. 10.000 per orang/per bulan. Kapitasi ini sebenarnya masih dibawah biaya pelayanan sebenarnya (real cost), yang

diperkirakan sekitar 20.000 per orang 19 . Sebagai kontak pertama penyedia pelayanan medis, FKTP cenderung mengeluarkan rujukan pada pasien dengan penyakit yang diperkirakan memakan biaya pelayanan yang tinggi untuk menghindari defisit internal.

15 PMK No. 28 Tahun 2014 16 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, opcit. 17 ibid 18 ibid 19 diskusi dengan Prof. Hasbullah Thabrani, pakar JKN

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI

4. Rujukan Atas Permintaan Sendiri (APS)

Sebagian masyarakat sakit yang bertempat tinggal dekat FKTL, ketika sakit akan lebih memilih berkunjung ke FKTL tersebut. Bagi sebagian masyarakat tersebut, FKTP merupakan kontak awal penanganan medis hanya untuk mendapatkan surat rujukan ke rumah sakit. Hal itunya yang menjadi penyebab tingginya data rujukan pada beberapa Puskesmas di berbagai wilayah. Misalnya di divisi regional Aceh angka rujukan APS relatif

tinggi, yaitu 30-75% dari total rujukan. 20 Pasien telah membayar premi JKN setiap bulannya, sehingga mereka merasa memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di lokasi yang menurut mereka lebih baik.

E. Isu Kelima: Mengurangi Biaya Katastrofik

Meroketnya biaya pelayanan kesehatan yang terjadi di banyak negara menjadi perhatian pemerintah terutama solusi penyelesaian tingginya biaya pelayanan tersebut. Hal yang sama terjadi di Indonesia. Biaya pelayanan kesehatan di FKTP dan FKTL meroket dari

46 Trilyun rupiah pada tahun 2014, menjadi 61 Trilyun rupiah pada tahun 2015, sebuah kenaikan 33 % 21 , jauh diatas inflasi keseluruhan yang dilaporkan oleh BPS, yaitu sebesar 3,35 % pada tahun 2015. Hal ini menjadikan pemerintah kawatir karena mempunyai target meningkatkan peserta JKN menjadi 100% dari 70%. Sekitar ¾ biaya pelayanan kesehatan tersebut terjadi di FKTL (INA CBGs), sehingga logis jika pemerintah berusaha meredam kenaikan biaya di FKTL. Namun solusi kementerian kesehatan, dengan program studi DLP, agar dokter yang menjadi pelaku awal dalam pelayanan kesehatan di layanan primer adalah solusi yang inadekuat. Meroketnya biaya pelayanan dalam 2 tahun terakhir ini karena adanya fenomena adverse selection dan penyakit katastrofik.

Pada periode sosialisasi menuju Universal Coverage, BPJS, sebagai asuransi sosial, mendorong setiap keluarga untuk menjadi peserta mandiri JKN (atau disebut juga PBPU, peserta bukan penerima upah), baik dalam kondisi sehat maupun sakit. Jika dibandingkan dengan asuransi komersial, jelas JKN lebih menguntungkan secara finansial karena tidak perlu membayar premi yang lebih tinggi atau biaya tambahan ketika mendaftar dalam keadaan sakit. Namun yang terjadi sekarang ini lebih banyak PBPU yang sakit dibanding yang sehat. Inilah yang disebut sebagai adverse selection, dengan dampaknya yang terlihat pada tahun 2015, yaitu dengan jumlah peserta 156,79 juta jiwa, jumlah premi yang didapat adalah sebesar 52,78 trilyun rupiah, namun biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan mencapai 57,08 trilyun rupiah, sehingga terjadi defisit sekitar 4,4 trilyun rupiah. Setelah diamati lebih rinci menurut jenis peserta, maka peserta PBPU yang

20 Zahrawardi, “Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib PT. Askes pada Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturahman di Kota Banda Aceh Tahun 2007. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2007

21 Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Optimalisasi Profesionalisme Dokter Umum Di Tingkat Pelayanan Primer Pada Era JKN Menyongsong SDG, Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Musyawarah Kerja Nasional PDUI, Jakarta 22 April 2016

24 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI

jumlahnya sekitar 14,96 juta jiwa, menyumbang iuran sebesar 4,6 triliun rupiah (8.86%), namun BPJS perlu membayar biaya pelayanan kesehatannya sejumlah 16,7 triliun rupiah

(29.22%) 22 , sebuah rasio benefit/premi sekitar 400 %. Dapat dikatakan defisit tahun 2015 adalah karena peserta PBPU ini.

Defisit JKN juga diakibatkan oleh banyaknya peserta yang menderita penyakit katastrofik (penyakit berat yang membutuhkan biaya pengobatan tinggi). Sebanyak 33.62% dari total beban biaya rujukan, diserap oleh jenis penyakit katastrofik seperti penyakit jantung,

gagal ginjal, kanker dan stroke 23 . Penyakit katastrofik tersebut berasal dari golongan penyakit tidak menular. Data perbandingan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2013 menunjukkan adanya transisi beban kesehatan dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (penyakit kronis) Pelayanan kesehatan bagi pasien kronis jelas membutuhkan biaya tinggi sehingga memberatkan beban biaya pelayanan.

Program studi DLP bukanlah solusi untuk kedua fenomena diatas. Adanya adverse selection adalah keniscayaan dalam periode menuju universal coverage. Pemerintah perlu mencari cara bagaimana membujuk seluruh peserta PBPU ikut dalam sistem JKN. Penyakit katastrofik hanya bisa diatasi dengan menjalankan program promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan perlindungan khusus, serta deteksi dini dan pengobatan segera. Namun sebagian besar program promotif dan preventif ini ada di layanan UKM, yang menjadi kewajiban pemerintah daerah, bukan BPJS. Pelakunya adalah gabungan dari berbagai tenaga kesehatan. Menambah pendidikan melalui program studi DLP kepada dokter umum agar lebih berkualitas dalam melakukan pelayanan kepada peserta JKN adalah pemborosan dan tidak tepat sasaran.

22 Mundiharno, opcit 23 Menteri Kesehatan RI, opcit

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER

Sejarah perundang-undangan Indonesia penuh dengan berbagai pertentangan dan kemelut. Permasalahan itu muncul saat budaya kolonial dan budaya dari negara lain, serta keinginan untuk mempertahankan budaya kita sendiri saling bertentangan. Ini memunculkan suatu situasi dimana masyarakat bersikap reaktif terhadap ide, wacana, golongan, bahkan peristiwa tertentu yang tidak sesuai dengan kepercayaan atau kepentingannya. Belum lagi kepentingan politik, birokrasi dan lembaga-lembaga lainnya. Semua ini menyebabkan munculnya berbagai peraturan yang saling bertentangan atau tumpang-tindih

Namun, paradigma hukum terbuka di Indonesia tidak memberi tempat adanya undang- undang induk atau pokok. Artinya, semua undang-undang berada dalam posisi setara atau setingkat. Oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah harmonisasi horizontal terhadap semua undang-undang lain yang setingkat.

Salah satu alasan mengapa IDI mengajukan revisi UU 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, adalah UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran—terkait dokter layanan primer—tidak harmonis dengan dua Undang-undang lainnya, yaitu

1. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,

2. UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Dalam hal ini, ketidak-harmonisan yang ada adalah yang mengatur mengenai jenis profesi,

kelembagaan profesi, gelar, praktik layanan dokter dan juga pelaksanaan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Detail ketidak-harmonisan itu adalah sebagai berikut:

A. Ketidak-harmonisan Jenis Profesi

Jenis profesi dalam UU Pendidikan Kedokteran pasal 1 ayat (9), bertumpang-tindih dengan UU Praktik Kedokteran pasal 1 ayat (2). Lihat Tabel 9 berikut:

Tabel 9. Tumpang Tindih jenis profesi

Undang-undang

Bunyi Pasal

Keterangan

UU Nomor 29 Pasal 1 ayat (2): Dokter dan dokter gigi adalah dokter, Jenis profesi dokter Tahun 2004 Praktik dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis (medis): Dokter, dokter Kedokteran

lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, dokter spesialis gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui

dokter gigi spesialis oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

26 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER

Undang-undang

Bunyi Pasal

Keterangan

UU Nomor 20 Tahun Pasal 1 ayat (9): Dokter adalah dokter, dokter Jenis profesi dokter: 2013 Pendidikan

layanan primer, dokter spesialis-subspesialis lulusan Dokter, Dokter layanan Kedokteran

pendidikan dokter, baik di dalam maupun di luar primer, Dokter spesialis- negeri, yang diakui oleh Pemerintah. Pasal 1 ayat

subspesialis, Dokter gigi, (10): Dokter Gigi adalah dokter gigi, dokter gigi

Dokter gigi spesialis- spesialis-subspesialis lulusan pendidikan dokter gigi, subspesialis baik di dalam maupun di luar negeri, yang diakui oleh Pemerintah.

UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran memasukkan ‘dokter layanan primer’ ke dalam jenis profesi dokter, nomenklatur yang tidak dikenali oleh jenis profesi dokter (medis) dalam UU Praktik Kedokteran. Problematikanya adalah di UU Praktik Kedokteran, tidak diatur dimana dokter layanan primer akan berpraktik setelah selesai dididik.

Sebenarnya, dalam hal jenis profesi, UU Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan, Pasal 11 ayat (2) yang menjelaskan bahwa Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.

Jadi di dalam UU Tenaga Kesehatan, profesi Dokter Layanan Primer juga tidak dikenal. Namun Mahkamah Kontitusi (MK) pada tanggal 14 Desember 2016 mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal UU No 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan yang di mohonkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), MK mencabut pasal 11 ayat (2) dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga perbedaan ini tidak relevan. Namun tidak bisa dihindari, bahwa posisi profesi dokter layanan primer tidak jelas.

IDI berpendapat dokter layanan primer bukanlah gelar profesi, tetapi merujuk pada lokasi pelayanan, yaitu pelayanan pada FKTP 1 . Penamaan lokasi pelayanan menjadi gelar profesi ini akan merusak sistematika pemberian gelar.

B. Ketidak-harmonisan Kewenangan

Kewenangan atau otoritas tugas profesi kedokteran sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan kewenangan yang terdapat dalam UU Praktik Kedokteran. Untuk jelasnya, lihat pasal 51 huruf (b) UU Praktik Kedokteran dengan penjelasan pasal 8 ayat (2) UU Pendidikan Kedokteran dalam Tabel 10 berikut.

1 Lihat Peraturan Presiden no 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER

Tabel 10. Ketidak-harmonisan Kewenangan

UU Nomor 29 Pasal 51 Kewenangan pemberian Tahun 2004 Praktik Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan

rujukan oleh dokter dan Kedokteran

praktik kedokteran mempunyai kewajiban: dokter gigi menunjuk pada:

b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain Dokter, yang mempunyai keahlian atau kemampuan

dokter gigi, yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan dokter spesialis suatu pemeriksaan atau pengobatan.

dokter gigi spesialis UU Nomor 20 Tahun Penjelasan pasal 8 ayat 2:

DLP sebagai pelaku awal 2013 Pendidikan

Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Program pada layanan kesehatan Kedokteran

dokter layanan primer ditujukan untuk tingkat pertama, penapisan memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada

rujukan tingkat pertama ke layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan tingkat kedua, serta kendali penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat

mutu dan kendali biaya dalam kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali sistem jaminan kesehatan biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter nasional dalam sistem jaminan kesehatan nasional.

Ini berarti kewenangan atau otoritas profesi kedokteran juga saling bertentangan. Dalam UU pendidikan kedokteran pasal 8 ayat (2), Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter yang berwenang untuk merujuk pasien dari sarana kesehatan tingkat pertama ke sarana kesehatan tingkat kedua, melakukan kendali mutu dan biaya dalam sistem JKN. Sedangkan dalam UU Praktik Kedokteran pasal 51 huruf (b) yang berkuasa untuk memberikan rujukan adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis- subspesialis.

Ketidak-harmonisan kewenangan atau otoritas antara dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis dalam UU tentang Praktik Kedokteran dengan dokter layanan primer dalam UU tentang Pendidikan Kedokteran dapat berimplikasi menimbulkan masalah dalam praktik layanan dokter dan juga pelaksanaan JKN.

Dengan dinormakannya profesi baru dokter layanan primer, timbul inkonsistensi norma yang berakibat kepada kekacauan tatanan sistem hukum praktik kedokteran. Hal ini dapat diidentifikasi dengan adanya norma “dokter layanan primer” namun tidak memiliki justifikasi dalam sistem hukum praktik kedokteran, karenanya adanya ketidakcocokan dengan regulasi dan prosedur praktik kedokteran, terutama mengenai syarat penerbitan Sertifikat Kompetensi oleh Kolegium terkait, yang hanya mengenal kualifikasi dokter dan dokter spesialis-subspesialis.

Padahal, kekacauan tatanan sistem hukum dan ketidakpastian hukum mestinya dihindari karena mengancam jaminan kepastian hukum pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Konsistensi norma hukum menjadi bagian tak terpisahkan dari kepastian hukum sebagai

28 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER

sifat utama dari norma Undang-undang. Konsistensi antar subsistem hukum muncul jika sistem tersebut memiliki sifat wholism 2 . Kepastian hukum yang adil menjadi penyangga prinsip Negara Hukum (rechs staat). Kepastian hukum yang adil dan keadilan yang

dipastikan dengan hukum 3 .

Selama ini, praktik pelayanan kedokteran primer dilakukan oleh dokter umum. Salah satu kewenangan dokter umum adalah memberikan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yaitu sebagai kontak pertama. Berdasarkan Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada JKN pasal 17 bahwa dokter umum melayani jenjang pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sedangkan jika menurut UU tentang Pendidikan Kedokteran, penjelasan pasal 8 ayat (2) bahwa kontak pertama JKN adalah Dokter Layanan Primer (DLP). Hal ini berpotensi terjadinya kriminalisasi dokter umum yang menangani pasien JKN, yang mengakibatkan BPJS rentan terhadap tuntutan akibat bekerjasama dengan dokter umum dalam penyelenggaran JKN.

C. Ketidak-harmonisan Gelar Profesi

UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran juga tidak harmonis dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, yaitu tentang gelar profesi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Ketidak-harmonisan Gelar Profesi

Undang-undang Pasal Keterangan

UU Nomor 20 Pasal 8 ayat (3) Tahun 2013

Program dokter layanan primer sebagaimana Pendidikan

dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan Kedokteran

dari program profesi dokter dan program

internsip yang setara dengan program dokter Gelar Setara spesialis

Spesialis belum melalui prosedur

UU Nomor Pasal 26 ayat (6) yang benar sehingga

12 Tahun Gelar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat menimbulkan 2012 Tentang

(5) ditetapkan oleh Perguruan Tinggi bersama kesimpangsiuran. Pendidikan Tinggi dengan Kementerian, Kementerian lain, LPNK

dan/atau organisasi profesi yang bertanggung jawab terhadap mutu layanan profesi.

2 Martinah, “Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature”, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 5-6

3 Jimly Asshiddiqie, “Komentar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 117.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

III. DISHARMONI UNDANG-UNDANG AKIBAT DOKTER LAYANAN PRIMER

UU Pendidikan Kedokteran menyebutkan dokter layanan primer adalah gelar yang setara spesialis. Namun, setara spesialis itu tidak sama dengan spesialis. Tidak bisa dihindari anggapan adalah bahwa setara spesialis itu berada diantara dokter umum dan dokter spesialis. Masalah yang timbul akibat adanya anggapan baik dari kalangan masyarakat, maupun kalangan dokter sendiri bahwa dokter umum itu kastanya di bawah spesialis, menjadi lebih parah, karena sekarang kastanya dibawah dokter spesialis dan dokter layanan primer.

Ini adalah masalah yang serius dan kronis. Karena itu IDI ingin merevisi UU Pendidikan Kedokteran, salah satu alasannya adalah agar dokter umum itu sama derajatnya dengan dokter spesialis, hanya berbeda dalam lapangan pengabdian.

30 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

RUU Pendidikan Kedokteran dibahas selama 2,5 tahun dimulai Januari 2011 hingga Juni 2013. Disahkan dalam paripurna DPR tanggal 11 Juli 2013, dicantumkan dalam lembaran negara tanggal 6 Agustus 2013.

UU ini dibentuk atas dasar keinginan baik DPR RI untuk merespon dunia pendidikan kedokteran yang semakin mahal sehingga perlu kiranya memastikan alokasi mahasiswa miskin dan dari daerah dapat diterima, kualitas pendidikan kedokteran, Rumah Sakit Pendidikan, kurikulum pendidikan kedokteran, uji kompetensi, kuota mahasiswa pendidikan kedokteran, fakultas kedokteran, penjaminan mutu, dan standar pendidikan kedokteran.

Pendidikan kedokteran sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional perlu diselenggarakan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan untuk menumbuh kembangkan penguasaan, pemanfaatan, penelitian, serta pemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Upaya penataan itu perlu diatur secara komprehensif dalam peraturan perundang- undangan.

A. DLP tidak ada dalam Naskah Akademik maupun RUU Uji Publik

Kemudian disusunlah Naskah Akademik sebagai kerangka acuan untuk pembentukan draf rancangan undang-undang pendidikan kedokteran. Didalam naskah akademik, yang resmi dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia tahun 2011, dijelaskan Landasan Filosofis, Landasan Historis, Landasan Sosiologis dan Landasan Hukum. Kemudian dijelaskan tentang sistem pendidikan kedokteran Indonesia, kondisi sistem pendidikan kedokteran terkini, masalah yang dihadapi, dan tantangan serta peluang pendidikan kedokteran di masa depan. Dalam seluruh tulisan naskah akademis itu, yang disebutkan hanya dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis. Istilah dokter layanan primer sama sekali TIDAK disebutkan.

Atas dasar Naskah Akademis ini, disusun rencana undang undang (RUU) Pendidikan Kedokteran. Berkali kali perbaikan dilakukan, akhirnya pada tanggal 16 Maret 2012, oleh Komisi 10 DPRUI, dikeluarkan RUU Pendidikan Kedokteran untuk kepentingan uji publik. Dalam RUU itu istilah dokter layanan primer juga TIDAK disebutkan.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

B. Proses Pembahasan RUU Pendidikan Dokter di DPR

Menurut salah satu mantan anggota Komisi X yaitu Prof Sudigdo Adi dari Fraksi PDI Perjuangan, inisiatif mengenai RUU Pendidikan Kedokteran, sesungguhnya telah

dibicarakan di Komisi X periode DPR 2004-2009 1 . Konsep awal dari UU ini, setidaknya beberapa hal, yaitu :

Pertama, Komisi X memandang penting untuk membentuk pendidikan dokter harus menjadi dokter yang mumpuni. Pemikiran ini merupakan koreksi atas keprihatinan terhadap situasi pendidikan kedokteran yang saat ini diperpendek masa studinya sehingga berimplikasi pada materi kurikulum klinis yang berubah pendekatan pengajarannya kepada mahasiswa lebih banyak sebagai observer saja.

Kedua, Komisi X memandang bahwa dengan penduduk Indonesia semakin banyak, di butuhkan sebaran dokter yang dapat menjangkau daerah pinggiran yang mumpuni bisa menangani.

Ketiga, Komisi X melihat bahwa fasilitas pendidikan kedokteran di fakultas Kedokteran yang bagus hanya sedikit. Banyak Fakultas kedokteran melakukan teaching hospital hanya nebeng, asal ikut, sehingga menyebabkan lulusan dokter menjadi tidak jelas.

Keempat, bahwa sistem pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia masih amburadul, antara Rumah sakit pusat, daerah dan kabupaten dan Puskesmas tidak saling terkoordinasi dengan baik.

Kelima, Komisi X memandang perlu untuk peningkatan kemampuan mahasiswa kedokteran, maka sebaiknya RS pemerintah semuanya menjadi RS Pendidikan agar RS

pendidikan menjadi luas 2 . Sudigdo Adi dengan tegas menyampaikan bahwa di Komisi X tidak pernah ada pembicaraan

mengenai doker layanan primer sebagaimana konsepsi yang saat ini dimuat dalam UU No

20 tahun 2013. Pembahasan awal Komisi X berkutat pada sistem pendidikan kedokteran yang memiliki kaitan dengan sistem layanan kesehatan. Paradigma dalam pembicaraan di Komisi X adalah pendidikan kesehatan sebagai bagian dari pembangunan sistem kesehatan nasional. Tujuan utama dari inisiatif RUU Pendidikan Kedokteran adalah :

1 Tim buku putih melakukan diskusi khusus dengan Prof Sudigdo Adi. 2 Menurut Prof Sudigdo Adi: Untuk dokter yang pintar, ia menjadi pendidik di RS, dan hak mereka

menjadi guru besar di samakan dengan posisi di DIKNAS. Tidak seperti di Indonesia, di Belanda pada Rumah Sakit yang dijadikan RS pendidikan, Fakultas Kedokteran dan Departemen Kesehatan menjadi satu, direktur RS juga menjadi dekan pendidikan kedokteran, dengan demikian maka terjadi pengaturan terintegrasi antara pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta penghematan biaya.

32 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

1. Pendidikan dokter di jadikan satu antara akademis dan klinis

2. Kendali mutu, agar fakultas kedokteran yang tidak memenuhi syarat harus ditutup.

3. Alokasi anggaran untuk pendidikan dokter, agar negara dapat memberikan subsidi pendidikan kesehatan agar murah dan dapat diakses oleh rakyat miskin.

Untuk mendalami tujuan sebenarnya dari UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran, Tim Buku Putih DLP melakukan kajian terhadap seluruh risalah sidang pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran dari awal tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2013. Jumlahnya sekitar 876 halaman. Dalam risalah tersebut tercatat DPR melakukan pembahasan RUU sebanyak 23 kali dengan perincian sebagai berikut:

1. Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) sebanyak 9 kali sepanjang Januari hingga Juni 2011 dengan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan. Rinciannya sebagai berikut :

Kamis, 13 Januari 2011 : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan Kamis, 27 Januari 2011

: RDPU dengan Pakar Kedokteran yaitu Lukman Hakim, Prof. Dr Sudigdo Adi, dr. Pranawa, Dr dr Fahmi Idris

Kamis, 17 Februari 2011 : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan dan TIM Kamis, 24 Februari 2011 : RDPU dengan Deputi Perundang-undangan dan TIM Rabu, 9 Maret 2011

: RDPU dengan Rektor-Rektor Universitas yaitu Universitas Diponegoro, Universitas Sriwijaya, Universitas Hasanudin, Universitas Mulawarman, Universitas Trisakti, Universitas Yarsi, dan Universitas Kristen Indonesia

Rabu, 9 Maret 2011 : RDPU dengan ARSPI (Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan

Indonesia)

Kamis, 9 Juni 2011 : RDPU dengan Pakar Pendidikan Kedokteran yaitu Prof. Dr Sudigdo Adi, Prof DR Drg Egi Surya Sumantri, Prof. Dr dr Akmal Taher, Prof. Dr dr Laksono Trisnantoro, Dr dr Fahmi Idris, dr Pranawa

Senin, 20 Juni 2011 : RDPU dengan Prof Dr dr Laksono Trisnantoro Kamis, 2 Februari 2012

: RDPU dengan Fakultas Kedokteran UI dan Panja

Pemerintah

2. Rapat Dengan Pendapat (RDP) dengan pemerintah pada tanggal 27 Januari 2011 dengan Balitbang Kementerian Kesehatan

3. Lokakarya pada tanggal 23 Maret 2011 khusus mengenai kurikulum pendidikan kedokteran dengan melibatkan beberapa pemangku kepentingan yaitu Sudigdo Adi, BUKD diwakili Bambang S, PRSDM diwakili Yudianto, PB IDI diwakili dr. Priyo Sidi Pratomo, dan PDUI diwakili Dr. Abraham Andi Padlan Patarai, MKes (Bram).

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

4. Pembahasan dalam Panitia Kerja (Panja) sebanyak 12 kali yaitu : Panja 11 Maret 2011, 15 Maret, 23 Maret 2011, 2 April 2012, 4 April 2012, 9 April 2012, 11 Maret 2013, 25 Juni 2013, 26 Juni 2013 (3 sesi sidang), dan 4 Juli 2013 (panja gabungan dengan Komisi IX). Pembahasan dalam Panja beberapa kali juga melibatkan pakar seperti Prof Sulaksono pada tanggal 15 Maret 2013, dan Prof. Ilham Marsis Oetomo dari PB IDI.

Dari kajian Tim Buku Putih PB IDI, terkonfirmasi bahwa rapat panja RUU Pendidikan Kedokteran Komisi X dari tanggal 11 Maret 2011 hingga 25 Juni 2013 tidak ada pembahasan mengenai profesi dokter layanan primer maupun program studi dokter layanan primer.

Isu-isu yang menjadi fokus pembahasan di antaranya adalah mengenai rumah sakit pendidikan, kuota penerimaan mahasiswa kedokteran, fakultas kedokteran, dokter subspesialis, uji kompetensi, kurikulum pendidikan kedokteran, sinkronisasi standar pendidikan kedokteran versi UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan RUU Pendidikan Kedokteran.

Dalam rapat-rapat panja ditegaskan sejumlah hal yaitu :

1. Jenis profesi kedokteran spesialis adalah 4 jenis yaitu dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis. Terhadap profesi dokter spesialis, panja RUU menyepakai untuk mengakomodassi perkembangan profesi kedokteran spesialis dengan menambahkan dokter subspesialis. Dokter subspesialis masih berada dalam 1 domain dengan dokter spesialis.

2. Mengenai kurikulum kedokteran, anggota panja berpendapat bahwa kurikulum pokok pendidikan kedokteran paling tidak mengadopsi keilmuan bio medis, keterampilan kedokteran klinis, bioetika atau humaniora kesehatan, dan kedokteran komunitas atau kesehatan masyarakat.

3. Mengenai organisasi profesi, anggota panja sepakat bahwa organisasi profesi merujuk pada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Penempatan rujukan organisasi ini diusulkan untuk dimuat dalam penjelasan pasal, namun pada akhirnya disepakati agar dicantumkan eksplisit dalam peraturan yang lebih operasional dalam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri.

4. Mengenai pelayanan pada tingkat primer, dilakukan dengan penguatan kompetensi dokter melalui kursus-kursus.

5. Pelaku pelayanan primer merujuk pada komunitas dokter yang menangani pasien pada tingkat primer yaitu dokter umum maupun dokter spesialis.

C. Penyisipan pasal DLP

Pada Draf RUU Pendidikan Kedokteran tanggal 21 Maret 2011 dan Draf RUU Pendidikan

34 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

Kedokteran versi tanggal 16 Maret 2012 tidak terdapat satu pasal pun mengenai jenis profesi dokter layanan primer mau pun program studi DLP. DLP baru muncul dalam draf RUU hasil rapat timus (tim perumus)/timsin (tim sinkronisasi) tanggal 25-26 Juni 2013 yang disusun setelah rapat konsinyering timus/timsin yang berlangsung tanggal 25-26 Juni 2013.

Dari kajian terhadap risalah sidang pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran membuktikan bahwa sepanjang pembahasan sejak tahun 2011 hingga 2013 atau setelah 19 kali pertemuan dari lokakarya, rapat dengar pendapat umum (RDPU), rapat dengar pendapat (RDP), rapat panja termasuk di dalamnya rapat tim perumus (timus), tidak pernah ada pembahasan mengenai dokter layanan primer meliputi definisi, jenis profesi baru DLP, program studi DLP mau pun kurikulum DLP.

Lalu kapan DLP disisipkan? Materi mengenai DLP baru diusulkan di dalam rapat tim perumus (timus) dan langsung disepakati dalam 1 sesi sidang pagi pukul 10.15-13.00 WIB, tanggal 26 Juni 2013. Pengusul materi mengenai DLP adalah dari pemerintah.

Mengapa disebut penyisipan pasal? Pada dasarnya tim perumus panja RUU hanya tim yang merumuskan redaksional dari pokok-pokok substansi yang disepakati dalam pleno panja RUU. Tim perumus seharusnya tidak boleh menambahkan substansi baru. Namun pembahasan dalam tim perumus (timus) RUU Pendidikan Kedokteran ini membuktikan praktik yang berbeda dari kelaziman. Pembahasan materi usulan baru DLP ini pun hanya dibahas singkat, kurang lebih 3 jam saja. Kajian ini mengkonfirmasi bahwa usulan mengenai DLP tidak melalui suatu pemikiran mendasar, jernih dan matang, apalagi didasarkan pada penelitian atau kajian yang cukup layak.

Konsekuensi dari usulan baru yang tidak melalui proses penelitian, pengkajian dan pemikiran yang mendasar, jernih dan matang terlihat dari konsep DLP yang kabur dan berubah-ubah. Kronologi pembahasan Rancangan Undang-undang Tentang Pendidikan Kedokteran memperjelas bahwa pengertian-pengertian fundamental yang disampaikan tidak konsisten terkait dengan jenis profesi, definisi, kurikulum, dan lain-lain.

1. Berubahnya jenis profesi kedokteran

Sepanjang Tahun 2011-2013, dalam rapat pleno panja hingga rapat tim perumus yaitu tanggal Panja 11 Maret 2011, 15 Maret, 23 Maret 2011, 2 April 2012, 4 April 2012, 9 April 2012, 11 Maret 2013, dan 25 Juni 2013, jenis profesi dokter meliputi 4 (empat) jenis profesi dengan mengakomodasi kategori tambahan dokter subspesialis yang masih berada dalam ruang lingkup dokter spesialis, sehingga jenis profesi dokter adalah dokter, dokter spesialis-subspesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis.

Berikut kutipan pernyataan ‘terakhir” dalam sidang tanggal 25 Juni 2013 3 :

3 DPR RI, Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 25 Juni 2013

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

Pimpinan Rapat : “Saya langsung ke DIM 18. Silakan Pak Akmal untuk memberikan keterangannya.”

Kemenkes : Seperti yang tadi Pak, artinya perbedaannya adalah bukan lulusan pendidikan kedokteran, tapi pendidikan dokter. Jadi

(Prof Akmal) dokter adalah dokter, dokter subspesialis adalah dokter subspesialis, lulusan pendidikan kedokteran diganti “pendidikan dokter”, yang lainnya sama. Hanya itu saja.

Pimpinan Rapat : Jadi oke semua ya. Jadi sekarang yang DIM 18 oke ya. Selanjutnya terjadi perubahan pengertian jenis profesi dokter seketika ketika pada sidang

tanggal 26 Juni 2013 sesi sidang pagi pukul 10.15-13.00, dalam pembahasan DIM No 80. Kementerian Kesehatan diwakili Prof Dr Akmal Taher menyebut jenis profesi baru dokter

layanan primer. Berikut sejumlah kutipan pernyataannya 4 :

Pemerintah (Prof. Akmal) : “ Terima kasih Pak. Saya mengerti sekali tentang kebingungan karena kita yang membuat

bingung ini, cuma saya senang artinya secara filosofis tadi kata bapak kita sepakat itu bahwa memang hal seperti ini. Tetapi sekarang kalau begitu gimana masuknya, masuknya ini bayangan saya nanti waktu kita ngomong DIM 77 tentang Pendidikan Profesi, itu cuma ada profesi dokter dan dokter gigi, kemudian dokter spesialis, dan subspesialis. Mestinya kita tambahkan ada dokter layanan primer. Itu nyambung, bahwa pendidikan itu terdiri atas itu sehingga nanti jelas, bahwa dokter itu bukan cuma jadi spesialis, tapi dokter layanan primer ini apalagi kalau memang kita sepakat secara filosofis ini memerlukan bantuan. “

Pernyataan berikutnya : “.....untuk memperluas pelayanan kesehatan primer pemerintah menyelenggarakan program

pendidikan dokter layanan primer dan mengembangkan profesi dokter layanan primer.”

2. Dokter Keluarga tidak ada dalam pembahasan Kurikulum Pokok Pendidikan Kedokteran

Fokus utama kurikulum pokok pendidikan kedokteran paling tidak mengadopsi keilmuan biomedis, keterampilan kedokteran klinis, bio etika atau humaniora kesehatan, dan kedokteran komunitas atau kesehatan masyarakat.

Berikut adalah kutipan rapat panja tanggal 2 April 2012 sebagai berikut 5 :

4 DPR RI, Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 26 Juni 2013 5 DPR RI, Risalah Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 2 April 2012

36 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

PEMERINTAH : “ Kita sepakat dengan pasal ini pak. Jadi, ada dengan ayat , maaf di usulan uji publik. Hanya saja di, kita harus menambahkan didalam penjelasan bahwa ada unsur humaniora kesehatan, ada unsur kedokteran komunitas dan juga kita perhatikan didalam pada waktu melaksanakan ini. Penjelasan saja pak.”

Bahkan hingga rapat tanggal 4 Juli 2013 panja RUU masih menyebutkan kurikulum sebagai berikut :

PIMPINAN RAPAT : Pasal 7 ayat 1, 2 dan 3 tetap. Ayat 4, Timus mengusulkan ada penambahan ayat, yang materi dan redaksinya merupakan pindahan dari pasal 17. Coba lihat pasal 17 ayat 2 dengan rumusan sebagai berikut. “Pendidikan akademik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 melaksanakan pembelajaran akademik laboratorium dan lapangan dibidang ilmu biomedis, bioetika, humaniora, kesehatan, ilmu kependidikan kedokteran serta kedokteran komunitas kesehatan masyarakat. Ada tambahan ayat, tadi sudah dijelaskan diatas pindahan dari pasal 17 ayat

2. Tolong dicek lagi Pak. Kalau setuju kita ketok ini.

F. PDI-P/ KOM. IX (DR. : Usul : “kedokteran komunitas garis miring kesehatan SURYA CHANDRA

masyarakat. Saya usulkan jangan garis miring, “dan”. SURAPATY)

PIMPINAN RAPAT : Kita tambah “dan”. Kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Gimana kira-kira, pemerintah setuju, oke. Sekarang kita ketok.

(RAPAT SETUJU) Persandingan perihal kurikulum ini dengan UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan

Kedokteran terkonfirmasi bahwa tidak ada 1 kata pun menyebut materi kurikulum pendidikan kedokteran mengadopsi ‘dokter keluarga.’ Hingga rapat terakhir gabungan dengan Komisi IX, tanggal 4 Juli 2013, materi kurikulum dokter keluarga tidak tersebut sama sekali.

Secara singkat, dari pembahasan di DPR, konsep mengenai urgensi dokter layanan primer dibangun dari argumentasi lemahnya kompetensi dokter layanan primer saat ini yaitu dokter umum. Tidak dikaji mendalam sebab-sebab hulu dari lemahnya kompetensi dokter umum, seperti persoalan melubernya quota penerimaan mahasiswa fakultas pendidikan kedokteran, kurangnya fasilitas praktik klinis di mana salah satunya adalah pemenuhan syarat keberadaan Rumah sakit pendidikan, kualitas dan kuantitas dosen pengajar,

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

kurikulum, dan lain-lain, maupun pada aspek hilir yaitu praktik layanan kesehatan pada tingkat primer yang tidak memenuhi syarat karena faktor kekurangan alat medis dan obat-obatan.

Program dokter layanan primer pun belum memiliki arah pasti dalam hal model pendidikannya, apakah dokter umum harus mengikuti perkuliahan kembali, atau melalui modul-modul yang disusun oleh IDI selaku organisasi profesi.

Konsep pemerintah mengenai dokter layanan primer juga tidak jelas apakah dokter spesialis, bukan spesialis, atau jenis profesi baru. Jika dokter layanan primer adalah dokter keluarga dan menempuh pendidikan tambahan setelah dokter umum, maka semestinya DLP merupakan dokter spesialis. Namun pemerintah memaksa DLP menjadi bentuk profesi baru yang dimuat dalam undang-undang sehingga menimbulkan persoalan baru akibat penambahan ‘kamar’ jenis profesi dokter.

D. Keterlibatan IDI dalam Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran

Pada tanggal 10 Februari 2013 PB IDI mendapat undangan mendadak dari Panja Pemerintah Rancangan Undang-Undang (RUU) Pendidikan Kedokteran (Pendidikan Dokter) yang ditujukan kepada pemangku kepentingan untuk dapat memberi asupan pada Presiden dan Mendikbud yang akan bertemu DPR RI pada tanggal 13 Februari 2013. Pihak DPR ingin mengetahui keinginan pemerintah tentang Rancangan Undang Undang Pendidikan Kedokteran apakah akan dilanjutkan atau tidak. Pertemuan tersebut dipimpinan oleh Prof.Dr. Ali Gufron, MPH yang saat itu menjabat Wakil Menteri Kesehatan RI.

Dalam pertemuan tersebut, Prof.Marsis menyampaikan bahwa IDI bersedia menjadi bagian dari Panja Pemerintah dengan beberapa catatan sebagai berikut:

1. Jika ingin meneruskan pembahasan Rancangan Undang Undang Pendidikan Kedokteran harus disepakati bahwa tujuan pembuatan Undang Undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran adalah untuk menata sistem dan program pendidikan kedokteran di Indonesia, sehingga mampu dalam jangka waktu relatif pendek dapat memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berkeadilan.

2. Draf RUU merupakan perombakan total dari draf Rancangan Undang Undang Pendidikan Kedokteran tanggal 16 April 2012, yang sangat jelas mengeliminir peran organisasi profesi dan kolegium serta KKI.

3. Dalam draf yang baru hendaknya jangan mengatur dan memuat hal-hal yang sudah diatur oleh undang-undang sebelumnya dan jangan mengeliminir institusi yang sudah berfungsi dan tercantum dalam undang-undang

sebelumnya 6 . Rancangan Undang Undang Pendidikan Kedokteran hendaknya

6 Yang dimaksud adalah UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi

38 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

tidak mempunyai tujuan untuk meniadakan UU Praktik Kedokteran yang bersifat legi posterior.

4. Hal-hal yang dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan menteri tidak perlu dicantumkan dalam Rancangan Undang Undang Pendidikan Kedokteran, oleh karena perubahan-perubahan dalam pendidikan kedokteran berlangsung cepat, sehingga bila dalam bentuk PP dan atau Permen maka perubahan dapat dilakukan dengan lebih cepat.

IDI konsisten dalam menolak frasa dokter layanan primer dan mengawal agar peran organisasi profesi dan kolegiumnya tercantum secara eksplisit di dalam pasal-pasal tertentu di dalam RUU, yaitu:

1. Pasal 1 tentang Ketentuan Umum

2. Pasal 5 tentang pembentukan fakultas kedokteran

3. Pasal 7 tentang program internship

4. Pasal 8 tentang program pendidikan spesialis-subspesialis

5. Pasal 11 tentang fakultas kedokteran

6. Pasal 26 tentang standar nasional pendidikan kedokteran

7. Pasal 38 dan 40 tentang uji kompetensi Akhirnya pada tanggal 6 Agustus 2013, Undang-Undang 20 Tahun 2013 Tentang

Pendidikan Kedokteran resmi disahkan. Perlu dicatat, bahwa meskipun IDI tetap menolak substansi DLP di dalam undang-undang itu, IDI menyetujui tentang pembentukan pembentukan fakultas kedokteran, program internship, program pendidikan spesialis- subspesialis, standar nasional pendidikan kedokteran dan uji kompetensi.

Aksi Damai IDI 24-10-2016

Dalam sejarah, IDI turun kejalan baru dua kali. Pertama pada tanggal 27 November 2013 dalam memprotes dipenjaranya sejawat dr. Ayu di Manado. Yang kedua sekarang ini, ketika memprotes kebijakan pemerintah dalam menggoalkan Program Studi Dokter Layanan Primer. Banyak pertanyaan: mengapa IDI, sebagai organisasi profesi turun kejalan? Bukankah IDI sudah terlibat dalam penyusunan konsep DLP sejak awal?

PB IDI yang meski ikut dalam rapat pembentukan Rancangan Undang Undang Pendidikan Kedokteran selalu menyatakan keberatannya tentang pasal pasal DLP. Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), sebagai pemangku kepentingan terbesar dari dokter umum, mengajukan Permohonan Uji Materil Undang Undang Pendidikan Kedokteran Nomor 20 tahun 2013 kepada Makamah Konstitusi, tanggal 21 Oktober 2014 dengan Nomor 122/PUU-XII/2014. Namun pengajuan ini ditolak pada tanggal 7 Desember 2015.

Pada saat yang hampir bersamaan, Muktamar IDI XXIX tahun 2015, dalam Komisi B, menolak DLP untuk dibahas baik dalam BME (Basic Medical Education) maupun dalam

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

PGME (Post Graduate Medical Education). Sidang pleno dalam Mukmatar itu menguatkan keputusan itu, menjadi keputusan Muktamar.

Menindaklanjuti amanah muktamar, PB IDI membentuk Tim Telaah dan Advokasi Dokter Layanan Primer, dengan SK PB IDI No. 00257/PB/A.4/04/2016 tanggal 20 April 2016. Rapat Pleno PB IDI dan Rapat Pleno Diperluas yang diadakan pada tanggal 16 April 2016 memutuskan sikap IDI untuk mengawal DLP dengan melakukan kajian dalam bentuk buku putih. Untuk itu PB IDI kemudian membentuk Tim Penyusun Buku Putih Kajian DLP melalui

SK No. 00371/PB/A.4/06/2017 tanggal 15 Juni 2016. Tim tersebut untuk mengawal RPP Pendidikan Dokter pada setiap pertemuan dengan Tim Pokjanas RPP Undang Undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Namun, dalam berkali kali pertemuan dengan Tim Pokjanas baik di Gedung Kemenristekdikti maupun di Hotel Century Senayan selalu tidak ada titik temu.

Jalan yang ditempuh oleh tim Buku putih adalah melakukan berbagai diskusi dengan departemen terkait dengan Kementerian Kesehatan serta Kementerian Riset dan Teknologi Tinggi menjelaskan mengapa program studi DLP adalah program yang memboroskan dan tidak menyelesaikan masalah pelayanan kesehatan. Selain itu, atas inisiatif beberapa anggota PB IDI, maka tim buku putih merapat kepada fraksi fraksi di DPR, melakukan hal yang sama. Pada berbagai kesempatan pertemuan dengan komisi IX, komisi X, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PKS, Fraksi Golkar, Fraksi Demokrat, Tim Buku Putih juga menjelaskan alasan IDI menolak program studi DLP. Komisi IX DPR memberi waktu 90 hari agar IDI dan pemerintah melakukan pendekatan untuk

menghilangkan perbedaan. Dan tidak melakukan kegiatan yang dapat memperuncing perbedaan.

Namun terbit surat Kemenkes yang terus mempersiapkan pembukaan Prodi DLP dengan memberikan surat kepada Gubernur seluruh Indonesia untuk mengirimkan dokter-dokter Puskesmas menempuh Pendidikan DLP. Dampaknya banyak anggota IDI di Cabang dan Wilayah seluruh Indonesia gelisah, nampak dari banyaknya pertanyaan langsung, email dan pernyataan berkelompok dari anggota IDI kepada pengurus IDI Cabang. Mereka mengusulkan protes atau demo.

Pada awalnya PB IDI, sebagai perhimpunan profesi tidak setuju demo. Salah seorang anggota Pengurus IDI menjembatani usulan dan desakan aksi protes anak anak muda

40 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

IV. PENYISIPAN PASAL DLP DALAM PEMBAHASAN UU PENDIDIKAN KEDOKTERAN

IDI itu dengan bertemu di Kalibata Mall hari minggu 2 Oktober 2016. Dalam pertemuan itu 40 anggota IDI yang hadir yang tergabung dalam kelompok Anak Muda IDI mendesak demo. Salah satu desakan adalah agar turun ke Jalan tepat di Hari Jadi Ikatan Dokter Indonesia 24 Oktober 2016. PB IDI masih tetap tidak setuju, namun anggota tetap ingin melakukan aksi turun kejalan. Pada rapat itu, diputuskan turun kejalan dengan tema Aksi Damai Dokter Indonesia Tolak Prodi DLP. Namun saat itu PBIDI tetap belum setuju.

Suasana makin menghangat. Setelah anggota Pengurus IDI pulang dari pertemuan tersebut dan melaporkan putusan itu, Ketua IDI Cabang dan Ketua Wilayah IDI Banten mendukung penuh Aksi Damai Ikatan Dokter Indonesia Tolak Prodi DLP. Melalui media sosial Anggota

IDI cadang dan wilayah lain mendorong aksi turun kejalan. Melalui rapat Pleno PB IDI tanggal 13 Oktober 2016 aksi turun kejalan dibahas. Namun Ketua Umum PB IDI dan para Dewan Pakar PB IDI tetap belum memberikan lampu hijau.

Tidak bisa dipungkiri peranan Media Sosial begitu penting. Banyak anggota IDI seluruh Indonesia melakukan protes terhadap Kementerian Kesehatan dan Kemenristekdikti. Kelompok kelompok dokter yang tergabung dalam DIB (Dokter Indonesia Bersatu) serta PDIB (Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu) yang anggotanya adalah semua anggota IDI juga protes. Lebih kurang 300 surat Ketua Cabang dan Wilayah seluruh Indonesia masuk ke PB IDI yang semuanya memprotes kebijakan pemerintah dalam membuka Prodi DLP.

Dalam Rapat Cito Pleno IDI di Sam Ratulangi 29 tanggal 18 Oktober 2016, IDI memutuskan untuk melakukan unjuk rasa dengan nama Kegiatan: Aksi Damai Hari Ulang Tahun IDI. Dibentuk Panitia untuk melakukan persiapan. Tema besarnya adalah Reformasi Sistem Kesehatan dan Sistem Pendidikan Kedokteran Yang Pro Rakyat. Salah satu sub temanya adalah “Prodi DLP Pemborosan, bukan solusi”.

Panitia Aksi Damai IDI Tolak Prodi DLP kemudian merancang aturan Aksi Damai. Salah satunya agar selama aksi, pelayanan emergensi disetiap sarana pelayanan kesehatan seluruh Indonesia baik swasta dan pemerintah tetap berjalan. Berbagai rapat berikutnya memutuskan, aksi damai boleh dilakukan di Jakarta, maupun menyelenggarakan aksi damai sendiri di wilayah.

Akhirnya, pada tanggal 24 oktober berlangsunglah Aksi Damai IDI Tolak Prodi DLP yang diikuti lebih kurang 4000 dokter di Jakarta dengan sasaran Istana Presiden dan Kementerian Kesehatan. Selain itu di berbagai daerah juga berlangung Aksi Damai dokter seluruh Indonesia baik Kabupaten/ Kota dan Provinsi. Diperkirakan lebih kurang 40.000 dokter seluruh Indonesia ikut dalam Aksi damai itu.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

AKSI DAMAI IDI MENUNTUT REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN KEDOKTERAN DKI JAKARTA DAN BERBAGAI DAERAH DI INDONESIA SENIN, 24 OKTOBER 2016

Gambar 1A, B dan C. Berangkat menuju Monas

Gambar 2. Perwakilan dokter dari seluruh Indonesia hadir di ibukota

Gambar 3. Gelar orasi aksi damai di untuk menyuarakan reformasi sistem Monas, karena tidak dapat memasuki pendidikan kedokteran sebelum jalan di depan Istana Presiden berdampak pada sistem pelayanan

kesehatan nasional

42 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 4. Aksi Damai IDI di Riau

Gambar 5A dan B. Aksi Damai IDI di Sumatera Selatan

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 6. Aksi Damai IDI di Bandar Lampung

Gambar 7. Aksi Damai IDI di Karanganyar

44 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 8. Aksi Damai IDI di Magetan

Gambar 9. Aksi Damai IDI di Trenggalek

Gambar 10. Aksi Damai IDI di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 11. Aksi Damai IDI di Kabupaten Kediri

Gambar 12.A, B dan C. Aksi Damai IDI se- Kalimantan Timur

46 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 13. Aksi Damai IDI di Bali

Gambar 14. Aksi Damai IDI di Bolaang Mongondow Raya

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 15. Aksi Damai IDI di Konawe Selatan

Gambar 16. Aksi Damai IDI se Provinsi Maluku Utara

48 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 17. Aksi Damai IDI di Maluku

Gambar 18. Aksi Damai IDI di Kabupaten Sampang

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran, DKI Jakarta & Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

Gambar 19. Aksi Damai IDI di Gorontalo

Gambar 20. Aksi Damai IDI di Pare Pare

50 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP

IDI berpendapat, DLP adalah metamorfosa dari dokter keluarga. IDI mengusulkan dari pada membuka program studi DLP yang setara spesialis, lebih baik mengembangkan spesialis dokter keluarga. Karena saat ini, dalam rumah besar IDI telah terbentuk Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga dan sudah memiliki Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia yang disingkat KIKKI.

A. Kilas balik IDI

Tahun 1926 . Perkumpulan Vereniging van Indische Artsen berubah namanya menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VIG). Perubahan ini timbul dari rasa nasionalisme, yang mengubah kata “indische” menjadi “Indonesische”. Tujuan VIG ialah menyuarakan pendapat dokter untuk mempersamakan kedudukan antara dokter pribumi dengan dokter Belanda dari segi kualitasnya.

Tahun 1940. VIG mengadakan kongres di Solo. Kongres tersebut mengumpulkan 3000 istilah baru dalam dunia kedokteran dan menuntut peningkatan gaji (upah) dokter Melayu dengan hasil peningkatan upah mencapai 70% dari jumlah semula yang hanya 50% dibandingkan dengan dokter Belanda. Serta pemberian kesempatan pendidikan lanjutan bagi dokter Melayu.

Tahun 1943 . Dalam masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa izi Hooko-Kai.

30 Juli 1950 . PB Perthabin (Persatuan Thabib Indonesia) dan DP-PDI (Perkumpulan Dokter Indonesia) membentuk panitia penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia (PMDWNI) yang bertugas menyelenggarakan ‘Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia’. Muktamar bertujuan untuk mendirikan suatu perkumpulan dokter warga negara Indonesia yang baru, dan merupakan wadah representasi dunia dokter Indonesia. Muktamar Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) dilaksanakan pada 22-25 September 1950 bertempat di Deca Park yang kemudian menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta. Sebanyak 181 dokter WNI (62 di antaranya datang dari luar Jakarta) menghadiri Muktamar tersebut. Dalam muktamar IDI itu, Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama.

24 Oktober 1950 . Dr. Soeharto (pantia Dewan Pimpinan Pusat IDI waktu itu), atas nama sendiri, dan atas nama pengurus lainnya, yakni Dr. Sarwono Prawirohardjo, Dr. R. Pringgadi, Dr. Puw Eng Liang, Dr. Tan Eng Tie, dan Dr. Hadrianus Sinaga menghadap notaries R. Kadiman untuk memperoleh dasar hukum berdirinya perkumpulan dokter dengan nama ‘Ikatan Dokter Indonesia’, yang dalam Anggaran Dasarnya pada tahun 1952 berkedudukan “sedapat-dapatnya di Ibukota Negara Indonesia” dan didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan”. Tanggal 24 Oktober kemudian dietapkan sebagai Hari Lahir IDI.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP

Dalam periode pengurusan IDI ini, Dr. Tan Eng Tie (bendahara IDI enam kali berturut- turut) ditugaskan membeli gedung IDI (sekarang) di Jalan Sam Ratulangi, Jakarta dari seorang warga Negara Belanda seharga Rp 300.000. Sejak itulah, pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) melayarkan bahtera organisasinya ditempat tersebut.

Tahun 1951 . IDI pertama kali menerbitkan Majalah Kedokteran Indonesia (MKI) yang kemudian ditetapkan sebagai majalah ilmiah resmi IDI.

Tahun 1953 . IDI diterima menjadi anggota World Medical Association (WMA). Pada tahun yang sama IDI memprakarsai berdirinya Confederation of Medical Associationin Asia and Oceania (CMMAO) dan sejak itu,

Tahun 1969. IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Sosial Kedokteran Indonesia. Musyawarah ini berhasil menyusun dan mensahkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).

Tahun 1979 . Untuk pertama kalinya, IDI menerbitkan Berita Ikatan Dokter Indonesia (BIDI). BIDI berkembang menjadi media komunikasi resmi IDI.

Tahun 1980 . IDI memprakarsai berdirinya Medical Association of ASEAN (MASEAN), dan sejak itu menjadi anggota aktif organisasi tersebut.

Tahun 1982 . IDI pertama kalinya menyusun konsep Dokter Keluarga sebagai alternatif pengembangan praktik dokter swasta di Indonesia. Dan tahun 1985 pada Muktamar IDI di Bandung menetapkan lahirnya Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp) dan Perhimpunan Dokter Seminat (PDSm) sebagai badan kelengkapan IDI yang bernaung di bawah IDI.

Tahun 1997. IDI mengalami perkembangan pesat. Tercatat sebanyak 242 IDI Cabang,

24 IDI wilayah, 24 PDSp dan 23 PDSm sebanyak 23 dengan anggota berjumlah 32.220 orang.

Tahun 2015 untuk ke-29 kalinya IDI menyelenggarakan Muktamar di Medan. Muktamar XXIX memilih Dr. Daeng M. Faqih, SH, MH sebagai Ketua Terpilih dan mengukuhkan Prof. dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG sebagai Ketua Umum.

Pada saat ini IDI telah memiliki 432 Cabang, 33 Wilayah, 36 PDSp, 48 PDSm dan 2 PDPP serta memiliki anggota 109.597 dokter dan 26.896 dokter spesialis. Salah satu di antara 86 perhimpunan tersebut adalah Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia yang pada Muktamar XXIX diputuskan kembali memiliki Kolegium sendiri.

52 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP

B. Perkembangan Institusional Kedokteran Keluarga

Ide mengenai perlunya Dokter Keluarga di Indonesia bermula sejak beberapa pengajar dari bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Pencegahan (yang saat ini berganti nama menjadi Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas) Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta kembali dari Internasional Conference of Family Medicine di Filipina tahun 1978. Akhirnya pada tahun 1979 dibentuk “Kelompok Studi Dokter Keluarga Indonesia” yang menerbitkan buku Bunga Rampai Dokter Keluarga Indonesia. Pada tahun yang sama kedokteran keluarga mulai dilaksanakan dalam pembelajaran di FKUI.

Kelompok Studi Dokter Keluarga (KSDK, 1983) adalah sebuah organisasi dokter seminat di bawah IDI dengan beragam anggota, umumnya adalah dokter praktik umum dan dokter spesialis. Pada tahun 1986 KSDK menjadi anggota organisasi dokter keluarga sedunia (WONCA). Setelah Kongres Nasional di Bogor, pada tahun 1990, bersamaan dengan Kongres Dokter Keluarga Asia-Pasifik di Bali, KSDK berganti nama menjadi Kolese Dokter Keluarga Indonesia (KDKI), tetapi masih merupakan organisasi dokter seminat. Pada tahun 2003 dalam Kongres Nasional di Surabaya, KDKI ditasbihkan sebagai perhimpunan profesi, yang anggotanya terdiri atas dokter praktik umum, dengan nama Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI), namun saat itu belum mempunyai kolegium yang berfungsi. Dalam Kongres Nasional di Makassar 2006 didirikan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga (KIKK), serta telah dilaporkan ke IDI dan MKKI.

Anggota KIKK atau Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga dipilih dalam Kongres Nasional

VII di Makassar 30 Agustus – 2 September 2006 dan disahkan oleh PB IDI melalui SK Ketua Umum PB IDI. Tugas KIKK adalah memberikan pengakuan kompetensi keprofesian kepada setiap anggota PDKI. Dibawah ini adalah kewenangan KIKK:

1. Menetapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan sistem pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga;

2. Menetapkan program studi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga beserta kurikulumnya; Menetapkan kebijakan dan pengendalian uji kompetensi nasional pendidikan profesi kedokteran keluarga;

3. Menetapkan pengakuan keahlian (sertfikasi dan resertifikasi);

4. Menetapkan kebijakan akreditasi pusat pendidikan dan rumah sakit pendidikan untuk pendidikan dokter keluarga;

5. Mengembangkan sistem informasi pendidikan profesi bidang kedokteran keluarga Anggota KIKK terdiri atas anggota PDKI yang dinilai mempunyai tingkat integritas dan kepakaran yang tinggi untuk menilai kompetensi keprofesian anggotanya

Pada tahun yang sama, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengeluarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, yang pada bab pendahuluannya menyebutkan karakteristik lulusan sama dengan karakterisitik dokter keluarga seperti yang

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP

terdapat pada buku Standar Profesi Dokter Keluarga. PB IDI menganjurkan agar KIKK bergabung dengan KDI dengan pertimbangan karena dua kolegium tersebut selama ini sama-sama menerbitkan sertifikat kompetensi untuk Dokter yang bekerja pada Pelayanan Primer (DPP). Setelah melalui diskusi yang berkepanjangan akhirnya pada tahun 2007, kedua kolegium bergabung menjadi satu yakni Kolegium Dokter dan Dokter Keluarga disingkat KDDKI dengan dua divisi masing-masing divisi dokter praktik umum dan divisi dokter keluarga.

November 2015, Muktamar IDI XXIX di Medan, PDUI dan PDKI, menyepakati pemisahan kolegium KDDKI menjadi dua kolegium seperti sebelumnya yakni KDI – Kolegium Dokter Indonesia dan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga (KIKK). Pada bulan Juli 2016, Pengurus Pusat PDKI dibentuk, ini terdiri dari Badan Pertimbangan, Badan Pengurus dan Badan Etik. Pada tahun yang sama, Rapat Pleno MKKI menyetujui PDKI sebagai Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga dan pembentukan Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indoneisa atau KIKKI. Beberapa waktu kemudian, terbitlah Penetapan PB IDI tentang Pengurus Pusat Perhimpuan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga Indonesia dengan singkatan yang tetap sama yakni PDKI.

C. Kegiatan-kegiatan Penting

Pada tahun 1990 tersusun program pembelajaran post graduate paket A, B, C, D atas kerjasama Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Masyarakat, Departement Kesehatan RI, dengan PDKI dan FKUI yang kemudian diujicobakan serta dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia.

Pada tahun 1995-2002 diselenggarakan berbagai Training of Trainers (TOT) dari pelatihan paket A, B, C, D di berbagai tempat dengan penyelenggara kerjasama tiga pihak masing-masing Fakultas Kedokteran setempat, PDKI cabang dan Dinas Kesehatan setempat, dengan narasumber berasal baik dari Pengrus Pusat PDKI pusat dan lokal. Program Magister Dokter Keluarga FK Universitas Nasional 11 Maret dibuka pada tahun 1998 yang telah menghasilkan sekitar 500 orang Master Dokter Keluarga.

Dalam lokakarya nasional pada tahun 2001 yang dihadiri oleh dekan dan ketua bagian IKK atau IKM-IKP seluruh Indonesia, 38 fakultas kedokteran sepakat bahwa materi kedokteran keluarga harus masuk dalam kurikulum pendidikan dokter. Pada tahun 2003 diselenggarakan kegiatan pemutihan untuk menjadi pakar kedokteran keluarga dengan maksud mendorong pembelajaran kedokteran keluarga pada institusi pendidikan dokter. Sejumlah 20 fakultas kedokteran yang berminat dalam pembelajaran kedokteran keluarga memiliki pakar Kedokteran Keluarga sejumlah 2-5 orang tiap fakultas. Lokakarya nasional tahun 2003 yang merupakan kelanjutan dari lokakarya tahun 2001 menghasilkan kesepakatan materi kedokteran keluarga pada tahap preklinik dan tahap klinik.

Pada tahun 2004 diselenggarakan lokakarya nasional yang ketiga dan menyepakati kepaniteraan kedokteran keluarga pada 3 FK yang pada saat itu presentasi

54 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

V. UPAYA METAMORFOSA KEDOKTERAN KELUARGA MENJADI DLP

untuk dijadikan contoh. Di tahun ini pula, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengeluarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Program Studi Dokter yang bertujuan meluluskan dokter primer dengan pendekatan kedokteran keluarga.

Tahun 2006 Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia (KIKK) dibentuk dan standar Profesi Dokter Keluarga, Standar Kompetensi Dokter Keluarga, Standar Pelayanan Dokter Keluarga disusun oleh PDKI atas pembiayaan proyek HWS IDI dan arahan Ketua PB IDI.

Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 2008, IDI mencanangkan dimulainya program konversi Dokter Keluarga yang dikelola oleh PDKI. Namun, program ini dihentikan pada tahun 2011 oleh PB IDI, pada saat itu 1743 dokter praktik umum telah dikonversi menjadi dokter keluarga.

Pada tahun 2012, FK Universitas Indoneisa, FK Universitas Gajah Mada, dan FK Universitas Hasanuddin memulai program graduate certificate in Family Medicine. Di tahun ini, konsorsium Dokter Keluarga Indonesia yang didukung oleh Project Health Professional Education Quality (HPEQ-2012-2014) dan di pelopori oleh FK UGM dan FK UNHAS, dibentuk untuk memperkuat kualitas dan kuantitas staf pengajar Kedokteran Keluarga baik dalam program pendidikan dasar dan maupun lanjutan.

Namun, sejak tahun 2013 tidak tercatat adanya kegiatan yang bermakna kecuali kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan DLP. Sejak diundangkannya UU No. 20 Tahun 2013 tentang UU Pendidikan Dokter, para tokoh Kedokteran Keluarga menjadi jajaran terdepan menyuarakan dan memperjuangkan DLP. Diduga, kelompok inilah yang menjadi kelompok penekan dalam proses penyelundupkan DLP ke dalam UU No. 20 Tahun 2013.

Dalam Catatan sejarah DLP yang ditulis oleh Pokja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer dalam Draf Naskah Akademik Standar Kompetensi Dokter Layanan Primer Indonesia. Sejarah DLP diawali dengan lahirnya Kedokteran Keluarga hingga kegiatan kedokteran keluarga pada 2012 dan tiba-tiba pada alinea berikut dicatat tentang masuknya Dokter Keluarga ke dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Ini adalah bukti metamorfosa kedokteran keluarga menjadi DLP. Bukti lain yang menunjukkan bahwa DLP adalah metamorfosa dari Kedokteran Keluarga ditunjukkan oleh rumusan kompetensi DLP oleh Pokja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer dinyatakan bahwa 80% kompetensi DLP adalah kompetensi dokter keluarga.

Pertanyaannya, mengapa harus bermetamorfosa menjadi DLP? Mengapa tidak sebagai spesialis dokter keluarga? Pada saat ini, dalam rumah besar IDI telah terbentuk Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga dan sudah memiliki Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia yang disingkat KIKKI. Sedangkan DLP terkesan tidak jelas dan belum memiliki kolegium. Dengan demikian, profesi DLP yang tumpang tindih adalah perbuatan yang tidak perlu dan jelas merupakan sebuah pemborosan.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan 1: Dokter Umum yang dididik menggunakan kurikulum beradasarkan SKDI 2012 cukup berkualifikasi untuk melakukan pelayanan kesehatan di FKTP.

Rekomendasi: IDI mengusulkan agar penambahan kompetensi pada dokter umum dilakukan melalui modul terstruktur, melalui P2KB, karena lebih cepat, kontekstual dengan kebutuhan lokal, dan lebih cost effective.

Kesimpulan 2: Akar masalah dari ketidakefektifan pendidikan dasar kedokteran adalah karena banyaknya fakultas kedokteran yang masih berakreditasi B dan C. Karena itu dapat disimpulkan bahwa usulan Pendidikan Program Studi DLP yang mensyarakatkan pendidikan tambahan selama 3 tahun, agar memenuhi kualifikasi pemberian pelayanan di FKTP adalah usulan tambal sulam.

Rekomendasi: Pemerintah perlu memprioritaskan—dengan bantuan dari FK yang berakreditasi A—untuk memperbaiki peringkat FK lainnya yang masih berakreditasi

B dan C. Kesimpulan 3 : Pendekatan DLP yang memperkuat fungsi promosi dan preventif, yang

membuat dokter seperti seolah “serba bisa”, adalah pemborosan, tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang yang mengutamakan kerja sama tim, membangun koordinasi UKP-UKM sesuai dengan rancangan Sistem Kesehatan Nasional.

Rekomendasi : Lebih cost effective jika pemerintah menggunakan tenaga lulusan ahli kesehatan masyarakat yang sudah tersedia lebih banyak jumlahnya untuk memperkuat fungsi promotif dan preventif, dan menaikkan anggaran untuk infrastruktur UKM.

Kesimpulan 4: IDI berpendapat bahwa memaksakan dokter umum agar ikut program studi DLP, sebagai syarat agar bisa bekerja di FKTP cenderung bersifat malahan kontra produktif dengan prioritas pemerintah untuk melaksanakan Universal Coverage 2019, karena sekarang ini jumlah FKTP masih kurang tersedia.

Rekomendasi : Pemerintah mestinya memfasilitasi agar jumlah klinik dan dokter praktik yang bekerja sama dengan BPJS bisa bertambah untuk, sehingga sehingga menjamin penyediaan fasilitas pelayanan cukup, dan otomatis mengurangi beban Puskesmas dalam UKP, sehingga, dan Puskesmas mampu bisa mengerjakan UKM yang selama ini masih terabaikan.

Kesimpulan 5 : IDI berpendapat bahwa Program studi DLP tidak dapat menyelesaikan problematika kekurangan dan maldistribusi dokter terutama di wilayah terpencil. Pendidikan yang lebih lama justru akan memperparah maldistribusi. Padahal maldistribusi adalah prioritas yang mesti diselesaikan pemerintah.

Rekomendasi : IDI mengusulkan reformasi pendidikan kedokteran, melalui subsidi biaya pendidikan, rekrutmen calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter

56 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

terbiasa bekerja di pedesaan, dan lama pendidikan yang cost effective, bukan dengan memperpanjang masa pendidikan

Kesimpulan 6 : Asumsi bahwa Program studi DLP untuk mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit tidak didukung data. Data Nasional Rasio Rujukan peserta BPJS dari FKTP, baik tahun 2015, maupun 2016, menunjukkan bahwa angka rasio total rujukan dari FKTP masih di bawah patokan BPJS 15%, yaitu 12 %. Rujukan tinggi terjadi di lokasi tertentu lebih disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana, masih rendahnya kapitasi dibanding biaya pelayanan dan karena atas permintaan sendiri.

Rekomendasi: IDI mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana FKTP milik pemerintah dan menaikkan biaya kapitasi, sehingga kualitas pelayanan bisa lebih baik.

Kesimpulan 7 : Defisit anggaran BPJS yang terjadi dalam 2 tahun terakhir adalah terjadi karena fenomena adverse selection dan karena besarnya penderita penyakit katastrofik. Penyakit katastrofik timbul, karena UKM belum berjalannya UKM, bukan karena kurangnya kemampuan dokter di FKTP.

Rekomendasi : pemerintah sebaiknya lebih baik mencari solusi agar seluruh pekerja informal / mandiri /PBPU bersedia mau menjadi peserta BPJS. Pemerintah harusnya mulai berfokus pada lulusan ahli kesehatan masyarakat, dan meningkatkan anggaran UKM.

Kesimpulan 8 : UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran—terkait dokter layanan primer—tidak harmonis dengan dua Undang-undang lainnya, yaitu UU Nomor

29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.

Rekomendasi : IDI mengajukan revisi terbatas UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran, agar masalah ketidak-harmonisan ini bisa diselesaikan

Kesimpulan 9 : Kolegium DLP tidak mungkin lahir, karena keilmuannya sangat mirip dengan kedokteran keluarga yang sudah mempunyai Kolegium tersendiri (KIKKI). Jadi STR sebagai profesi DLP tidak bisa keluar. Universitas yang sekarang menyelenggarakan program studi DLP juga melanggar undang undang.

Rekomendasi : Progaram studi DLP tidak perlu didirikan dan Universitas yang berminat mengembangkan karir dokter umum lebih baik mengembangkan program spesialis kedokteran keluarga.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Epilog

Perjuangan IDI untuk menata sistem dan program pendidikan kedokteran di Indonesia, sehingga mampu dalam jangka waktu relatif pendek dapat memenuhi pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berkeadilan masih panjang. Sepanjang UU No.

20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran masih dalam bentuknya seperti sekarang, ancaman penyimpangan sistem atas nama hukum masih akan tetap ada.

Karena itu IDI akan tetap berjuang di dua sisi. Pertama, melakukan advokasi untuk perubahan terbatas (revisi) UU No 20 Tahun 2013 melalui DPR RI. Kedua, ikut terlibat bersama pemerintah dalam pembahasan draf Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang UU Pendidikan Kedokteran itu.

A. Advokasi Perubahan UU No 20 tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran

Dalam rangka advokasi perubahan atas UU No 20 Tahun 2013, PB IDI telah melaksanakan serangkaian advokasi Perubahan Atas UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran sebagai berikut :

Tanggal 23 dan 30 Mei 2016, IDI memaparkan alasan revisi dalam RDPU dengan Komisi IX. Komisi IX dalam hal ini mengapresiasi paparan IDI, mengundang pihak terkait, berkoordinasi dengan Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi. Komisi IX bahkan mengusulkan untuk membentuk pansus dan panja bersama Komisi X.

Tanggal 27 September 2016, IDI ikut dalam RDPU dengan Badan Legislasi DPR RI (Baleg). Ikut hadir juga Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Kesehatan. Dalam rapat itu Semua anggota DPR yang hadir pada Rakor/RDP Baleg menyatakan setuju untuk dilakukan revisi UU No 20 Tahun 2013 terutama untuk materi DLP. Baleg sepakat membentuk panja terutama untuk re-evaluasi substansi DLP dan UKMPPD. Baleg meminta pemerintah agar sebelum pembentukan panja revisi UU Pendidikan Dokter, maka RPP tidak diputuskan terlebih dahulu dan agar menahan atau menunda terlebih dahulu pelaksanaan program DLP hingga dilakukan kajian UU Pendidikan Dokter oleh Panja perjalanan UU Pendidikan Dokter tidak akan mulus dengan adanya program pendidikan dokter yang justru ditentang oleh dokter.

Tanggal 24 Oktober 2016 IDI mengikuti RDPU dengan Baleg DPR RI. Dalam rapat ini, Dalam sidang ini, PB IDI menyampaikan naskah akademis dan usulan draf RUU Perubahan atas UU No 20 Tahun 2013. Baleg Meminta pemerintah melibatkan IDI dalam pembahasan RPP Pendidikan Kedokteran.

Tanggal 28 Desember 2016 diselenggarakan RDPU Komisi X dengan PB IDI. Hasilnya Komisi X DPR mendesak pemerintah untuk melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam menyusun rancangan peraturan pemerintah pelaksanaan UU Pendidikan Dokter No 20 Tahun 2013 Tentang pendidikan kedokteran sesuai dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi No 122/PU-XII/2014, dengan melibatkan Komisi

IX DPR RI paling lambat 90 hari kerja terhitung sejak kesimpulan ini diputuskan.

58 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Epilog

IDI menindak lanjuti RDPU itu dengan melakukan audiensi dengan Fraksi DPR RI, seperti PKS, PDIP, Nasdem, Gerindra dan Golkar. Sebagai hasil dari audiensi ini, Fraksi PKS mendukung revisi UU; Fraksi PDIP dan Frasdem masing masing mengusulkan Usulan Resmi Fraksi tentang RUU Perubahan Atas UU no 20 tahun 2013. Beberapa Fraksi yang belum merespon permohonan audiensi dari IDI adalah PPP, Demokrat, PAN, PKB, dan Hanura.

Diluar catatan ini, sejak tanggal 17 November 2016 Panja Komisi X Menyetujui adanya Panja mengenai DLP. Untuk menindaklanjuti hasil itu maka panja program studi DLP Komisi X telah menyelenggarakan rapat dengan sejumlah pemangku kepentingan dan pakar pendidikan kedokteran. Sampai buku ini dibuat, rapat berkala Panja Komisi

X belum selesai. Secara singkat, Perjuangan PB IDI dalam rangka Perubahan Atas UU No 20 Tahun

2013 tentang Pendidikan Kedokteran belumlah selesai, Namun fase pertama ini ditutup dengan harapan yang baik, yaitu ketika pada Rapat Baleg mengenai Program Legislasi Nasional tanggal 14 Desember 2016 telah disepakati bahwa Perubahan Atas UU No 201 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2014-2019 atau lazim disebut longlist Prolegnas dan untuk Prolegnas tahun 2017, RUU ini masuk sebagai daftar tunggu Prolegnas 2017. Hasil pembahasan ini selanjutnya ditetapkan dalam paripurna DPR RI tanggal

15 Desember 2016.

B. Advokasi Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan Kedokteran

Dalam rangka menindaklanjuti keputusan sidang Badan Legislatif DPR, Komisi IX dan Komisi X, maka pemerintah mengundang PB IDI dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pendidikan Kedokteran. PB IDI menyambut baik undangan tersebut dan menghadiri pembahasan RPP. Bahwa pembahasan RPP Pendidikan Kedokteran telah sampai pada tahap pembicaraan harmonisasi antar departemen (interdep) meliputi kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Kesehatan, dan Sekretariat Negara.

Dalam perkembangannya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) sebagai Menteri Koordinator yang mengkoordinasikan kementerian-kementerian tersebut turut serta mengkoordinasikan pembahasan RPP. Penyusunan Rancangan Perundang Undangan tentang dokter layanan primer berlangsung lebih dari 10 kali sampai proses harmonisasi, dalam perjalanan nya belum menemukan titik temu antara Pemerintah dan IDI. Namun hal ini tidak akan menyurutkan langkah PB IDI untuk terus memperjuangkan Perubahan UU No 20 Tahun 2013 Tentang pendidikan Kedokteran.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

PERJALANAN PERJUANGAN REVISI UNDANG-UNDANG NO

20 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KEDOKTERAN

Gambar 1. Jumpa Pers Uji Materi UU Gambar 2. Audiensi dengan Komisi X no. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan DPR RI, 30 Mei 2016 Kedokteran di PB IDI

Gambar 3A, B, C, D. RDPU Badan Legislasi DPR RI dengan IDI, 25 Juli 2016

Hasil :

Disepakati perubahan atas UU No 20 tahun 2013 untuk dimasukkan dalam Prolegnas 2016 atau 2017 dan diagendakan untuk pembentukan panitia kerja lewat pemantauan peninjauan UU. Baleg meminta IDI menyiapkan position paper, Naskah Akademis, dan draf RUU perubahan atas UU No 20 Tahun 2013.

60 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran

Gambar 4. Audiensi dengan Menteri Gambar 6. Audiensi dengan Sekneg RI Pertahanan, 22 Agustus 2016

Divisi Kelembagaan, 5 September 2016

Gambar 7. Audiensi dengan Deputi III, Gambar 8. Audiensi dengan Fraksi PKS Kemenko PMK, 6 Sept 2016

DPR-RI, 20 September 2016

Gambar 9. RDPU Badan Legislasi (Baleg) bersama IDI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, dan Kementerian Kesehatan, 27 September 2016

B. Menunggu waktu sidang di gedung DPR Cabang berjalan menuju gedung DPR-RI

A. Berbagai perwakilan IDI Wilayah dan

RI

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran

Hasil:

Semua anggota DPR yang hadir pada Rakor/RDP Baleg menyatakan setuju untuk dilakukan revisi UU no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Pendidikan Dokter) terutama untuk materi DLP. Baleg RI sepakat membentuk panja terutama untuk re-evaluasi substansi DLP dan UKMPPD dalam UU Pendidikan Dokter. Sebelum pembentukan panja revisi UU Pendidikan Dokter, maka RPP tidak diputuskan terlebih dahulu. Baleg meminta pemerintah untuk menahan atau menunda terlebih dahulu pelaksanaan program DLP hingga dilakukan kajian UU Pendidikan Dokter oleh Panja. Perjalanan UU Pendidikan Dokter tidak akan mulus dengan adanya program pendidikan dokter yang justru ditentang oleh dokter. Baleg juga meminta pemerintah melibatkan IDI dalam pembahasan RPP pendidikan kedokteran. Dalam sidang ini, PB IDI menyampaikan naskah akademik dan usulan draf RUU perubahan atas UU no 20 tahun 2013.

62 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran

Gambar 10. Audiensi dengan Menteri Gambar 11. Seminar Pendidikan Dokter Sekretaris Negara Pratikno,

Layanan Primer dengan Fraksi PPP

20 September 2016

Gambar 12. Audiensi dengan Fraksi Gambar 13. Audiensi dengan Fraksi Partai Golkar

Partai Nasional Demokrat, 4 Oktober 2016

Gambar 14. Audiensi dengan Fraksi Gambar 15. Sinkronisasi RPP, 23 Oktober PDIP, 11 Oktober 2016

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran

Gambar 16. Audiensi dengan Fraksi Gambar 17. Audiensi dengan Media Partai Gerindra, 28 Oktober 2016

Kompas, 16 Desember 2016

Gambar 18. Harmonisasi RPP DLP, Gambar 19. Audiensi dengan Metro TV Hotel Century, 22 Desember 2016

dan Media Indonesia, 16 Januari 2017

Gambar 20. Audiensi dengan Koran Gambar 21. Audiensi dengan SCTV, 20 Tempo, 19 Januari 2017

Januari 2017

64 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran

Gambar 22. Audiensi dengan Republika, Gambar 23. Harmonisasi RPP di Kemko

9 Februari 2017 PMK, 14 Februari 2017

Gambar 24. Penyerapan Aspirasi IDI Gambar 25. Diskusi pembahasan DLP Wilayah Jawa Timur Bersama Komisi X

versi IDI dan pemerintah, Surabaya, Fraksi NasDem

Gambar 26. Penyerapan Aspirasi IDI Gambar 27. Seminar Fraksi Partai Cabang Ngawi, Jawa Timur

Persatuan Pembangunan (PPP) di gedung DPR. Jakarta, 21 Februari 2017

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Pustaka

Asshiddiqie J. Komentar atas Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sinar Grafika; 2013.

Australia-Indonesia Partnership for Healh Systems Strengthening. Laporan Akhir National Health Accounts (NHA) Indonesia. 2014

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan Puskesmas. 2011.

Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Perkuat Upaya Promotif Preventif melalui DLP. [Online]: http://www.depkes.go.id/ article/view/16102300002/perkuat-upaya-promotif-preventif-melalui-DLP.html. Diakses tanggal 1 Maret 2017.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 25 Juni 2013

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Risalah Rapat Panitia Kerja Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 2 April 2012.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Lokakarya Panja Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 23 Maret 2011.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran, 27 Januari 2011.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 25 Juni 2013.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Panitia Kerja Tentang Rancangan Undang Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Dengar Pendapat Umum Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 26 Juni 2013.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan Undang- Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 15 Maret 2011.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan Undang- Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 2 April 2012.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan Undang- Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 4 April 2012.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan Undang- Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 9 April 2012.

66 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Pustaka

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan Undang- Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 11 Maret 2013.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Risalah Rapat Panja Rancangan Undang- Undang Tentang Pendidikan Kedokteran. 4 Juli 2013.

Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar, Departemen Kesehatan RI. Kebijakan Akselerasi Pengembangan Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta; 2007.

Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer. Pendidikan Dokter Layanan Primer, Kementerian Pendidikan Tinggi & Ristek - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015.

Kementerian Kesehatan Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Repubik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014. Jakarta; 2014.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). [Online]: http://www.kkni-kemenristekdikti.org, diakses tanggal 1 Maret 2016.

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Prosedur PenyeIenggaraan Program Studi Program Magister dan Profesi PTN dan Swasta. 2015.

Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2014. Jakarta; 2014.

Martinah. Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legislature ke Positive Legislature. Jakarta: Konstitusi Press, Jakarta: 2013.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Optimalisasi Profesionalisme Dokter Umum Di Tingkat Pelayanan Primer Pada Era JKN Menyongsong SDG. Jakarta: Disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan dan Musyawarah Kerja Nasional PDUI. Jakarta; 22 April 2016.

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Kebijakan Kemristekdik/Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. 2015.

Marmot M. Social Determinants of Health Inequalities. Lancet 2015; 365, 1099-104. Mundiharno. Jaminan Kesehatan Nasional: Pencapaian & tantangan dari Sudut Pandang

Penyelenggara. Presentasi pada Kongres InaHEA ke-3 Yogyakarta: 28 Juli 2016. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan

Nasional. Jakarta; 2012. Perkumpulan Promotor Dan Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia. Kurikulum

Pendidikan Profesi Promotor Dan Pendidik Kesehatan Masyarakat. Lokakarya Bahan Kajian Kurikulum Profesi Promotor Kesehatan Universitas Diponegoro – Semarang. 3 Juni 2016.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Pustaka

Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Jakarta; 2012.

Saminarsih SD. Annual Scientific Meeting. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. [online] http://health.detik.com/read/2015/03/06/172535/2851941/763/243-puskesmas-di- indonesia-rusak-berat. Di akses tanggal 08 September 2016.

Schwab K. The Global Competitiveness Report 2016-2017. Jenewa:World Economic Forum; 2016.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta; 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran.

Jakarta; 2004. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran. Jakarta; 2013 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Jakarta; 2014. Zahrawardi. Analisis Pelaksanaan Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta Wajib

PT. Askes pada Puskesmas Mibo, Puskesmas Batoh dan Puskesmas Baiturahman di Kota Banda Aceh Tahun 2007. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2007.

68 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA

Jl. Dr. G.S.S.Y. Ratulangi No. 29 Menteng, Jakarta Pusat 10350

ISBN 978-602-72055-5-0

9 786027 205550