Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP Sebuah Kajian Akademis

Buku Putih

IDI Menolak Program Studi DLP:

Sebuah Kajian Akademis

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia 2017

TIDAK DIPERJUALBELIKAN

Buku Putih

IDI Menolak Program Studi DLP:

Sebuah Kajian Akademis

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia 2017

Penyusun

Abdul Razak Thaha Andi Khomeini Takdir Ario Djatmiko Baety Adhayati Fika Ekayanti Hadiwijaya Mahesa Paranadipa Mariya Mubarika Muhammad Adib Khumaidi Muhammad Akbar Purnawan Junadi Pranawa Martosuwignjo Siti Fikriyah Khuriyati

Penyunting

Dian IP Nugrahari Dien Kuswardani

Alfu Nikmatul Laily Purnawan Junadi

Foto

Foto foto sumbangan dari Anggota IDI

Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN 978-602-72055-5-0

ISBN 978-602-72055-5-0

Sambutan Ketua PB IDI

Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya atas

selesainya “Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP: Sebuah Kajian Akademis”. Buku ini merupakan bahan kajian akademis dan refleksi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk menjelaskan sikap IDI terhadap istilah program studi dokter layanan primer setara spesialis yang saat ini masih terus menjadi masalah yang diperdebatkan antara IDI dan pemerintah (khususnya Kementerian Kesehatan RI dan Kementerian Ristek Dikti RI).

Istilah dokter layanan primer dikenal sejak terbitnya UU Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran. Pada awal pembahasan RUU Pendidikan Dokter, istilah dokter layanan ini tidak ditemukan, karena tujuan utama disusunnya UU Pendidikan Dokter ini adalah untuk mencegah komersialisasi pendidikan kedokteran dan adanya keberpihakan pada anak daerah untuk menjadi dokter. Namun pada UU tersebut tercantum dokter layanan primer (DLP) sebagai kelompok baru dalam dunia kedokteran Indonesia.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi bagi dokter memang bukanlah suatu lembaga penyelenggara pendidikan, meski di dalamnya terdapat Kolegium yang memiliki wewenang mengampu keilmuan kedokteran berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Namun IDI memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjamin mutu pelayanan dokter yang dihasilkan dari proses pendidikan itu sendiri.

Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran peran dan fungsi IDI memang diperlihatkan hanya pada tataran koordinatif. Namun harus disadari bahwa proses pendidikan dan pelayanan kedokteran merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan. Proses pendidikan kedokteran yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tentunya tidak lepas dari tanggung jawab menghadirkan mutu pelayanan yang baik. Para pendidik atau supervisor dalam proses pendidikan maupun internsip pun tidak lepas dari proses pelayanan kedokteran. Oleh karenanya IDI tidak dapat melepas diri atau dianggap bukan bagian dari proses menjaga mutu pendidikan kedokteran.

Pasca terbitnya UU pendidikan kedokteran, IDI pernah terlibat dalam kelompok kerja (Pokja) Dokter Layanan Primer (DLP) yang dibentuk bersama Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Konsil Kedokteran Indonesia, dan pemangku kebijakan lainnya. Adanya proses uji materi UU Pendidikan Kedokteran di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh salah satu perhimpunan di bawah IDI mendorong IDI untuk tidak meneruskan pembahasan di Pokja hingga proses uji materi selesai, yang kemudian kita ketahui bahwa MK menolak seluruh permohonan. Namun perkembangan selanjutnya, karena proses terbentuknya kolegium dan perhimpunan yang tidak tuntas, disebabkan belum jelasnya ranah kompetensi dan aspek pelayanannya, serta dikhawatirkan banyaknya tumpang tindih antar dokter di lapangan, menyebabkan forum pengambil keputusan di IDI yaitu muktamar tidak dapat menerima pembahasan program studi tersebut.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Sambutan Ketua PB IDI

Dinamika lebih lanjut, seluruh jajaran IDI dan sebagian besar anggota menyatakan aspirasinya dalam aksi damai tanggal 24 Oktober 2016 berupa penolakan program studi DLP ini. Aspirasi ini tentunya menjadi amanah bagi IDI sebagai tempat berhimpun seluruh dokter Indonesia. Namun penolakan tentunya harus didasarkan kepada kajian komprehensif. Kajian terkait hal ini harus dilakukan dengan dasar ilmiah serta bukti yang jelas untuk meyakinkan semua pihak bahwa kebijakan tersebut layak dijalankan atau perlu dilakukan penyesuaian.

Atas dasar di atas, Pengurus Besar IDI sebagai badan ekeskutif IDI di tingkat pusat telah membentuk Tim Buku Putih PB IDI Tentang Penolakan Prodi DLP, yang merangkum semua data serta informasi yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik maupun organisasi terkait program dokter layanan primer yang termaktub dalam undang-undang pendidikan kedokteran. Dan Alhamdulillah tim telah menuntaskan amanah tersebut.

Dalam buku ini disusun kajian mulai dari kondisi pendidikan kedokteran di Indonesia, polemik DLP, rangkaian peristiwa mengenai DLP yang terjadi mulai dari awal hingga saat ini, analisis sikap IDI terhadap DLP, hingga kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan oleh IDI. Buku ini diharapkan dapat membuka mata berbagai pihak dan memberikan pemahaman mengenai posisi IDI terhadap DLP dan bagaimana langkah perjuangan IDI patut terus dilanjutkan untuk memberikan kontribusi penyelesaian masalah kesehatan yang terjadi pada saat ini dengan cara yang lebih baik dan menyasar pada akar masalahnya.

Saya selaku Ketua Umum PB IDI mewakili segenap jajaran IDI mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya bagi Tim Buku Putih PB IDI tentang DLP, serta semua pihak yang terlibat dalam penyusunan Buku Putih PB IDI tentang Dokter Layanan Primer. Diharapkan dengan keberadaan buku ini dapat memberikan informasi dan penjelasan yang lengkap dan jelas terkait kebijakan IDI terhadap program DLP. Diharapkan juga buku ini dapat menyelesaikan polemik yang sangat menyita energi sehingga energi tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan secara konstruktif demi kemajuan bangsa khususnya mutu pendidikan kedokteran di masa yang akan datang.

Semoga Tuhan YME selalu memberikan kebijaksanaan dan rahmatNya kepada kita semua. Amin

Jakarta, Maret 2017 Ketua Umum PB IDI

Prof. Dr. I. Oetama Marsis,Sp.OG

NPA. IDI : 7.535

ii

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Kata Pengantar

Ketua Tim Buku Putih DLP IDI

Bermula dari gencarnya sosialisasi Prodi DLP oleh Pokjanas Percepatan RPP UU Pendidikan Dokter. Anggota IDI baik perorangan maupun kelembagaan, terutama IDI Wilayah dan Cabang mendesak PB IDI - yang juga menjadi anggota Pokjanas, untuk keluar dari keanggotaan Pokjanas dan dengan tegas menyatakan secara terbuka penolakan terhadap DLP. Gelombang desakan makin keras dan meluas akibat surat-surat Kemenkes ke berbagai daerah “mendesak” pemerintah daerah untuk membantu mempercepat pelaksanaan Prodi DLP. PB IDI ditengarai telah “bermain mata” dengan Kemenkes dan Kemristekdikti dan dengan sengaja melanggar amanah Muktamar yang jelas-jelas menolak Prodi DLP. Desakan-desakan memuncak dalam bentuk suara-suara yang mengusulkan pemakzulan Ketua Umum PB IDI.

PB IDI berpendapat bahwa IDI sebagai sebuah organisasi profesi yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur profesi, dalam menerima atau menolak sebuah kebijakan dan atau program tidak boleh hanya melulu didasarkan pada desakan anggota seberapa besar dan luas pun desakan tersebut. Tetapi terutama harus didasarkan pada pertimbangan- pertimbangan ilmiah yang logis, rasional dan berbasis bukti.

Atas dasar pemikiran tersebut, PB IDI membentuk sebuah tim kerja yang diberi nama Tim Penyusun Buku Putih DLP. Tim diberi tugas untuk melakukan kajian akademik terhadap Kebijakan DLP dan menyusunnya dalam bentuk sebuah Buku Putih yang didasarkan pada alasan-alasan teoritik dan bukti-bukti yang valid. Tim mengalami kesulitan memulai tugas ini karena minimnya dokumen dan data pendukung. Namun melalui kerja keras dan cerdas dari semua anggota Tim, meski membutuhkan waktu yang relatif lama, dengan izin-Nya, akhirnya dokumen penting dan data valid yang diperlukan dapat juga terkumpul.

Alhamdulillah, hasilnya adalah buku yang berada di tangan pembaca. Buku ini adalah pertanggungjawaban ilmiah atas amanah yang dipercayakan oleh PB IDI kepada Tim Buku Putih DLP. Untuk itu, terima kasih diucapkan kepada PB IDI atas kepercayaan tersebut.

Terima kasih kepada semua pihak terutama pihak-pihak yang telah berbaik hati membantu dokumen dan data yang diperlukan. Terima kasih kepada setiap anggota Tim yang telah bekerja tanpa pamrih dan nyaris tanpa keluhan. Terima kasih kepada Tim Sekretarit PB IDI atas dukungan administrasi dan logistik. Terima kasih juga kepada para editor atas bantuannya yang sangat berharga.

Sebagai sebuah hasil kerja akademik, buku ini terbuka bagi kritik dan masukan dari pihak mana pun. Harapannya, buku kecil ini bisa ikut memberikan kontribusi yang makin memperkokoh tradisi ilmiah Ikatan Dokter Indonesia sebagai organisasi profesi tertua di negeri ini. Tradisi yang telah dipertahankan dengan konsisten sejak peletakan fondasinya

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

iii

Kata Pengantar : Ketua Tim Buku Putih DLP IDI

oleh para pendahulu di tahun 1908 yang melahirkan Gerakan Kebangkitan Nasional sebagai cikal bakal perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan perlindungan-Nya kepada kita semua. Amin.

Ketua Tim Buku Putih DLP IDI

Prof. Dr. Abdul Razak Thaha, MSc.

NPA. IDI : 48390

iv

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Isi

Sambutan Ketua PB IDI i Kata Pengantar Ketua Tim Buku Putih DLP IDI

iii Daftar Isi

v Daftar Tabel

vii Daftar Singkatan

viii Prolog

I. Pendidikan Kedokteran dan Polemik DLP

A. Perkembangan Kurikulum Pendidikan Kedokteran Indonesia

B. Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter

C. Polemik Dokter Layanan Primer

1. DLP Adalah Dokter yang Bekerja di FKTP

2. DLP: Kastanisasi Baru

D. Problematik Melahirkan Program Studi DLP

1. Syarat Membuka Program Studi

2. Standard Pendidikan Profesi

3. Kolegium DLP

4. Surat Tanda Registrasi

E. Peningkatan Kualitas Pelayanan melalui Modul Terstruktur

Klarifikasi buku “Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional Berorientasi

15 Pelayanan Primer”

II. Program Studi DLP: Pemborosan Dan Bukan Solusi

A. Isu Pertama: Memantapkan Sistem Pelayanan Kesehatan

B. Isu Kedua: Menuju Universal Coverage di 2019

C. Isu Ketiga: Menyelesaikan Disparitas Pelayanan Kesehatan

D. Isu Keempat: Menurunkan Angka Rujukan di FKTP

1. Fasilitas Kurang Memadai

2. Layanan Pengobatan Tidak Adekuat

3. Biaya Pelayanan di Atas Biaya Penggantian

4. Rujukan Atas Permintaan Sendiri (APS)

E. Isu Kelima: Mengurangi Biaya Katastrofik

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Isi

III. DISHARMONI Undang-Undang AKIBAT Dokter layanan primer

A. Ketidak-harmonisan Jenis Profesi

B. Ketidak-harmonisan Kewenangan

C. Ketidak-harmonisan Gelar Profesi

IV. Penyisipan Pasal DLP Dalam Pembahasan UU Pendidikan Kedokteran

A. DLP tidak ada dalam Naskah Akademik maupun RUU Uji Publik

B. Proses Pembahasan RUU Pendidikan Dokter di DPR

C. Penyisipan pasal DLP

1. Berubahnya jenis profesi kedokteran

2. Dokter Keluarga tidak ada dalam pembahasan Kurikulum

36 Pokok Pendidikan Kedokteran

D. Keterlibatan IDI dalam Pembahasan RUU Pendidikan Kedokteran

Aksi Damai IDI 24-10-2016

39 Aksi Damai Idi Menuntut Reformasi Sistem Pendidikan Kedokteran DKI

42 Jakarta dan Berbagai Daerah Di Indonesia, Senin, 24 Oktober 2016

V. Upaya Metamorfosa Kedokteran Keluarga Menjadi DLP

A. Kilas balik IDI

B. Perkembangan Institusional Kedokteran Keluarga

C. Kegiatan-kegiatan Penting

56 Epilog

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Advokasi Perubahan UU No 20 tahun 2013 Tentang Pendidikan

58 Kedokteran

B. Advokasi Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang

59 Pendidikan Kedokteran

Perjalanan Perjuangan Revisi Undang-Undang No 20 Tahun 2013 Tentang

60 Pendidikan Kedokteran

Daftar Pustaka

vi

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Tabel

6 Tabel 2.

Tabel 1. Perbedaan KBK dan KBD

7 Tabel 3.

Gambaran akreditasi Fakultas/Prodi Kedokteran (BAN PT, 2016)

9 Tabel 4.

Persentase kelulusan UKMPPD tahun 2015

12 Tabel 5.

Nama Praktisi yang bekerja di Layanan Primer

18 Tabel 6.

Pertambahan Jumlah FKTP dan Peserta JKN

20 Tabel 7.

Kecukupan Dokter Puskesmas Menurut Wilayah Tahun 2015

21 Tabel 8.

Rasio Rujukan dan Kunjungan FKTP per Tahun 2015-Agustus 2016

22 Tabel 9.

Rasio Rujukan Menurut Divisi Regional (Divre)

26 Tabel 10. Ketidak-harmonisan Kewenangan

Tumpang Tindih jenis profesi

28 Tabel 11. Ketidak-harmonisan Gelar Profesi

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

vii

Daftar Singkatan

AD/ART : Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga ADB : Asian Development Bank AIPKI

: Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia

APS : Atas Permintaan Sendiri ARSPI

: Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia AS

: Amerika Serikat ASEAN : Association of South East Asia Nations Baleg

: Badan Legislatif BAN PT

: Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Bappenas

: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BIDI

: Berita Ikatan Dokter Indonesia BME : Basic Medical Education BPJS

: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CBT : Computer Based Testing CHS : Consortium of Health Sciences CMMAO : Confederation of Medical Associationin Asia and Oceania Co-Ass : Coassistenschap DHA : District Health Account DIB

: Dokter Indonesia Bersatu DIM

: Daftar Isian Masalah Dirjen DIKTI

: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DLP

: Dokter Layanan Primer DPP

: Dokter Pelayanan Primer DPR RI

: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia FK

: Fakultas Kedokteran FKTP

: Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer FKUI

: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

viii

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Singkatan

FPKS : Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Gerindra

: Gerakan Indonesia Raya Golkar

: Golongan Karya HAM

: Hak Asasi Manusia Hanura

: Hati Nurani Rakyat HPEQ : Health Professional Education Quality IAKMI

: Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

INA CBGs : Indonesia Case Base Groups ISMKI

: Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia

JKN : Jaminan Kesehatan Nasional KBD

: Kurikulum Berbasis Disiplin Ilmu KBK

: Kurikulum Berbasis Kompetensi Kemenristekdikti : Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi KIKKI

: Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia

KIPDI : Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia KIS

: Kartu Indonesia Sehat KKI

: Konsil Kedokteran Indonesia KKNI

: Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Kodeki

: Kode Etik Kedokteran Indonesia KSDK

: Kelompok Studi Dokter Keluarga MASEAN : Medical Association of ASEAN Menko PMK

: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

MK : Mahkamah Konstitusi MKI

: Majalah Kedokteran Indonesia MKKI

: Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia MTKI

: Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

ix

Daftar Singkatan

Nasdem : Nasional Demokrat NHA : National Health Account OSCE : Objectives Structured Clinical Examination P2KB

: Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan PAN

: Partai Amanat Nasional Panja

: Panitia Kerja PB IDI

: Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia PBL : Problem Based Learning PBPU

: Peserta Bukan Penerima Upah PDGI

: Persatuan Dokter Gigi Indonesia PDI Perjuangan : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIB

: Perhimpunan Dokter Indonesia Bersatu PDKI

: Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia PDLP

: Program Dokter Layanan Primer PDSm

: Perhimpunan Dokter Seminat PDSp

: Perhimpunan Dokter Spesialis PDUI

: Perhimpunan Dokter Umum Indonesia Perthabin

: Persatuan Thabib Indonesia PGME

: Post Graduate Medical Education PKB

: Partai Kebangkitan Bangsa PKS

: Partai Keadilan Sejahtera PMDWNI

: Penyelenggara Muktamar Dokter Warga Negara Indonesia PMKS

: Penyandang Masalah Kesehatan Sosial Pokja

: Kelompok Kerja PPP

: Partai Persatuan Pembangunan Prolegnas

: Program Legislasi Nasional PTN

: Perguruan Tinggi Negeri

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Daftar Singkatan

PTNBH : Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum PTS

: Perguruan Tinggi Swasta

Rakor

: Rapat Koordinasi

RDP

: Rapat Dengan Pendapat

RDPU

: Rapat Dengar Pendapat Umum

RI

: Republik Indonesia

RPP

: Rencana Pelaksaan Pembelajaran

RUU

: Rancangan Undang-undang

RUU Pendidikan Dokter : Rancangan Undang-Undang Pendidikan Dokter SDM

: Sumber Daya Manusia

SJKN

: Sistem Jaminan Kesehatan Nasional

SK

: Surat Keputusan

SKDI : Standar Kompetensi Dokter Indonesia SKN

: Sistem Kesehatan Nasional

SKPDI : Standar Kompetensi Pendidikan Dokter Indonesia SKS

: Satuan Kredit Semester

SPICES : Student-centred, Problem-based, Integrated, Community-based,

Elective, dan Systematic

STR

: Surat Tanda Registrasi

Timus

: Tim Perumus

TOT : Training of Trainers UC : Universal Coverage UCSF : University of Carolina San Fransisco UI

: Universitas Indonesia

UK : United Kingdom UKM

: Upaya Kesehatan Masyarakat

UKMPPD : Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

xi

Daftar Singkatan

UKP

: Upaya Kesehatan Perorangan

UKT

: Uang Kuliah Tunggal

UNICEF : United Nations International Children’s Fund UU

: Undang-undang

UUD 45 : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

VIG : Van Indonesische Genesjkundigen WEF : World Economic Forum WFME : World Federation on Medical Education WHO : World Health Organization WMA : World Medical Association WONCA : World Organization of Family Doctors YME

: Yang Maha Esa

xii

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Prolog

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah usaha pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya tujuan berbangsa, yaitu derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45).

Landasan konstitusional dari SKN adalah UUD 45 khususnya Pasal 28A: ”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28H ayat (1) ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal 34 ayat (2) ”Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”, dan Pasal 34 ayat (3) ”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas

pelayanan umum yang layak” 1 .

Kegagalan rakyat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, terjangkau secara geografis dan finansial adalah cerminan kegagalan negara. Pembangunan manusia bertumpu pada kesiapan layanan primer dengan mengedepankan kegiatan promotif dan preventif. Untuk itu, layanan primer harus dilaksanakan dengan sistematik, strategis dan senantiasa dipantau agar perjalanan kesehatan bangsa dapat terukur dan mencapai derajat kesehatan tertinggi

Sir Michael Marmot (WHO) menyatakan, sistem kesehatan nasional pada setiap negara adalah “kendaraan” bagi bangsa itu untuk meraih masa depan. 2 Ditegaskan, sistem kesehatan adalah kekuatan dan karakter bangsa yang mencakup keputusan politik, hukum, budaya, spiritual, solidaritas, pengelolaan ekonomi, teknologi, konsep, dan manajemen yang berfokus untuk membangun masa depan bangsa. Pencapaian setiap negara dalam membawa rakyatnya ke kehidupan yang lebih baik dapat terbaca dengan jelas dalam angka yang tertera dalam Human Development Index.

Melihat angka yang tertera dalam Human Development Index dari tahun ketahun, perkembangan derajat kesehatan rakyat Indonesia tidak menggembirakan. Bahkan dalam catatan Indeks Daya Saing Global 2016-2017 yang ditulis World Economic Forum (WEF), peringkat Indonesia menurun, dari peringkat 37 menjadi peringkat 41 dari 138 negara. Pilar kesehatan dan pendidikan (2014-2016) peringkat Indonesia

1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diakses dari https://portal. mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/UUD_1945_Perubahan.pdf pada tanggal 22 Februari 2017, pukul 23.24 2 Michael Marmot: Social Determinants of Health Inequalities. Lancet 365, 1099-104 (2005)

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Prolog

turun drastis 20 tingkat menjadi peringkat ke 100 dari 138 negara. 3 Penurunan tajam peringkat kesehatan dan pendidikan ini merupakan ”lampu merah” yang harus segera diantisipasi karena berkaitan langsung dengan perjalanan bangsa ini kedepan. WEF menyatakan, pembangunan pilar kesehatan Indonesia berjalan berbalikan dengan tren di negara-negara di kawasan ASEAN. Bahkan jelas dinyatakan bahwa derajat kesehatan bangsa Indonesia disebut sebagai yang terburuk diluar negara sub-Sahara Afrika.

Hal yang menjadi catatan khusus adalah penurunan tajam peringkat Indonesia di pilar kesehatan dan pendidikan justru terjadi saat Indonesia memulai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) pada tahun 2014. Walaupun belum jelas mekanismenya, angka penurunan peringkat ini jelas merupakan cerminan kegagalan pelaksanaan Sistem Kesehatan Nasional di negeri ini. Kegaduhan pada pelaksanaan SJKN-BPJS yang terus berlanjut, beredarnya vaksin palsu dan banyak hal buruk lain di negeri ini, menunjukkan adanya benang kusut pada pelaksanaan SKN. Hal yang menjadi pertanyaan, apakah keputusan yang diambil pemerintah di masa kemelut ini merupakan sebuah terapi kausal? Mungkinkah keputusan yang tepat akan lahir dari sebuah kekusutan? Ikatan Dokter Indonsisa (IDI) melihat adanya bayang-bayang kegagalan kian menghantui Sistem Kesehatan Nasional. Disinilah awal polemik Dokter Layanan Primer (DLP) itu lahir dan terus berkepanjangan.

IDI sangat memahami bahwa layanan primer adalah tulang punggung Sistem kesehatan Nasional. IDI paham bahwa untuk mencapai tujuan kesahatan nasional penguatan layanan primer adalah harga mati. Persoalannya, benarkah pendidikan formal DLP yang memakan waktu 3 tahun dan membutuhkan biaya besar ini merupakan terapi kausal pada benang kusut yang terjadi di Sistem Kesehatan Nasional? Benarkah penyelenggaraan pendidikan DLP yang panjang dan mahal ini mampu mengangkat peringkat Indonesia dari keterpurukan? Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dan efisien? Dalam situasi negara seperti ini, keputusan yang salah dapat membawa kerugian material, sosial, spiritual yang fatal sehingga dapat menyebabkan penderitaan masyarakat. Penurunan drastis pada produktivitas bangsa dan daya saing menjadikan cita-cita dan masa depan bangsa semakin menjauh sehingga perlu dilakukan usaha bermakna untuk mengatasi kegagalan ini, minimal dengan cara membuat keputusan yang tepat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, setiap keputusan harus dilakukan berdasarkan

3 Klaus Schwab: The Global Competitiveness Report 2016-2017. World Economic Forum. Jenewa (2016)

2 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

Prolog

fakta dan studi lapangan yang seksama agar dapat memberi jawaban akurat atas kebutuhan riil masyarakat ditiap daerah. Situasi, ekologi, populasi, keadaan ekonomi dan pola penyakit disetiap negara tidak sama, sehingga keputusan yang baik bukan hanya berdasarkan telaah literatur saja atau mengadopsi keputusan negara lain. Negara Indonesia yang begitu luas dan beragam memerlukan solusi khusus dan tidak bisa disamakan dengan negeri Belanda. Sebagai organisasi profesional dan sekaligus pelaku lapangan terdepan yang selalu mengedepankan fakta lapangan dan kajian akademis, IDI meminta agar dilakukan studi (akademis) lapangan dalam pembuatan setiap keputusan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi dan sistem dapat berjalan dengan efektif.

Sesuai yang tertulis dalam AD/ART, IDI hadir bukan untuk kepentingan golongan tetapi untuk kepentingan “perjalanan” bangsanya. Namun ironis, polemik DLP mengesankan adanya konflik kepentingan antara IDI dan pemerintah. Akibatnya, titik temu semakin jauh dan akan merugikan semua pihak terutama masyarakat.

Sistem adalah upaya berbagai pihak yang bekerja sinergis untuk menuju ke satu tujuan yang sama. Sistem pada layanan kesehatan di level manapun merupakan pekerjaan kompleks yang membutuhkan muatan ilmu pengetahuan (knowledge). Kesamaan rasa dan kesamaan pemahaman semua pihak sangat diperlukan agar sinergisme kerja dapat terbangun optimal dan hasil terbaik dapat tercapai. Buku putih ini adalah sikap ilmiah terbuka IDI atas persoalan bangsanya. Buku putih ini ditulis semata-mata atas panggilan tanggung jawab kebangsaan anggota IDI.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

IDI menolak Program Studi Dokter Layanan Primer (DLP). Dasar pendapat IDI adalah bahwa pendidikan dokter umum sudah memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana yang diharapkan dalam Program Studi Dokter Layanan Primer, yaitu meliputi pemecahan masalah mulai dari promotif/preventif hingga kuratif menggunakan pendekatan individual, keluarga dan komunitas. Perbedaan yang ada sifatnya minor, yang bisa didekati melalui continuing professional education menggunakan modul terstruktur melalui P2KB (Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan).

Selain itu IDI berpendapat untuk memperbaiki kualitas lulusan dokter umum, lebih baik memperbaiki dulu proses pendidikan dokter di hulu yang banyak bermasalah, daripada memperbaiki di hilir. Hal inilah yang dibahas mendalam dalam bab ini.

A. Perkembangan Kurikulum Pendidikan Kedokteran Indonesia

Pendidikan kedokteran adalah program studi yang sudah berevolusi sejak lama. Sebelum 1955 pendidikan berjalan lebih bebas dan mengikuti pendidikan dokter Belanda. Mahasiswa dapat menentukan sendiri mata kuliah dan praktikum yang akan diambilnya. Konsekuensi dari hal ini adalah lama pendidikan menjadi sangat beragam dan lebih panjang. Sulit untuk menentukan perkiraan jumlah lulusan per tahun, serta kesulitan untuk merancang pemenuhan kebutuhan dokter secara nasional.

Pada tahun 1955, Prof. Soetomo melakukan pendekatan dengan University of Carolina San Fransisco (UCSF) untuk membantu penyusunan kurikulum baru. Kurikulum ini memiliki lama studi selama 6 tahun yang disebut dengan studi terpimpin (guided study). Sistem pendidikan tersebut berlangsung selama 6 tahun, terdiri dari tahap preklinik yang lama pendidikannya adalah 4 tahun dengan gelar Doctorandus Medicus (Drs.Med) dan tahap klinik di Rumah Sakit (Coassistenschap) dan Puskesmas dengan sebutan Co-Ass selama

2 tahun. Tahap klinik, mahasiswa melakukan rotasi di berbagai departemen, yaitu: Ilmu Penyakit Dalam dan Ilmu Bedah masing-masing selama 12 minggu; Ilmu Kebidanan, Ilmu Kedokteran Anak dan Psikiatri-Neurologi masing-masing selama 8 minggu. Kurikulum dan metode pengajaran sejak tahun 1955 ini terus berjalan selama sekitar 26 tahun.

Pada tahun 1981, kurikulum pendidikan kedokteran dimodifikasi merujuk pada Consortium of Health Sciences (CHS) melalui terbitnya Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) I. KIPDI I merupakan discipline based-curriculum dengan pendekatan aspek kognitif, psikomotor, dan perilaku (attitude) dan memenuhi kemampuan bidang medik, bedah, perilaku, dan kesehatan komunitas. Kurikulum yang menjadi acuan bagi Fakultas Kedokteran adalah minimal mengandung KIPDI I atau 80% KIPDI dengan 20% muatan lokal. KIPDI I ini berlaku hingga tahun 1993.

Pada tahun 1993, CHS menerbitkan kembali KIPDI II yang bersifat lebih terintegrasi dengan belajar aktif serta mandiri. Pada KIPDI II, terdapat tahapan program pendidikan akademik dengan jumlah SKS 128-160 SKS dan program keprofesian dengan jumlah SKS 32-40 SKS. Kurikulum fakultas harus 80% mengacu kepada KIPDI II, 20% muatan lokal (kurikulum pelengkap). KIPDI II yang bersifat subject-based, berlaku dari periode 1993- 2006, namun pelaksanaan KIPDI II ini tidak berjalan dengan baik di Fakultas Kedokteran

4 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

sehingga banyak yang kembali menggunakan metode pengajaran konvensional. Pada tahun 2004, dibentuk tim untuk pembentukan KIPDI III yang terdiri dari Departemen

Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan dan perhimpunan profesi yang diwakili oleh Kolegium Dokter Indonesia yang disebut dengan Tim Kurikulum Nasional Berbasis Kompetensi untuk Pendidikan Dokter Pelayanan Primer dengan pendekatan kedokteran keluarga. Sejak tahun ini, pendidikan dokter umum sudah secara eksplisit diarahkan sebagai dokter keluarga.

Dalam berjalannya proses pembentukan KIPDI III, kurikulum pada singkatan KIPDI, diganti menjadi “Standar Kompetensi”. Pada tanggal 27-28 April 2006, di Hotel Millenium Jakarta, dengan diprakarsai oleh Dirjen DIKTI diadakan lokakarya KIPDI III yang kemudian disebut dengan Standar Kompetensi Pendidikan Dokter Indonesia (SKPDI). Kurikulum pendidikan dokter menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan ini terdiri dari tahap pendidikan kedokteran dasar dan internship.

SKPDI ini sebenarnya mengacu pada kebutuhan masyarakat yang indikatornya diformulasikan pada standar pelayanan minimal untuk mencapai Indonesia Sehat 2010 dan World Federation on Medical Education (WFME). WFME dalam konferensi yang dilaksanakan di Kopenhagen, Denmark (2002), menyatakan perlu adanya kompetensi yang wajib dikuasai dokter untuk menjamin mutu dan peningkatan pelayanannya kepada masyarakat. Kompetensi ini digunakan sebagai standar pendidikan dan mendasari proses pendidikan yang digunakan untuk mencapai kompetensi.

Kompetensi yang disusun dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) terdiri dari

7 area kompetensi dengan kompetensi inti dan komponen kompetensinya. Kompetensi ini telah difokuskan pada pendekatan kedokteran keluarga karena disesuaikan dengan hasil WHO-WONCA (Organisasi Dokter Keluarga Sedunia) tahun 1994, yang merekomendasikan penyelarasan program pendidikan kedokteran dasar untuk menanggapi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang bermutu melalui konten pendekatan kedokteran keluarga di dalam kurikulumnya. Perbedaan antara Kurikulum Berbasis Disiplin Ilmu (KBD) dengan KBK antara lain tergambar dalam Tabel 1.

SKDI digunakan sebagai acuan bagi pengembangan kurikulum pendidikan kedokteran. SKDI terbaru yang digunakan adalah SKDI 2012 yang merupakan hasil dari dari evaluasi SKDI 2006. Pada saat ini, minimal lama pendidikan dokter adalah 7 semester untuk tahap akademik dan 4 semester untuk tahap profesi. SKDI 2012 ini adalah hasil kerjasama dari Konsil Kedokteran Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia Kolegium Dokter, Kolegium-kolegium Dokter Spesialis, Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Kesehatan (2009-2012), Kelompok Kerja Ikatan Dokter Indonesia, 72

Fakultas Kedokteran/ Program Studi Kedokteran dan 36 Kolegium Kedokteran 1 . 1 Konsil Kedokteran Indonesia (KKI): Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Jakarta 2012

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

Tabel 1. Perbedaan KBK dan KBD

KBK 1 KBD 2 Referensi

WFME

Konvensional

Lama studi

Min 8 + 4 semester Proses

Min 7 + 4 semester

Banyak metoda/ SPICES

“pasien bukan objek”

Kuliah + Praktikum

“pasien jadi objek” Output

Kompetensi ++ Internsip

Mencapai kompetensi

Sesudah selesai proses pendidikan Penilaian Kinerja & Profesionalisme

Uji Kompetensi

Sebelum internship

SKDI ini berisi Daftar Pokok Bahasan untuk mencapai 7 area kompetensi, yaitu Daftar Masalah, berisikan berbagai masalah yang akan dihadapi dokter pada layanan primer, Daftar Penyakit, berisikan nama penyakit yang merupakan diagnosis banding dari masalah yang dijumpai pada daftar masalah dan Daftar Keterampilan Klinis, berisikan keterampilan

klinis yang perlu dikuasai oleh dokter pada layanan primer di Indonesia 2 . Dalam pemecahan masalah kesehatan, kurikulum SKDI 2012 sudah dirancang agar

lulusan dokter mampu untuk:

1. Melaksanakan promosi kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat

2. Melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terjadinya masalah kesehatan pada individu, keluarga dan masyarakat

3. Melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat

4. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan

5. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien dan berkesinambungan dalam penyelesaian masalah kesehatan

6. Mengakses dan menganalisis serta menerapkan kebijakan kesehatan spesifik yang merupakan prioritas daerah masing-masing di Indonesia

Jelaslah bahwa pendidikan dokter umum di Indonesia sudah diarahkan untuk menjadi dokter pada layanan primer dengan pendekatan individual, keluarga dan masyarakat. Jika output nya masih belum sesuai dengan tujuan dalam SKDI ini, maka yang perlu diperbaiki adalah input dan proses pendidikan dari institusi pendidikannya, dan melalui pendidikan

2 Konsil Kedokteran Indonesia (KKI): Standar Kompetensi Dokter Indonesia, Jakarta 2012; hal 19-20.

6 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

profesi berkelanjutan, bukan diperbaiki di hilir melalui program studi DLP. Bagaimanakah kualitas proses pendidikannya, dibahas dalam seksi berikut.

B. Pelaksanaan Program Pendidikan Dokter

Dalam melaksanakan pendidikan kedokteran, terdapat standar yang perlu dipenuhi dan digunakan di berbagai negara di dunia. Standar tersebut bertujuan untuk menjaga kualitas produksi dokter agar dokter yang dihasilkan adalah dokter dengan kualitas terbaik. Standar tersebut mulai dari aspek masukan, proses dan luaran serta outcome-nya. Pada kualitas masukan perlu dipantau sistem penerimaan mahasiswa baru, staf pengajarnya dan fasilitas yang dimiliki Fakultas Kedokteran. Pada kualitas proses perlu dipantau mengenai kurikulum, proses belajar mengajar, dan sistem penilaian yang digunakan. Pada kualitas luaran perlu dipantau lulusan yang dihasilkan Fakultas Kedokteran apakah sesuai dengan kompetensi yang diharapkan, sedangkan pada aspek outcome perlu dipantau profesionalisme dokter setelah bekerja (pada tahap internship). Proses penjaminan mutu ini melibatkan berbagai pemangku kebijakan, selain Fakultas Kedokteran terkait, pemerintah melalui Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Kesehatan yang terutama terlibat dalam koordinasi kegiatan pendidikan tahap profesi, Konsil Kedokteran Indonesia, dan juga organisasi profesi. Pemantauan dilakukan pada berbagai aspek tersebut melalui akreditasi, uji kompetensi dan evaluasi KKI dan koordinasi dengan organisasi profesi terutama pada aspek luaran dan kualitas outcome.

Dari sisi masukan, hingga akhir tahun 2016, jumlah seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia saat ini mencapai 83 Fakultas Kedokteran, dengan tambahan 8 Fakultas Kedokteran baru yang telah diresmikan oleh pemerintah di tahun 2016. Namun mutu pendidikan dari 83 Fakultas Kedokteran di Indonesia masih belum optimal dengan adanya

37 Fakultas Kedokteran dengan akreditasi C (1 Fakultas Kedokteran belum terakreditasi) dan hanya 17 Fakultas Kedokteran yang terakreditasi A (Tabel 2).

Tabel 2. Gambaran akreditasi Fakultas/Prodi Kedokteran (BAN PT, 2016) 3

Akreditasi

Jumlah FK

A 17

B 28

C 37 (+ 1 Fakultas Kedokteran belum terakreditasi) Jumlah

3 Tabel tersebut diambil dari presentasi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kebijakan Kemristekdik/Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015. Presentasi itu menjelaskan posisi 75 Fakultas Kedokteran yang ada. Namun pada tahun 2016, bertambah lagi 8 Fakultas Kedokteran baru.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

Sejak tahun 2006, Fakultas Kedokteran di Indonesia menggunakan kurikulum berbasis kompetensi dengan menggunakan Problem Based Learning (PBL). PBL merupakan metode pendidikan yang membutuhkan sumber daya yang besar, baik dalam hal infrastruktur, fasilitas pendidikan maupun sumber daya manusia. Infrastruktur dan fasilitas pendidikan dibutuhkan ruang-ruang yang lebih banyak dan ruang untuk melakukan keterampilan klinis serta ruang ujian yang menjadi standar pendidikan dalam akreditasi. Dari sisi sumber daya, dibutuhkan 1:10 mahasiswa untuk tahap preklinik dan 1:5 mahasiswa untuk tenaga pengajarnya, belum lagi terdapat lebih dari 30 bidang ilmu di kedokteran yang harus dimiliki oleh institusi pendidikannya untuk dapat mencapai sasaran pembelajaran mahasiswa. Dari aspek masukan ini, KBK dengan metode PBL yang dilaksanakan pada Fakultas Kedokteran menuntut pula sumber daya yang besar. Pembiayaan pada tahap akademik semakin meningkat, demikian pula biaya yang besar terutama dikeluarkan institusi pendidikan pada tahap profesi. Pendidikan di Rumah Sakit melibatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya yang besar termasuk keselamatan pasien dan mahasiswa sendiri dalam melakukan praktik, karena fokus kegiatan di rumah sakit adalah pelayanan. Belum lagi adanya syarat bagi Fakultas Kedokteran untuk memiliki Rumah Sakit Pendidikan sendiri untuk menjalankan kegiatan pendidikannya. Pengelolaan Rumah Sakit membutuhkan juga biaya yang besar.

Pada beberapa pengelola institusi pendidikan, Fakultas Kedokteran ditempatkan juga sebagai institusi yang dapat memberikan keuntungan komersial. Adanya kriteria kelompok jalur penerimaan mahasiswa baru, seperti jalur penerimaan mandiri ataupun internasional, merupakan salah satu bentuk inovasi institusi pendidikan yang menunjukkan bentuk komersialisasi pendidikan kedokteran. Walaupun saat ini pemerintah sudah memberlakukan sistem pembiayaan melalui Uang Kuliah Tunggal (UKT), namun hal ini hanya berlaku untuk Fakultas Kedokteran negeri yang dikelola pemerintah. Pembiayaan untuk Fakultas Kedokteran tetap tertinggi di antara bidang ilmu lainnya.

Komersialisasi pendidikan kedokteran ini terlihat juga dari menjamurnya pembukaan Fakultas Kedokteran oleh perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta. Pada tahun 2007, Fakultas Kedokteran hanya berjumlah 35 Fakultas Kedokteran, pada tahun 2015 menjadi 75 Fakultas Kedokteran, kemudian pada tahun 2016, telah diresmikan oleh pemerintah 8 Fakultas Kedokteran baru, sehingga jumlah seluruh Fakultas Kedokteran di Indonesia saat ini mencapai 83 Fakultas Kedokteran yang terdiri dari 35 Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi negeri (3 Fakultas Kedokteran di bawah Kementerian Agama) dan 46 Fakultas Kedokteran di perguruan tinggi swasta.

Pembiayaan pendidikan kedokteran yang tinggi ini menimbulkan persepsi masyarakat yang kurang baik. Fakultas Kedokteran dianggap dikelola untuk mendatangkan pendapatan cukup besar bagi perguruan tinggi dengan cara yang sangat mudah, yaitu dengan menerapkan uang pendaftaran dan uang kuliah yang sangat tinggi kepada para calon peserta didik, jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Hal yang sangat berbeda

8 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

dengan 15 tahun lalu di saat negara masih bertanggungjawab terhadap pendidikan termasuk pendidikan kedokteran, sehingga biaya pendidikan kedokteran sangat murah dan terjangkau.

Dari sisi proses, pendidikan kedokteran di Indonesia yang berlangsung 10 semester, itu dianggap kurang cukup untuk membuat dokter mahir untuk berpraktik di layanan primer atau di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer (FKTP). Karena itu untuk memahirkan perlu pembelajaran secara mandiri di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan untuk 1 tahun internship.

Melalui KBK dan active learning, proses pendidikan dilewati oleh mahasiswa seharusnya lebih baik daripada pendidikan konvensional terutama dalam hal penguasaan keterampilan klinis, namun yang perlu dikaji apakah pelaksanaannya optimal. Sebagai contoh: mahasiswa membutuhkan diskusi kelompok yang dilaksanakan oleh 1 tutor untuk 10 mahasiswa, namun karena kendala pada prosesnya kegiatan ini terpaksa dilakukan secara bersamaan dengan 10 mahasiswa dari kelompok yang lain, dst.

Dari sisi luaran, penilaian bagi dokter untuk dapat berpraktik telah dilakukan melalui beberapa tahap antara lain uji kompetensi nasional dengan mengikui Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) Indonesia sebagai syarat kelulusan untuk mengikuti internship. UKMPPD juga dilakukan dengan 2 tahap, Computer Based Testing (CBT) dan Objectives Structured Clinical Examination (OSCE). Setelah UKMPPD, tahap ujian selanjutnya adalah ujian internship melalui portfolio.

Jika dilihat dari hasil lulusan UKMPPD, pada tahun 2015 hanya terdapat 40 Fakultas Kedokteran yang telah meluluskan dokter yang dinyatakan memiliki lulusan UKMPPD >50%. Dari 40 itu, sebanyak 21 Fakultas Kedokteran yang mampu meluluskan >70%). Dari 25 Fakultas Kedokteran yang meluluskan <50 %, sebagian besar (19) adalah berasal Perguruan Tinggi Swasta (lihat Tabel 3)

Tabel 3. Persentase kelulusan UKMPPD tahun 2015 4

% Kelulusan UKMPPD

Jenis PT Jumlah

50-70 %

4 Tabel tersebut diambil dari presentasi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kebijakan Kemristekdik/Penjaminan Mutu Pendidikan Kedokteran, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2015. Dari 75 Fakultas Kedokteran yang ada, baru 65 Fakultas Kedokteran yang menghasilkan lulusan

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

Dari sisi luaran lainnya, yaitu jumlah dokter yang dibutuhkan berdasarkan jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan standar perbandingan jumlah dokter dan jumlah penduduk menurut WHO (40 dokter untuk 100.000 penduduk), jumlah dokter Indonesia telah mencukupi, yaitu 45 dokter untuk 100.000 penduduk (jumlah penduduk Indonesia sekitar 255.461.700 jiwa pada tahun 2015). Saat ini jumlah dokter berdasarkan data KKI, per tanggal 10 Februari 2017 tercatat telah terdaftar 149,479 dokter, terdiri atas 116,935 dokter dan 32,544 dokter spesialis di Indonesia (Bagan 1).

Dari Bagan 2 terlihat bahwa jumlah dokter yang mempunyai STR aktif adalah sebanyak 125,847 dokter, terdiri atas 96,298 dokter dan 29,549 dokter spesialis. Sehingga dari sekitar 150,000 dokter, ada sekitar 23,600 dokter dan 3000 dokter spesialis yang STR nya tidak aktif, bisa jadi karena belum diurus, bisa juga karena mereka berpindah ke tugas struktural atau berpindah bidang penelitian atau lainnya yang tidak memerlukan STR lagi.

Hingga kini, banyak daerah kekurangan dokter, sebaliknya di kota besar terjadi penumpukan dokter 5 . Kekurangan dokter di daerah tertentu dijadikan dalih oleh Pemda dan perguruan tinggi setempat untuk mengajukan pembukaan Fakultas Kedokteran meskipun perguruan tinggi pengusul tidak mempunyai cukup kompetensi dan kapasitas untuk menyelenggarakan pendidikan dokter.

Sebenarnya persoalan ini jika dikaitkan dengan pendidikan kedokteran saat ini, banyak faktor yang menimbulkan masalah distribusi dokter, mulai dari tingginya biaya sekolah, rekruitmen calon dokter yang tidak sesuai, proses pendidikan yang kurang mengakrabkan mahasiswa dengan daerah, maupun insentif dan fasilitas yang tidak memadai untuk dokter bekerja di daerah. Peran pemerintah untuk melakukan affirmative action, merupakan antisipasi yang sangat baik bagi distribusi dokter di daerah, bukan dengan melalui ijin penambahan jumlah Fakultas Kedokteran-nya.

5 besarnya maldistribusi ini akan dibahas pada bab berikut.

10 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

C. Polemik Dokter Layanan Primer

Pada saat diterbitkannya UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran yang selanjutnya akan disebut denganUndang Undang no 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, timbul nomenklatur baru yang tidak terdapat sebelumnya pada UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu Dokter Layanan Primer (DLP).

DLP ini menjadi polemik bagi profesi dokter, karena dokter umum yang merupakan produk dari pendidikan profesi kedokteran yang tadinya sudah layak bekerja sebagai dokter di layanan primer atau FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama, berdasarkan UU No

20 Tahun 2013 ini, dianggap masih belum kompeten dan dituntut untuk melanjutkan pendidikan DLP, agar memenuhi kualifikasi untuk melakukan praktik di pelayanan primer, sesuai penjelasan Undang undang itu pasal 8 ayat 2 : “Program dokter layanan primer ditujukan untuk memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua, dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar kompetensi dokter

dalam sistem jaminan kesehatan nasional” 6 . Pemberlakuan undang undang itu otomatis mengancam legalitas 100 ribu dokter umum yang bekerja di FKTP, baik Puskesmas, klinik

maupun dokter praktik mandiri. Mereka bisa di pidanakan 7 .

Namun polemik DLP jauh lebih luas, karena persoalan yang ditimbulkan nya baik dari segi definisi, istilah setara spesialis, kesulitan profesi, maupun ketidak-harmonisan dengan Undang-undang lainnya. Di dalam bab ini, kita membahas berbagai masalah yang timbul, kecuali ketidak-harmonisannya dengan undang-undang lain yang dibahas pada bab lain.

1. DLP Adalah Dokter yang Bekerja di FKTP

Dokter layanan primer, adalah satu-satunya profesi yang disebut dalam undang-undang, namun definisinya tidak ada dari 24 istilah yang disebut dalam pasal 1 dalam Bab 1 Ketentuan Umum UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran.

Di seluruh dunia tidak ada profesi dokter bergelar DLP atau dokter layanan primer. Karena memang dokter layanan primer adalah dokter yang bekerja di layanan primer. Dokter yang bekerja di layanan primer, pada umumnya disebut dokter umum, atau dokter keluarga, meskipun di Amerika Serikat ada dokter spesialis yang bekerja di layanan primer.

Biasanya di sebuah negara, dokter yang bekerja di layanan primer adalah dokter umum atau dokter keluarga (Lihat Tabel 4). Karena di manapun di dunia dokter umum adalah dokter keluarga. WONCA (World Organization of National Colleges, Academies and Academic Associations of General Practitioners/Family Physicians) juga menyebutkan dokter umum adalah dokter keluarga.

6 Banyak tafsir atas penjelasan itu. Tetapi justru itu masalahnya: ketidakpastian hukum. Undang Undang ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum.

7 Keterangan prof Hasbullah Tabrani, pakar JKN di berbagai kesempatan.

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP

Karena itu IDI berpendapat bahwa DLP bukan profesi. DLP merupakan istilah untuk dokter yang bekerja di layanan primer atau di FKTP, apapun profesinya.

Tabel 4: Nama Praktisi yang bekerja di Layanan Primer 8

Nama Departemen

General Practitioner Health Sciences and Primary Care Utrecht

Primary Care Health Sciences

Oxford

UK

Family Physician Family Medicine

Belanda

Family Physician General Practice

Sebagian besar FK

AS

General Practitioner Primary Care

Melbourne, Monash Australia

Family Physician Family Medicine

Tsukuba

Jepang

Semua FK

Korea

Family Physician

Selatan

Family Medicine

Family Physician Family and Community Medicine

Semua FK

Taiwan

Family Physician Primary Care Medicine

Philippines

Filipina

University of Malaya Malaysia

Family Physician

2. DLP: Kastanisasi Baru

Dalam UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran disebutkan bahwa dokter layanan primer adalah dokter setara spesialis, sebuah istilah yang juga tidak dijelaskan. Mengingat istilah setara spesialis tidak sama dengan spesialis, tidak perlak lagi dokter layanan primer menimbulkan kastanisasi baru, yaitu dokter umum, dokter layanan primer yang setara spesialis dan dokter spesialis. Karena model pendidikan kedokteran di Indonesia, jenjang spesialis diselenggarakan setelah sesorang selesai menempuh pendidikan dokter umum, maka dokter umum menjadi kasta yang paling rendah. Masalah ini tidak bisa selesai hanya dengan menghilangkan posisi dokter layanan primer, melainkan melalui reformasi sistem pendidikan kedokteran di Indonesia, agar posisi dokter umum sejajar dengan posisi spesialis, berbeda hanya karena lapangan kerjanya. Artinya revisi UU No 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran menjadi keharusan.

D. Problematik Melahirkan Program Studi DLP

1. Syarat Membuka Program Studi

Fakultas kedokteran yang akan melahirkan program studi dokter layanan primer akan menghadapi problem, karena kurikulum program studi adalah 80 % program studi dokter keluarga, 10 % kedokteran komunitas, dan 10 % kesehatan masyarakat. Program Studi

baru hanya bisa disetujui oleh pemerintah bila berbeda signifikan (60%) 9 . 8 Tabel diambil dari Kelompok Kerja Percepatan Pendidikan Dokter Layanan Primer : Pendidikan

Dokter Layanan Primer, Kementerian Pendidikan Tinggi & Ristek - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015 , dipotong sebagian.

9 Prosedur PenyeIenggaraan Program Studi Program Magister dan Profesi PTN dan Swasta, Kemenristekdikti 2015

12 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

I. PENDIDIKAN KEDOKTERAN DAN POLEMIK DLP