Isu Kedua: Menuju Universal Coverage di 2019

B. Isu Kedua: Menuju Universal Coverage di 2019

Masalah kesehatan lain di Indonesia adalah adanya disparitas dalam layanan kesehatan. Untuk menjamin ekuitas penerima layanan kesehatan, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi alternatif solusi pemecahan. Dengan adanya Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai kartu identitas peserta JKN dan sekaligus berfungsi sebagai kartu peserta untuk Penyandang Masalah Kesehatan Sosial (PMKS), konsep pelayanan kesehatan yang berkualitas dan ekual dapat diterima oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa melihat latar belakang sosial dan ekonomi. Pada tahun 2019, menurut road map seluruh rakyat Indonesia diharapkan sudah mempunyai KIS untuk menjamin Universal Coverage (UC).

Tabel 5. Pertambahan Jumlah FKTP dan Peserta JKN

Jumlah Peserta / FKTP 2014 1 2016 2 Estimasi 2019 3 Kebutuhan UC 2019

10,000 10,000 Jumlah Klinik

Jumlah Puskesmas

8,476 22000 Dokter Praktik

Peserta ideal 4 77,085,000 84,862,500

3 lihat misalnya di http://www.depkes.go.id/article/view/16102300002/perkuat-upaya-promotif- preventif-melalui-DLP.html. 4 Lihat pasal 11 UU 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan 5 AIPHSS, Laporan Akhir National Health Accounts (NHA) Indonesia 2014

18 Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI

Catatan:

1. Sumber: Kementerian Kesehatan RI: Profil Kesehatan Indonesia 2014

2. Sumber: Laporan BPJS, 2016

3. Estimasi linear, dari performa 2014-2016

4. Estimasi, setiap Puskesmas dan klinik memelihara kesehatan 5000 peserta, sedang dokter praktik memelihara 2500 peserta

Pada tahun 2014, ketika BPJS mulai berjalan, terdapat 133,5 juta peserta JKN. Pada tahun 2016, jumlah peserta sudah meningkat menjadi 167 juta orang. Pada tahun 2019, jumlah penduduk diperkirakan sebesar 270 juta orang, dan menurut road map karena pada tahun itu seluruh penduduk diharapkan seluruh penduduk dilindungi JKN, maka jumlah peserta sama dengan seluruh penduduk.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa jika norma ideal digunakan untuk menjaga mutu pelayanan, yaitu agar Puskesmas dan klinik memelihara kesehatan maksimum 5000 peserta, dan

dokter praktik maksimum 2500 peserta 6 , perkembangan jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pelayanan. Apalagi jika jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS diproyeksikan secara linear, maka tahun 2019 Indonesia akan banyak sekali kekurangan FKTP. Kekurangan ini belum menjadi masalah bermakna karena di sebagian besar wilayah padat penduduk, banyak Puskesmas memegang kapitasi lebih dari 5000 peserta. Di DKI Jakarta bahkan terjadi fenomena Puskesmas dengan kapitasi 100.000 peserta. Jumlah kunjungan rawat jalan di Puskesmas juga mencapai 60

% dari semua kunjungan FKTP 7 . Dampak yang terjadi adalah, karena kewalahan melakukan pelayanan UKP, banyak Puskesmas yang mengenyampingkan tugas UKM. Padahal pelayanan UKM derajatnya sama atau bahkan lebih penting daripada pelayanan UKP karena pelayanan UKM yang paripurna dapat menjamin masyarakat tetap sehat sehingga jumlah kunjungan penduduk yang sakit akan berkurang.

Syarat pendirian klinik diberbagai wilayah sulit dan mahal, mencapai puluhan juta rupiah, diluar dari biaya investasi bangunan 8 . Belum lagi tambahan syarat bila FKTP ingin bekerja sama dengan BPJS. Pemerintah mestinya memfasilitasi agar jumlah klinik dan dokter praktik yang bekerja sama dengan BPJS bisa bertambah. Sehingga, memaksakan dokter umum menempuh program studi DLP sebagai syarat agar bisa bekerja di FKTP cenderung, bersifat kontra produktif. 9

6 lihat di “Kebijakan Akselerasi Pengembangan Pelayanan Dokter Keluarga”, Direktorat Bina Pelayanan Medik Dasar, Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2007

7 data BPJS sd Agustus 2016, jumlah kunjungan puskesmas adalah 49 juta sedang total kunjungan FKTP adalah 72 juta. 8 Diskusi informal dengan dokter praktik yang mendirikan klinik 9 lihat penjelasan pasal 8 ayat 2 di UU Pendidikan Kedokteran

Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP : Sebuah Kajian Akademis

II. PROGRAM STUDI DLP: PEMBOROSAN DAN BUKAN SOLUSI