Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi

5. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index = P1) merupakan ukuran rata- rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Bila dilihat perkembangannya selama periode 2014 – 2017, indeks kedalaman kemiskinan di Kota Bandung berfluktuasi. Akan tetapi, Bila dilihat perkembangannya selama periode tahun 2014 – 2017, indeks kedalaman kemiskinan di Kota Bandung berfluktuasi, pada tahun 2014- 2015 Indeks Kedalaman Kemiskinan mengalami kenaikan. Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 0,69 pada tahun 2014 menjadi 0,72 pada tahun 2015. Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin menjauhi garis kemiskinan. Sementara itu selama periode 2015-2016 mengalami penurunan menjadi 0.55 ini artinya bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin mendekat garis kemiskinan. Dan selama periode

menjadi 0,68 Ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung semakin menjauhi garis kemiskinan.

2016-2017

mengalami kenaikan

kembali

Tabel 2.12

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2), dan Garis Kemiskinan di Kota Bandung Tahun 2014 - 2017

Garis Kemiskinan Tahun Miskin

(Rp/Kapita/Bulan)

420.579 Sumber: BPS Kota Bandung, 2018

6. Aspek Kesempatan Kerja

Jumlah angkatan kerja Kota Bandung mengalami peningkatan sebesar 1,39% selama periode tahun 2013-2014. Pada tahun 2013, angkatan kerja yang berada di Kota Bandung tercatat sebanyak 1.176.377 orang dan meningkat menjadi 1.192.770 orang di tahun 2014. Di sisi lain, tingkat pengangguran terbuka di Kota Bandung di tahun 2013 yang sebesar 10,98%, mengalami penurunan yang cukup signifikan di tahun 2014 menjadi sebesar 8,05%. Hal ini mengindikasikan bahwa pertambahan angkatan kerja mampu diserap oleh peningkatan jumlah lapangan kerja yang ada. Namun pada tahun 2015, pengangguran terbuka mengalami kenaikan menjadi sebesar 9,02% yang selanjutnya mengalami penurunan menjadi 8,44% pada tahun 2017. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kota Bandung melalui kebijakan dan programnya yang pro-job cukup berhasil mengurangi angka pengangguran yang ada. Hal ini juga ditunjang oleh semakin membaiknya tingkat perekonomian makro ekonomi Kota Bandung, sehingga penyediaan lapangan pekerjaan mengalami perbaikan.

Tingkat pengangguran merupakan fenomena multi-dimensional, terutama fenomena ekonomi dan sekaligus fenomena sosial. Dampak dari tingkat pengangguran akan sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kota Bandung setiap tahunnya ke depan, maka secara simultan dapat memperluas kesempatan kerja, Tingkat pengangguran merupakan fenomena multi-dimensional, terutama fenomena ekonomi dan sekaligus fenomena sosial. Dampak dari tingkat pengangguran akan sangat besar terhadap kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kota Bandung setiap tahunnya ke depan, maka secara simultan dapat memperluas kesempatan kerja,

Gambar 2.14

Perkembangan Tenaga Kerja dan Pengangguran Kota Bandung Periode 2013-

8,44 8 g n n e

Tingkat Pengangguran

Sumber: BPS Kota Bandung

7. Tingkat Kemiskinan

Kemiskinan merupakan persoalan multidimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik, dan sosial-psikologis. Permasalahan kemiskinan terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia. Adapun penyebab terjadinya kemiskinan adalah sebagai berikut:

1. Laju pertumbuhan penduduk, dimana jumlah penduduk semakin bertambah namun tidak sebanding dengan jumlah beban ketergantungan.

2. Angkatan kerja, penduduk yang bekerja dan pengangguran, dimana sebagian besar penduduk yang bekerja memiliki penghasilan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.

3. Tingkat pendidikan yang rendah, dimana hal ini berpengaruh pada kompetensi dan skill yang dimiliki oleh penduduk dalam dunia kerja.

4. Kurangnya perhatian pemerintah, dimana pemerintah terkadang kurang peka terhadap permasalahan kemiskinan serta tidak memiliki program yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan.

5. Distribusi yang tidak merata, dimana secara makro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan menjadi timpang.

Sebagai kota metropolitan, Kota Bandung tak lepas dari masalah kemiskinan. Berdasarkan data dari Pemerintah Kota Bandung, jumlah penduduk miskin terbilang signifikan karena mencapai lebih dari 10 persen dari jumlah warga Kota Bandung. Berikut adalah grafik perbandingan serta tabel rincian jumlah rumah tangga miskin setiap kecamatan di Kota Bandung.

Gambar 2.15

Perbandingan Jumlah Rumah Tangga Miskin Setiap Kecamatan

di Kota Bandung

G A KIDU KA E B HB CIB

B CICE

CA N DA A G R DE N N N A N A N CIDA E G CIN Y IN IL SU G A

Sumber: BPS (PPLS 2015)

Tabel 2.11 Data Jumlah Rumah Tangga Miskin di Setiap Kecamatan di Wilayah Kota Bandung Tahun 2015

No

Nama

Jumlah

Kecamatan

Rumah Tangga (KK)

1 Bojongloa Kaler

2 Babakan Ciparay

3 Bandung Kulon

6 Cibeunying Kidul

7 Bojongloa Kidul

9 Ujung Berung

17 Bandung Kidul

21 Cibeunying Kaler

29 Bandung Wetan

30 Sumur Bandung

Berdasarkan data pada tabel tersebut, pada tahun 2015, Kecamatan Bojongloa Kaler merupakan wilayah yang memiliki jumlah rumah tangga miskin terbesar yaitu sebanyak 10.055 KK atau 8,57% dari jumlah rumah tangga miskin di Kota Bandung yang mencapai 117.234 KK. Wilayah tersebut merupakan wilayah padat penduduk dan berada di daerah pusat kota dengan kondisi lingkungan yang tidak tertata baik.

Tingginya jumlah keluarga miskin di kecamatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya aksesibilitas warga miskin terhadap sistem sumber yang ada, ketidakberdayaan warga miskin dalam pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan pembangunan, rendahnya kualitas sumber Tingginya jumlah keluarga miskin di kecamatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rendahnya aksesibilitas warga miskin terhadap sistem sumber yang ada, ketidakberdayaan warga miskin dalam pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan pembangunan, rendahnya kualitas sumber

8. Perkembangan IPM Kota Bandung

Aspek geografi dan demografi, aspek kesejahteraan masyarakat, aspek pelayanan umum, serta aspek daya saing daerah seluruhnya diarahkan untuk mencapai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan melakukan pengelolaan yang lebih sistematis dan terarah agar sesuai dengan kapasitas dan daya dukung yang ada, serta dikelola dalam kerangka keharmonisan lingkungan (environmental friendly). Seluruh aspek tersebut bersinergi dalam mewujudkan peningkatan IPM sebagai tujuan penyelenggaraan pembangunan daerah.

Gambar 2.15 Tujuan Pembangunan Daerah

TUJUAN PEMBANGUNAN DAERAH

Karakteristik lokasi dan wilayah

Potensi Pengembangan Wilayah

Aspek Geografis &

Demografis

Wilayah Rawan Bencana Demografi

Kesejahteraan & Pemerataan Ekonomi

Aspek Kesejahteraan

Masyarakat Kesejahteraan Sosial

IPM Seni Budaya & Olahraga

Pelayanan Dasar

Aspek Pelayanan Umum

Potensi Pengembangan Wilayah Kemampuan Ekonomi Daerah

Aspek Daya Saing

Fasilitas Wilayah/Infrastruktur

Daerah

Iklim Berinvestasi Sumber Daya Manusia

Sumber : Hasil Kajian (diolah) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan untuk mengukur capaian

pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut adalah 1) pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup. IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut adalah 1)

Data BPS menunjukkan bahwa IPM Kota Bandung mengalami peningkatan setiap tahunnya mulai tahun 2011 sampai 2017. Peningkatan IPM per tahun berkisar antara 0.17-0.69 poin. Kenaikan IPM tertinggi terjadi pada tahun 2015 sebesar 0.69, kenaikan IPM tersebut dikarenakan keempat indikator pembentuknya mengalami kenaikan dan 2 (dua) diantaranya mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu indikator Harapan Lama Sekolah (+0,3 tahun) dan pengeluaran per kapita (+561 ribu rupiah/ orang/ tahun).

Tabel 2.12 IPM Kota Bandung Tahun 2011-2017

Indikator Satuan

13,63 13,89 13,90 Rata-rata Lama Sekolah

Harapan Lama Sekolah

Umur Harapan Hidup

Standar Hidup Layak

Pengeluaran per kapita

Ribu rupiah/ Orang/Tahun

Indeks Pembangunan Manusia 78.13 78.30 78.55 78.98 79,67 80,13 80,31

Sumber: BPS Kota Bandung, 2018 Kenaikan IPM ini hendaknya menjadi pemacu peran serta yang nyata dari

segenap komponen masyarakat Kota Bandung agar diperoleh hasil yang lebih optimal lagi. Akan tetapi perlu disadari bahwa investasi ini hasilnya tidak berdampak langsung secara instan karena investasi pembangunan manusia merupakan pembangunan jangka panjang.

8.1 Perkembangan Komponen IPM di Kota Bandung

1. Angka Harapan Hidup (AHH)

Aspek kesehatan merupakan unsur penting yang berkaitan dengan kapabilitas penduduk. Derajat kesehatan pada dasarnya dapat dilihat dari seberapa lama harapan hidup yang mampu dicapai. Semakin lama harapan hidup yang mampu dicapai merefleksikan semakin tinggi derajat kesehatannya. Angka Harapan Hidup menunjukkan kualitas kesehatan masyarakat, yaitu mencerminkan “lamanya hidup” sekaligus “hidup sehat” suatu masyarakat. Tren perkembangan Angka Harapan Hidup di Kota Bandung selama kurun waktu tahun 2011 hingga 2017 dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.16

Grafik Perkembangan Angka Harapan Hidup Kota Bandung

Tahun 2011-2017 (dalam tahun)

Sumber: BPS Kota Bandung, 2018 (diolah)

Pada gambar tersebut terlihat bahwa selama periode 2011-2017 Angka Harapan Hidup di Kota Bandung selalu meningkat. Pada tahun 2017, Angka Harapan Hidup penduduk Kota Bandung adalah sebesar 73,86. Jika dibandingkan dengan tahun 2011-2017, angka tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal tersebut berarti bahwa dari tahun 2011 sampai tahun 2017, rata-rata penduduk Kota Bandung dapat bertahan hidup, yaitu sampai usia 73-74 tahun.

2. Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-Rata Lama Sekolah (RLS)

Indikator pendidikan yang merepresentasikan dimensi pengetahuan dalam IPM adalah Harapan Lama Sekolah Dan Rata-Rata Lama Sekolah. HLS

Kota Bandung pada tahun 2017 sebesar 13,90 tahun. Artinya, secara rata-rata anak usia 7 tahun yang masuk jenjang pendidikan formal pada tahun 2017 memiliki peluang untuk bersekolah selama 13,90 tahun atau setara dengan Diploma III. Sementara itu mengacu kepada RLS Kota Bandung sebesar 10,59, ini artinya rata-rata lama sekolah setara dengan SMA Kelas 2 atau kelas XI. Hal ini karena pengaruh pola pikir masyarakat kota yang relative sadar akan pentingnya pendidikan dan iklim pendidikan di kota Bandung yang relative kondusif dengan banyaknya lembaga pendidikan.

Gambar 2.17

Perkembangan Dimensi Pengetahuan Kota Bandung Tahun 2011-2017

Dimensi Pengetahuan IPM

Harapan Lama Sekolah

Rata-rata Lama Sekolah

Sumber: BPS Kota Bandung, 2018 (diolah)

3. Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity/PPP)

Daya beli merupakan kemampuan masyarakat dalam membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa. Paritas Daya Beli merupakan ukuran ekonomi yang telah distandarkan dengan tujuan agar dapat membandingkan kualitas serta kemampuan daya beli antar daerah. Tren perkembangan Paritas Daya Beli dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.18

Grafik Perkembangan Paritas Daya Beli Kota Bandung,

Tahun 2010-2013 (dalam ribu rupiah)

Sumber: BPS Kota Bandung (diolah)

Kemampuan daya beli masyarakat terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, PPP Kota Bandung sebesar Rp 578,13 ribu, kemudian meningkat menjadi Rp 588,13 ribu pada tahun 2012. Laju perkembangan Paritas Daya Beli dari kurun waktu 2008-2013 mengalami fluktuasi yang disebabkan karena kondisi ekonomi makro, baik nasional maupun regional.

8.2 Disparitas IPM Kabupaten/Kota (Lintas Daerah)

IPM sebagai indikator makro pembangunan selain memiliki makna yang positif untuk mengukur seberapa besar kinerja pembangunan daerah, juga memiliki makna penting untuk melihat disparitas wilayah. Penelaahan komparatif atas disparitas dapat dilihat dengan perbandingan antar kabupaten/kota di Jawa Barat, maupun dengan kabupaten/kota secara nasional.

Analisis komparasi dengan tingkat nasional dan Provinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa perkembangan IPM Kota Bandung berada pada kondisi yang lebih baik. Pada tingkat provinsi, IPM Jawa Barat memiliki tren meningkat sejalan dengan peningkatan IPM di tingkat nasional. Sejalan dengan hal tersebut IPM Kota Bandung mengalami peningkatan dengan nilai yang lebih tinggi dari IPM tingkat nasional dan jawa barat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan Analisis komparasi dengan tingkat nasional dan Provinsi Jawa Barat, menunjukkan bahwa perkembangan IPM Kota Bandung berada pada kondisi yang lebih baik. Pada tingkat provinsi, IPM Jawa Barat memiliki tren meningkat sejalan dengan peningkatan IPM di tingkat nasional. Sejalan dengan hal tersebut IPM Kota Bandung mengalami peningkatan dengan nilai yang lebih tinggi dari IPM tingkat nasional dan jawa barat. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan

Gambar 2.19

Grafik IPM Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat dan Tingkat Nasional Periode

Jawa Barat

Nasional

Kota Bandung

Sumber:  IPM Kota Bandung (Sumber: BPS Kota Bandung, 2018)  IPM Nasional dan Provinsi Jawa Barat (Sumber: BPS Pusat, 2018)

Gambar 2.20

Grafik IPM Kab/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017

Kota Banjar Kota Tasikmalaya Kota Cimahi

Kota Depok Kota Bekasi

Kota Cirebon Kota Bandung

80,31 Kota Sukabumi

Kota Bogor Pangandaran Bandung Barat

Bekasi Karawang