Urusan Wajib Pelayanan Dasar Fokus layanan urusan wajib dilakukan melalui analisis kinerja atas

2.3.1 Urusan Wajib Pelayanan Dasar Fokus layanan urusan wajib dilakukan melalui analisis kinerja atas

indikator-indikator kinerja penyelenggaraan urusan wajib pemerintahan daerah yang menjadi pelayanan dasar masyarakat, yaitu bidang urusan pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketentraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat; dan sosial.

1. Pendidikan

Urusan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan, mengingat melalui sektor pendidikan inilah modal sumber daya manusia berkualitas yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan. Gambaran umum kondisi daerah terkait dengan urusan pendidikan salah satunya dapat dilihat dari indikator berikut: Urusan pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan, mengingat melalui sektor pendidikan inilah modal sumber daya manusia berkualitas yang mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan. Gambaran umum kondisi daerah terkait dengan urusan pendidikan salah satunya dapat dilihat dari indikator berikut:

Tabel. 2.

Rasio Ketersediaan Sekolah/Penduduk Usia Sekolah

Pada Jenjang Dikdas Dan Dikmen

No Jenjang Pendidikan

1 SD/MI Jumlah SD/MI

823 Jumlah Penduduk Usia 7-12

229.718 Rasio Ideal

52 52 Rasio Ketersediaan Sekolah

2 SMP/MTs Jumlah SMP/MTs

236 Jumlah Penduduk Usia 13-15

107.890 Rasio Ideal

52 52 Rasio Ketersediaan Sekolah

3 SMA/SMK Jumlah SMP/MTs

262 Jumlah Penduduk Usia13-15

124.642 Rasio Ideal

52 52 Rasio Ketersediaan Sekolah

Sumber : Pusdalisbang Prov. Jawa Barat dan Dinas Pendidikan Kota Bandung (Diolah)

Mengacu kepada table di atas bahwa secara umum rasio ketersediaan sekolah pada semua tingkatan menunjukkan masih jauh dari rasio ideal atau kurang memadai, artinya jumlah siswa di semua level sekolah dan rasio jumlah siswa dengan ruang kelas berlebihan.

b. Angka Putus Sekolah

dalam menilai berhasil/tidaknya pembangunan di bidang pendidikan adalah Angka Putus Sekolah, yaitu indikator yang mencerminkan anak-anak usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan suatu jenjang pendidikan tertentu. Data yang tersedia menunjukkan bahwa angka putus sekolah di Kota bandung pada periode 2013 sampai dengan 2017 cukup rendah (< 1 %). Misalnya pada tahun 2017, angka putus sekolah untuk masing-masing jenjang pendidikan diperoleh persentase sebagai berikut, SD/MI sebesar 0,01% dan SMP/MTs sebesar 0,02%. Kecilnya angka putus sekolah tersebut diantaranya disebabkan oleh adanya program sekolah

Salah

satu

indikator

yang

digunakan digunakan

Berikut adalah gambaran lengkap mengenai angka putus sekolah Kota Bandung berdasarkan jenjang pendidikan selama kurun waktu 2013 – 2017.

Tabel 2.20

Angka Putus Sekolah Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Kota Bandung

Tahun 2013-2017

No Jenjang

1 SD/MI:

0,01% 0,01% 2 SMP/MTs:

0,01% 0,02% 3 SMA/MA/SMK:

0,02% 0,02% Sumber: Dinas Pendidikan Kota Bandung

c. Persentase Guru Berpendidikan > S1

Tenaga pendidik/guru mulai jenjang pendidikan PAUD sampai SMA/MA/SMK sebagaimana tertuang dalam pasal 29 ayat 1-6 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, harus mempunyai kualifikasi pendidikan minimal Diploma IV atau Sarjana (S1).

Tabel 2.21 Persentase Guru Berpendidikan > S1 di Kota Bandung Tahun 2013-2017

1 Guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-

Sumber: Dinas Pendidikan Kota Bandung

2. Kesehatan

Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahkan untuk mendapatkan penghidupan yang layak di bidang kesehatan, amandemen kedua UUD 1945, Pasal 34 ayat (3) menetapkan: ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak”. Di era otonomi daerah amanat amandemen Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Bahkan untuk mendapatkan penghidupan yang layak di bidang kesehatan, amandemen kedua UUD 1945, Pasal 34 ayat (3) menetapkan: ”Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak”. Di era otonomi daerah amanat amandemen

Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)

Strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan kesehatan dasar dengan fokus pada ibu dan anak yang meliputi: peningkatan status kesehatan dan gizi yang

aman, pengembangan psikososial/emosi, kemampuan berbahasa dan pengembangan kemampuan kognitif (daya pikir dan daya cipta) serta perlindungan anak, secara pengalaman empirik di beberapa tempat dapat dilakukan pada tingkatan posyandu. Pembentukan posyandu sebaiknya tidak terlalu dekat dengan puskesmas agar pendekatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lebih tercapai.

Berikut adalah gambaran lengkap mengenai ketersediaan posyandu selama kurun waktu 2013-2017.

Tabel 2.22

Rasio Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Per Satuan Balita di Kota Bandung

Tahun 2013-2017

No Uraian 2013 2014 2015 2016 2017

1 Jumlah Posyandu 1.959 1.967 1.973 1.978 1.978

2 Rasio Posyandu per Satuan Balita 0,91

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung

Rasio Puskesmas Per Satuan Penduduk

Puskesmas, poliklinik, dan puskesmas pembantu merupakan salah satu sarana penunjang kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Semakin banyak jumlah ketersediaannya, maka semakin memudahkan masyarakat dalam menjangkau pelayanan kesehatan. Secara lengkap mengenai rasio puskesmas, poliklinik, dan puskesmas pembantu terhadap jumlah penduduk di Kota Bandung selama kurun waktu 2013-2017 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.23

Rasio Puskesmas Per Satuan Penduduk di Kota Bandung Tahun 2013-2017

No Uraian 2013 2014 2015 2016 2017

1 Rasio Puskesmas Per Satuan Penduduk 0,88 0,85 0,88 0,88 0,90

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bandung

Tabel di atas menggambarkan rasio Puskesmas per 30.000 penduduk di Kota Bandung pada tahun 2013-2017. Rasio Puskesmas terhadap 30.000 penduduk menurun pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2014, hal ini disebabkan laju pertambahan jumlah Puskesmas lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan jumlah penduduk. Dan pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2017 rasio puskesmas mengalami peningkatan. Akan tetapi peningkatan jumlah Puskesmas tidak secara langsung menggambarkan pemenuhan pelayanan kesehatan, ada banyak faktor dan indikator yang bisa menunjukan tinggi rendahnya tingkat pemenuhan layanan kesehatan.

3. Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah maupun kondisi sosial budaya kehidupan masyarakat sangat berkaitan dengan jaringan jalan yang baik. Infrastruktur jalan yang baik adalah modal sosial masyarakat dalam menjalani roda perekonomian, maka semakin baik kondisi infrastruktur jalan, maka semakin baik pula roda perekonomiannya. Kinerja jaringan jalan berdasarkan kondisi didasarkan pada besarnya persentase tingkat kerusakan, terbagi ke dalam beberapa tingkatan, yaitu: baik, sedang, rusak sedang, rusak dan rusak berat. Berikut gambaran Rasio Ruas Jalan di Kota Bandung dalam kondisi baik selama kurun waktu 2013-2017.

Tabel 2.24

Persentase Minimal Ruas Jalan Dalam Kondisi Baik di Kota Bandung

Tahun 2013-2017

1 Persentase Minimal Ruas Jalan dalam Kondisi Baik

Sumber: Dinas Pekerjaan Umum Kota Bandung Dalam hal penataan ruang, indikator penilaian difokuskan pada

persentase penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang dan tertib pemanfaatan persentase penertiban pelanggaran pemanfaatan ruang dan tertib pemanfaatan

Adapun dalam hal tertib pemanfaatan ruang, terealisasi 100%. Penyiapan perangkat untuk perwujudan tertib pemanfaatan ruang telah terlaksana pada tahun 2015 dengan telah ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (RDTR dan PZ) Kota Bandung, sebagai acuan dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang terutama sebagai acuan dalam perizinan. Faktor pendorong pencapaian target adalah komitmen bersama untuk mewujudkan tertib pemanfaatan ruang, melalui penyusunan dan penetapan Perda RDTR dan PZ, serta kegiatan sosialisasi RDTR dan PZ yang telah dilaksanakan pula pada tahun 2015 untuk meningkatkan pemahaman aparat Pemerintah Kota Bandung.

4. Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman

Adapun perbaikan rumah tidak layak huni di Kota Bandung berdasarkan kondisi selama kurun waktu 2013-2017 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.26 Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni di Kota Bandung Tahun 2013-2017

1 Perbaikan Rumah Tidak Layak Huni

Sumber: DPKP3 Kota Bandung

5. Ketentraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat Penegakan Perda

Pembangunan kawasan perkotaan tak terlepas dari K3 (ketertiban, kebersihan dan keindahan). Ketertiban berhubungan erat dengan penataan ruang publik, Pembangunan kawasan perkotaan tak terlepas dari K3 (ketertiban, kebersihan dan keindahan). Ketertiban berhubungan erat dengan penataan ruang publik,

Pertumbuhan penduduk, tingkat konsumsi, industrialisasi dan keterbatasan ruang menjadi konsekuensi logis dari perkembangan kota. Di sisi lain hal ini akan berdampak negatif bila kebersihan lingkungan tidak dikelola secara baik. Tingginya produksi sampah di kawasan perkotaan menjadi ancaman serius terhadap kebersihan kawasan perkotaan. Keindahan adalah hasil dari sinergi antara ketertiban dan kebersihan dimana kawasan perkotaan bisa menjadi tempat yang tertata dan terkelola secara baik. Setiap pelanggaran ketertiban, ketentraman, dan keindahan di Kabupaten/Kota harus ditindak sesuai dengan peraturan daerah yang ada. Hal ini bertujuan untuk memelihara ketertiban, ketentraman, dan keindahan di Kabupaten/Kota. Capaian Kinerja Indikator Ketertiban Umum di Kota Bandung Tahun 2013 – 2017 dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 2.27 Indikator Ketertiban Umum Tahun 2013-2017

No Indikator

1 Cakupan Petugas Perlindungan Masyarakat (Linmas) 123,9 124 101,5 128,6 119 (%)

2 Tingkat penyelesaian pelanggaran K3 (Ketertiban, 100

82,71 75,53 100 Ketentraman, Keindahan) (%)

3 Persentase Penyelesaian Penegakan Perda (%)

70,30 84,00 90,35 100 Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja

Tingkat Waktu Tanggap Daerah Layanan Wilayah Manajemen Kebakaran

Untuk memberikan proteksi terhadap bencana kebakaran, menurut Kepmeneg PU No. 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Kebakaran Perkotaan, suatu kota perlu membentuk WMK (Wilayah Manajemen Kebakaran. Jumlah minimal WMK untuk suatu daerah tergantung luas daerah tersebut, dengan minimal satu WMK. Manajemen Penanggulangan Kebakaran adalah upaya proteksi kebakaran suatu daerah yang akan dipenuhi dengan adanya instansi kebakaran sebagai suatu public service dalam suatu WMK.

Respon time (waktu tanggap) adalah waktu minimal yang diperlukan dimulai saat menerima informasi dari warga/penduduk sampai tiba di tempat kejadian serta langsung melakukan tindakan yang diperlukan secara cepat dan tepat sasaran di Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK). Pada tahun 2015 dari target < 18 menit dapat terealisasi 14,20 menit. Kesadaran masyarakat/khususnya pengguna jalan meningkat dalam memberikan akses yang seluas-luasnya di ruas jalan tertentu ketika terjadi TK 65 (kejadian kebakaran) maupun ketika tiba di lokasi kebakaran. Untuk mencapai SRT < 15 menit, perlu didukung oleh penyediaan SDM, sarana prasarana (mobil pemadam kebakaran dan motor unit reaksi cepat), pos kewilayahan, hydrant, dan peran serta masyarakat/satwankar.

Tabel 2.28 Indikator Perlindungan Masyarakat Tahun 2013-2017

No Indikator

1 Cakupan pelayanan

kebakaran 64.27% 64.27% 71.27% 75.15% 78.50% kabupaten/kota (%)

bencana

2 Tingkat waktu tanggap (response time rate) 61,15% 66,29% 68,18% 70,73% 73,73%

daerah layanan

Wilayah

Manajemen

Kebakaran (WMK) (%)

3 Persentase Korban bencana yang menerima n/a n/a n/a n/a 100%

bantuan sosial selama masa tanggap darurat (%)

Sumber: DKPB Kota Bandung

Cakupan pelayanan bencana kebakaran di Kota Bandung dari Tahun 2013-2017 selalu ada peningkatan. Pada tahun 2017 mencapai 78,50% dan sampai bulan September 2018 sudah mencapai 100%. Respon time (waktu tanggap) adalah waktu minimal yang diperlukan dimulai saat menerima informasi dari warga/penduduk sampai tiba di tempat kejadian serta langsung melakukan tindakan yang diperlukan secara cepat dan tepat sasaran di Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK). Tingkat waktu tanggap (response time rate) daerah layanan Wilayah Manajemen Kebakaran (WMK) sampai tahun 2017 sudah mencapai 73,73%. Kesadaran masyarakat/khususnya pengguna jalan meningkat dalam memberikan akses yang seluas-luasnya di ruas jalan tertentu ketika terjadi TK 65 (kejadian kebakaran) maupun ketika tiba di lokasi kebakaran. Untuk mencapai SRT < 15 menit, perlu didukung oleh penyediaan SDM, sarana prasarana (mobil pemadam kebakaran dan motor unit reaksi cepat), pos kewilayahan, hydrant, dan peran serta masyarakat/satwankar. Persentase Korban bencana yang menerima bantuan sosial selama masa tanggap darurat pada tahun 2017 sudah mencapai 100% dari 210 KK yang tertipa bencana semuanya mendapat bantuan.

6. Sosial

Sarana Sosial meliputi panti asuhan, panti jompo, panti rehabilitasi, rumah singgah, dan lain sebagainya yang terdapat di suatu daerah. Adapun jumlah sarana sosial di Kota Bandung dalam kurun waktu 2011-2016 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.29

Sarana Sosial di Kota Bandung Tahun 2011-2016 No Uraian

60 buah 60 buah Sosial

1 Jumlah Sarana

Sumber: Dinas Sosial Kota Bandung