1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas dan beragam,baikitukebutuhanprimer,kebutuhansekunder maupunkebutuhan tersier.
Oleh karena itu manusia selalu berusaha dengan segala kemampuannya untukmemenuhikebutuhanhidupnya.Manusia sebagai makhluksosial saling
berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, upaya untuk mencapaitujuan hidupnya antara lain dengan menjalin kerjasamayang
baikantarasesamamanusia dalamberbagaimacamaspek
kehidupan,salahsatunyayaituaspekekonomiyang didalamnyamencakup masalah- masalahperdagangan,jualbeli,dansebagainya.Perdaganganatau
jualbelijugamerupakanbuktibahwasesamamanusiasaling membutuhkan satu samalain.
Dahulu manusiamemenuhi kebutuhannya dengan melakukantransaksi jualbeli yang
disebut denganbarterataupertukaranbarang denganmanusia lainnya.Seiringperkembangannyamanusiaakhirnyamengenalmatauang,
diIndonesiasendiri mengenal matauangrupiah.
Dan dalam pemenuhan kebutuhannya tersebut biasa dilakukan dengan membelibarang secaralangsung
di pasar,toko,minimarket, mall, dan lain – lain. Pada saat ini, minimarket berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut memang menguntungkan
masyarakat, karena masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya akan lebih mudah dan harga – harga kebutuhan akan bersaing untuk menarik minat para konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Disisi lain pelaku usaha juga harus melihat tingkat kepuasan konsumen melalui pelayanan yang diberikan oleh kasir dari minimarket.
Secara umum,kekecewaan
konsumen ataslayanan
minimarketdapat dikategorikankedalamtigakelompok.Pertama,kecewaterhadapcara
kerja petugas,Kedua,kecewa terhadap ketidakakuratan informasiyang ada dalam
brosuriklan, danKetiga,
kekecewaan pelangganterhadapkelengkapanfasilitaspenunjangsupermarket.
1
1
Sudaryatmo, Hukum Advokasi Konsumen, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 11
Permasalahan pada saat ini, mayoritas pedagang mulai pada skala kecil hingga skala besar sedang mengalami gejala kesulitan stok uang koin dengan
berbagai bentuk pecahan. Hal itu berdampak khususnya pada konsumen yang bertransaksi di minimarket. Ketika konsumen membeli sesuatu barang di
minimarket, uang kembalian yang seharusnya diterima konsumen oleh pelaku usaha diberikan dalam bentuk uang tetapi diganti seenaknya kedalam bentuk
permen. Tidak hanya uang koin seratus rupiah ataupun dua ratus rupiah yang kemungkinan diganti dengan permen, kelipatannya hingga lima ratus rupiah pun
diganti dengan permen. Pada prakteknya pelaku usaha memang mengatakan bahwa uang koin kembalian tersebut diganti dengan beberapa permen, tetapi hal
tersebut melanggar hak – hak konsumen untuk menerima kelebihan pembayaran dan mata uang yang berlaku di Indonesia. Disamping itu, pelaku usaha seolah –
olah tidak memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menolak opsi satu – satunya yang diberikan oleh pelaku usaha. Meskipun dalam nominal yang kecil,
tetapi berdampak psikologis cukup besar bagi ketidaknyamanan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Praktek pengalihan uang kembalian konsumen kedalam bentuk permen tidak terjadi lagi dikarenakan banyaknya keluhan masyarakat dan bertentangan dengan
Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pada Pasal 2 Ayat 3 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia UU BI disebutkan bahwa : “ Setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran
atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang rupiah, kecuali apabila ditetapkan
lain dengan peraturan Bank Indonesia”
2
Dan sanksi bagi yang sengaja melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat 3 berdasarkan Pasal 65 UU BI adalah diancam
dengan pidana kurungan sekurang – kurangnya 1 Satu bulan dan paling lama 3 Tiga bulan, serta denda sekurang – kurangnya Rp. 2.000.000,- Dua juta rupiah
dan paling banyak Rp. 6.000.000,- Enam juta rupiah.
3
Dewasa ini, permen tidak lagi digunakan sebagai pengganti uang koin kembalian konsumen. Tetapi, pelaku usaha mengalihkan uang kembalian
konsumen kedalam bentuk sumbangan atau donasi yang diselenggarakan oleh pelaku usaha. Alasan pelaku usaha tetap sama yakni stok uang receh tidak ada
atau habis. Sehingga konsumen merasa terpaksa dan harus menerima kenyataan bahwa uang kembalian yang seharusnya diterima utuh harus didonasikan. Jumlah
nominal uang yang disumbangkan memang sedikit, tetapi hal ini sangat mengganggu kenyamanan dan melanggar hak – hak konsumen. Tujuan awal
2
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BAB I, Pasal 2 Ayat 3.
3
Republik Indonesia,Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, BAB XI, Pasal 65.
Universitas Sumatera Utara
program donasi memang baik tetapi sama seperti bentuk kembalian berupa permen, konsumen merasa terpaksa dan harus berkompromi dengan penawaran
yang diberikan oleh pelaku usaha. Disamping itu, konsumen tidak diberikan pilihan atau solusi lain oleh pelaku usaha, sehingga konsumen seakan – akan tidak
berdaya untuk menolak tawaran yang diberikan oleh pelaku usaha. Dalam hal pengalihan uang kembalian konsumen yang dialihkan sebagai dana
sosial atau sering disebut donasi dapat dikatakan penyimpangan sebab pandangan jual beli yang lazim yang dilakukan oleh masyarakat adalah jual beli dengan
menggunakan alat tukar uang untuk mendapatkan suatu barang dan uang kembaliannya diterima dalam bentuk uang juga bukan untuk dana sosial dan
kegiatan tersebut terlihat memaksa dan merugikan jika konsumen tidak rela. Sedangkan, didalam Penjelasan Pasal 5 Undang – Undang No. 9 Tahun 1961
tentang Pengumpulan Uang dan Barang disebutkan bahwa : “Pemberian sumbangan secara sukarela, tiada dipaksa, merupakan salah satu
syarat pemberian izin pengumpulan uang atau barang yang akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Kesejahteraan Sosial dalam peraturan pelaksanaan”
4
Praktek pengalihan uang kembalian konsumen kedalam bentuk donasi bukan merupakan kehendak kedua belah pihak melainkan hanya merupakan kebijakan
dari pihak pelaku usaha saja. Pihak konsumen tidak mengetahui dan tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha mengenai kepada siapa
dana sosial tersebut akan disalurkan. Konsumen akan merasa tidak nyaman apabila setiap mereka berbelanja dan sisa uang kembaliannya dialihkan untuk
dana sosial donasi. Kurangnya pengetahuan konsumen tentang hak – hak
4
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1961 Tentang Pengumpulan Uang dan Barang,Penjelasan Pasal 5.
Universitas Sumatera Utara
mereka dilindungi oleh undang – undang menyebabkan konsumen seakan – akan tidak berdaya dengan tindakan pelaku usaha tersebut. Padahal Undang – Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi konsumen dari kecurangan – kecurangan dan tindakan yang dilakukan
oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak
diterima sebagaimana mestinya, atau yang merasa dirugikan dapat membuat surat pengaduan kepada lembaga – lembaga yang ditunjuk oleh undang – undang
mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 44 ayat 2
menyebutkan bahwa lembaga yang mempunyai kegiatan perlindungan konsumen salah satunya adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
LPKSM. LPKSM ini dapat meminta pertanggungjawaban kepada pengusaha dan selanjutnya dapat juga membuat laporan kepada Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen selanjutnya disebut BPSK, untuk dapat diadili atas persetujuan yang bersangkutan.
Meskipun tidak banyak diatur dalam UUPK mengenai LPKSM , namun mengingat akan posisi strategis LPKSM tersebut dalam keanggotaan Badan
Perlindungan konsumen Nasional BPKN, dan kepentingan dasar konsumen akan organisasi yang akan melindungi hak-haknya, maka suatu Peraturan Pemerintah
yang nantinya akan dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 44 ayat 4 UUPK menjadi sangat penting artinya. Peraturan Pemerintah tersebut akan menjadi dasar
Universitas Sumatera Utara
dari pembentukan LPKSM, karena menurut Pasal 44 ayat 1 UUPK, hanya LPKSM yang memenuhi syaratlah yang diakui oleh pemerintah.
5
B. Perumusan Masalah