64 kecil dari tingkat signifikansi, yakni 0,012 0,05 maka disimpulkan
bahwa pengaruh yang terjadi antara DTE dengan variabel manajemen laba adalah berpengaruh positif dan signifikan secara
statistika. 2.
Dalam pengujian hipotesis secara simultan dengan menggunakan uji F, diperoleh F
hitung
4.178 F
tabel
3.294 pada df1 = 2 dan df2 = 32 dengan tingkat signifikansi
α 0,05 = 5, maka disimpulkan bahwa aset pajak tangguhan X
1
dan beban pajak tangguhan X
2
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba Y. Nilai koefisien
determinasi R-Square sebesar 0,207. Nilai tersebut menunjukkan bahwa seluruh variabel bebas, secara simultan mempengaruhi variabel
manajemen laba sebesar 20,7, sisanya sebesar 79,3 dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil analisa dari penelitian ini menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas penelitian dengan
menambahkan jumlah sampel yang tidak hanya terfokus pada perusahaan manufaktur, sehingga dapat diperoleh hasil penelitian
dengan tingkat generalisasi yang lebih tinggi. 2.
Peneltian selanjutnya diharapkan dapat memperluas tahun atau periode penelitian dan menggunakan metode penelitian yang berbeda pula
untuk mendapatkan hasil yang lebih otentik.
Universitas Sumatera Utara
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Agensi
Teori agensi merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Menurut Eisenhardt dalam
Harmono 2014 : 3, menyatakan bahwa, “Teori keagenan dapat menjelaskan kesenjangan antara manajemen sebagai agent dan para
pemegang saham sebagai principal. Dalam hal ini, principal yang mendelegasi pekerjaan kepada pihak lain sebagai agent untuk
melaksanakan pekerjaan.”
Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai
prinsipal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para
agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan
syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut.
Adanya perbedaan kepentingan dan informasi antara prinsipal dan agen, sehingga memacu agen untuk memikirkan bagaimana angka
akuntansi yang dihasilkan dapat lebih memaksimalkan kepentingannya. Cara yang dapat dilakukan agen untuk mempengaruhi angka-angka
akuntansi dapat berupa rekayasa laba atau manajemen laba dalam
laporan keuangan.
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.2 Manajemen Laba
Informasi laba menjadi bagian dari laporan keuangan yang dianggap paling penting, karena informasi tersebut secara umum
dipandang sebagai representasi kinerja manajemen pada periode tertentu. Menurut Ahmed dan Belkaoui 2000 dalam Handayani dan
Rachadi 2009 menyatakan bahwa Informasi laba penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan,
dengan alasan, yaitu: 1.
Laba menjadi dasar bagi perusahaan dalam menentukan kebijakan deviden.
2. Laba merupakan dasar dalam memperhitungkan kewajiban
perpajakan perusahaan. 3.
Laba dipandang sebagai petunjuk dalam menentukan arah investasi dan pembuat keputusan ekonomi.
4. Laba diyakini sebagai sarana prediksi yang membantu
dalam memprediksi laba dan kejadian ekonomi di masa mendatang.
5. Laba dijadikan pedoman dalam mengukur kinerja
manajemen.
Menurut Harahap 2007 memberikan definisi manajemen laba earnings management sebagai “disclosure management” dalam
pengertian bahwa: “manajemen melakukan intervensi terhadap proses pelaporan keuangan kepada pihak ekstern dengan maksud untuk
memperoleh kepentingan pribadi”. Scott 2000 juga menambahkan bahwa pola manajemen laba
dapat dilakukan dengan cara: a.
Taking a Bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk pengangkatan
CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar.
Universitas Sumatera Utara
10 Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan laba di masa
mendatang. Strategi seperti ini dilakukan seolah-olah manajer baru melakukan kebijakan yang agresif pada perusahaan yang
mengalami kerugian tersebut. Teknik taking a bath dilakukan dengan mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan
datang dan kerugian pada periode berjalan. Sehingga manajemen menghapus beberapa aktiva dan membebankan perkiraan-perkiraan
biaya mendatang. Akibatnya laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
b. Income Minimization
Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang
diperkirakan turun drastis dapat diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
c. Income Maximization
Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi
untuk tujuan bonus yang lebih besar. Pola ini dilakukan oleh perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian utang.
d. Income Smoothing
Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar
karena pada umumnya investor lebih menyukai laba yang relatif
Universitas Sumatera Utara
11 stabil.
Dalam fluktuasi ekonomi yang tidak menentu mendorong manajemen perusahaan untuk bekerja lebih efektif dan efisien agar
perusahaan mampu menjaga kestabilan aktivitas operasinya sekaligus meningkatkan kinerja manajemen untuk mendapatkan hasil yang
optimal bagi perusahaan. Sehingga diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan dari luar, yaitu masyarakat dan para investor.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan perusahaan di bursa saham, maka dalam situasi perekonomian yang tidak menentu
manajemen melakukan manajemen laba dengan teknik income smoothing dengan motivasi utama yaitu selain untuk mendorong
investor membeli saham perusahaan juga untuk meningkatkan nilai pasar saham. Dengan demikian jelas terlihat bahwa tindakan tersebut
sangat dibutuhkan oleh manajemen dalam rangka menambah firm value dan going concern perusahaan melalui berbagai teknik yang dilakukan
seperti perubahan metode akuntansi yang digunakan penentuan estimasi piutang tak tertagih, peninjauan kembali nilai residu penyusutan dan lain
sebagainya. Menurut Gerald dan Jensen 2001 bahwa earnings management
manajemen laba memiliki cakupan yang lebih luas daripada income smoothing perataan laba, karena manajemen percaya bahwa reaksi
pasar didasarkan pada pengungkapan informasi akuntansi sehingga perilaku laba merupakan aspek penentuan resiko pasar entitas usaha.
Universitas Sumatera Utara
12 Menurut Watt and Zimmerman dalam Suryani 2010
menyebutkan 3 tiga hal yang melatarbelakangi terjadinya praktik manajemen laba, antara lain:
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang
memaksimalkan utilitasnya, yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba,
lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit, cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki
dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang
menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya
menaikkan pajak pendapatan perusahaan.
Walaupun menggunakan definisi yang berbeda-beda, namun inti dari definisi-definisi tersebut menyebutkan bahwa manajemen laba
merupakan upaya manajemen secara sengaja untuk mempengaruhi laporan keuangan dengan cara menaikkan atau menurunkan laba untuk
tujuan memenuhi kepentingannya sehingga informasi di dalam laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang
sebenarnya dan pada akhirnya menyesatkan pemakai informasi tersebut.
2.1.3 Pajak
Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ke-empat atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku pada
Universitas Sumatera Utara
13 tanggal 1 Januari 2008, pengertian pajak telah didefinisikan pada pasal
1 angka 1 sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Menurut Soemitro dalam Mardiasmo 2013 : 1, “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.” Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur: 1.
Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut
berupa uang bukan barang. 2.
Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya 3.
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi inividual oleh pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
14 4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.4 Koreksi Fiskal
Menurut Muljono dan Wicaksono 2009 : 105, “koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal.”
Menurut IAI 2009, laba akuntansi adalah laba bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak yang dihitung berdasarkan
prisnsip akuntansi yang berlaku umum, sedangkan laba fiskal taxable profit adalah laba selama satu periode yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
Koreksi fiskal harus dilakukan oleh Wajib Pajak ketika menghitung besarnya PPH terutang pada akhir tahun. Apabila koreksi
fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh terutang sangat dimungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak
ketentuan pengakuan atau cara perhitungan pada akuntansi komersial yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan.
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa:
Universitas Sumatera Utara
15 1.
Beda Tetap Permanent Difference menurut Agoes dan Trisnawati 2010 : 218 menyatakan bahwa:
Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan pajak,
yaitu adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau
sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba rugi menurut akuntansi pre tax income berbeda secara tetap dengan laba
kena pajak menurut fiskal taxable income.
Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan
Penghasilan Kena Pajak: a.
Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final Pasal 4 ayat 2 UU PPh.
b. Penghasilan yang bukan objek pajak Pasal 4 ayat 3 UU
PPh. c.
Pengeluaran yang tak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan serta pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran Pasal 9
ayat UU PPh. d.
Biaya yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh
bersifat final. e.
Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura.
Universitas Sumatera Utara
16 f.
Sanksi perpajakan. 2.
Beda Sementara Temporary Difference Sesuai namanya, beda waktu merupakan perbedaan
perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi
maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi setiap tahunnya.
Menurut Waluyo 2012 : 271, “perbedaan temporer adalah perbedaan antara dasar pengenaan pajak tax base dari
suatu asset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada asset dan kewajiban yang berakibat pada perubahan laba fiskal periode
mendatang.” Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah future
taxable amount atau berkurang future deductible amount pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasidibayar. Perbedaan
temporer ini berakibat harus diakuinya aset danatau kewajiban pajak tangguhan.
Beda temporer biasanya timbul karena perbedaan metode yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal:
1. Penyisihan Akrual dan Realisasi
Pembentukan penyisihan atas piutang tak tertagih cadangan piutang dibebankan sebagai biaya untuk tujuan akuntansi,
sedangkan untuk tujuan fiskal baru diakui pada saat piutang
Universitas Sumatera Utara
17 benar-benar dihapuskan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat
1 UU PPh. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam metode penghapusan piutang, dimana ketentuan perpjakan secara
umum hanya mengakui metode langsung direct method. 2.
Penyusutan Aset Tetap Metode penyusutan menurut ketentuan perundang-undangan
perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 UU Pajak Penghasilan:
a. Metode garis lurus atau metode saldo menurun untuk aset
tetap berwujud bukan bangunan. b.
Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa bangunan.
3. Revaluasi Aset Tetap
Menurut Waluyo 2010 : 120, “revaluasi aset tetap adalah suatu penilaian kembali atas aset tetap yang dimiliki
perusahaan sehingga sesuai dengan harga pasar saat diberlakukannya revaluasi tersebut.”
Pengakuan suatu aset mengandung makna bahwa nilai tercatat aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat
ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode mendatang. Apabila nilai tercatat aset lebih besar daripada
DPP-nya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal.
Universitas Sumatera Utara
18 Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan
kewajiban pajak penghasilan pada periode mendatang merupakan kewajiban pajak tangguhan.
Pada saat perusahaan memulihkan recover nilai tercatat aset, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba
fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak. Oleh karena itu, Pernyataan ini menghendaki pengakuan semua
kewajiban pajak tangguhan, kecuali pada kondisi tertentu. Perbedan nilai aset tetap antara akuntansi dan pajak akan
dipertanggungjawabkan secara akuntansi sesuai ketentuan PSAK 46 sebagai pajak tangguhan.
Dalam rangka tahun pembinaan pada tahun 2015 telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penilaian
Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.
Perlakuan khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah terkait dengan pengenaan tarif yang lebih
kecil dari seharusnya 10. Perlakuan khusus tarif tersebut adalah sebagai berikut :
a. 3 tiga persen, untuk permohonan yang diajukan sejak
berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
b. 4 empat persen, untuk permohonan yang diajukan sejak
Universitas Sumatera Utara
19 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau
c. 6 enam persen, untuk permohonan yang diajukan sejak 1
Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 Secara formal, tujuan kebijakan khusus ini adalah:
a. menjaga stabilitas ekonomi makro
b. mendorong pertumbuhan ekonomi
Karena khusus, maka Peraturan Menteri Keuangan nomor 191PMK.0102015 tidak mencabut atau mengubah Peraturan
Menteri Keuangan nomor 79PMK.032008. Jadi, setelah 2016 ketentuan tentang PPh atas revaluasi kembali lagi ke Peraturan
Menteri Keuangan nomor 79PMK.032008 dan tarif yang dikenakan 10.
Namun dalam penelitian, penulis menggunakan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 79PMK.032008 karena data penelitian berlangsung pada
periode 2011-2014. 4.
Penilaian Persediaan. Menurut Pasal 10 ayat 6 Undang-undang Pajak
Penghasilan, “persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga
perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.”
Dengan demikian, hanya terdapat dua metode penilaian persediaan yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak, yaitu
Universitas Sumatera Utara
20 metode rata-rata average method dan metode Fisrt In First
Out FIFO. Hal ini berbeda dengan prinsip akuntansi yang menganut tiga metode penilaian persediaan yaitu metode
LIFO, FIFO, dan average. Wajib Pajak harus memilih salah satu metode tersebut dan dilakukan secara konsisten.
Perubahan atas metode penilaian persediaan harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
5. Kompensasi Kerugian Fiskal.
Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terkahir dengan Undang–undang nomor 36 tahun 2008 menyebutkan :
“Apabila penghasilan
bruto setelah
pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 lima
tahun.” Kompensasi kerugian berpengaruh pada Penghasilan Kena
Pajak di masa yang akan datang, dan efek pajaknya akibat dari kompensasi kerugian adalah menghematan pada di masa
yang akan datang future tax saving. Realisasi keuntungan pajak dimasa yang akan datang tergantung pada Penghasilan
Kena pajak di masa yang akan datang tersebut yang sulit
Universitas Sumatera Utara
21 diramalkan dan tidak pasti.
Keuntungan pajak akibat kompensasi rugi diakui sebagai aset pajak tangguhan dalam hal kompensasi pajak tangguhan
tersebut dapat dikompensasi dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak pada masa mendatang. Keuntungan pajak
dihitung dengan mengalikan jumlah yang dapat dikompensasi tersebut dengan tarif pajak yang akan berlaku pada periode
kompensasi terjadi. Pada saat aset pajak tangguhan tersebut dicatat, beban pajaknya pun akan berkurang. Pada tahun-
tahun berikutnya, pada saat penghasilan terealisasi, aset pajak tangguhan pun akan berkurang. Keuntungan pajak karena
kompensasi kerugian tidak akan terealisasi apabila tidak terdapat Penghasilan Kena pajak yang memadai untuk
menutupi kerugian tersebut. Dalam PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan
par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila
besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.
2.1.5 Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer
waktu antara perlakuan akuntansi dan perpajakan serta kerugian
Universitas Sumatera Utara
22 fiskal yang masih dapat dikompensasikan di masa datang tax loss
carry forward yang perlu disajikan dalam laporan keuangan dalam suatu periode tertentu.
Dampak PPh di masa yang akan datang tersebut perlu diakui, dihitung, disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik
neraca maupun laba rugi. Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak
yang lebih besar di masa datang. Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya
memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang. Bila dampak pajak di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan
laba rugi, maka laporan keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya. PSAK No.46 : Pajak Penghasilan mengatur bagaimana entitas
menyajikan dan mengungkapkan kewajiban pajak penghasilan entitas. Peraturan pajak dan standar akuntansi memiliki perbedaan pengakuan
dan pengukuran pendapatan dan beban yang dapat memunculkan aset atau liabilitas pajak tangguhan yang harus diungkapkan dan disajikan
dalam laporan keuangan. Intisari PSAK No.46 mengenai Akuntansi Pajak Penghasilan
dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Mengatur perlakuan Akuntansi PPh, dimana masalah utama adalah bagaimana mempertanggungjawabkan konsekwensi pajak
pada periode berjalan dan periode mendatang yang berkaitan
Universitas Sumatera Utara
23 dengan perbedaan temporer.
b. Dalam akuntansi PPh, agar dilakukan pengakuan terhadap future
tax effect yg timbul sebagai akibat adanya transaksi dan peristiwa lain yg telah diakui dalam laporan keuangan dan SPT. Disamping
itu, agar dilakukan pengakuan terhadap future tax effect dari kompensasi kerugian fiskal yang belum digunakan apabila
persyaratan tertentu dipenuhi. c.
Pengakuan future tax effect diakui dengan mengakui adanya aktiva pajak tangguhan deffered tax assets dan kewajiban pajak
tangguhan deferred tax labilities. Pengakuan pajak tangguhan dalam PSAK No.46 dilakukan dengan menggunakan Balance
Sheet Liability Method. d.
Pengakuan aktiva atau kewajiban pada laporan keuangan, secara tersirat, berarti bahwa perusahaan pelapor akan dapat memulihkan
nilai tercatat aktiva tersebut atau akan melunasi nilai tercatat kewajiban tersebut dalam periode mendatang. Pemulihan nilai
tercatat aktiva pajak tangguhan akan mengakibatkan perusahaan pelapor membayar pajak lebih kecil di periode mendatang dan
pemulihan nilai tercatat kewajiban pajak tangguhan akan mengakibatkan perusahaan pelapor membayar pajak lebih besar
di periode mendatang. e.
Mengatur tentang penyajian Pajak Penghasilan pada Laporan Keuangan serta pengungkapan Informasi yang relevan.
Universitas Sumatera Utara
24 Menurut Waluyo 2012 : 273, pajak tangguhan sebagai
“jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dari sisa
kerugian yang dapat di kompensasikan.”
2.1.5.1 Metode Penangguhan Pajak Penghasilan
Pengakuan pajak tangguhan dalam PSAK No.46 dilakukan dengan menggunakan Balance Sheet Liability
Method Metode Aktiva-Kewajiban. Metode ini menggunakan pendekatan neraca balance sheet approach yang menekankan
pada kegunaan laporan keuangan dalam mengevaluasi posisi keuangan dan memprediksikan aliran kas pada masa yang akan
datang. Pendekatan neraca memandang perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan dari sudut pandang neraca, yaitu
perbedaan antara saldo buku menurut komersial dan dasar pengenaan pajaknya.
Pendekatan ini mengenal istilah perbedaan temporer dan perbedaan non temporer. Pada metode ini terjadi
pengakuan pajak tangguhan deferred tax atas konsekuensi pajak di masa mendatang berupa aset kewajiban pajak
tangguhan yang harus dilaporkan di neraca. Beban pajak tangguhan dilaporkan di laba rugi bagian taksiran PPh sebagai
komponen pajak tangguhan, sedangkan penghasilan pajak tangguhan harus dilaporkan di laba rugi sebagai komponen
Universitas Sumatera Utara
25 negatif dari beban pajak tangguhan.
Menurut Zain 2007 : 194 Kewajiban pajak tangguhan maupun aset pajak tangguhan dapat terjadi dalam
hal-hal sebagai berikut : 1.
Apabila penghasilan sebelum pajak-PSP Pretax
Accounting Income lebih besar dari penghasilan kena pajak-PKP taxable income, maka beban pajak–BP Tax
Expense pun akan lebih besar dari pajak terutang-PT Tax Payable, sehingga akan menghasilkan Kewajiban
Pajak Tangguhan Deferred Taxes Liability. Kewajiban pajak tangguhan dapat dihitung dengan mengalikan
perbedaan temporer dengan tarif pajak yang berlaku. 2.
Sebaliknya apabila penghasilan sebelum pajak PSP lebih kecil dari penghasilan kena pajak PKP, maka
beban pajak BP juga lebih kecil dari pajak terutang PT, sehingga akan menghasilkan Aktiva Pajak
Tangguhan Deferred Tax Assets. Aktiva pajak tangguhan adalah sama dengan perbedaan temporer
dengan tarif pajak pada saat perbedaan tersebut terpulihkan.
Penghasilan Kena Pajak PKP-Taxable Income dihitung berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan Perpajakan, sedangkan Penghasilan Sebelum Pajak
Universitas Sumatera Utara
26 PSP-Accounting Income atau Pretax Book Income dihitung
berdasarkan standar yang disusun oleh profesi yang dikenal sebagai Standar Akuntansi keuangan SAK.
Oleh karena basis pengenaan penghasilan untuk keperluan perhitungan Pajak Penghasilan berbeda dengan basis
penghitungan penghasilan untuk keperluan komersial, atau dengan perkataan lain, akibat dari perbedaan penghasilan dan
biaya, maka akan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara keddua basis tersebut. Pajak Penghasilan yang dihitung
berbasis pada Penghasilan Kena Pajak yang sesungguhnya dibayar kepada pemerintah disebut sebagai PPh terutang-
Income Tax Payable atau Income Tax Liability, sedangkan Pajak Penghasilan yang dihitung berbasis Penghasilan
Sebelum Pajak, disebut sebagai Beban Pajak Penghasilan- Income Tax Expense.
2.1.5.2 Kegiatan yang Dilakukan dalam Menentukan Pajak Tangguhan
Sama halnya dengan proses akuntansi lainnya, Akuntansi Pajak Tangguhan tidak terlepas dari empat kegiatan
berikut ini : 1.
Pengakuan recognition yaitu standar yang mengatur bahwa dampak PPh atas perbedaan temporer dan tax loss
carry forward TLCF atau kompensasi rugi harus diakui
Universitas Sumatera Utara
27 dalam laporan keuangan. Pengakuan ini menyiratkan
bahwa perusahaan pelapor akan memulihkan nilai tercatat aset pajak tangguhan atau deferred tax asset DTA dan
akan melunasi nilai tercatat dalam kewajiban pajak tangguhan atau deferred tax liability DTL tersebut.
Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan yang disebabkan oleh perbedaan temporer akan
terpulihkan di masa datang karena jumlah yang akan diakui sebagai biaya atau pendapatan akan sama antara
akuntansi dan pajak, hanya berbeda alokasi waktunya saja. Sedangkan aset pajak tangguhan yang timbul dari
kompensasi rugi akan terpulihkan bila perusahaan menggunakan kompensasi rugi tersebut pada tahun di
mana perusahaan memperoleh laba fiskal. Bila kompensasi rugi tersebut tidak terpakai dan menjadi
hangus, maka aset pajak tangguhan yang timbul harus disesuaikan.
2. Pengukuran measurement yaitu cara menghitung jumlah
yang harus dibukukan dalam buku besar perusahaan. Pajak tangguhan dapat dihitung dengan cara mengalikan
beda waktu yang terjadi dengan tarif pajak yang berlaku pada saat aktiva dipulihkan atau kewajiban dilunasi. Tarif
yang digunakan adalah tarif tunggal yaitu 25, walaupun
Universitas Sumatera Utara
28 tarif sebenarnya dilihat dari jenis Badan Hukum dan
Omsetnya. 3.
Penyajian presentation yaitu standar yang menentukan cara penyajian di dalam laporan keuangan, baik dalam
neraca ataupun laba rugi. Aset pajak tangguhan DTA atau kewajiban pajak tangguhan DTL harus disajikan
secara terpisah dari aktiva atau kewajiban pajak kini dan disajikan dalam unsur non current dalam neraca.
Sedangkan beban atau penghasilan pajak tangguhan harus disajikan terpisah dengan beban pajak kini dalam laporan
keuangan. 4.
Pengungkapan disclosure yaitu berkaitan dengan standar informasi yang perlu diungkapkan dalam catatan atas
laporan keuangan. Misalnya unsur-unsur utama perbedaan temporer yang menimbulkan pajak tangguhan, unsur-
unsur yang dibebankan langsung ke laba ditahan, perubahan tarif pajak dan sebagainya.
Aset Pajak Tangguhan dapat disamakan seperti lebih bayar pajak yang akan digantikan di masa yang akan datang
pada saat pemulihan perbedaan temporer. Sementara itu Kewajiban Pajak Tangguhan dapat disamakan seperti kurang
bayar pajak yang akan dibayar di masa yang akan datang pada saat pemulihan perbedaan temporer. Kenaikan neto aktiva
Universitas Sumatera Utara
29 pajak tangguhan menyebabkan pengurangan beban pajak
perusahaan sedangkan sebaliknya kenaikan neto kewajiban pajak tangguhan menyebabkan kenaikan beban pajak
perusahaan. Beban pajak menurut pembukuan dapat dihitung
sebagai berikut: Pajak Penghasilan Terutang
Rp XXX Kenaikan neto kewajiban pajak tangguhan
Rp XXX + Kenaikan neto aset pajak tangguhan
Rp XXX - Beban pajak menurut pembukuan
Rp XXX Aset pajak tangguhan dan kewajiban pajak tangguhan
terjadi akibat perbedaan temporer antara pembukuan dan pajak sedangkan perbedaan permanen antara pembukuan dan pajak
tidak mempunyai efek, baik terhadap perhitungan beban pajak menurut pembukuan maupun terhadap perhitungan pajak
terutang. Oleh karena perbedaan permanen tidak menghasilkan pajak tangguhan.
2.1.6 Aset Pajak Tangguhan
PSAK yang khusus mengatur tentang akuntansi pajak tangguhan adalah PSAK No. 46 yang menjelaskan bahwa:
“Aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan recoverable pada periode mendatang sebagai akibat adanya
perbedaan temporer temporary differences yang boleh dikurangkan
Universitas Sumatera Utara
30 dan sisa kompensasi kerugian berasal dari koreksi positif”.
“Aset pajak tangguhan adalah aktiva yang terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakhibat
beban pajak menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut Undang-Undang Pajak” dalam Waluyo 2012
: 273. Aset pajak tangguhan disebabkan jumlah pajak penghasilan
terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian.
Besarnya aset pajak tangguhan dicatat apabila dimungkinkan adanya realisasi manfaat pajak di masa yang akan datang.
2.1.7 Beban Pajak Tangguhan
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi laba dalam laporan keuangan menurut SAK
untuk kepentingan pihak eksternal dengan laba fiskal laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar
penghitungan pajak. Suandy 2008 : 91 mengungkapkan bahwa “apabila pada masa mendatang akan terjadi pembayaran yang lebih
besar, maka berdasarkan SAK harus diakui sebagai suatu kewajiban.” Sebagai contoh apabila beban penyusutan aset tetap yang
diakui secara fiskal lebih besar daripada beban penyusutan aset tetap yang diakui secara komersial sebagai akibat adanya perbedaan metode
penyusutan aktiva tetap, maka selisih tersebut akan mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
31 pengakuan beban pajak yang lebih besar secara komersial pada masa
yang akan datang. Dengan demikian selisih tersebut akan menghasilkan kewajiban pajak tangguhan. “Kewajiban pajak
tangguhan timbul apabila beda waktu menyebabkan terjadinya koreksi negatif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih besar daripada
beban pajak menurut peraturan perpajakan” dalam Agoes dan Trisnawati 2010 : 245.
Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi yaitu laba dalam laporan keuangan untuk
kepentingan pihak eksternal dengan laba fiskal laba yang digunakan sebagai dasar perhitungan pajak. Perbedaan antara laporan keuangan
akuntansi dan fiskal disebabkan dalam penyusunan laporan keuangan, standar akuntansi lebih memberikan keleluasaan bagi manajemen
dalam menentukan prinsip dan asumsi akuntansi dibandingkan yang diperbolehkan menurut peraturan pajak.
2.2 Hubungan Antara Variabel Dependen dengan Variabel Independen
Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menjelaskan tentang adanya keterkaitan antara variabel dependen dengan
variabel independen.
2.2.1 Hubungan Aset Pajak Tangguhan dengan Manajemen Laba
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia 2009, nilai tercatat aset pajak tangguhan harus ditinjau kembali pada tanggal neraca.
Universitas Sumatera Utara
32 Perusahaan harus menurunkan nilai tercatat apabila laba fiskal tidak
mungkin memadai untuk mengkompensasi sebagian atau semua aset pajak tangguhan. Penurunan tersebut harus disesuaikan kembali
apabila besar kemungkinan laba fiskal memadai. Dengan adanya kewajiban untuk melakukan peninjauan kembali pada tanggal
neraca, maka setiap tahun manajemen harus membuat suatu penilaian untuk menetukan saldo aset pajak tangguhan dan
pencadangan aset pajak tangguhan, sedangkan penilaian manajemen untuk menentukan saldo cadangan aset pajak tangguhan tersebut
bersifat subjektif.
Dengan diberlakukannya PSAK No.46 yang mensyaratkan para manajer untuk mengakui dan menilai kembali aset pajak
tangguhan yang dapat disebut pencadangan nilai aset pajak tangguhan. Penilaian manajemen untuk menentukan saldo cadangan
aset pajak tangguhan tersebut bersifat subjektif. Hal ini memicu terjadinya manajemen laba karena setiap tahun manajer harus
membuat penilaian untuk menentukan apakah akan mencatat atau akan menyesuaikan aset pajak tangguhan dan besarnya penyisihan
aset pajak tangguhan
.
Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen dimotivasi adanya pemberian bonus, beban politis atas
besarnya perusahaan dan minimalisasi pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka
Universitas Sumatera Utara
33 diekspektasikan adanya peranan antara aset pajak tangguhan yang
dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar
maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan manajemen laba earnings management.
2.2.2 Hubungan Beban Pajak Tangguhan dengan Manajemen Laba
Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memliki hubungan positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti
pemberian bonus sehingga dengan adanya hla tersebut maka dimungkinkan manajer dapat melakukan rekayasa laba earnings
management dengan memperbesar atau memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dengan laporan laba rugi. Beban yang
besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan, begitu pula sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan tingkat
laba yang diperoleh perusahaan. Berdasarkan Philips et al 2003 membuktikan adanya praktik
manajemen laba dengan menggunakan beban pajak tangguhan. Penelitian yang dilakukan Yulianti 2005 juga menemukan bukti
empiris bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif signifikan dengan probabilitas perusahaan untuk melakukan
manajemen laba guna menghindari kerugian perusahaan. Manajemen laba merupakan peluang manajemen untuk
merekayasa besarnya beban pajak tangguhan guna menaikkan dan
Universitas Sumatera Utara
34 menurunkan tingkat labanya. Beban pajak tangguhan mengakibatkan
tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di
masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang dibayarkan. Dari penjelasan diatas dapat terjadi rekayasa laba
earnings management dengan menaikkan atau menurunkan jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan laba rugi.
2.3 Penelitian Terdahulu
Adapun penelitian yang sejenis yang sebelumnya telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pajak tangguhan terhadap manajemen laba
diantaranya :
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
NAMA PENELITI
JUDUL PENELITI
VARIABEL PENELITIAN
HASIL PENELITIAN
Frank dkk 2006
Do Managers Use the Valuation
Allowance Account to
Manage Earnings Around Certain
Earnings Targets? Variabel independen :
Aset Pajak Tangguhan X
2
Variabel dependen : Manajemen Laba Y
Aset pajak tangguhan mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap manajemen
laba
Phillips dkk 2003
Earnings Management:
New Evidence Based on
Deferred Tax Expense
Variabel independen : Beban Pajak
Tangguhan X
1
, Akrual X
2
Variabel dependen : Manajemen LabaY
Beban pajak tangguhan dan akrual berpengaruh
secara signifikan dapat mendeteksi manajemen
laba.
Suranggane 2007
Analisis aktiva pajak tangguhan
akrual sebagai prediktor
manajemen laba Variabel independen :
Akrual X
1
, Aktiva Pajak Tangguhan X
2
Variabel dependen : Manajemen Laba Y
Akrual memiliki hubungan positif
terhadap manajemen
laba, Aktiva
pajak tangguhan
memiliki hubungan
negatif
Universitas Sumatera Utara
35 H
1
H
2
terhadap manajemen laba.
Ulfah 2012 Pengaruh beban
pajak tangguhan dan perencanaan
pajak terhadap praktik
manajemen laba Variabel independen :
Beban Pajak Tangguhan X
1
, Perencanaan Pajak X
2
Variabel dependen : Manajemen LabaY
Beban pajak tangguhan berpengaruh positif
terhadap manajemen laba, perencanaan
pajak berpengaruh positif terhadap
manajemen laba.
Wiryandari 2008
Hubungan Laba Akuntansi dan
Laba Pajak dalam Perilaku
Manajemen Laba Variabel independen :
Beban Pajak Tangguhan X
1
, Akrual X
2
Variabel dependen : Manajemen LabaY
Beban pajak tangguhan dan akrual secara
signifikan tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba.
Yulianti 2005
Kemampuan Beban
Pajak Tangguhan Dalam
Mendeteksi Manajemen Laba
Variabel Independen: Beban Pajak
Tangguhan X
1
Akrual X
2
Variabel Dependen: Manajemen Laba Y
Beban pajak tangguhan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap manajemen
laba beban pajak tangguhan tidak
konsisten dengan metode akrual sebagai
proksi manajemen laba.
2.4 Kerangka Konseptual