12 Menurut Watt and Zimmerman dalam Suryani 2010
menyebutkan 3 tiga hal yang melatarbelakangi terjadinya praktik manajemen laba, antara lain:
1. Bonus Plan Hypothesis
Manajemen akan memilih metode akuntansi yang
memaksimalkan utilitasnya, yaitu bonus yang tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba,
lebih banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt Covenant Hypothesis
Manajer perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit, cenderung memilih metode akuntansi yang memiliki
dampak meningkatkan laba. Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan pihak eksternal.
3. Political Cost Hypothesis
Semakin besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih metode akuntansi yang
menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba yang tinggi, pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya
menaikkan pajak pendapatan perusahaan.
Walaupun menggunakan definisi yang berbeda-beda, namun inti dari definisi-definisi tersebut menyebutkan bahwa manajemen laba
merupakan upaya manajemen secara sengaja untuk mempengaruhi laporan keuangan dengan cara menaikkan atau menurunkan laba untuk
tujuan memenuhi kepentingannya sehingga informasi di dalam laporan keuangan tidak mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang
sebenarnya dan pada akhirnya menyesatkan pemakai informasi tersebut.
2.1.3 Pajak
Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2009 tentang Perubahan Ke-empat atas Undang-Undang No.6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku pada
Universitas Sumatera Utara
13 tanggal 1 Januari 2008, pengertian pajak telah didefinisikan pada pasal
1 angka 1 sebagai berikut: “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Menurut Soemitro dalam Mardiasmo 2013 : 1, “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang
dapat dipaksakan dengan tiada mendapat jasa timbal kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.” Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur-unsur: 1.
Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut
berupa uang bukan barang. 2.
Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya 3.
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi inividual oleh pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
14 4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.4 Koreksi Fiskal
Menurut Muljono dan Wicaksono 2009 : 105, “koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan pengakuan metode, masa manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara komersial dengan secara fiskal.”
Menurut IAI 2009, laba akuntansi adalah laba bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak yang dihitung berdasarkan
prisnsip akuntansi yang berlaku umum, sedangkan laba fiskal taxable profit adalah laba selama satu periode yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan dan yang menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
Koreksi fiskal harus dilakukan oleh Wajib Pajak ketika menghitung besarnya PPH terutang pada akhir tahun. Apabila koreksi
fiskal tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, perhitungan besarnya PPh terutang sangat dimungkinkan akan mengalami kesalahan karena banyak
ketentuan pengakuan atau cara perhitungan pada akuntansi komersial yang diperlakukan secara khusus pada ketentuan perpajakan.
Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa:
Universitas Sumatera Utara
15 1.
Beda Tetap Permanent Difference menurut Agoes dan Trisnawati 2010 : 218 menyatakan bahwa:
Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan pajak,
yaitu adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal, atau
sebaliknya. Beda tetap mengakibatkan laba rugi menurut akuntansi pre tax income berbeda secara tetap dengan laba
kena pajak menurut fiskal taxable income.
Beda tetap biasanya timbul karena peraturan perpajakan mengharuskan hal-hal berikut dikeluarkan dari perhitungan
Penghasilan Kena Pajak: a.
Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final Pasal 4 ayat 2 UU PPh.
b. Penghasilan yang bukan objek pajak Pasal 4 ayat 3 UU
PPh. c.
Pengeluaran yang tak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, yaitu mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan serta pengeluaran yang sifatnya pemakaian penghasilan atau yang jumlahnya melebihi kewajaran Pasal 9
ayat UU PPh. d.
Biaya yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan PPh
bersifat final. e.
Penggantian sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura.
Universitas Sumatera Utara
16 f.
Sanksi perpajakan. 2.
Beda Sementara Temporary Difference Sesuai namanya, beda waktu merupakan perbedaan
perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi
maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi setiap tahunnya.
Menurut Waluyo 2012 : 271, “perbedaan temporer adalah perbedaan antara dasar pengenaan pajak tax base dari
suatu asset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada asset dan kewajiban yang berakibat pada perubahan laba fiskal periode
mendatang.” Terjadinya perubahan tersebut dapat bertambah future
taxable amount atau berkurang future deductible amount pada saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasidibayar. Perbedaan
temporer ini berakibat harus diakuinya aset danatau kewajiban pajak tangguhan.
Beda temporer biasanya timbul karena perbedaan metode yang dipakai antara pajak dengan akuntansi dalam hal:
1. Penyisihan Akrual dan Realisasi
Pembentukan penyisihan atas piutang tak tertagih cadangan piutang dibebankan sebagai biaya untuk tujuan akuntansi,
sedangkan untuk tujuan fiskal baru diakui pada saat piutang
Universitas Sumatera Utara
17 benar-benar dihapuskan seperti yang diatur dalam Pasal 6 ayat
1 UU PPh. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam metode penghapusan piutang, dimana ketentuan perpjakan secara
umum hanya mengakui metode langsung direct method. 2.
Penyusutan Aset Tetap Metode penyusutan menurut ketentuan perundang-undangan
perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 UU Pajak Penghasilan:
a. Metode garis lurus atau metode saldo menurun untuk aset
tetap berwujud bukan bangunan. b.
Metode garis lurus untuk aset tetap berwujud berupa bangunan.
3. Revaluasi Aset Tetap
Menurut Waluyo 2010 : 120, “revaluasi aset tetap adalah suatu penilaian kembali atas aset tetap yang dimiliki
perusahaan sehingga sesuai dengan harga pasar saat diberlakukannya revaluasi tersebut.”
Pengakuan suatu aset mengandung makna bahwa nilai tercatat aktiva tersebut akan terpulihkan dalam bentuk manfaat
ekonomi yang akan diterima oleh perusahaan pada periode mendatang. Apabila nilai tercatat aset lebih besar daripada
DPP-nya, jumlah manfaat ekonomi yang kena pajak akan melebihi jumlah yang dapat dikurangkan untuk tujuan fiskal.
Universitas Sumatera Utara
18 Perbedaan ini merupakan perbedaan temporer kena pajak dan
kewajiban pajak penghasilan pada periode mendatang merupakan kewajiban pajak tangguhan.
Pada saat perusahaan memulihkan recover nilai tercatat aset, perbedaan temporer kena pajak akan terealisasi menjadi laba
fiskal. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya kewajiban pajak. Oleh karena itu, Pernyataan ini menghendaki pengakuan semua
kewajiban pajak tangguhan, kecuali pada kondisi tertentu. Perbedan nilai aset tetap antara akuntansi dan pajak akan
dipertanggungjawabkan secara akuntansi sesuai ketentuan PSAK 46 sebagai pajak tangguhan.
Dalam rangka tahun pembinaan pada tahun 2015 telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Tentang Penilaian
Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.
Perlakuan khusus yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah terkait dengan pengenaan tarif yang lebih
kecil dari seharusnya 10. Perlakuan khusus tarif tersebut adalah sebagai berikut :
a. 3 tiga persen, untuk permohonan yang diajukan sejak
berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
b. 4 empat persen, untuk permohonan yang diajukan sejak
Universitas Sumatera Utara
19 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau
c. 6 enam persen, untuk permohonan yang diajukan sejak 1
Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 Secara formal, tujuan kebijakan khusus ini adalah:
a. menjaga stabilitas ekonomi makro
b. mendorong pertumbuhan ekonomi
Karena khusus, maka Peraturan Menteri Keuangan nomor 191PMK.0102015 tidak mencabut atau mengubah Peraturan
Menteri Keuangan nomor 79PMK.032008. Jadi, setelah 2016 ketentuan tentang PPh atas revaluasi kembali lagi ke Peraturan
Menteri Keuangan nomor 79PMK.032008 dan tarif yang dikenakan 10.
Namun dalam penelitian, penulis menggunakan
Peraturan Menteri Keuangan nomor 79PMK.032008 karena data penelitian berlangsung pada
periode 2011-2014. 4.
Penilaian Persediaan. Menurut Pasal 10 ayat 6 Undang-undang Pajak
Penghasilan, “persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga
perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.”
Dengan demikian, hanya terdapat dua metode penilaian persediaan yang bisa dilakukan oleh Wajib Pajak, yaitu
Universitas Sumatera Utara
20 metode rata-rata average method dan metode Fisrt In First
Out FIFO. Hal ini berbeda dengan prinsip akuntansi yang menganut tiga metode penilaian persediaan yaitu metode
LIFO, FIFO, dan average. Wajib Pajak harus memilih salah satu metode tersebut dan dilakukan secara konsisten.
Perubahan atas metode penilaian persediaan harus mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
5. Kompensasi Kerugian Fiskal.
Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terkahir dengan Undang–undang nomor 36 tahun 2008 menyebutkan :
“Apabila penghasilan
bruto setelah
pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didapat kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 lima
tahun.” Kompensasi kerugian berpengaruh pada Penghasilan Kena
Pajak di masa yang akan datang, dan efek pajaknya akibat dari kompensasi kerugian adalah menghematan pada di masa
yang akan datang future tax saving. Realisasi keuntungan pajak dimasa yang akan datang tergantung pada Penghasilan
Kena pajak di masa yang akan datang tersebut yang sulit
Universitas Sumatera Utara
21 diramalkan dan tidak pasti.
Keuntungan pajak akibat kompensasi rugi diakui sebagai aset pajak tangguhan dalam hal kompensasi pajak tangguhan
tersebut dapat dikompensasi dengan jumlah Penghasilan Kena Pajak pada masa mendatang. Keuntungan pajak
dihitung dengan mengalikan jumlah yang dapat dikompensasi tersebut dengan tarif pajak yang akan berlaku pada periode
kompensasi terjadi. Pada saat aset pajak tangguhan tersebut dicatat, beban pajaknya pun akan berkurang. Pada tahun-
tahun berikutnya, pada saat penghasilan terealisasi, aset pajak tangguhan pun akan berkurang. Keuntungan pajak karena
kompensasi kerugian tidak akan terealisasi apabila tidak terdapat Penghasilan Kena pajak yang memadai untuk
menutupi kerugian tersebut. Dalam PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan
par. 26 menjelaskan bahwa saldo rugi fiskal yang dapat dikompensasi diakui sebagai aset pajak tangguhan apabila
besar kemungkinan bahwa laba fiskal pada masa depan memadai untuk dikompensasi.
2.1.5 Pajak Tangguhan