Hambatan-Hambatan dalam Memperjuangkan Jilbab

panatik. susana keagamaan juga di pengaruhi oleh suasana politik. Ada kaitan dengan pewacanaan politik apa yang berkembang.” 165

B. Hambatan-Hambatan dalam Memperjuangkan Jilbab

Perjuangan-perjuangan yang dilakukan gerakan Tarbiyah, PII maupun HMI dalam mensyiarkan Jilbab tentunya tidak berjalan mulus, harus menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dari berbagai pihak. Adapun tantangan ataupun hambatan yang harus dilalui adalah: B.1 Peraturan Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Kordinator Kampus Peraturan NKK BKK merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk normalisasi kegiatan-kegiatan kampus yang mengakibatkan organsasi-organisasi Intral dan Eksternal dilarang masuk ke kampus. Dengan adanya Peraturan NKK BKK organisasi-organisasi Eksternal tidak dapat bergerak memasuki dunia kampus, termasuk HMI yang merupakan organisasi eksternal, pada awalnya HMI mendapatkan kesulitan dalam melakukan pengajian-pengajian Islam yang didalamnya disisipkan materi tentang Jilbab. Situasi itu pernah di alami oleh HMI Komesariat Fisip USU pada tahun 1984 dengan ketua yang dipimpin oleh Bapak Ahmad Taufan Damanik membuat sebuah acara atau kajian yang pada saat itu terdapat lambang dari HMI, jelas saja itu mendapat teguran langsung oleh Dekan Fisip USU pada saat itu jabatan Dekan di pegang oleh Bapak Adam Nasution. Karna mengingat peraturan NKK BKK yang berlaku pada saat itu. Peristiwa yang di alami HMI, dapat kita melihat bagaimana organisasi-organisasi Islam internal maupun eksternal akan sulit untuk memasuki dunia kampus, apalagi untuk membuat sebuah kajian mengenai materi Islam terkhsusnya mengenai Jilbab. 165 Hasil wawancara bersama BapakAhmad Taufan. Universitas Sumatera Utara B.2.Peraturan Mengenai Asas Tunggal Pancasila Peraturan mengenai Asas tunggal pancasila yang dikeluarkan dalam UU No.51985 dan UU No 81985 kepada organisasi sosial dan politik di Indonesia, pendaftaran kembali Ormas-ormas diberi batas sampai tanggal 17 Juli 1987, ormas yang tidak menerima asas tunggal tidak akan didaftarkan sehingga mendapatkan konsekuensi di bubarkan. Ini lah yang dialami oleh PII pada tahn 1987 tidak menyetujui dengan adanya asa tunggal, sehingga sampai pada tanggal yang telah ditetapkan PII tidak mendaftarkan diri. Sejak saat itu PII tidak diakui lagi keberadaanya secara Formal. Pernyatan ini diperjelas dalam Hasil wawancara dengan Ibu Siti Hajar yang mengatakan “... pada saat penerapan asas tunggal, PII menolak asas tunggal. Jadi PII ini dilarang, ya kami melakukan kegiatan sembunyi-sembunyilah dan pada saat itu training-training dilarang.” 166 “Jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi ketika daedline itu PII tidak menyetujui dengan asas tunggal. Karna PII tidak menerima, akhirnya PII melakukan kegiatan ya Dari pemaparan Ibu Siti Hajar, PII harus mengalami hambatan dalam pergerakannya untuk menjalankan program-program yang menjadi handalan PII pada saat itu yaitu training-training. Disaat PII Jakarta mengalami kemandekkan diikuti dengan PII di Sumatra Utara yang bergerak tidak semaksimal sebelumnya dengan menerapkan “gerakan bawah tanah” untuk tetap menjalankan kegiatan- kegiatan training dengan menggunakan nama-nama lain seperti Syiam, Usroh dan GAS Gerakan Amal Shalih. Jelas dengan gerakan bawah tanah ini, PII menjadi lebih lambat selain itu juga mengakibatkan kepada massa yang ikut dalam training juga menurun. Saat peserta training menurun tentunya akan berdampak pada syiar penggunaan Jilbab juga mulai terhambat, dikarenakan banyak peserta yang menggunakan Jilbab pada saat setelah mengikuti training ini. Hal ini diperjelas dalam hasil wawancara bersama Bapak Satiman, yang mengatakan:, 166 Hasil wawancara bersama IbuSiti Hajar.. Universitas Sumatera Utara terhambatlah, kita terhambat untuk bisa mengadakan training, kegiatan lainnya. 10 tahun PII Tiarap pada saat itu. Tidak bisa mengadakan kegiatan itu.” 167 Sedangkan disekolah-sekolah Negri dijumpai hambatan dari pihak yang mempunyai kekuasaan yaitu kepala sekolah dan guru-guru yang memberikan berbagai macam sanksi-sanksi yang dapat menghambat siswi-siswi untuk menggunakan Jilbab dan harus melepaskan Jilbab mereka. Pada awal tahun 1982, terjadi lagi kasus pelarangan Jilbab terjadi kepada seorang siswi bernama Triwulandari, biasa dipanggil Titik yang merupakan siswi dari SMAN 1 Jember. B.3. Pihak yang BerkuasaBerwenang Gerakan-gerakan ini mengalami hambatan dari pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuasaan seperti Rektor, Dekan, Kepala Sekolah dan guru-guru. Dari pihak kampus, dengan adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan Kemendikbud mengakibat Rektor dan Dekan FISIP USU tidak dekat dengan kelompok Islam. Pada saat itu Bapak Ahamd Taufan melakukan pendekatan yang intensif dan hubungan komunikasi ayah dan anak dengan Dekan Fisip USU yang bernama Pak Adam Nasution. Sehingga hasil dari komunikasi yang dijalin begitu intens, akhirnya Bapak Adam Nasution ikut hadir dalam kajian-kajian yang dibuat oleh HMI. 168 “ Dikeluarkannya SK 052 ini bermula dari munculnya semangat berjilbab di sebagian siswi-siswi sekolah negri. Sehingga pemerintah melalui Dikdasmen pendidikan dasar dan Menengah di Kemendikbud mengeluarkan peraturan seragam nasional yang bersifat wajib dan tidak mengakomodir Jilbab di dalamnya. Itu kemudian menjadi dasar untuk melarang penggunaan Jilbab. Sejak itu terjadi konflik. Siswi-siswi yang mulai tumbuh kesadaran beragamanya tetap bertahan dengan pakaian Jilbabnya, sementara sekolah Walaupun banyak juga siswi-siswi yang menggunakan Jilbab tetapi mereka harus memilih untuk melepaskan Jilbab selama di lingkungan sekolah. Memasuki tahun 1982, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P dan K Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan SK 052CKepD82. Menurut bapak Alwi Alatas: 167 Hasil wawancara bersama Bapak satiman. 168 Alwi Alatasa. Op.cit. hal 25. Universitas Sumatera Utara menekan mereka untuk ikut dengan peraturan. Banyak yang akhirnya keluar dari sekolah”. 169 Kasus pelarangan Jilbab setelah SK 052 dialami sekolah Negri SMAN 68, Jakarta Pusat yang lebih ekstrim dalam memberikan sanksi kepada siswi yang mengenakan Jilbab yaitu dikeluarkan dari sekolah itu. 170 Di daerah yang berbeda juga terjadi pelarangan Jilbab yang dialami oleh empat orang siswi dari SMA 1 Bogor, dimana orang tua dari mereka menerima surat pemberitahuan dari kepala sekolah SMA 1 Bogor, yang mengatakan anak-anak mereka telah di coret dari absen tidak hanya itu, tugas rumah, kuis, dan ulangan juga tidak di periksa oleh guru mereka, dengan demikian status dari empat orang siswa ini menjadi mengambang. 171 “ saat itu untuk pas poto STTB di sekolah Madrasah Aliyah Al Wasliyah ada siswi yang bernama Renawati sama juga di Madrasah Tsanawiyah GUPI Tebing Tinggi siswinya itu namanya Nurjannah Purba, mereka berdua ini tidak di bolehkan pas poto STTB dengan menggunakan Jilbab, ya harus membuka Jilbab, pada hal pada saat itu Pelarangan Jilbab tidak hanya dirasakan oleh siswi-siswi di daerah pulau Jawa ternyata didaerah Sumatra Utara walaupun tidak sebegitu ekstrim jika dibandingkan dengan pulau Jawa. Pelarangan Jilbab di Sumatra Utara terjadi pada awal tahun 1990-an, bahkan pelarangan Jilbab terjadi di Sumatra Utara setelah SK Dirjen Dikdasmen NO 100CKepD1991 yang sudah memperbolehkan penggunaan Jilbab bagi siswi-siswi sekolah Negri. Seperti contohnya yang dirasakan oleh Riris yang bersekolah di SMA Negri 1 Tebing Tingggi yang pada saat itu begitu gigih untuk mempertahankan Jilbabnya walaupun ia harus menerima hukuman seperti dijemur dilapangan sambil hormat bendera, serta tugasnya tidak diperiksa bahkan dia hampir dikelurakan dari sekolahnya. Permasalahan yang sama juga dirasakan oleh Mutarabbi dari Ibu Wilda yang mengatakan: 169 Hasil wawancara dengan Bapak Alwi Alatas. Pada tanggal 27 Januari 2017. 170 Alwi Alatas.Op.cit.Hal.24 171 Abu Al-Ghifari.Op.cit. Hal 152. Universitas Sumatera Utara kan udah keluar SK baru tahun 90-an kalau dia boleh menggunakan Jilbab dan bersedia menerima konsekwinsinya” 172 Kedua siswi ini bersekolah di sekolah agama tetapi sayangnya tidak diperbolehkan menggunakan Jilbab untuk pas foto STTB, dengan alasan susah untuk dikenal nantinya. Begitu pula dengan Riris yang harus berjuang untuk bisa meyakinkan guru agamanya, supays bisa diizinkan untuk menggunakan Jilbab. Didalam koran Mimbar Umum yang ditulis oleh Drs.Bactiar pada hari Jumat tanggal 2 Noveber 1992 yang berjudul “Teliti Oknum Guru Yang Larang Siswi Berjilbab” terdapat 2 kasus pelarangan Jilbab yaitu pada tahun 1991 yang dialami oleh Rosmalinda br Kambaren siswi kelas III SMA Kabanjahe yang diusir, ditolak dan tidak diperkenankan mengkuti pelajaran oleh kepala sekolahnya karna mengenakan Jilbab. 173 Permasalahan dapat diselesaikan saat Rosmalinda br Kambaren dan kepala sekolah datang ke Medan menemui Kakanwil Depdikbud Sumatra Utara Drs.H, RM.Soezetya guna mengemukakan alasan masing- masing. 174 Satu tahun setelah pelarangan yang terjadi di Kaben Jahe, pelarangan Jilbab mulai muncul didaerah di kisaran merupakan Ibu kota kabupaten Asahan. Pelaranga Jilbab ini dilakukan oleh 3 guru SMPN 2 Kisaran berinisial P, LP, dan JS masing-masing guru dibidang studi Bahasa Inggris, Fisika dan PMP. Akhirnya Kakanwil menjaminnya bisa mengikuti pelajaran sesuai dengan ketentuan yang sudah ada. 175 Pernyataan yang disampaikan oleh oknum Guru bidang studi bahasa inggris berinisial P yang mengatakan bahwa “Jilbab menghalangi pelajar yang berada di belakang siswi tersebut” 176 172 Hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani 173 Drs. Bactiar. Telitti Oknum Guru Yang Larang Siswi Berjilbab. Jumat, 2 November 1992. Almarhum Bachtiar merupakan ketua PW PII Sumatra Utara pada tahun 1985. 174 Ibid. 175 Ibid. 176 Ibid. , tidak hanya sampai disitu sikap dan tindakan dari 3 guru ini yang membuat siswi-siswi sedih, kecil hati bahkan ada yang sampai memberontak, dikarenakan ketiga oknum ini memberi gelar burung hantu bagi Universitas Sumatera Utara siswi yang menggunakan Jilbab. Sedangkan Dalam dunia pendidikan guru tidak boleh memberikan gelar-gelar jelek pada siswa, karena guru adalah pembimbing, pelindung dan menjadi tauladan untuk siswa-siswi. Pelarang Jilbab juga terjadi di daerah Pematang Siantar tahun 1990 yang dialami oleh Ibu Suryah Nisa yang bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pematang Siantar. Pada saat kelasa 1 SMAE, Ibu Suryah Nisa sudah menggunakan Jilbab dari rumahnya tetapi pada saat berada di lingkungan sekolah, beliau membuka Jilbab dan mengganti rok panjangnya dengan rok pendek. Sampai pada suatu hari, Sri Widiyana yang merupakan kakak senior dari Ibu Suryah Nisa, mendatangi Ibu Surya Nisa dan temannya yang bernama Fauziah, Sri Widiyana mengatakan keinginannya untuk menggunakan busana muslimah ke sekolah, serta ada panggilan dalam hati yang tidak mungkin ditunda lagi. Sebelum menggunakan Jilbab, mereka berusaha beberapa kali untuk Menemui kepala sekolah untuk meminta izin, tetapi kepala sekolah tidak bisa dijumpai, sehingga Ibu Suryah Nisa mengatakan , “ kalau kita tidak beraksi pasti tidak ada reaksi”. Kalau kita melakukan langsung memakai jilbab, pasti kita akan tau reaksi mereka seperti apa penolakan atau menerima.” 177 177 Hasil Wawancara bersama Ibu Suryah Nisa. Maksud dari “kalau kita tidak berasksi pasti tidak ada reaksi” adalah kalau kita tidak melakukan aksi berupa menggunakan Jilbab, tentunya tidak mengetahui apa reaksi atau respon yang didapatkan. Ibu Suryah Nisa, Sri widiyana dan Fauziah untuk pertama kalinya menggunakan Jilbab mereka terlihat sangat berbeda dan menarik perhatian semua orang-orang yang disekolah termasuk guru-guru dan siswa-siswi. Setelah berbaris dilapangan, Ibu Suryah Nisa dipanggil oleh guru yang beragama Islam mempertanyakan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab, tidak hanya pertanyaan dari guru agama tetapi Ibu Suryah Nisa juga dipanggil oleh kepala sekolah. Hal ini diperjelas oleh Ibu Suryah Nisa dalam wawancara yang mengatakan: Universitas Sumatera Utara “.... Setelah itu, kepala sekolah langsung jumpai dijalan bukan disuruh ke kantor, tidak lama kami di panggillah ke kantor. Ditanyain semuanya, mungkin beliau sedikit curiga ada gerakan apa, ternyata kami tidak punya pengajian apa-apa, sebelumnya tarbiyah kan belum ada disitu, jadi kami secara pribadi menggunakan Jilbab karna dari hati, sehingga allah mempertemukanlah hati-hati ini. Jadi setelah kepala sekolah menanyakan semua, akhirnya sudah nyerah beliau tidak bisa menghalangi kami, beliau melihat kami ini betul- betul dari hati nurani, beliau membolehkan kami menggunakan Jilbab, tapi ada satu syaratnya kalian jangan mengajak teman-teman kalian” 178 “Ada seorang guru sejarah dia tidak senang dengan kita sampai dia bilang begini, dia tidak mau mengajar, sampai ada orang yang berpakain berbeda keluar dari kelas ini. Kepala sekolah telah memberi izin bagi Ibu Suryah Nisa, Sri Widiyana dan Fauziah untuk menggunakan Jilbab ke sekolah, tetapi itu tidak membuat mereka terhindar dari berbagai macam bentuk sanksi-sanksi yang diterima dari guru-guru. Sanksi ini dialami oleh Sri Widiyani, melihat kakak kelas yang tidak masuk pelajaran sejarah. Hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Ibu Suryah Nisa yang mengatakan, 179 “kami rata-rata siswa yang berprestai di kelas, kami tidak ikut peraturan, sehingga prestasi itu tidak kami dapatkan lagi, nilai-nilai kami turun. Walaupun kami ujian, tetapi tetap saja itu sepertinya tidak di periksa....” Akhirnya dengan keberanian Ibu Suryah Nisa menemui kepala sekolah dan meminta bantuan, agar mereka tidak dihalangi-halangi dalam belajar dikarenakan menggunakan Jilbab. Kepala sekolah membuat surat laporan mengenai pengaduan tersebut dan menyuruh semua guru untuk menandatanganinya . Sri Widayana akhirnya diperbolehkan masuk kelas untuk belajar. Tetapi guru mempunyai kekuasaan dalam memberikan nilai kepada siswa-siswinya, Dengan kekuasaan dalam memberi nilai-nilai siswa-siswi maka guru bisa memberikan berapapun nilai siswa-siswi itu, walaupun dia termasuk yang berprestasi selama di sekolah. inilah yang di utarakan oleh Ibu Suryanisah:, 180 178 Suryah Nisa. Wawancara pada hari Selasa, 7 Febuari 2017 pada pukul 14.40-15.35WIB di jalan Balai Umum Gang Pisang tembung. 179 Hasil wawancara bersama Ibu Suryah Nisa. 180 Hasil wawancara bersama Ibu Suryah Nisa. . Universitas Sumatera Utara Pelarangaan Jilbab terjadi di dunia kerja, para pemimpin perusahaan tidak menyukai karyawan yang menggunakan Jilbab, sehingga bagi pelamar kerja lebih di utamakan yang tidak menggunakan Jilbab. Berdasarkan hasil wawancara saya bersama Ibu Masdalifah mengatakan:, “.....Di tempat bekerja juga menerapkan itu, ikut-ikutan karna mungkin disekolah dilarang, jadi di tempat kerja jadi ikutan-ikutan untuk melarang. Teman saya ada yang mengurungkan niatnya untuk tidak memakai Jilbab....” 181 “ saat saya melamar pekerjaan di sebuah perusahaan pemerintah BUMN maupun kantor pemerintah itu sangat sulit bagi saya, yang pada saat itu sudah menggunakan Jilbab”. . Hal yang sama juga dirasakan oleh Ibu Siti Aminah dalam wawancara yang mengatakan: 182 Manusia merupakan makhluk sosial yang berinteraksi dengan manusia lain dalam lingkup masyarakat. Respon dari masyarakat dapat mempengaruhi kepribadian seseorang termasuk isu yang telah menyebar di tengah-tengah masyarakat mengenai penggunaan Jilbab sebagai sesuatu yang dianggap “aneh” sehingga stigma yang terbangun menjadikan Perempuan Islam takut dengan hambatan dan rintangan yang harus di hadapinya. Sehingga diperlukan pendekatan personal, perhatian dan selalu mengingatkan mengenai Jilbab kepada Pemaparan yang telah disampaikan di atas, sangat terlihat jelas bagaimana pengaruh dari kekuasaan dapat melunturkan niat seseorang untuk menggunakan Jilbab, bahkan bagi yang telah berjilbab harus berjuang untuk tetap mempertahankan Jilbab walaupun berbagai bentuk sanksi-sanksi seperti mulai dari teguran, di interogasi di ruang BK, dijatuhi hukuman skors, tidak diperiksa ulangan maupun tugas rumah, dicoret namanya dari daftar hadir bahkan sampai di keluarkan dari sekolah negri dan pindah ke sekolah swasta. Maupun hambatan yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. B.4. Lingkungan Masyarakat 181 Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah. 182 Hasil wawancara bersama Ibu Siti Aminah. Universitas Sumatera Utara mahasiswi-mahasiswi yang mengikuti pesantren kilat. Tidak hanya itu saja, pemberian julukan kepada pengguna Jilbab, hal ini diperjelas dengan hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani yang mengatakan: “Bagi Orang-orang agak aneh melihat orang menggunakan Jilbab, bahkan itu anak-anak takut bermain dengan orang menggunakaan Jilbab, takut di culik, bukan itu aja, sering juga perempuan yang pakai Jilbab di lempari karna dianggap sebagai nenek sihir.” 183 “Pada awalnya, Diluar pun belum terlampau lazim, menjadi pemula ditengah masyarakat yang belum menganggap sesuatu yang wajib dan menjadi yang lazim di tengah masyarakat, pastinya ancam dan ejeka ninjan, di caci maki bahkan ada yang dilempar.....”. Pernyataan yang di sampaikan oleh Ibu wilda sama halnya dengan hasil wawancara bersama Bapak taufan yang mengatakan: 184 Dari hal ini, kita melihat bagaimana perempuan yang menggunakan Jilbab oleh berjuang ditengah masyarakat agar dapat diterima tanpa adanya rasa kecurigaan untuk mereka lagi. Sampai kepada labelling yang selalu tersemat bagi pengguna Jilbab seperti jaula 185 “ Kalau hambatan mungkin yang ada komplain, dari orang tuanya di anggap orang tuanya yang sudah berjilbab kemana-mana itu masuk gerakan radikal dan aneh, padahal , nenek sihir, burung hantu dan lainnya juga telah menyebar ditengah masyarakat yang mengakibatkan muslimah yang menggunakaan Jilbab harus berbesar hati dengan julukan yang diberikan. B.5. Orang Tua Orang tua merupakan sarana yang paling dekat dengan seorang anak. Tetapi pada saat itu, tidak jarang kita menemui orang tua yang melarang anak- anaknya untuk menggunakan Jilbab, karena ditakuti anaknya akan mendapat hambatan, tantangan disekolah, pertemanan bahkan dalam mencari kerja. Hal ini diperjelas dalam wawancara bersama Ibu Siti Hajar yang mengatakan,: 183 Hasil wawancara bersama Ibu Wilda Adriani. 184 Hasil wawancara bersama Bapak Ahamad Taufan. 185 Jaula merupaka julukan yang diberikan kepada anggota dari Jamaah tablig. Universitas Sumatera Utara mamaknya itu seorang yang taat, tapi hanya mengasih anaknya mnggunakan Jilbab ke PII saja,kalau diluar itu dilarang pakai Jilbabnya.” 186 “Kalau hambatan dari orang tua, awalnya kelihatan berat tetapi karna saya berhasil meyakinkan saya tunjukan juga dalilnya apa. Akhirnya orang tua saya, ya udah terserah kau lah”. Orang tua pada saat itu belum memahami hukum dalam menggunakan Jilbab, sehingga pada saat itu, orang tua hanya membolehkan anaknya menggunakan Jilbab pada saat training, setelah training anak-anak mereka dilarang menggunakan Jilbab. Sangat di sayangkan pada saat itu, pelarangan yang dilakukan oleh orang tua–orang tua yang merupakan hajidan bahkan Ustadz. Hal ini dipertegas dalam wawancara bersama Bapak Taufan yang mengatakan: “Ada yang pakai seminggu gak tahan termasuk keluarganya mempertanyakan karna itu tidak lazim. orang tuanya yang sudah berhaji pun masih khawatir dengan anaknya, gimana nantinya di kampus dan dengan temannya”. Hal yang sama juga dialami oleh Ibu Masdalifah sebagaimana yang diungkapkannya,: 187 “ orang tuanya sendiri yang melarang mengggunakan Jilbab dengan berbagai alasan, pertama dikhawatirkan tidak dapat kerja karena pada masa itu tidak ada yang berjilbab, begitula posisi umat Islam pada saat itu yang memunculkan atau menampakan identitas saja sangat sulit. Payah nanti dapat kerja, dan payah dapat jodoh, Yang kedua, kalau kita berjilbab payah dapat jodoh, itu tidak benar. Adalagi yang unik, dari rumah gak berjilbab, alasan lainya yang unik, karna ibu mereka mengatakan saya saja yang sudah tua tidak pakai Jilbab, tidak berani pakai Jilbab. Jadi seolah-olah beban pakai Jilbab ini luar biasa.” pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Pak Masri Sitanggang yang mengatakan,: 188 Sikap dari pelarangan yang dilakukan oleh Orang tua juga di dukung oleh faktor dilingkungan masyarakat yang menganggap orang yang menggunakan Jilbab itu sesuatu yang sangat aneh dan tidak lazim. Selain itu orang tua juga 186 Hasil wawancara bersama Ibu Siti Hajar. 187 Hasil wawancara bersama Ibu. Masdalifah.. 188 .Masri Sitanggang. Pada hari Rabu, 01 Maret 2017 pada pukul 17.00-17.45WIB di Kantor Majelis Ulama Indonesia Sumatra Utara. Universitas Sumatera Utara khawatir dengan tantangan, hambatan serta pergaulan anak mereka jika menggunakan Jilbab. Kebebasan dalam menggunakan Jilbab sebenarnya sudah diatur didalam pasal 38 E dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Dari pasal-pasal ini telah dipaparkan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Jilbab yang digunakan oleh wanita Muslimah ini merupakan suatu bentuk peribadatan didalam ajaran Islam, karena Jilbab merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi dan ditaati. Peraturan penggunanan Jilbab ini terdapat didalam Alquran yang merupakan petunjuk dan pedoman bagi Umat Islam yaitu didalam Qs:Al-Ahzab ayt 59 dan Qs: An-Nur ayat 31. Selain itu prinsip HAM diantaranya prinsip non diskriminasi, dimana tidak adanya pemberlakuan yang berbeda dalam pemenuhan hak seseorang. Jadi Jilbab bukanlah sesuatu yang harus dilarang bahkan harus di berikan sanksi-sanksi bagi pengguna Jilbab, dan tidak ada pemberlakuan yang berbeda terhadap wanita Muslimah yang menggunakan Jilbab, baik itu di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Berbagai kasus-kasus hambatan bahkan pelarangan yang dirasakan baik di daerah Jawa maupu di Sumatra Utara, bukan hanya dari kalangan pelajar tetapi juga dirasakan oleh perempuan-perempuan Islam pada saat itu dan inilah yang menjadikan semangat dari gerakan-gerakan Islam untuk semakin gigih dan gencar dalam memberikan pengajian-pengajian, memberikan pemahaman dan menyusun strategi dengan berbagai pola-pola yang telah dirancang untuk mensyiarkan Jilbab. Gerakan-gerakan Islam seperti PII, HMI dan Tarbiyah mempunyai cara tersendiri dalam memperjuangkan Jilbab.

C. Pola Gerakan Islam Terhadap Perjuangan Jilbab