BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lanjut Usia
Lanjut usia lansia adalah kelompok usia lanjut yang mengalami proses menua yang terjadi secara bertahap dan merupakan proses alami yang tidak dapat
dihindari.
1
Lansia dapat dikelompokkan kedalam beberapa kelompok berdasarkan tingkat usia. World Health Organization WHO mengelompokkan lansia atas
kelompok usia lanjut elderly 60-74 tahun, kelompok usia tua old 75-90 tahun dan kelompok usia sangat tua very old di atas 90 tahun. Menurut Bee 1996, tahap
lansia dimulai dari masa dewasa lanjut 65-75 tahun sampai dewasa sangat lanjut 75 tahun.
Sementara itu, menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia DEPKES RI, lansia dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu:
1. Kelompok usia dalam masa virilitas 46-55 tahun
12,14
2. Kelompok usia dalam masa prasenium 56-65 tahun
3. Kelompok usia dalam masa senescrus 65 tahun
2.2 Proses Menua
Proses menua didefinisikan sebagai suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya sehingga lebih rentan terhadap infeksi dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses alami
yang terjadi terus-menerus, ditandai dengan adanya perubahan-perubahan anatomi, fisiologi dan biokimiawi sehingga mempengaruhi fungsi sel, jaringan dan organ
tubuh.
13
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Teori-teori Proses Penuaan
Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai proses penuaan, antara lain:
a Teori radikal bebas
12-13,15
Radikal bebas merupakan sekelompok senyawa yang memiliki elektron tidak berpasangan dan dapat menyebabkan kerusakan apabila terjadi akumulasi.
Umumnya, radikal bebas dihancurkan oleh enzim pelindung, namun beberapa senyawa akan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas yang bersifat sangat
reaktif ini dapat merusak komponen sel dan inti sel sehingga terjadi degenerasi. b
Teori Kerusakan Deoxyribonucleic Acid DNA
13,15
DNA adalah suatu molekul kimia yang berperan pada instruksi untuk sel agar berfungsi. DNA ditemukan dalam inti sel dan mitokondria. Target utama dari
oksigen radikal adalah merusak mitokondria DNA mtDNA. Kesalahan yang terjadi pada mtDNA tidak dapat langsung diperbaiki. Oleh karena itu, luas kerusakan
mtDNA terakumulasi dari waktu ke waktu, sehingga menyebabkan sel mati dan organisme menua.
12-13,15
c Teori Imunologi
Teori ini menyatakan bahwa sistem imun mengalami kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk ke dalam tubuh. Pada lansia sangat
mudah terserang infeksi karena tidak ada keseimbangan dalam sel T untuk memproduksi antibodi sehingga menyebabkan kekebalan tubuh menurun.
d Teori Wear and Tear
13,15
Kematian sel terjadi karena jaringan yang sudah tua tidak beregenerasi dan jaringan yang mati tidak dapat memperbaiki dirinya. Teori ini menyatakan bahwa
organisme tetap memiliki energi yang tersedia dan akan habis sesuai dengan waktu yang diprogramkan.
e Teori Cross Linking Collagen-Elastin
13,15
Teori ini menyatakan bahwa pembentukan ikatan silang antara kolagen dan elastin menyebabkan kolagen menjadi kurang lentur, lebih rapuh, mudah terkoyak
Universitas Sumatera Utara
dan akhirnya degenerasi. Keadaan ini menyebabkan sistem tubuh mengalami kemunduran fungsional yang menyebabkan gejala menua.
12-13
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Penuaan
Perubahan fungsi sel dan kematian sel pada lansia dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik digolongkan sebagai faktor
endogenik sedangkan faktor lingkungan digolongkan sebagai faktor eksogenik. Faktor-faktor tersebut dapat bekerja sendiri atau bekerja secara bersama-sama dalam
menimbulkan perubahan pada sel. a
Faktor endogenik
13
Faktor endogenik merupakan proses menua fisiologik yang berlangsung secara alamiah disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam tubuh seperti genetik dan
hormonal. Genetik seseorang ditentukan oleh genetik orang tua tetapi dapat juga berubah karena infeksi virus dan radiasi. Selain genetik, pengaruh hormon juga
sangat erat hubungannya dengan umur. Proses menua fisiologis lebih jelas terlihat pada wanita yang memasuki masa menopause. Penurunan fungsi ovarium
menyebabkan berkurangnya produksi hormon seks yaitu hormon estrogen dan akibatnya akan terjadi atropi pada sel epitel. Selain itu, menimbulkan tanda-tanda
menua pada kulit seperti kulit menjadi kering dan berkurangnya elastisitas serta terjadi penurunan fungsi kelenjar saliva sehingga menyebabkan mulut kering.
b Faktor eksogenik
12-13
Faktor eksogenik terjadi akibat berbagai faktor dari luar tubuh seperti diet, merokok, sinar ultraviolet UV, polusi dan stres. Nutrisi yang adekuat sangat
dibutuhkan, terutama protein karena berguna untuk mempertahankan dan memperbaiki jaringan lunak dan jaringan keras. Pada rongga mulut, kekurangan
protein menyebabkan degenerasi jaringan ikat gingiva, membran periodontal dan mukosa serta mempercepat kemunduran tulang alveolar.
13
Merokok dapat menyebabkan perubahan biokimia pada tubuh yang dapat mempercepat proses penuaan alami. Rokok menghasilkan tekanan oksidatif,
menganggu sirkulasi, dan memicu kerusakan DNA. Akibatnya, kerutan meningkat,
Universitas Sumatera Utara
warna kulit tidak rata, kulit tampak kering, kusam, dan rapuh. Perokok berat pada awalnya mengalami ptialism dan setelah beberapa jam kemudian berubah menjadi
keadaan mulut kering. Kebiasaan merokok banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Sinar UV dari matahari dapat menyebabkan kerusakan serat kolagen
pada kulit sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan bercak-bercak pigmentasi dan menurunkan fungsi kekebalan kulit. Selain itu, nanopartikel akibat polusi dapat
menyebabkan tekanan oksidatif dan merusak jaringan kulit serta kolagen sehingga kulit tidak bisa mempertahankan strukturnya. Kondisi psikologis yaitu stres juga
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penuaan pada kulit dimana tubuh menghasilkan matriks metalloproteinase yaitu enzim yang memecah kolagen dan
elastin.
12-13
2.3 Pengaruh Penuaan pada Kesehatan Rongga Mulut
Proses menua menyebabkan perubahan pada rongga mulut baik pada jaringan keras maupun jaringan lunak serta kelenjar saliva.
4
2.3.1 Jaringan Keras
Jaringan keras di rongga mulut adalah gigi, tulang alveolar dan sementum. Pada lansia, warna gigi kelihatan kekuningan, lebih rapuh, terjadi perubahan bentuk
dan terlihat adanya stain. Tulang alveolar akan mengalami resorpsi karena adanya peningkatan osteoklas yaitu perusakan tulang daripada osteoblast yaitu pembentukan
tulang sehingga terjadi proses osteolisis. Di samping itu, terjadi penebalan sementum di sepanjang seluruh permukaan akar yang lebih terlihat pada sepertiga apikal
gigi.
2.3.2 Jaringan Lunak
16-18
Jaringan lunak di rongga mulut terdiri dari mukosa, ligamen periodontal, lidah dan gingiva. Semakin bertambahnya usia, mukosa mulut menjadi lebih pucat,
tipis dan kering. Ligamen periodontal akan mengalami pelebaran sehingga menyebabkan kegoyangan gigi. Pada lidah, terjadi atropi papilla sehingga
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan gangguan pengecapan. Selain itu, jaringan gingiva juga mengalami penurunan atau resesi sehingga akar gigi menjadi terlihat.
16-18
2.3.3 Kelenjar Saliva dan Saliva
Seiring dengan meningkatnya usia, terjadi proses menua. Fungsi kelenjar saliva yang mengalami penurunan merupakan suatu keadaan yang normal pada
proses menua. Lansia memproduksi jumlah saliva yang lebih sedikit pada keadaan istirahat, saat berbicara maupun saat makan. Laju aliran saliva juga rendah. Keadaan
ini disebabkan karena atropi pada kelenjar saliva sesuai dengan pertambahan usia yang akan menurunkan produksi saliva. Selain kuantitas saliva, degenerasi kelenjar
saliva menyebabkan penurunan viskositas dan kandungan protein saliva khususnya musin yang berperan dalam melindungi jaringan mulut terhadap kekeringan. Hal
ini menyebabkan mulut kering atau xerostomia sering ditemukan pada lansia.
7,12,19
Saliva memainkan peran yang penting dalam mempertahankan kesehatan rongga mulut. Fungsi utama saliva adalah pelumas, buffer dan pelindung untuk
jaringan lunak dan keras pada rongga mulut. Dengan demikian, penurunan saliva menyebabkan ketidaknyamanan pada rongga mulut dan menaikkan jumlah karies
gigi serta meningkatkan kerentanan mukosa terhadap trauma mekanis dan infeksi mikroba.
20
2.4 Xerostomia
2.4.1 Pengertian Xerostomia
Xerostomia yang sering dikenal dengan mulut kering xeros = kering dan stoma = mulut, didefinisikan sebagai persepsi subjektif kekeringan pada rongga
mulut dimana sekresi saliva dapat ditemukan normal atau menurun.
21
Kondisi ini berhubungan dengan terjadi perubahan pada saliva baik secara kuantitatif maupun
secara kualitatif.
22
Xerostomia dapat mengakibatkan timbulnya beberapa masalah pada rongga mulut. Masalah yang terjadi dapat berupa kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Universitas Sumatera Utara
makanan, kesukaran dalam berbicara, kepekaan terhadap rasa berkurang, kesulitan dalam memakai gigi palsu dan mulut terasa seperti terbakar.
5
2.4.2 Etiologi Xerostomia
Xerostomia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1
Usia Gejala xerostomia umumnya berhubungan dengan bertambahnya usia.
Lansia sering mengalami xerostomia karena terjadi atropi pada kelenjar saliva sehingga produksi saliva menurun dan komposisinya berubah. Seiring dengan
meningkatnya usia, terjadi perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang yang digantikan oleh jaringan lemak dan penyambung.
Keadaan ini mengakibatkan jumlah aliran saliva berkurang. Biasanya pada lansia yang menggunakan gigi tiruan akan mengalami ketidaknyamanan. Pemakaiannya
menjadi tidak nyaman dan juga dapat berpengaruh terhadap retensi gigi tiruan tersebut dikarenakan berkuranganya produksi saliva.
2 Fisiologis
7
Gejala xerostomia ini bisa terjadi setelah berbicara yang berlebihan, berolahraga, bernafas melalui mulut atau menyanyi. Selain itu, juga terdapat
komponen emosional seperti stress, putus asa dan rasa takut dapat merangsang terjadinya efek simpatik dari sistem saraf otonom dan menghalangi sistem
parasimpatik sehingga dapat mengakibatkan berkurangnya aliran saliva dan mulut akan terasa kering.
3 Penyakit kelenjar saliva
23
Ada beberapa penyakit kelenjar saliva yang dapat mengakibatkan xerostomia. Penyakit yang sering melibatkan kelenjar saliva biasanya mengenai
kedua kelenjar parotis secara bergantian, sehingga dapat menimbulkan kerusakan yang menyeluruh.
23
Selain parotitis, sjogren’s syndrome dapat mengakibatkan terjadi xerostomia. Sjogren’s syndrome adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai
dengan adanya inflamasi dari kelenjar eksokrin. Penyakit lainnya berupa kista dan
Universitas Sumatera Utara
tumor kelenjar saliva, baik jinak maupun ganas dapat menyebabkan penekanan pada struktur-struktur duktus kelenjar saliva dan mempengaruhi sekresi saliva.
4 Penyakit sistemik
24,25
Ada beberapa penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan xerostomia. Diabetes mellitus merupakan penyakit yang sangat berhubungan dengan xerostomia,
dilaporkan 40-80 pasien diabetes melitus mengalami xerostomia. Keadaan aliran saliva makin berkurangan pada pasien diabetes melitus yang tidak terkontrol daripada
yang terkontrol. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai
konsekwensi dari poliuria merupakan penyebab utama xerostomia dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien Diabetes mellitus.
26
Pasien yang menderita Human Immunodeficiency Virus HIV juga mengalami xerostomia akibat efek samping dari
obat yang digunakan untuk merawat HIV yaitu obat antiretrovirus atau penurunan CD4+ dan adanya proliferasi sel CD8+ ke dalam kelenjar saliva mayor. Hipertropi
kelenjar parotid sering ditemui pada pasien dengan HIV positif.
27
Penyakit gagal ginjal kronis dapat menyebabkan xerostomia karena pengaruh uremik secara
langsung pada kelenjar saliva menyebabkan penurunan parenkim dan fungsi ekskretori serta dehidrasi akibat pembatasan pengambilan cairan.
28
Selain itu, systemic lupus erythematosus SLE dan rheumatoid arthritis RA juga dapat
menyebabkan terjadinya xerostomia. 5
Terapi radiasi pada daerah kepala dan leher
24
Terapi radiasi pada daerah kepala dan leher merupakan salah satu penyebab terjadinya xerostomia. Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang paling
sensitif terhadap radiasi diikuti dengan kelenjar submandibularis, sublingualis dan kelenjar saliva minor.
24
Terapi radiasi dapat menganggu fungsi kelenjar saliva terutama pada kelenjar parotis yang dapat mengurangi produksi saliva dan saliva akan
menjadi kental. Jumlah kerusakan kelenjar saliva tergantung pada lama paparan jaringan kelenjar saliva pada radiasi. Dosis radiasi 20 Gy dapat menyebabkan
kerusakan dari kelenjar saliva apabila pemberiannya dalam dosis tunggal. Apabila dosis yang diberikan diatas 52 Gy dapat menimbulkan kerusakan yang parah pada
kelenjar saliva.
11,24
Universitas Sumatera Utara
6 Obat-obatan
Xerostomia adalah efek samping yang sering ditimbulkan oleh obat-obatan. Obat-obatan yang sering menimbulkan xerostomia terdiri dari obat antidepresen,
anticholinergik, antihistamin, antihipertensi, obat kardiovaskular dan diuretik.
25
Obat- obatan dapat menyebabkan xerostomia dengan mempengaruhi aliran saliva dengan
beberapa cara seperti menganggu transmisi sinyal di persimpangan saraf parasimpatis efektor, menganggu aksi di persimpangan neuroadrenergik efektor atau
menyebabkan depresi koneksi dari sistem saraf otonom.
24
2.4.3 Gambaran Klinis Xerostomia
Gambaran klinis xerostomia terdiri dari peningkatan jumlah karies gigi, traumatik ulser, kekeringan pada bibir, halitosis, terjadi fisur pada lidah, dan juga
candidiasis. Selain itu, individu yang mengalami xerostomia sering mengeluh kesulitan mengunyah, menelan dan berbicara serta mulut terasa terbakar. Makanan
yang kering biasanya sulit dikunyah ataupun ditelan. Pada mukosa yang kering dapat mengakibatkan penggunaan gigi tiruan menjadi tidak nyaman dimana keadaan ini
mempengaruhi retensi gigi tiruan dalam menahan tekanan kunyah.
11,17,19
Saliva berbuih, genangan saliva pada dasar mulut tidak ada, kehilangan papila lidah, terjadi
perubahan pada permukaan gingiva, mukosa oral berkilat seperti kaca terutama pada bagian palatal, lobul atau fisur pada lidah, karies pada bagian servikal gigi yang
mengenai lebih dari dua gigi dan terdapat debris pada mukosa palatal.
30
2.4.4 Diagnosa Xerostomia
Diagnosis xerostomia dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: a.
Anamnesis Dalam melakukan anamnesis dapat mengajukan beberapa pertanyaan yang
berhubungan dengan keadaan xerostomia. Contoh pertanyaan yang dapat diajukan adalah apakah ada kesulitan dalam hal mengunyah dan menelan makanan, apakah ada
kesulitan berbicara, apakah mulut terasa seperti terbakar, apakah membutuhkan air
Universitas Sumatera Utara
minum saat menelan makanan, apakah mulut terasa kering saat mengonsumsi makanan, apakah pasien sedang mengonsumsi obat dan lain-lain.
b. Pemeriksaan Klinis
31
Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan melihat gambaran klinis yang tampak dalam rongga mulut. Menurut Osailan, pemeriksaan ini dapat dilakukan
dengan cara menempatkan kaca mulut pada dasar lidah atau mukosa bukal. Kaca mulut akan terasa lengket apabila disentuhkan ke dasar lidah ataupun mukosa bukal.
30
c. Teknik Pengumpulan saliva
Teknik pengumpulan whole saliva dapat dilakukan melalui empat metode yaitu draining method, spitting method, suction method dan teknik swab. Pengukuran
aliran saliva pada kondisi tanpa stimulasi dapat dilakukan dengan cara pasien disuruh duduk pada posisi badan tegak lurus dan diinstruksikan untuk mengalirkan saliva ke
dalam suatu wadah selama 15 menit. Aliran saliva pada kondisi stimulasi dapat diukur dengan cara menginstruksikan pasien untuk mengunyah gum base atau parafin
wax 1-2g selama 1 menit atau memberikan stimulus dengan asam sitrat 2 yang diletakkan pada lidah pada setiap 30 detik interval dan mengumpulkan saliva ke
dalam wadah selama 5 menit. Draining method adalah metode pengumpulan saliva yang pasif dan membutuhkan pasien untuk mengalirkan saliva dari mulut ke dalam
wadah yang diukur dalam satu waktu tertentu. Spitting method adalah sama seperti draining method tetapi saliva dikumpulkan dalam mulut pada satu waktu tertentu
kemudian meludahkan ke dalam wadah. Suction method dilakukan dengan menggunakan saliva ejector untuk mengalirkan saliva dari mulut ke dalam suatu
wadah. Teknik swab dilakukan dengan menggunakan preweight cotton roll atau spons yang diletakkan di mulut pasien dalam waktu tertentu lalu ditimbang. Teknik
swab ini lebih efektif dalam mengestimasi derajat salivasi pada pasien xerostomia.
d. Pemeriksaan Sialografi
32,33
Pemeriksaan sialografi adalah pemeriksaan radiografi yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya polip, mucous plug atau fibrin, area granulomatosa,
obstruksi duktus dan stenosis dari kelenjar saliva dan salurannya sistem salivari.
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara penyuntikan media kontras yaitu etiodol atau sinografin secara intravena ke dalam kelenjar saliva. Sialografi memberikan
pemandangan yang jelas pada duktus secara keseluruhan. Cara pemeriksaan adalah pasien tidur dalam posisi supine dan dibuat foto plain cranium anteropoterior dan
lateral. Kemudian diberikan pastiles untuk merangsang saliva lalu dimasukan spuit sialo yang dihubungkan dengan kateter dan diplester ke kulit. Ujung kateter
dihubungkan dengan spuit yang berisi media kontras. Media kontras disuntikkan dan dilakukan pemotretan. Setelah selesai pemotretan, pasien diberi minum asam supaya
semua kontras media terangsang keluar. e.
Biopsi
34
Biopsi kelenjar saliva minor sangat berguna untuk mendiagnosa kondisi perubahan patologis yang berhubungan dengan disfungsi kelenjar saliva. Pemeriksaan
ini dapat digunakan untuk mendiagnosa Sjogren’s Syndrome SS, Human Immunodeficiency Virus HIV, penyakit kelenjar saliva, sarcoidosis, amyloidosis
dan graft-vs-host disease. Biopsi kelenjar saliva minor dapat dilakukan jika suspek terbentuk keganasan pada kelenjar saliva.
f. Pemeriksaan Sialometri
34-35
Pemeriksaan sialomerti adalah salah satu cara pengukuran aliran saliva dimana alat untuk mengukur saliva ditempatkan dibawah orifise kelenjar parotid dan
submandibular atau sublingual. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan stimulus asam sitrat. Saat istirahat sekresi saliva berkisar 0,3-0,5mLmenit. Setelah
dirangsang dengan asam sitrat sekresinya akan meningkat menjadi 0,4-1,5mLmenit. Apabila sekresi saliva setelah dirangsang menunjukkan hasil kurang dari
0,1mLmenit keadaan ini dikenal sebagai keadaan patologis.
34
2.4.5 Terapi Xerostomia
Terapi xerostomia yang diberikan tergantung pada berat ringannya keadaan mulut kering. Pada keadaan ringan dianjurkan berkumur atau mengunyah permen
karet bebas gula. Bila mulut kering disebabkan oleh obat-obatan, maka mengganti obat dari kategori yang sama atau membagikan dosis obat-obatan dari satu dosis
Universitas Sumatera Utara
besar. Pada keadaan berat dapat menggunakan zat pengganti saliva. Zat pengganti
saliva tersedia dalam beberapa bentuk yaitu cairan, spray dan tablet isap. V.A
Oralube merupakan zat pengganti saliva yang tersedia dalam bentuk cairan untuk merangsang viskositas dan tingkat elektrolit seluruh saliva. Saliva Orthana
merupakan salah satu zat pengganti saliva yang disediakan dalam bentuk spray dimana mengandung musin untuk memperoleh viskositas saliva manakala Polyox
tersedia dalam bentuk tablet, bermanfaat sebagai pengganti saliva dan mencekatkan gigi tiruan.
Sekresi saliva dapat dirangsang melalui pemberian obat-obatan seperti pilocarpine, cevimeline dan bethanecol. Pilocarpine adalah non spesifik cholinergic
agonist yang menstimulasi reseptor muskarinik yang dapat mensekresi air dan elektrolit. Pilocarpine lebih efektif pada pasien masih dalam terapi radiasi atau
transplantasi tulang. Cevimeline juga merupakan cholinergic agonist yang dapat berikatan dengan reseptor muskarinik subtipe M
11,24
3
yang terdapat pada kelenjar saliva dan kelenjar keringat. Maka, ini dapat menstimulasikan produksi saliva. Bethanecol
dapat meningkatkan aliran saliva pada pasien yang mengalami terapi radiasi baik pada kondisi stimulasi maupun tanpa stimulasi. Xerostomia dapat juga diatasi dengan
minum air secukupnya kira-kira 6-8 gelas sehari. Selain itu, penggunaan pelembap misalnya vaselin khususnya pada malam hari dapat dilakukan untuk menghindari
kekeringan pada bibir dan makanan seperti buah-buahan akan lebih efektif dalam menstimulasi aliran saliva.
11,24,29
Universitas Sumatera Utara
2.5 KERANGKA TEORI
Lansia
Proses menua
Faktor Endogenik
Kelenjar saliva dan saliva
Perubahan pada rongga mulut
Jaringan keras Faktor
Eksogenik
Jaringan Lunak
Xerostomia
Universitas Sumatera Utara
2.6 KERANGKA KONSEP
Lansia
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Penyakit sistemik
d. Obat-obatan
Xerostomia
Universitas Sumatera Utara
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan kualitas hidup manusia dan usia harapan hidup semakin meningkat. Keadaan ini
menyebabkan pertambahan jumlah lanjut usia lansia di dunia lebih banyak dibandingkan dengan kelompok usia lain.
Diperkirakan bahwa tahun 2025 terdapat 1,2 milyar lansia dan tahun 2050 akan menjadi 2 milyar 21 total penduduk dunia,
dimana sebagian besarnya sekitar 80 hidup di negara berkembang.
1
Asia merupakan kawasan dengan pertambahan lansia yang banyak dan salah satu negara
yang terdapat di kawasan ini adalah Indonesia. Di Indonesia, jumlah lansia tahun 2000 adalah 14,4 juta 7,18, tahun 2007 mencapai 18,96 juta 8,42 dan
diperkirakan akan berlipat ganda menjadi 28,8 juta 11,34 pada tahun 2020. Lansia mengalami proses menua dimana akan terjadi perubahan secara
fisiologis dan biologis. Semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun yaitu mengalami degeneratif, baik secara alamiah maupun karena penyakit.
2
3
Rongga mulut juga dapat mengalami perubahan, baik pada jaringan keras maupun jaringan lunak serta kelenjar saliva.
4
Masalah kesehatan mulut yang dapat timbul pada lansia adalah seperti perubahan pada mukosa oral, edentulous, karies gigi,
penyakit periodontal, kanker mulut, serta xerostomia. Xerostomia merupakan persepsi subjektif kekeringan mulut dimana sekresi
saliva dapat ditemukan normal atau menurun.
5
6
Xerostomia dapat menyebabkan penyakit mulut dan rasa ketidaknyamanan pada rongga mulut.
4,6
Lansia sering mengalami xerostomia karena seiring dengan bertambahnya usia, terjadi kemunduran
pada fungsi kelenjar saliva yang mengakibatkan pengurangan laju aliran saliva.
7
Selain itu, adanya faktor kondisi medis dan penggunaan obat-obatan untuk jangka waktu yang panjang seperti obat trisiklik antidepresen, antipsikotik, obat anxiolitik,
beta-bloker dan antihistamin dapat memberikan pengaruh mulut kering pada lansia.
8
Universitas Sumatera Utara