Efektivitas Penerapan E-Procurement Dalam Meningkatkan Transparasi Pelayanan Publik Di Kota Pematangsiantar
EFEKTIVITAS PENERAPAN E-PROCUREMENT DALAM MENINGKATKAN TRANSPARASI PELAYANAN
PUBLIK DI KOTA PEMATANGSIANTAR
SKRIPSI
Disusun Oleh: Kalina Dwi Bundhari
090903089
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan berkah, rahmat, kesehatan, semangat dan ketekunan kepada penulis selama masa penyelesaian skripsi yang berjudul “Efektivitas Penerepan E-Procurement Dalam Meningkatkan Transparasi Pelayanan Publik Di Kota Pematangsiantar”. Adapun penulisan skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Sebagai suatu karya ilmiah, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik maupun saran yang sifatnya membangun demi perbaikan skripsi ini.
Selama penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan, bimbingan, semangat dan dorongan, baik itu secara moral maupun secara materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada pihak yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini saya dedikasikan untuk semua pihak yang telah banyak membantu, yaitu :
1. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si.
2. Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si.
3. Kepada Ibu Elita Dewi, M.SP selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU.
4. Kepada Drs. Kariono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu meluangkan waktu dan memberikan masukan yang membangun dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU yang telah memberikan banyak ilmu selama perkuliahan.
(3)
6. Staff administrasi di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU, khusus untuk Kak Dian dan Kak Mega yang telah banyak membantu penulis dalam urusan administrasi.
7. Untuk Bapak Poltak Manurung, SE selaku Kordinator dan seluruh anggota LPSE Kota Pematangsiantar yang telah bersedia meluangkan waktu dan banyak memberikan informasi kepada penulis untuk keperluan penyusunan skripsi ini.
8. Untuk kedua orang tua saya Bapak H. AKP. Erianto dan Ibu Hj. Endang Sriwardani terima kasih sedalam-dalamnya untuk semua doa, nasehat dan dukungan yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini. Mas Sigit dan adik saya Ajeng, terima kasih untuk cinta dan kasih sayang yang kalian berikan kepadaku. Semoga selalu diberikan kesehatan dan perlindungan dari Allah SWT.
9. Untuk teman-teman saya; Rizky Nova Lubis, Ulfa Anastasia, Ade Mutia Fany, Meutia Sri Rezeki dan Dedy Sembiring, terima kasih untuk semua bantuan, dukungan, saran dan masukan, selama masa perkuliahan ini. 10. Dan terakhir untuk seluruh teman-teman AN 09.
Medan, 7 Januari 2015 Penulis,
(4)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR TABEL ... vi
ABSTRAK ... ... vii
ABSTRACT .. ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 5
I.3. Tujuan Penelitian ... 6
I.4. Manfaat Penelitian ... 6
I.5. Kerangka Teori ... 6
I.5.1.Pelayanan Publik ... 7
I.5.1.1.Pengertian Pelayanan ... 7
I.5.1.2.Pengertian Pelayanan Publik ... 8
I.5.1.3.Asas dan Tujuan Pelayanan Publik ... 13
I.5.1.4.Kriteria Pelayanan Publik ... 16
I.5.1.5.Jenis-jenis Pelayanan Publik ... 20
I.5.2.Kualitas Pelayanan Publik ... 21
I.5.3.Efektivitas ... 24
(5)
I.5.5.Tujuan dan Manfaat E-Procurement ... 27
I.5.6.Prinsip-prinsip E-Procurement ... 29
I.6. Definisi Konsep ... 30
I.7. Definisi Operasional ... 31
I.8. Sistematika Penulisan ... 32
BAB II METODE PENELITIAN ... 34
II.1. Bentuk Penelitian ... 34
II.2. Lokasi Penelitian ... 34
II.3. Informan Penelitian ... 34
II.4. Teknik Pengumpulan Data ... 36
II.5. Teknik Analisis Data ... 37
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ... 38
III.1. Gambaran Umum Pematangsiantar ... 38
III.1.1.Sejarah ... 38
III.1.2.Visi dan Misi ... 41
III.1.3.Kondisi Geografis dan Demografis ... 42
III.1.3.1.Lokasi dan Keadaan Geografis ... 42
III.1.3.2.Iklim ... 43
III.1.3.3.Penduduk ... 44
III.1.3.4.Keadaan Perekonomian Kota Pematangsiantar 46 III.2. Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Pematangsiantar ... 47
(6)
IV.1. Karakteristik Responden ... 49
IV.2. Efektivitas Penerapan E-procurement Dalam Meningkatkan Transparasi Pelayanan Publik Di Kota Pematangsiantar ... 50
IV.3. Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah Secara Elektronik (E-Procurement) ... 51
IV.4. Transpransi Dalam Pelayanan Publik ... 52
BAB V ANALISIS DATA ... 54
V.1. Proses E-procurement, Komunikasi, Biaya, Waktu Dan Kepuasan ... 54
V.2. Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Secara Elektronik (E-Procurement) ... 55
V.3. Transparansi Dalam Pelayanan Publik ... 56
BAB VI PENUTUP ... 58
VI.1. Kesimpulan ... 58
VI.2. Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 60
(7)
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman Gambar
(8)
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman Tabel
3.1 Pembagian Wilayah Kota Pematangsiantar ... 43
(9)
ABSTRAK
Pemerintah saat ini telah menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik yang dikenal dengan nama e-Procurement. E-Procurement merupakan proses pengadaan barang dan jasa yang pelaksanaannya dilakukan secara elektronik berbasis web/internet. Seluruh kegiatan pengadaan barang dan jasa pada e-Procurement dilakukan melalui media elektronik, yaitu melalui website pada internet www.inaproc.go.id.
Tujuan e-Procurement diantaranya adalah meningkatkan transparansi dan keterbukaan dalam proses engadaan barang dan jasa pemerintah; meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintah; meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Keuntungan penggunaan e-Procurement secara makro adalah terjadinya efisiensi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan e-Procurement dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding dengan cara yang dilakukan secara konvensional, dan persaingan yang sehat antar pelaku usaha sehingga mendukung iklim investasi yang kondusif secara nasional.
Dari hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan e-Procurement dalam pengadaan barang/jasa di Kota Pematangsiantar dapat
dikatakan telah efektif. Hal ini dikarenakan bahwa terdapat tujuan ditetapkan telah tercapai walaupun belum maksimal, yaitu peningkatan persaingan usaha yang sehat. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi nilai keefektifan penerapan e-Procurement dalam pengadaan barang/jasa. Maka dari itu, diperlukan pengawasan atau pemantauan yang intensif dari masyarakat dan LSM seperti ICW (Indonesia Corruption Watch). Perlunya pengawasan masyarakat dan LSM tersebut, karena dua aktor tersebut memiliki peran yang dianggap paling bagus dan netral dalam pengadaan barang/jasa, sehingga tujuan e-Procurement nantinya dapat berjalan dengan baik dan tanpa ada kecurigaan.
(10)
ABSTRACT
The current government has implemented a system of procurement of goods and services electronically, known as e-Procurement. E-Procurement is the process of procurement of goods and services which are carried out electronically-based internet. All the activities of procurement of goods and services in e-Procurement is done through electronic media, namely through the website on the internet www.inaproc.go.id.
E-Procurement Objectives include improving transparency and openness in the process engadaan government goods and services; increase healthy competition in the provision of public services and the implementation of the government; improve the effectiveness and efficiency in managing the process of government procurement. Advantages of the use of e-Procurement in the macro is the efficiency in the use of the State Budget (Budget), the procurement of goods and services with the use of e-Procurement can be done within a period of more rapid than in a way that is done conventionally, and fair competition among businesses that support a conducive investment climate nationally.
From the discussion, it can be concluded that the implementation of e-procurement in the procurement of good/services in Pematangsiantar can be
said to have been effective. This is because that there is a set goal has been achieved, although not maximal, ie the increase in fair competition. That is one factor that could undermine the effectiveness of the implementation of e-procurement in the e-procurement of goods/services. Therefore, the necessary supervision or intensive monitoring of the public and NGOs such as ICW (Indonesia Corruption Watch). The need for supervision and the NGO community, because the two actors have a role that is considered the most nice and neutral in the procurement of goods/services, with the goal of e-Procurement will be able to run properly and without any suspicion.
(11)
ABSTRAK
Pemerintah saat ini telah menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik yang dikenal dengan nama e-Procurement. E-Procurement merupakan proses pengadaan barang dan jasa yang pelaksanaannya dilakukan secara elektronik berbasis web/internet. Seluruh kegiatan pengadaan barang dan jasa pada e-Procurement dilakukan melalui media elektronik, yaitu melalui website pada internet www.inaproc.go.id.
Tujuan e-Procurement diantaranya adalah meningkatkan transparansi dan keterbukaan dalam proses engadaan barang dan jasa pemerintah; meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintah; meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Keuntungan penggunaan e-Procurement secara makro adalah terjadinya efisiensi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan e-Procurement dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding dengan cara yang dilakukan secara konvensional, dan persaingan yang sehat antar pelaku usaha sehingga mendukung iklim investasi yang kondusif secara nasional.
Dari hasil pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan e-Procurement dalam pengadaan barang/jasa di Kota Pematangsiantar dapat
dikatakan telah efektif. Hal ini dikarenakan bahwa terdapat tujuan ditetapkan telah tercapai walaupun belum maksimal, yaitu peningkatan persaingan usaha yang sehat. Hal tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi nilai keefektifan penerapan e-Procurement dalam pengadaan barang/jasa. Maka dari itu, diperlukan pengawasan atau pemantauan yang intensif dari masyarakat dan LSM seperti ICW (Indonesia Corruption Watch). Perlunya pengawasan masyarakat dan LSM tersebut, karena dua aktor tersebut memiliki peran yang dianggap paling bagus dan netral dalam pengadaan barang/jasa, sehingga tujuan e-Procurement nantinya dapat berjalan dengan baik dan tanpa ada kecurigaan.
(12)
ABSTRACT
The current government has implemented a system of procurement of goods and services electronically, known as e-Procurement. E-Procurement is the process of procurement of goods and services which are carried out electronically-based internet. All the activities of procurement of goods and services in e-Procurement is done through electronic media, namely through the website on the internet www.inaproc.go.id.
E-Procurement Objectives include improving transparency and openness in the process engadaan government goods and services; increase healthy competition in the provision of public services and the implementation of the government; improve the effectiveness and efficiency in managing the process of government procurement. Advantages of the use of e-Procurement in the macro is the efficiency in the use of the State Budget (Budget), the procurement of goods and services with the use of e-Procurement can be done within a period of more rapid than in a way that is done conventionally, and fair competition among businesses that support a conducive investment climate nationally.
From the discussion, it can be concluded that the implementation of e-procurement in the procurement of good/services in Pematangsiantar can be
said to have been effective. This is because that there is a set goal has been achieved, although not maximal, ie the increase in fair competition. That is one factor that could undermine the effectiveness of the implementation of e-procurement in the e-procurement of goods/services. Therefore, the necessary supervision or intensive monitoring of the public and NGOs such as ICW (Indonesia Corruption Watch). The need for supervision and the NGO community, because the two actors have a role that is considered the most nice and neutral in the procurement of goods/services, with the goal of e-Procurement will be able to run properly and without any suspicion.
(13)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hampir semua aspek kehidupan manusia. Dengan majunya perkembangan teknologi, manusia dapat bekerja dengan lebih efektif dan efisien, tidak terkecuali bagi dunia usaha jasa konstruksi. Teknologi telah menjadi salah satu upaya pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan yang transparan dan tidak berpihak sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat.
Di Indonesia pada umumnya pengadaan barang dan jasa sistem konvensional dilakukan dengan cara, peserta lelang melakukan tatap muka secara langsung dengan panitia lelang. Hal ini dirasa kurang efisien dari segi waktu, biaya serta dapat berpotensi menimbulkan praktek penyimpangan.
Beberapa sisi negatif yang bisa ditimbulkan dalam pengadaan barang dan jasa yang sering terjadi antara lain: 1). Tender arisan dan adanya kickback pada proses tender; 2). Suap untuk memenangkan tender; 3) Proses tender tidak transparan; 4). Supplier bermain mematok harga tertinggi (mark up); 5). Memenangkan perusahaan saudara, kerabat atau orang-orang tertentu; 6). Pencantuman spesifikasi teknik hanya dapat dipasok oleh satu pelaku usaha tertentu; 7). Adanya almamater sentries; 8). Pengusaha yang tidak memiliki administrasi lengkap dapat ikut tender bahkan menang; 9). Tender tidak diumumkan; 10). Tidak membuka akses bagi peserta dari daerah (Udoyono, 2012).
(14)
Pemerintah saat ini telah menerapkan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik yang dikenal dengan nama e-Procurement. E-Procurement merupakan proses pengadaan barang dan jasa yang pelaksanaannya dilakukan secara elektronik berbasis web/internet (Wijaya, 2010). Seluruh kegiatan pengadaan barang dan jasa pada e-Procurement dilakukan melalui media elektronik, yaitu melalui website pada internet www.inaproc.go.id.
Tujuan e-Procurement diantaranya adalah meningkatkan transparansi dan keterbukaan dalam proses engadaan barang dan jasa pemerintah; meningkatkan persaingan yang sehat dalam rangka penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintah; meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pengelolaan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Negara yang telah sukses dalam mengembangkan sistem e-Procurement adalah Australia dan Skotlandia. Keberhasilan kedua negara itu ikut andil dalam perkembangan sistem e-Procurement di negara lain, termasuk Indonesia. Negara Australia sebagai salah satu negara pelopor pelaksanaan e-Procurement yang dimulai pada tahun 1990 telah menggunakan e-Procurement sebagai salah satu alat dalam efisiensi pengeluaran anggaran serta mempermudah dalam penyediaan barang dan jasa (Review of e-Procurement Project dalam Nightisaba, 2009).
Keuntungan penggunaan e-Procurement secara makro adalah terjadinya efisiensi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan e-Procurement dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding dengan cara yang dilakukan secara konvensional, dan persaingan yang sehat antar pelaku usaha sehingga mendukung iklim investasi yang kondusif secara nasional (Jasin, 2007).
(15)
Beberapa penelitian terdahulu yang mengukur keberhasilan implementasi sistem e-Procurement yang diukur dari persepsi dan tingkat kepuasan pengguna telah dilakukan pada pemerintah Kota Surabaya. Wijayanto (2008) menilai efektivitas dan efisiensi sistem e-Procurement mengukur kepuasan pengguna
akhir yaitu, para pengguna barang dan jasa yang memanfaatkan layanan
e-Procurement menghasilkan gambaran bahwa implementasi sistem e-Procurement di pemerintah Kota Surabaya. Hasil yang didapat menunjukkan
bahwa kepuasan pengguna yaitu penyedia barang dan jasa dan pengelola sistem menunjukkan tingkat kepuasan yang sama, sehingga dari penelitian ini juda didapat hasil bahwa penerapan sistem e-Procurement yang sedang berjalan pada pemerintah Kota Surabaya telah berhasil.
Penelitian terdahulu juga dilakukan oleh Pramasari (2013) dengan judul penelitian Penerpan Sistem e-Procurement Dalam Tata Kelola Pengadaan Barang Dan Jasa (Studi Kasus: Badan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Denpasar). Bedasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada pembahasan, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain, bahwa penerapan sistem elektronik procurement atau e-Procurement di Pemerintah Kota Denpasar merupakan suatu bagian upaya untuk mewujudkan proses pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih efisien dan transparan, serta menjadi salah satu inisiasi dalam rangka mencegah korupsi khususnya dibidang pengadaan. Proses pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di Pemerintah Kota Denpasar ini meningkatkan efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan efektifitas dalam pembelanjaan uang negara. Penerapan pengadaan barang dan jasa secara online atau e-Procurement akan dilaksanakan jika pengadaan barang dan jasa
(16)
bernilai minimal dua ratus juta rupiah, dan jika kurang dari dua ratus juta rupiah maka akan tetap menggunakan sistem manual.
Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) adalah unit kerja yang dibentuk di seluruh Kementrian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi Lainnya (K/L/D/I) untuk menyelenggarkan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik.
ULP/Pejabat Pengadaan pada Kementrian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN yang tidak membentuk LPSE dapat menggunakan fasilitas LPSE yang terdekat dengan tempat kedudukannya, misalnya Kota Pematangsiantar. Untuk melaksanakan pengadaan secara elektronik. Selain memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik LPSE juga melayani registrasi penyedia barang dan jasa yang berdomisili di wilayah kerja LPSE yang bersangkutan.
Pengadaan barang/jasa secara elektronik akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit dan memenuhi kebutuhan akses infornasi yang real time guna mewujudkan clean and good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Penelitian ini berlatar belakang proses pengadaan barang/jasa yang ada di Bangladesh. Hasil dari penelitian ini adalah 70% para pengguna layanan memahami prosedur pengadaan dan 30% terpecah kedalam berbagai pendapat yaitu cukup paham dan tidak paham (Nightisaba, 2009).
(17)
Sebagai proses pengadaan barang dan jasa yang dilakukan melalui internet, e-Procurement menjadi suatu sistem penyediaan barang dan jasa yang efisien, karena dapat menghemat biaya, waktu dan lebih transparan dalam pelaksanaannya. Penyedia jasa tidak perlu lagi dating ke kantor Pokja pengadaan barang dan jasa pemerintah, tetapi cukup melihat dan mendaftar pada website secara online. Pengadaan barang dan jasa secara elektronik akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit serta memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time, guna mewujudkan clean and good government dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Hal ini akan menjadi salah satu langkah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, serta upaya untuk mempersiapkan para penyedia jasa nasional dalam menghadapi tantangan dan perkembangan global. Pengadaan barang dan jasa yang lebih efisien, terbuka dan kompetitif sangat diperlukan bagi ketersediaan barang dan jasa yang terjangkau dan berkualitas sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana efektivitas penerapan e-Procurement dalam meningkatkan transparansi pelayanan publik di Kota
(18)
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang proses dan situasi terkini efektifitas penerapan e-Procurement dalam meningkatkan transparansi pelayanan publik di Kota Pematangsiantar.
1.4. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian, penelitian ini juga bermanfaat. Adapun manfaat yang dicapai oleh penulis adalah:
1. Bagi penulis khususnya, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan penulis menulis karya ilmiah, terutama dalam menganalisa permasalahan yang terjadi di masyarakat yang ada kaitannya dengan ilmu yang didapat dalam perkuliahan.
2. Bagi instansi terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi instansi itu sendiri.
3. Bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melengkapi ragam penelitian yang telah dilakukan oleh para mahasiswa serta dapat menjadi bahan masukan bagi Fakultas dan diharapkan dapat menjadi salah satu referensi tambahan bagi mahasiswa dimasa yang akan datang.
1.5. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan menjadi landasan teoritis dan menjadi pedoman dalam melaksanakan penelitian. Setelah masalah penelitian dirumuskan maka selanjutnya adalah mencari
(19)
teori-teori, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis untuk melaksanakan penelitian.
Toeri-teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah:
1.5.1. Pelayanan Publik I.5.1.1 Pengertian Pelayanan
Pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia, Pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah sutu kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. (Lukman, 2006).
Pelayanan dapat didefinisikan sebagai aktivitas seseorang, sekelompok orang dan/atau organisasi baik langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut Davidow (Waluyo, 2007:127), pelayanan adalah hal-hal yang jika diterapkan terhadap sesuatu produk akan meningkatkan daya atau nilai terhadap pelanggan.
Menurut Kotler dalam Sinambela (2006 : 4), pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan
(20)
menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Monir (Pasolong, 2007:128), pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung.
Jika dihubungkan dengan administrasi publik, pelayanan adalah kualitas birokrat terhadap masyarakat (Sinambela, 2008 : 6)
I.5.1.2. Pengertian Pelayanan Publik
Sinambela (Pasolong, 2007:128) mendefinisikan pelayanan publik sebagai setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah terhadap sejunmlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan dan menawarkan kepuasaan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
Pelayanan publik menurut Agung Kurniawan (Pasolong, 2007:128) adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan.
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan. Pada hakekatnya, pelayanan publik adalah pemberian
(21)
pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat.
Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Lebih lanjut dikatakan pelayanan publik dapat diartikan, pemberi layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan Departemen Dalam Negeri (www.kemendagri.go.id) menyebutkan bahwa; “Pelayanan Publik adalah
Pelayanan Umum”, dan mendefinisikan “Pelayanan Umum adalah suatu
proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal tercipta kepuasan dan keberhasilan. Setiap pelayanan menghasilkan produk, baik berupa barang
dan jasa”.
Dalam Undang Undang No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (www.kemenpan.go.id) menyebutkan Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang - undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
Di lain pihak, Thoha (2000) memberi pengertian tentang pelayanan masyarakat sebagai suatu usaha yang dilakukan seseorang dan atau sekelompok
(22)
orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan hakekat pelayanan umum adalah:
1. Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
2. Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan, sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdayaguna dan berhasilguna.
3. Mendorong tumbuh kembangnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
4. Pelayanan umum dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar, dan terjangkau.
Penyelenggaraan pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undangundang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Maka dapat dirumuskan yang menjadi unsur yang terkandung dalam pelayanan publik yaitu:
1. Pelayanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh suatu badan atau lembaga atau aparat pemerintah maupun swasta.
2. Objek yang dilayani adalah masyarakat (publik) berdasarkan kebutuhannya. 3. Bentuk pelayanan yang diberikan berupa barang atau jasa.
(23)
Agar pelayanan publik berkualitas, sudah sepatutnya pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin.
Secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, dan kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain:
1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggung jawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
2. Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
(24)
4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama.
6. Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perizinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi, 2004). Beberapa kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang
(25)
diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalitas, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya.
Dari beberapa pengertian pelayanan dan pelayanan publik yang diuraikan tersebut, dalam konteks pemerintah daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada penerima pelayanan.
I.5.1.3. Asas dan Tujuan Pelayanan Publik
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna, penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi asas-asas pelayanan berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 (pasal 4), yaitu:
1. Kepentingan umum.
Artinya, pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan atau golongan.
2. Kepastian hukum.
Artinya, jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan
(26)
3. Kesamaan hak.
Artinya, pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.
4. Keseimbangan hak dan kewajiban.
Artinya, pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
5. Keprofesionalan.
Artinya, pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
6. Partisipatif.
Artinya, peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
7. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif.
Artinya, setiap warga negara memperoleh pelayanan yang adil.
8. Keterbukaan.
Artinya, setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
9. Akuntabilitas.
Artinya, proses penyelengaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(27)
10. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.
Artinya, pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan.
11. Ketepatan waktu.
Artinya, penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.
12. Kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan.
Artinya, setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah dan terjangkau.
Secara teoritis, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasaan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:
1. Transparansi.
Yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
2. Akuntabilitas.
Yaitu pelayanan yang dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(28)
3. Kondisional.
Yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
4. Partisipatif.
Yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
5. Kesamaan hak.
Yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.
6. Keseimbangan hak dan kewajiban.
Yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik.
I.5.1.4 Kriteria Pelayanan Publik
Menurut Zethaml & Haywood Farmer (Pasolong, 2007:133), ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan, yaitu:
1. Intangibility
Pelayanan pada dasarnya bersifat performance dan hasil pengalaman dan bukan objeknya. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas.
(29)
Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan.
2. Heterogeinity
Pemakai jasa atau klien atau pelanggan memilk kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula performance sering bervariasi dari suatu prosedur ke prosedur lainnya bahkan dari waktu ke waktu.
3. Inseparability
Produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya didalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa kedalam produksi disektor pabrik kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama interkasi antara klien/pelanggan dengan penyedia jasa.
Menurut Keputusan MenPAN Nomor 06/1995 tentang Pedoman Penganugerahan Piala Abdisatyabakti Bagi Unit Kerja/Kantor Pelayanan Percontohan, sebagaimana tertera pada lampirannya diatur mengenai kriteria pelayanan masyarakat yang baik, yaitu sebagai berikut (Santosa, 2008:63):
1. Kesederhanaan.
Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelitbelit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
(30)
2. Kejelasan dan Kepastian.
Kriteria ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai: a. Prosedur atau tatacara pelayanan.
b. Persyaratan pelayanan.
c. Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan.
d. Rincian biaya atau tarif pelayanan dan tatacara pembayarannya. e. Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.
3. Keamanan.
Kriteria ini mengandung arti bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberi rasa aman, kenyamanan, dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.
4. Keterbukaan.
Kriteria ini mengandung arti bahwa prosedur, tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggungjawab pemberi layanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif,serta hal-hal yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan pada masyarakat agar mudah diketahui.
5. Efisien.
Kriteria ini mengandung arti:
a. Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap
(31)
memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan.
b. Dicegah adanya pengulangan pemenuhan peryaratan dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintahan lain yang terkait.
6. Ekonomis.
Kriteria ini mengandung arti bahwa biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan:
a. Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi diluar kewajaran.
b. Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar. c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Keadilan Merata.
Kriteria ini mengandung arti bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
8. Ketepatan Waktu.
Kriteria ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu telah ditentukan.
(32)
I.5.1.5 Jenis-Jenis Pelayanan Publik
Bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat dibedakan dalam beberapa jenis pelayanan, yaitu:
1. Pelayanan administratif.
Pelayanan yang diberikan olah unit pelayanan berupa pencatatan, penelitian, dokumentasi dan kegiatan tata usaha lainnya yang secara keseluruhan menghasilkan produk akhir berupa dokumen, misalnya sertifikat, rekomendasi, keterangan, dan lain24 lain. Contoh pelayanan ini, antara lain: Sertifikat tanah, IMB, pelayanan administrasi kependudukan (KTP, akte kelahiran, akte kematian), dan lain sebagainya.
2. Pelayanan barang.
Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa kegiatan penyediaan dan atau pengolahan bahan berwujud fisik termasuk distribusi termasuk penyampaiannya kepada konsumen langsung (sebagai unit/individu) dalam suatu sistem. Secara keseluruhan kegiatan tersebut menghasilkan produk akhir berwujud benda atau yang dianggap benda yang memberikan nilai tambah secara langsung bagi penggunanya. Contoh pelayanan ini, antara lain: listrik, pelayanan air bersih, pelayanan telepon, dan lain sebagainya.
3. Pelayanan jasa.
Pelayanan yang diberikan oleh unit pelayanan berupa sarana dan prasarana serta penunjangnya. Pengoperasiannya berdasarkan suatu
(33)
sistem pengoperasian tertentu dan pasti. Produk akhirnya berupa jasa yang mendatangkan manfaat bagi penerimanya secara langsung dan habis terpakai dalam jangka waktu tertentu. Contoh pelayanan ini, antara lain : Pelayanan angkutan darat/air/udara, pelayanan kesehatan, perbankan, pos, dan lain sebagainya.
Ketiga jenis pelayanan tersebut, orientasinya adalah pelanggan atau masyarakat (publik). Artinya, kinerja pelayanan publik instansi pemerintah harus berorientasikan publik sehingga dapat mengubah paradigma aparatur dari “dilayani” menjadi “melayani.
Hakikat pelayanan publik adalah pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan kinerja pelayanan publik senantiasa menyangkut tiga unsur pokok, yaitu : unsur kelembagaan penyelenggara pelayanan, proses pelayanan serta sumber daya manusia pemberi layanan. Dalam hubungan ini maka upaya peningkatan kinerja pelayanan publik senantiasa berkenaan dengan pengembang tiga unsur tersebut (Surjadi, 2009 : 9).
1.5.2.Kualitas Pelayanan Publik
Pelayanan publik yang berkualitas bukan hanya mengacu pada pelayanan itu semata, juga menekankan pada proses penyelenggaraan atau pendistribusian pelayanan itu sendiri hingga ke tangan masyarakat sebagai konsumer. Aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan menjadi alat untuk mengukur pelayanan publik yang berkualitas. Hal ini berarti, pemerintah melalui
(34)
aparat dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat harus memperhatikan aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan.
Kualitas pelayan berhubungan erat dengan pelayanan yang sistematis dan komprehensif yang dikenal sebagai konsep pelayan prima. Kualitas pelayanan publik merupakan mutu atau kualitas pelayan birokrat terhadap masyarakat yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan/masyarakat. (Sinambela, 2008).
Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur. (Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 Pasal 7).
Berdasarkan beberapa defenisi tentang kualitas pelayan public diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas pelayanan publik adalah seluruh karateristik pelayanan yang diberikan oleh pemberi layanan (pegawai) kepada penerima layanan (publik) dalam suatu organisasi dengan menutamakan rasa puas bagi si penerima layanan/masyarakat.
Lima dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan (Bediono, 2003) yaitu:
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu Instansi dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa, yang meliputi fasilitas fisik (gedung, ruang tunggu, dan lain sebagainya),
(35)
perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2. Reliability, atau kehandalan yaitu kemampuan perusahaan/instansi untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu, pelayanan yang sama, untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk membantu dan memberi pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negative dalam pelayanan.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari beberapa komponen antara lain komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), keamanan (security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy).
5. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan/instansi diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.
(36)
1.5.3.Efektivitas
Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah popular mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna atau menunjang tujuan.
Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat H. Emerson (Handayaningrat, 2005) yang menyatakan bahwa efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Georgopolous dan Tannembaum (2000) mengemukakan, efektivitas ditinjau dari sudut pencapaian tujuan, dimana keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan saja sasaran organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar sasaran. Dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan masalah sasaran maupun tujuan.
Menurut Steers (2001) mengemukakan, bahwa efektivitas adalah jangkauan usahasuatu program sebgai suatu sistem dengan sumber daya dan sarana tertentu untuk memenuhi tujuan dan sasarannya tanpa melumpuhkan cara dan sumber daya itu, serta tanpa memberi tekanan yang tidak wajar terhadap pelaksanaannya.
Lebih lanjut menurut Kurniawan (2005), Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) daripada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.
(37)
Dari beberapa pendapat diatas mengenai efektivitas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah dicapai oleh manajemen, yang mana target tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hidayat (2002) yang menjelaskan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai. Dimana makin besar persentase target yang dicapai, maka akan semakin tinggi efektivitasnya.
Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat dilakukan melalui konsep efektivitas. Konsep ini adalah salah satu faktor untuk menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk dan manajemen organisasi atau tidak. Dalam hal ini efektivitas merupakan pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efisien, ditinjau dari sisi masukan (input), proses, maupun keluaran (output).
Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan personil, sarana dan prasarana serta metode dan model yang digunakan. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan dengan benar dan sesuai dengan prosedur, sedangkan dikatakan efektif bila kegiatan tersebut dilaksanakan dengan benar dan memberikan hasil yang bermanfaat.
1.5.4. E-Procurement
E-Procurement menurut Sutedi (2012) adalah sebuah sistem lelang dalam pengadaan barang/jasa pemerintah dengan memanfaatkan teknologi, informasi dan komuni-kasi berbasis internet, agar dapat berlangsung secara efektif, efisien, terbuka, dan akuntabel. Hal ini hampir sama dengan penjelasan dari Indrajit yang
(38)
dikutip oleh Andrianto (2007) bahwa e-Procurement diartikan sebagai sebuah proses digitalisasi tender/lelang penga-daan barang/jasa pemerintah berbantuan
internet. Definisi lebih sederhana disampaikan oleh Andrianto (2007), bahwa e-Procurement adalah proses pengadaan barang/jasa yang dilakukan melalui
lelang secara elektronik.
E-Procurement adalah pengadaan secara elektronik atau pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Kementrian Pekerjaan Umum, 2011).
Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2012, pasal 37. Pengadaan secara elektronik atau e-Procurement adalah pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
E-Procurement adalah suatu aplikasi untuk mengelola data pengadaan barang/jasa yang meliputi data pengadaan berbasis internet yang didesain untuk mencapai suatu proses pengadaan yang efektif, efisien dan terintegrasi (Purwanto, 2008).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa e-Procurement adalah pengadaan barang dan jasa secara elektronik yang seluruh kegiatannya dilakukan secara online melalui website. Ruang lingkup e-Procurement meliputi proses pengumuman pengadaan barang dan jasa sampai dengan penunjukkan pemenang. Pengadaan barang dan jasa melalui proses e-Procurement diwajibkan oleh pemerintah sejak tahun 2010. Sampai dengan tahun
(39)
2012, pengadaan barang dan jasa secara e-Procurement telah dilaksanakan di 33 provinsi meliputi 731 instansi di Indonesia (www.lkpp.go.id).
1.5.5. Tujuan Dan Manfaat E-Procurement
Sedangkan Kalakota, Ravi dan Robinson (Widjaja, 2009) menyatakan bahwa e-procurement merupakan proses pengadaan barang atau lelang dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk website. Menurut Kalakota, Ravi dan Robinson (Widjaja, 2009) manfaat e-Procurement dibagi menjadi 2 kategori yaitu : efisien dan efektif. Efisiensi e-Procurement mencakup biaya yang rendah, mempercepat waktu dalam proses procurement, mengontrol proses pembelian dengan lebih baik, menyajikan laporan informasi, dan pengintegrasian fungsi-fungsi procurement sebagai kunci pada sistem back-office. Sedangkan efektivitas eprocurement yaitu meningkatkan kontrol pada rantai nilai, pengelolaan data penting yang baik, dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dalam proses pembelian pada organisasi. Keuntungan menggunakan e-Procurement :
1. Menyederhanakan proses procurement 2. Meningkatkan komunikasi
3. Mempererat hubungan dengan pihak supplier
4. Mengurangi biaya transaksi karena mengurangi penggunaan telepon atau fax atau dokumendokumen yang menggunakan kertas
5. Mengurangi waktu pemesanan barang 6. Menyediakan laporan untuk evaluasi 7. Meningkatkan kepuasan user
(40)
Tujuan tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada Pasal 107, yaitu: 1. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
2. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat 3. Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan
4. Mendukung proses monitoring dan audit
5. Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time.
Adapun manfaat dari e-procurement adalah (Nightisaba, 2009) :
1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi di berbagai bidang kehidupan bernegara.
2. Meningkatkan transparansi, control, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep Good Corporate Governance; 3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi
yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari.
4. Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru melalui interaksi nya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
5. Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang dapat secara cepat dan tepat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi sejalan dengan berbagai perubahan global dan trend yang ada; serta
(41)
6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan berbagai kebijakan public secara merata dan demokratis
1.5.6. Prinsip-Prinsip E-Procurement
Pengadaan barang/jasa melalui e-Procurement menerapkan prinsip-prinsip antara lain (Wijaya, 2010):
1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkat nya dan dapat dipertanggungjawabkan;
2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan;
3. Terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
4. Transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
(42)
5. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
6. Akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
1.6. Definisi Konsep
Konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interprestasi ganda dari variabel yang diteliti. Untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang diteliti, maka penulis mengemukakan defenisi konsep yaitu:
1. Efektivitas adalah pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efisien, ditinjau dari sisi masukan, proses, maupun keluaran. Dalam hal ini yang dimaksud sumber daya meliputi ketersediaan personil, saran dan prasarana serta metode dan model yang digunakan.
2. Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (e-Procurement) adalah suatu kegiatan dalam rangka memenuhi atau menyediakan sumber daya (barang atau jasa) pemerintah dengan memanfaatkan internet berbasis web sebagai sarana komunikasi dan informasi.
(43)
3. Transpransi dalam pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bersifat terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan serta disediakan secara memadai dan mudah dimengerti oleh semua penerima kebutuhan pelayanan.
1.7. Definisi Operasional
1. Efektivitas dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut: a) Menyederhanakan proses e-procurement.
b) Meningkatkan komunikasi.
c) Mempererat hubungan dengan pihak supplier.
d) Mengurangi biaya transaksi karena mengurangi penggunaan telepon atau fax atau dokumen-dokumen yang menggunakan kertas.
e) Mengurangi waktu pemesanan barang. f) Menyediakan laporan untuk evaluasi. g) Meningkatkan kepuasan user.
2. Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (e-Procurement) dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
a) Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah.
b) Meningkatkan transparansi penerapan konsep Good Corporate Governance. c) Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi. d) Memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber
(44)
e) Menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru. f) Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain.
3. Transpransi dalam pelayanan publik dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut:
a) Keterbukaan manajemen dan penyelenggaraan pelayanan public. b) Prosedur pelayanan tidak berbelit – belit.
c) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan. d) Keterbukaan dalam rincian biaya pelayanan. e) Waktu penyelesaian pelayanan yamg pasti. f) Pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab. g) Lokasi pelayanan yang nyaman.
h) Janji pelayanan.
i) Standar pelayanan publik.
j) Kemudahan mengakses informasi pelayanan.
1.8. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan
Bab ini membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, defenisi konsep, defenisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II : Metode Penelitian
Bab ini membahas tentang bentuk penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
(45)
BAB III : Deskripsi Lokasi Penelitian
Bab ini membahas gambaran umum Kota Pematangsiantar dan tentang e-Procurement Kota Pematangsiantar.
BAB IV : Penyajian Data
Bab ini membahas tentang seluruh rangkaian hasil penelitian yang dirangkum berdasarkan data yang dieroleh dari lapangan. BAB V : Analisa Data
Bab ini membahas tentang analisa dan implementasi data yang diperoleh peneliti selama penelitian.
BAB VI : Penutup
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil penelitian.
(46)
BAB II
METODE PENELITIAN
II.1. Bentuk Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Zuriah (2006) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat, mengenai sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif cenderung tidak perlu mencari atau menerangkan saling berhubungan dan menguji hipotesis.
Berdasarkan pengertian di atas, maka penelitian ini adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian-kejadian secara sistematis dan akurat mengenai sifat-sifat populasi serta menganalisa kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.
II.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kantor Sekretariat Daerah Kota Pematangsiantar yang beralamat di Jalan Merdeka No. 6 Pematangsiantar Kode Pos 21117.
II.3. Informan Penelitian
Sesuai dengan penjelasan di atas, bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hendrarso (dalam Usman 2009) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian
(47)
yang dilakukan sehingga subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian inilah yang akan menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi informan kunci dan informan biasa. Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang sedang diteliti. Sedangkan informan biasa adalah informan yang ditentukan dengan dasar pertimbangan mengetahui dan berhubungan dengan permasalahan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah informan kunci yaitu terdiri dari satu orang ketua LPSE Kota Pematangsiantar dan seorang sekretaris LPSE Kota Pematangsiantar.
Selain itu untuk memperkaya data yang akan dioleh, maka peneliti juga mengambil informan biasa, yaitu staf LPSE Kota Pematangsiantar dan penyedia barang/jasa yang terlibat dalam penelitian ini sebanyak 30 orang.
Menurut Usman (2009) dalam penelitian kualitatif tidak dikenal istilah populasi, tetapi sampling yang merupakan pilihan peneliti sendiri dan yang ditentukan peneliti sendiri secara pusposif yang disesuaikan dengan tujuan penelitiannya, sampling tersebut dijadikan responden yang relevan untuk mendapatkan data, dan penulis menganggap 30 responden tersebut sudah dapat memberikan jawaban, dan informasi mengenai hal-hal yang penulis teliti.
(48)
II.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
1. Data Primer
Teknik pengumpulan data primer yaitu data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik ini dilakukan melalui:
a. Wawancara, yaitu dengan cara wawancara mendalam untuk memperoleh data yang lengkap dan mendalam dari informan. Metode ini dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan terbuka kepada informan atau pihak yang berhubungan dan memiliki relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.
b. Kuesioner (angket), adalah suatu daftar yang berisi rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti, yang bertujuan memperoleh informasi yang relevan, serta informasi yang dibutuhkan dapat dibutuhkan secara serentak. Dalam penelitian ini angket digunakan sebagai alat pendamping dalam mengumpulkan data. Daftar pertanyaan dibuat semi terbuka yang memberi pilihan jawaban pada responden dan memberikan penjelasan-penjelasan yang diperlukan oleh peneliti.
c. Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati secara langsung terhadap objek penelitian kemudian mencatat gejala-gejala yang ditemukan di lapangan untuk melengkapi data-data yang
(49)
diperlukan sebagai acuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Dalam penelitian ini data-data sekunder yang diperlukan antara lain literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel, makalah, peraturan-peraturan, struktur organisasi, jadwal, waktu, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis, dan lain-lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.
II.5. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif yaitu menguraikan serta menginterpretasikan data yang diperoleh di lapangan dari para key informan. Penganalisisan ini didasarkan pada kemampuan nalar dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi, kemudian data yang diperoleh akan dianalisis sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian.
(50)
BAB III
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
III.1. Gambaran Umum Pematangsiantar III.1.1. Sejarah
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Pematangsiantar merupakan daerah kerajaan. Pematangsiantar yang berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906.
Di sekitar Pulau Holing kemudian berkembang menjadi perkampungan tempat tinggal penduduk diantaranya Kampung Suhi Haluan, Siantar Bayu, Suhi Kahean, Pantoan, Suhi Bah Bosar, dan Tomuan. Daerah-daerah tersebut kemudian menjadi daerah hukum Kota Pematangsiantar yaitu:
1. Pulau Holing menjadi Kampung Pematang 2. Siantar Bayu menjadi Kampung Pusat Kota
3. Suhi Kahean menjadi Kampung Sipinggol pinggol, Kampung Melayu, Martoba, Sukadame, dan Bane.
4. Suhi Bah Bosar menjadi Kampung Kristen, Karo, Tomuan, Pantoan, Toba dan Martimbang
Setelah Belanda memasuki Daerah Sumatera Utara, Daerah Simalungun menjadi daerah kekuasaan Belanda sehingga pada tahun 1907 berakhirlah kekuasaan raja-raja. Kontroleur Belanda yang semula berkedudukan di Perdagangan, pada tahun 1907 dipindahkan ke Pematangsiantar. Sejak itu
(51)
Pematangsiantar berkembang menjadi daerah yang banyak dikunjungi pendatang baru Bangsa Cina mendiami kawasan Timbang Galung dan Kampung Melayu.
Pada tahun 1910 didirikan Badan Persiapan Kota Pematangsiantar. Kemudian pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan Stad Blad No. 285 Pematangsiantar berubah menjadi Gemente yang mempunyai otonomi sendiri. Sejak Januari 1939berdasarkan Stad Blad No. 717 berubah menjadi Gemente yang mempunyai Dewan.
Pada zaman Jepang berubah menjadi Siantar State dan Dewan dihapus. Setelah Proklamasi kemerdekaan, Pematangsiantar kembali menjadi Daerah Otonomi. Berdasarkan Undang-undang No.22/ 1948 Status Gemente menjadi Kota Kabupaten Simalungun dan Walikota dirangkap oleh Bupati Simalungun sampai tahun 1957.
Berdasarkan UU No.1/ 1957 berubah menjadi Kota Praja Penuh dan dengan keluarnya Undang-undang No.18/ 1965 berubah menjadi Kota, dan dengan keluarnya Undang-undang No. 5/ 1974 tentang-Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah berubah menjadi Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar sampai sekarang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.35 Tahun 1981 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar terbagi atas empat wilayah kecamatan yang terdiri atas 29 Desa/Kelurahan dengan luas wilayah 12,48 km² yang peresmiannya dilaksanakan oleh Gubernur Sumatera Utara pada tanggal 17 Maret 1982.
(52)
Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu: 1. Kecamatan Siantar Barat 2. Kecamatan Siantar Timur 3. Kecamatan Siantar Utara 4. Kecamatan Siantar Selatan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1986 tanggal 10 Maret 1986 Kota Daerah Tingkat II Pematangsiantar diperluas menjadi 6 wilayah Kecamatan, dimana 9 Desa atau Kelurahan dari wilayah Kabupaten Simalungun masuk menjadi wilayah Kota Pematangsiantar, sehingga Kota Pematangsiantar terdiri dari 38 desa/kelurahan dengan luas wilayah menjadi 70,230 km².
Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu: 1. Kecamatan Siantar Barat 2. Kecamatan Siantar Timur 3. Kecamatan Siantar Utara 4. Kecamatan Siantar Selatan 5. Kecamatan Siantar Marihat 6. Kecamatan Siantar Martoba
Selanjutnya, pada tanggal 23 Mei 1994, dikeluarkan kesepakatan bersama Penyesuaian Batas Wilayah Administrasi antara Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Adapun hasil kesepakatan tersebut adalah wilayah Kota Pematangsiantar menjadi seluas 79,9706 km².
Pada tahun 2007, diterbitkan 5 Peraturan Daerah tentang pemekaran wilayah administrasi Kota Pematangsiantar yaitu:
(53)
1. Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari.
2. Peraturan Daerah No.6 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun.
3. Peraturan Daerah No.7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Bah Sorma.
4. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Tanjung Tongah, Nagapitu dan Tanjung Pinggir.
5. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tetang Pembentukan Kelurahan Parhorasan Nauli, Sukamakmur, Marihat Jaya, Tong Marimbun, Mekar Nauli dan Nagahuta Timur.
Dengan demikian jumlah Kecamatan di Kota Pematangsiantar ada sebanyak delapan kecamatan dengan jumlah kelurahan sebanyak lima puluh tiga Kelurahan.
III.1.2. Visi dan Misi
Visi : Mantap, Maju dan Jaya.
Misi : Pemerintah yang bersih, meningkatkan kualitas pendidikan, meningkatkan pelayanan kesehatan, memperkuat sistem ekonomi, usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi, meningkatkan kualitas dan kuantitas iInfrastruktur, menata sistem pelayanan publik yang lebih baik dan profesional, serta sistem alokasi anggaran pembangunan efisien maupun pro rakyat.
(54)
III.1.3. Kondisi Geografis dan Demografis III.1.3.1. Lokasi dan Keadaan Geografis
Secara Geografis wilayah Kota Pematangsiantar berada antara 2o 53' 20" - 3o 01' 00" Lintang Utara dan 99o 1’ 00’’ - 99o 6’ 35’’ Bujur Timur dengan luas wilayah 79,971 Km2 dengan batas-batas sebagai berikut:
Batas Utara : Kabupaten Simalungun Batas Selatan : Kabupaten Simalungun Batas Timur : Kabupaten Simalungun Batas Barat : Kabupaten Simalungun
Luas daratan Kota Pematangsiantar adalah 79,971 Km² terletak 400-500 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan luas wilayah menurut kecamatan, kecamatan yang terluas adalah kecamatan Siantar Sitalasari dengan luas wilayah 22,723 km² atau sama dengan 28,41% dari total luas wilayah Kota Pematangsiantar. Sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Siantar Selatan (2,020 Km2). Struktur geologis wilayah ini adalah berada pada ketinggian 400-500 meter diatas permukaan laut dengan permukaan tanah yang berbukit-bukit.
(55)
Tabel 3.1 Pembagian Wilayah Kota Pematangsiantar
No. Kecamatan
Luas Wilayah (km²)
Rasio Terhadap Total (%)
Jumlah
desa/kelurahan
1 Siantar Barat 3,205 4,01 8
2 Siantar Marihat 7,825 9,78 7
3
Siantar Marimbun
18,006 22,52 6
4
Siantar Martoba
18,022 22,54 7
5 Siantar Selatan 2,020 2,53 6
6
Siantar Sitalasari
22,723 28,41 5
7 Siantar Timur 4,520 5,65 7
8 Siantar Utara 3,650 4,56 7
JUMLAH 79,971 100 53
III.1.3.2. Iklim
Karena terletak dengan garis Khatulistiwa, Kota Pematangsiantar tergolong kedalam derah tropis dan daerah datar, beriklim sedang dengan suhu maksimum rata-rata 29,7 oC dan suhu minimum rata-rata 20,4 o C pada tahun 2009. Kelembapan udara rata-rata 86 persen dimana rata-rata tertinggi
(56)
pada bulan Oktober dan November yang mencapai 89 persen, sedangkan curah hujan rata-rata 306 mm dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September yang mencapai 574 mm.
III.1.3.3. Penduduk
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Pematang Siantar 2012
No. Kecamatan
Laki-laki Perempuan Jumlah penduduk Kepadatan penduduk (per km²)
1 Siantar Barat 17.378 18.089 35.467 11.066
2
Siantar Marihat
8.959 9.232 18.191 2.325
3
Siantar Marimbun
7.219 7.665 14.884 827
4
Siantar Martoba
19.368 19.382 38.750 2.150
5 Siantar Selatan 8.116 9.034 17.150 8.490
6
Siantar Sitalasari
13.514 13.765 27.279 1.200
7 Siantar Timur 18.419 20.194 38.613 8.543 8 Siantar Utara 22.515 24.098 46.613 12.771
(57)
Pada dasarnya penduduk adalah modal merupakan dasar pembangunan, oleh karena itu data statistik kependudukan mutlak diperlukan untuk kepentingan perencanaan pembangunan dengan segala aspeknya. Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan pertumbuhan kesempatan kerja, mengakibatkan meningkatnya jumlah pengangguran. Pada tahun 2009 penduduk Kota Pematangsiantar mencapai 250.997 jiwa dengan kepadatan penduduk 3.146 jiwa per Km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Kota Pematangsiantar pada tahun 2009 sebesar 0,40 persen. Pada tahun 2009 penduduk Kota Pematangsiantar yang berjenis kelamin perempuan berjumlah 127.516 jiwa dan penduduk laki-laki 123.481 jiwa. Dengan demikian sex ratio Kota Pematangsiantar sebesar 96,84 persen. Namun pada tahun 2012 penduduk Kota Pematangsiantar mencapai 236.947 jiwa dengan kepadatan penduduk 2.963 jiwa per km². Penduduk perempuan di Kota Pematangsiantar lebih banyak dari penduduk laki-laki. Pada tahun 2012 penduduk Kota Pematangsiantar yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 115.488 jiwa dan penduduk perempuan 121.459 jiwa. Dengan demikian sex ratio penduduk Kota Pematangsiantar sebesar 95,08.
Oleh karena itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, perkembangan penduduk diarahkan pada pengendalian kuantitas, pengembangan kualitas, dan pengerahan mobilitas sehingga mempunyai ciri dan karakteristik yang menguntungkan bagi pembangunan di Kota Pematangsiantar.
(58)
Perkembangan ketenagakerjaan secara sepintas dapat dilihat dari besarnya keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi. Keterlibatan penduduk dalam kegiatan ekonomi diukur dengan proporsi penduduk yang masuk dalam pasar tenaga kerja, yaitu penduduk yang bekerja dan mencari pekerjaan, disebut juga sebagai Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). TPAK di Kota Pematangsiantar dari tahun 2002 hingga 2013 pada umumnya mengalami peningkatan. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyaknya penduduk di Kota Pematangsiantar yang bekerja dan mencari pekerjaan.
III.1.3.4. Keadaan Perekonomian Kota Pematangsiantar
Pada kurun waktu 2001-2013 kontribusi sektor industri terhadap PDRB Kota Pematangsiantar masih menjadi prioritas. Sektor industri yang menjadi tulang punggung perekonomian Kota Pematangsiantar adalah industri besar dan sedang. Hasil industri andalan Kota Pematangsiantar adalah rokok putih filter dan non filter serta tepung tapioka. Produksi tepung tapioka di Kota Pematangsiantar tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, namun juga di ekspor ke luar negeri. Sementara ini Taiwan menjadi negara tujuan penjualan tepung tapioka yang diproduksi kota ini.
Kekuatan daerah yang dimiliki Kota Pematangsiantar terkonsentrasi pada perdagangan dan jasa serta kota transit wisata. Sektor perdagangan yang menjadi andalan perekonomian Kota Pematangsiantar di samping sektor industri mengalami pertumbuhan dalam kontribusi terhadap perekonomian daerah. Sebagai kota perdagangan, secara geografis Kota Pematangsiantar diapit Kabupaten Simalungun yang memiliki kekayaan Perkebunan karet,
(1)
DAFTAR WAWANCARA
Hari/Tanggal : Selasa, 28 Oktober 2014
Jam : 11.00 WIB
Responden : Bapak Poltak Manurung, SE
Materi : Efektivitas Penerapan e-Procurement Dalam Meningkatkan Transparansi Pelayanan Publik Di Kota Pematangsiantar
1. Menurut Bapak bagaimana efektivitas proses e-procurement dalam hal proses e-procurement, komunikasi, biaya, waktu dan kepuasan, dalam
meningkatkan transparasi pelayanan publik di Kota Pematangsiantar? Jawaban:
“Tim LPSE Kota Pematangsiantar sejauh ini sudah bekerja dengan baik karena Tim LPSE telah berusaha semaksimal mungkin menyederhanakan proses e-procurement yang diterapkan. Komunikasi dilakukan dengan dua arah, hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya kesalahpahaman antar sesama Tim. Tim LPSE juga selalu menjaga hubungan baik dengan pihak supplier, agar kerjasama yang terjadi dapat dijalin dengan harmonis. Dan dalam rangka mendukung gerakan go green, Tim LPSE Kota Pematangsiantar juga mulai menerapkan go green dalam kegiatan pekerjaan sehari-hari dengan cara mengurangi penggunaan kertas seperti dalam penggunaan fax ataupun dokumen-dokumen yang menggunakan kertas. Penggunaan kertas mulai diganti dengan penggunaan e-mail. Dan untuk Lampiran
(2)
meningkatkan efektivitas, Tim LPSE Kota Pematangsiantar mulai mempersingkat waktu yang digunajan untuk pemesanan barang maupun waktu dalam penyusunan laporan evaluasi. Efektivitas dalam penerapan e-procurement diharapkan dapat menignkatkan kepuasan user maupun masyaratkat khususnya di Kota Pematangsiantar”.
2. Menurut Bapak LPSE dalam menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik saat ini adalah e-tendering yang ketentuan teknis operasionalnya diatur dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara E-Tendering. Selain itu LKPP juga harus menyediakan fasilitas Katalog Elektronik (e-Catalogue) yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat daftar,jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online (e-Audit), dan tata cara pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik (e-Purchasing).
Jawaban:
“Setiap tahunnya Tim LPSE selalu berusaha memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah ini.Tim selalu meningkatkan transparansi penerapan konsep Good Corporate Governance. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi. Berusaha memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru, Dan Tim LPSE selalu berupaya menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang
(3)
siap dengan perubahan kearah digital, dan memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain yang dapat membantu meningkatkan pelayanan publik ini. Tim LPSE Kota Pematangsiantar juga tidak memperkenankan anggota Tim mengutip biaya yang tidak resmi”.
3. Menurut Bapak bagaimana transparansi dalam penerapan e-procurement? Jawaban:
“Dalam menerapkan prinsip Good Governance, ada 3 (tiga) stakeholder yang terkait antara lain pemerintah (negara), swasta, dan masyarakat. Ketiga elemen ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat memegang peran yang cukup penting dalam hal ini. Peran aktif masyarakat dalam mewujudkan terciptanya Good Governance dapat ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kenyataannya di lapangan masyarakat kurang mau terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh pihak LPSE. Masyarakat memiliki kesibukan sendiri yang terkadang membuat mereka enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan”.
(4)
DAFTAR WAWANCARA
Hari/Tanggal : Selasa, 28 Oktober 2014
Jam : 11.00 WIB
Responden : Bapak Poltak Manurung, SE
Materi : Efektivitas Penerapan e-Procurement Dalam Meningkatkan Transparansi Pelayanan Publik Di Kota Pematangsiantar
1. Menurut Bapak bagaimana efektivitas proses e-procurement dalam hal proses e-procurement, komunikasi, biaya, waktu dan kepuasan, dalam meningkatkan transparasi pelayanan publik di Kota Pematangsiantar?
Jawaban:
“Tim LPSE Kota Pematangsiantar sejauh ini sudah bekerja dengan baik karena Tim LPSE telah berusaha semaksimal mungkin menyederhanakan proses e-procurement yang diterapkan. Komunikasi dilakukan dengan dua arah, hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya kesalahpahaman antar sesama Tim. Tim LPSE juga selalu menjaga hubungan baik dengan pihak supplier, agar kerjasama yang terjadi dapat dijalin dengan harmonis. Dan dalam rangka mendukung gerakan go green, Tim LPSE Kota Pematangsiantar juga mulai menerapkan go green dalam kegiatan pekerjaan sehari-hari dengan cara mengurangi penggunaan kertas seperti dalam penggunaan fax ataupun dokumen-dokumen yang menggunakan kertas. Penggunaan kertas mulai diganti dengan penggunaan e-mail. Dan untuk
(5)
meningkatkan efektivitas, Tim LPSE Kota Pematangsiantar mulai mempersingkat waktu yang digunajan untuk pemesanan barang maupun waktu dalam penyusunan laporan evaluasi. Efektivitas dalam penerapan e-procurement diharapkan dapat menignkatkan kepuasan user maupun masyaratkat khususnya di Kota Pematangsiantar”.
2. Menurut Bapak LPSE dalam menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Layanan yang tersedia dalam Sistem Pengadaan Secara Elektronik saat ini adalah e-tendering yang ketentuan teknis operasionalnya diatur dengan Peraturan Kepala LKPP Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara E-Tendering. Selain itu LKPP juga harus menyediakan fasilitas Katalog Elektronik (e-Catalogue) yang merupakan sistem informasi elektronik yang memuat daftar,jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah, proses audit secara online (e-Audit), dan tata cara pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik (e-Purchasing).
Jawaban:
“Setiap tahunnya Tim LPSE selalu berusaha memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah ini.Tim selalu meningkatkan transparansi penerapan konsep Good Corporate Governance. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi, dan interaksi. Berusaha memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan baru, Dan Tim
(6)
LPSE selalu berupaya menciptakan suatu lingkungan masyarakat baru yang siap dengan perubahan kearah digital, dan memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak lain yang dapat membantu meningkatkan pelayanan publik ini. Tim LPSE Kota Pematangsiantar juga tidak memperkenankan anggota Tim mengutip biaya yang tidak resmi”.
3. Menurut Bapak bagaimana transparansi dalam penerapan e-procurement? Jawaban:
“Dalam menerapkan prinsip Good Governance, ada 3 (tiga) stakeholder yang terkait antara lain pemerintah (negara), swasta, dan masyarakat. Ketiga elemen ini berkaitan satu sama lain. Masyarakat memegang peran yang cukup penting dalam hal ini. Peran aktif masyarakat dalam mewujudkan terciptanya Good Governance dapat ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun kenyataannya di lapangan masyarakat kurang mau terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan oleh pihak LPSE. Masyarakat memiliki kesibukan sendiri yang terkadang membuat mereka enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan”.