Diagnosis Nondermatofita 1. Definisi Nondermatofita

2.4.5. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anemnese pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium penunjang. Keluhan berupa gejala pada onikomikosis selalu hampir tidak ada atau tidak dirasakan pasien kecuali kalau semua kukunya sudah terkena. Secara umum penderita onikomikosis terutama yang disebabkan jamur dermatofita mengeluh adanya perubahan kuku permukaan kuku yang warnanya sudah menjadi suram tidak berkilat lagi, rapuh disertai hiperkeratosis subungual tanpa adanya keluhan gatal ataupun sakit.

2.4.5.1 Anamnese

Dalam anamnese yang harus ditanyakan: 1. Keluhan utama 2. Keluhan tambahan 3. Riwayat penyakit sekarang 4. Riwayat penyakit dahulu 5. Riwayat penyakit keluarga 6. Riwayat pemakaian obat

2.4.5.2. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosis onikomikosis, diperlukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan mikroskopi langsung, kultur jamur dan histopatologi. Diagnosis laboratorium yang baik ditentukan oleh cara pengambilan bahan pemeriksaan. Sebelum bahan diambil, kuku terlebih dahulu dipotong menjadi fragmen-fragmen kecil dan dibagi untuk pemeriksaan mikroskopis langsung, kultur dan histopatologi Siregar, 2013, Elewski and Hay, 1996. 1. Mikroskopi langsung Pemeriksaan mikroskopi langsung dengan Kalium Hidroksida KOH adalah murah dan mudah dilaksanakan, namun memiliki keterbatasan. Pemeriksaan ini hanya Universitas Sumatera Utara berfungsi sebagai penyaring ada atau tidaknya infeksi pada spesimen yang digunakan, tetapi tidak dapat menentukan spesies penyebabnya. Sebelum diperiksa di bawah mikroskop, spesimen dilunakkan dan dijernihkan dalam larutan KOH 20-30 . Dimetil sulfoksida DMSO 40 juga dapat dipakai untuk melunakkan kuku. Larutan KOH diteteskan pada objek glass, kemudian spesimen diletakkan diatasnya. Setelah ditutup dengan deck objek penutup, dilewatkan diatas api Bunsen untuk mempercepat proses penghancuran keratin sekaligus menghilangkan gelembung udara pada objek glass. Lalu diamati di bawah mikroskop dimulai dengan pembesaran 10 kali dan maka akan terlihat elemen-elemen jamur seperti hifa dan spora. Gambaran jamur dapat diperjelas menggunakan tinta parker biru, Chlorazol black E. Tinta parker paling sering digunakan karena mudah didapatkan. Spesimen diperiksa untuk identifikasi elemen-elemen jamur, yakni hifa atau arthospora jamur. Terdapatnya sejumlah besar filamen dalam lempeng kuku, terutama bila berupa arthospora memiliki arti diagnostik untuk dermatofita. Adanya pseudofilamen dan filamen disertai ragi di dalam dasar kuku memberi petunjuk onikomikosis disebabkan oleh Candida sp. Terdapatnya filamen-filamen tipis dan tebal, dengan bermacam-macam ukuran, bentuk dan arah di dalam dasar kuku yang sama memberi kesan infeksi campuran beberapa jamur patogen.

2. Kultur

Kultur merupakan pemeriksaan jamur, meskipun hasil pemeriksaan mikroskopis langsung negatif. Melalui kultur, spesies jamur patogen dapat identifikasi. Kegagalan pertumbuhan jamur pada medium ditemukan bila pasien telah mendapat terapi topikal atau sistemik. Kegagalan tumbuh ini juga lebih banyak pada bahan kuku dibanding kulit karena kebanyakan bahan diambil dari distal kuku dimana kebanyakan jamur sudah tua dan mati. Oleh karena itu dianjurkan untuk mengikut sertakan bahan kulit atau potongan kuku untuk pembiakan jamur pada medium. Spesimen yang dikumpulkan dicawan petri diambil dengan sengkelit yang telah disterilkan di atas api Bunsen. Kemudian bahan kuku ditanam pada dua media, media I : terdiri dari media yang mengandung antibiotik dan anti jamur Mycobitotic mycocel, media II: yang tidak mengandung antibiotik dan anti jamur PDA Potato Dextrose Agar SDA Sabouraud’s Dextrose Agar. Media diinokulasikan dalam keadaan steril, lalu diinkubasi pada suhu Universitas Sumatera Utara 24°- 28°C selama 4-6 minggu. Koloni dermatofita akan tampak setelah 2 minggu, sedangkan non dermatofita terlihat dalam seminggu, hasil negatif jika tidak tampak pertumbuhan setelah 3-6 minggu. 3. Histopatologi Pemeriksaan histopatologi dilakukan jika hasil pemeriksaan mikroskopi langsung dan kultur meragukan. Bila ditemukan hifa diagnosis banding dapat disingkirkan. Dengan pemeriksaan histopatologi dapat ditentukan apakah jamur tersebut invasif pada lempeng kuku atau daerah subungual disamping itu kedalaman penetrasi jamur dapat dilihat. Bahan untuk pemeriksaan histopatologi dapat diperoleh melalui lempeng kuku yang banyak mengandung debris dan potongan kuku. Bahan pemeriksaan histopatologi dapat langsung dimasukkan dalam parafin, atau terlebih dahulu dalam larutan formalin 10 semalaman agar jamur terfiksasi dengan baik. Kemudian blok parafin dipotong tipis hingga ketebalan 4- 10μ dengan menggunakan mikrotom dan dilakukan pewarnaan Periodic Acid Schiff PAS, dan dapat dilihat adanya hifa dan atau spora dengan menggunakan mikroskop. 4. Polymerase Chain Reaction PCR PCR adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang siklus dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda. Untai ganda DNA templat unamplified DNA dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel anneal primers pada daerah tertentu dari target DNA. Polimerase DNA digunakan untuk memperpanjang primer extend primers dengan adanya dNTPs dATP, dCTP, dGTP dan dTTP dan buffer yang sesuai. Umumnya keadaan ini dilakukan antara 20–40 siklus. Target DNA yang diinginkan short ”target” product akan meningkat secara eksponensial setelah siklus keempat dan DNA non-target long product akan meningkat secara linier seperti tampak pada bagan di atas Handoyo dan Rudiretna, 2000. Universitas Sumatera Utara Jumlah kopi fragmen DNA target amplicon yang dihasilkan pada akhir siklus PCR dapat dihitung secara teoritis menurut rumus: Y = 2 n – 2nX Y : jumlah amplicon n : jumlah siklus X : jumlah molekul DNA templat semula Jika X = 1 dan jumlah siklus yang digunakan adalah 30, maka jumlah amplicon yang diperoleh pada akhir proses PCR adalah 1.074 x 109. Dari fenomena ini dapat terlihat bahwa dengan menggunakan teknik PCR dimungkinkan untuk mendapatkan fragmen DNA yang diinginkan amplicon secara eksponensial dalam waktu relatif singkat Handoyo dan Rudiretna, 2000. Umumnya jumlah siklus yang digunakan pada proses PCR adalah 30 siklus. Penggunaan jumlah siklus lebih dari 30 siklus tidak akan meningkatkan jumlah amplicon secara bermakna dan memungkinkan peningkatan jumlah produk yang non-target. Perlu diingat bahwa di dalam proses PCR effisiensi amplifikasi tidakterjadi 100 , hal ini disebabkan oleh target templat terlampau banyak, jumlah polimerase DNA terbatas dan kemungkinan terjadinya reannealing untai target Handoyo dan Rudiretna, 2000.

2.4.6. Penatalaksanaan