Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Depresi adalah gangguan mental yang paling umum terjadi dimana seseorang berada dalam tingkat suasana hati mood yang rendah dan enggan dalam melakukan aktivitas yang mempengaruhi pikiran, perilaku, dan perasaan seseorang Salmans, 1995. Menurut World Heatlh Organization WHO, depresi dialami hampir 121 juta orang di seluruh dunia WHO, 2010. Depresi dapat terjadi pada siapa saja dari beragam latar belakang usia, etnis, dan lingkungan. WHO menyatakan bahwa depresi dialami 20 wanita, 10 pria, dan 5 remaja baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan anak-anak pun bisa mengalami depresi oleh karena situasi dan kondisi tertentu dalam kehidupannya. Salah satu subjek yang memiliki kecenderungan mengalami depresi cukup tinggi adalah ODHA Orang Dengan HIVAIDS. Menurut Direktorat Jenderal Pengenalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Ditjen PP dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI jumlah penderita HIVAIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2013 mencapai 52.348 orang baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai latar belakang usia http:spiritia.or.id . Di Yogyakarta sendiri angka penderita HIVAIDS mencapai 2442 kasus atau sekitar 33 dari keseluruhan jumlah penderita 2 HIVAIDS di Indonesia. Angka ini terhitung hingga bulan Desember 2013 http:aidsyogya.or.id . Secara umum, penderita HIVAIDS mengalami shock ketika mereka didiagnosis mengidap HIVAIDS Miller dalam Wessel-Bloom, 2004. Respon lain yang mengikuti adalah stress karena hidup dengan HIV positif dapat menjadi sangat berat. Hal ini terkait dengan rasa kehilangan, baik kehilangan pekerjaan, kehilangan dukungan orang terdekat, dan kehilangan fungsi tubuh yang seharusnya. Individu yang didiagnosa penyakit berat dapat mengalami ketakutan dan mengalami ancaman terhadap self-image, kepercayaan diri, dan identitas dirinya Kobayashi; Sugimoto; Matsuda; Matsushima; Kishimoto, 2008. Banyak bukti menjelaskan bahwa hampir setiap penyakit dipengaruhi emosi individu. Para penderita HIVAIDS seringkali mengalami ketakutan dan merasakan ketidakpastian akan kehidupan akan kehidupan yang akan mereka jalani selanjutnya Wessel-Bloom, 2004. Reaksi ketakutan individu dapat mempengaruhi tubuh dalam kinerjanya menghasilkan hormon epinefrin yang dikenal sebagai adrenalin. Hormon ini mempengaruhi munculnya emosi-emosi yang kuat seperti rasa marah atau rasa takut, serta merespon kesiapan tubuh terhadap stress Seaward, 2012. Selain reaksi yang ditimbulkan karena diagnosis HIV positif muncul, ODHA harus menghadapi penolakan dan pengabaian, serta deskriminasi dari masyarakat dimana mereka tinggal http:aidsindonesia.or.id . Berbagai reaksi dari individu secara pribadi dan reaksi masyarakat dimana para ODHA berada dapat memicu timbulnya kecemasan dan depresi pada ODHA. Kecemasan dan 3 depresi ini juga dapat timbul karena rasa ketidakpastian yang dirasakan ODHA terhadap hidupnya Miller, 1987. Biasanya simtom-simtom ini muncul sesaat setelah diagnosa HIV positif dan ketika komplikasi dari penyakit ini berkembang Wessel-Bloom, 2004. Beedham dan Wilson-Barnett 1995 melakukan studi yang memberikan hasil bahwa penderita HIVAIDS mengalami depresi dan level depresinya sangat fluktuatif tergantung kejadian dan berbagai hal terkait perkembangan penyakitnya. Ketika ODHA mengalami depresi mereka merasa tidak ada satupun hal yang dapat membantu mereka. Selain itu, mereka juga mungkin akan kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri Wessel-Bloom, 2004. Dari keseluruhan ODHA, ODHA perempuan merupakan individu yang memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami depresi Penzak, Reddy Grimsley, 2000. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung memiliki tipe hormon yang berbeda dengan laki-laki. Ketika perempuan mengalami perubahan hormon, masa-masa ini dapat menjadi pemicu depresi pada perempuan Nonacs, 2006. Penelitian yang dilakukan de Mello Malbergier 2006 terhadap perempuan dengan HIV positif menunjukkan bahwa perempuan dengan HIV positif menghadapi kesulitan secara afektif dan dalam relasi seksual terkait problem dalam pernikahan dan perceraian. Selain itu, kemungkinana adanya depresi pada perempuan dengan HIV positif dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pekerjaan, atau lingkungan geografis mereka. 4 Depresi sebenarnya merupakan gejala wajar sebagai respon normal terhadap suatu pengalaman atau kejadian dalam hidup Aditomo Retnowati, 2004. Depresi menjadi maladaptif dan abnormal bila hadir dalam intensitas yang tinggi dan menetap. Literatur psikologi membedakan depresi abnormal menjadi dua, yaitu mayor unipolar dan mania bipolar APA, 1994. Terapi untuk depresi dikembangkan dengan beberapa teori psikologi yang popular. Ada lima teori etiologi yang popular membahas depresi dan terapi untuk depresi. Kelima teori tersebut adalah teori biologis, teori psikodinamika, teori kognitif, teori behavioral, dan teori sistem keluarga Carr, 2001. Menurut teori biologis, predesposisi gangguan mood termasuk depresi mungkin diturunkan secara genetis Andrew dalam Carr, 2001. Selain itu teori biologis menjelaskan bahwa rendahnya level hormon tiroksin dan tingginya hormon kortisol memiliki pengaruh terhadap meningkatnya simtom depresi Deakin dalam Carr,2001. Dalam terapi psikodinamika, individu dibantu mengenali dan memahami emosi, pemikiran, pengalaman masa lalu, dan menggali insight sehingga problematika yang dihadapi di masa sekarang dapat dilewati. Selain itu individu juga diajak mengevaluasi pola yang mereka kembangkan selama masa hidup mereka http:goodtherapy.org . Selanjutnya terapi kognitif menyimpulkan bahwa individu mengalami depresi karena cara pandang yang salah terhadap dirinya sehingga memicu menurunnya penghargaan diri self- esteem . Rendahnya penghargaan diri inilah yang akhirnya memicu depresi. Terapi kognitif mengajak individu memposisikan kembali pola berpikir dan 5 perasaan mereka dengan perubahan yang terjadi dalam tubuhnya http:goodtherapy.org . Terapi behavioral menyimpulkan bahwa individu mengalami depresi karena berkurangnya penguatan pada diri individu sehingga terapi behavioral menekankan pemberian penguatan pada individu yang mengalami depresi. Teori terakhir yang juga membahas depresi adalah teori sistem keluarga. Teori ini menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh tekanan dalam hubungan keluarga, tidak adanya dukungan dari keluarga atau significant others, sistem kepercayaan, dan pola interaksi dalam keluarga Carr, 2001. Terapi menurut teori ini menekankan kepada pemberian perhatian caregiving dan peningkatan pola interaksi keluarga yang lebih baik. Terapi depresi lain yang menjadi populer adalah terapi tari atau dikenal dengan DanceMovement Therapy DMT. Terapi tari merupakan cabang termuda dari terapi seni art therapy dimana dalam penelitian yang pernah dilakukan Wessels-Bloom 2004 terhadap pasien ODHA memunculkan hasil yang positif. Melalui terapi tari ini, ODHA secara umum mengalami peningkatan dalam kondisi kesehatannya Wessels-Bloom, 2004. Peningkatan ini dipengaruhi oleh meningkatnya kekebalan tubuh para ODHA yang dicapai melalui penguatan konstruk psikologis tertentu seperti stress, dukungan sosial, serta penghargaan diri yang diperoleh melalui DMT Wessels-Bloom, 2004. Terapi tari sendiri didefnisikan oleh American DanceMovement Therapy ADMT UK pada tahun 2004 sebagai berikut “dancemovement therapy is the psychotherapeutic use of movement and dance through which a person can 6 engage creatively in a process to further their emotional, cognitive, physical, and social integration” Karkou Sanderson, 2006. Ritter Low 1996, 1998 melakukan meta analisis di US dan dikalkulasi ulang oleh Cruz Sabers 1998 menunjukkan bahwa terapi tari terbukti efektif menurunkan stress dan meningkatkan kesehatan bagi klien atau pasien dengan berbagai kesulitan kronis, pasien kanker payudara, pecandu alkohol, serta individu dengan gangguan mental tertentu Karkou Sanderson, 2006. Lebih dari itu, terapi tari juga dapat diterapkan pada semua individu dari berbagai latar belakang usia dan ras serta dapat dilakukan secara individu, berpasangan, ataupun kelompok http:adta.org Fleksibilitas terapi tari yang dapat diterapkan dalam berbagai latar belakang budaya dan ras membuat terapi tari dipilih untuk terapi depresi yang baik Seide, 1986. Berbeda dengan terapi seni lain seperti terapi musik, terapi gambar, dan terapi teater yang perlu penyesuaian terkait latar belakang budaya dan ras serta terkadang mensyaratkan terapi dilakukan secara kelompok Behrends; Muller; Dziobek, 2012. Terapi tari secara biologis terbukti dapat meningkatkan kemampuan seseorang sehingga tidak rentan terhadap depresi dan stress dengan meregulasi tingkat hormon serotonin dan dopamin. Kedua hormon tersebut membantu individu yang memiliki perasaan terisolasi karena situasi depresi karena AIDS merupakan penyakit yang mengisolasi penderitanya Penzak et.al, 2000. Lebih dari itu, menari juga meningkatkan kepercayaan diri yang akan membantu individu meningkatkan self-esteem. 7 Perilaku non-verbal seperti tari mentransformasikan berbagai hal yang tidak dapat dituangkan dalam tulisan atau kata-kata atau gambar, sehingga terapi keratif ini memegang peranan penting dalam konseling interkultur dan psikoterapi karena hampir secara keseluruhan menyentuh tingkat ketidaksadaran Wessels-Bloom, 2004. Tujuan terapi tari sendiri adalah untuk membebaskan emosi-emosi yang ditekan dan disimpan dalam tubuh sebagai tekanan dan keyakinannya terhadap nilai pelepasan katarsis tari Chodrow, 2008. Selanjutnya, terapi tari dapat meningkatkan komunikasi dimana individu dapat memanfaatkan ini sebagai sarana menjauhkan diri dari tekanan, kecemasan, kemarahan, mengurangi depresi, serta meningkatkan dan mengkonstitusi ulang bentuk tubuhnya Seide, 1986. Terapi tari dapat diterapkan dalam berbagai latar belakang budaya dengan prinsip dasar bahwa bahasa tubuh merupakan bentuk komunikasi paling dasar yang dapat dipahami di berbagai budaya.

B. Rumusan Masalah