. Efektifitas Ivermectin Dan Albendazole Terhadap Nematoda Gastrointestinal Pada Domba Dengan Sistem Pemeliharaan Berbeda.

(1)

EFEKTIFITAS IVERMECTIN DAN ALBENDAZOLE

TERHADAP NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA

DOMBA DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN BERBEDA

SILVIA PUSPITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektifitas Ivermectin dan Albendazole terhadap Nematoda Gastrointestinal pada Domba dengan Sistem Pemeliharaan Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015 Silvia Puspitasari NIM G352120111


(4)

RINGKASAN

SILVIA PUSPITASARI. Efektifitas Ivermectin dan Albendazole terhadap Nematoda Gastrointestinal pada Domba dengan Sistem Pemeliharaan Berbeda. Dibimbing oleh ACHMAD FARAJALLAH dan ERNI SULISTIAWATI.

Nematoda gastrointestinal menjadi masalah utama pada ternak ruminansia kecil yang menyebabkan timbulnya penyakit, kematian, dan penurunan produksi. Nematoda gastrointestinal pada domba dapat dikontrol dengan obat anti cacing (antihelminth) dengan spektrum luas, yaitu ivermectin (IVM) dan albendazole (ABZ). Namun, penggunaannya yang intensif disertai dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi nematoda gastrointestinal terhadap antihelminth. Pada penelitian ini, pemberian antihelminth 1 kali dosis merupakan dosis yang direkomendasikan oleh produsen obat, pemberian antihelminth setengah dosis untuk deteksi dini terjadinya resistensi, dan pemberian kombinasi antihelminth untuk memperlambat resistensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efektifitas antihelminth IVM dan ABZ baik yang diberikan secara terpisah dengan satu dosis maupun setengah dosis dan kombinasi pada domba yang dikandangkan dan digembalakan yang secara alami terinfeksi nematoda gastrointestinal.

Sampel feses domba yang dikandangkan dikoleksi dari peternak domba di Ciampea dan sampel feses domba yang digembalakan dikoleksi dari Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan, IPB. Sebanyak 12 domba pada masing-masing tempat penelitian dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan perlakuan pemberian antihelminth: IVM ½ dosis, IVM 1 dosis, ABZ ½ dosis, ABZ 1 dosis, dan kombinasi (IVM+ABZ), dan kelompok kontrol sebagai kelompok yang tidak diberi perlakuan antihelminth. Feses dikoleksi langsung dari rektum domba pada hari ke-0 (sebelum perlakuan) dan setelah perlakuan pada hari ke-7, 14, 21, 28, 35, dan 42 untuk dilakukan faceal egg count (FEC). Penentuan efektifitas antihelminth didasarkan pada standar uji untuk mendeteksi resistensi yaitu faecal egg count reduction test (FECRT). Faecal egg count reduction (FECR) merupakan metode deteksi resistensi secara mikroskopik dari FEC nematoda gastrointestinal pada sampel feses yang diambil sebelum dan sesudah pemberian antihelminth.

Perlakuan IVM 1 dosis efektif dalam melawan nematoda gastrointestinal sampai hari ke-28 pada domba yang dikandangkan dengan nilai FECR 100%. IVM 1 dosis efektif dalam melawan nematoda gastrointestinal sampai hari ke-21 pada domba yang digembalakan dengan nilai FECR sebesar 100%. Nematoda gastrointestinal menujukkan adanya resistensi terhadap albendazole (ABZ) 1 dosis baik pada domba yang dikandangkan maupun yang digembalakan. Perlakuan kombinasi efektif melawan nematoda gastrointestinal pada domba yang dikandangkan sampai hari ke-21 dengan FECR 100%. Perlakuan kombinasi efektif melawan nematoda gastrointestinal pada domba yang digembalakan sampai hari ke-14 dengan FECR 100%. Nematoda gastrointestinal menunjukkan terjadinya resistensi terhadap perlakuan IVM ½ dosis dan ABZ ½ dosis baik pada domba yang dikandangkan maupun yang digembalakan. IVM 1 dosis efektif dalam melawan nematoda gastrointestinal baik pada domba yang dikandangkan maupun yang digembalakan. Perlakuan kombinasi lebih efektif melawan


(5)

nematoda gastrointestinal dibandingkan dengan pemberian ABZ 1 dosis baik pada domba yang dikandangkan maupun yang digembalakan.

Keefektifan IVM terkait dengan belum intensifnya penggunaannya untuk kontrol nematoda. Frekuensi penggunaan antihelminth mempengaruhi perkembangan resistensi antihelminth. IVM masih jarang digunakan oleh peternak karena selain harganya mahal, cara pemberian antihelminth secara injeksi mempersulit peternak untuk melakukannya sendiri. Rendahnya aktifitas ABZ dalam tubuh domba diduga disebabkan karena hilangnya zat aktif selama proses metabolisme dalam saluran pencernaan karena pemberian secara oral dan terkait dugaan terjadinya resistensi. Resistensi nematoda gastrointestinal terhadap ABZ disebabkan karena ABZ merupakan antihelminth yang paling banyak digunakan peternak. Selain harganya yang terjangkau, cara pemberian antihelminth secara oral lebih mudah dilakukan oleh peternak sendiri.


(6)

SUMMARY

SILVIA PUSPITASARI. Effectiveness of Ivermectin and Albendazole against Gastrointestinal Nematodes in Sheep with Difference Breeding Systems. Supervised by ACHMAD FARAJALLAH and ERNI SULISTIAWATI.

Gastrointestinal nematodes become a major problem in small ruminants causing disease, death, and decreased of production. Gastrointestinal nematodes in sheep can be controlled with a broad spectrum anthelmintic such as ivermectin (IVM) and albendazole (ABZ). However, intensive us of anthelmintic with improper dosage can cause resistance of gastrointestinal nematode to the anthelmintic. In this study, a full-dose anthelmintic is the recommended dose by the manufactur, a half-dose antielminth for the early detection of resistancy, and a combination antihelminth to slow the development of resistance. The aim of this study was to review the effectiveness both of anthelmintic IVM and ABZ administered separately as a full-dose or a half-dose and co-administered in stabled and grazing sheep that naturally infected with gastrointestinal nematode.

Faecal samples in stabled sheep was collected from farmer in Ciampea. Faecal samples in grazing sheep was collected from Jonggol Animal Science Teaching and Research Unit (JASTRU), Faculty of Animal Science, IPB. Twelve sheep from each study sites divided into six groups based on anthelmintics treatment: half-dose IVM, full-dose IVM, half-dose ABZ, full-dose ABZ, combined (IVM+ABZ), and control group as a group that untreated anthelmintic. Faeces were collected directly from the rectum of sheep on day 0 (pre-treatment) and post-treatment on day 7, 14, 21, 28, 35, and 42 in order to calculate faecal egg count (FEC). Determination of the effectiveness of anthelmintic based on a standard test to detect resistance i.e. faecal egg count reduction test (FECRT). Faecal egg count reduction (FECR) based on microscopic detection of faecal egg count of gastrointestinal nematodes in faecal samples that taken before and after administration of anthelmintic.

Full-dose IVM effective against gastrointestinal nematodes until day 28 in stabled sheep with FECR value was 100%. Full-dose IVM effective against gastrointestinal nematodes until day 21 in grazing sheep with FECR value was 100%. Gastrointestinal nematodes showed that they were resistance to full-dose ABZ of either stabled and grazing sheep. Combined treatment effective against gastrointestinal nematodes in stabled sheep until day 21 with FECR value was 100%. Combined treatment effective against gastrointestinal nematodes in grazing sheep until day 14 with FECR value was 100%. Gastrointestinal nematodes showed that they were resistance to half-dose IVM and half-dose ABZ of either stabled and grazing sheep. Full-dose IVM effective against both gastrointestinal nematode in stable and grazing sheep. Combined treatment was more effective against gastrointestinal nematode compared with full-dose ABZ in stable and grazing sheep.

Effectiveness of IVM associated with not intensively of using it to nematode control. Frequency of anthelmintic use affects the development of anthelmintic resistancy. IVM is still rarely used by the farmers because besides the price is expensive, the route of administration by injection involved the farmers to do themselves. Low activity of ABZ was caused by loss of active substance during


(7)

the metabolic processes in the digestive tract because of oral administration and occurence of resistance. Resistance of gastrointestinal nematode to ABZ was caused by widely used of anthelmintic by the farmers. In addition to its affordability, the oral mode of administration anthelmintic more easily done by the farmers.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biosains Hewan

EFEKTIFITAS IVERMECTIN DAN ALBENDAZOLE

TERHADAP NEMATODA GASTROINTESTINAL PADA

DOMBA DENGAN SISTEM PEMELIHARAAN BERBEDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan Mei 2014 dengan judul Efektifitas Ivermectin dan Albendazole terhadap Nematoda Gastrointestinal pada Domba dengan Sistem Pemeliharaan Berbeda.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad Farajallah, M Si dan Ibu Dr drh Erni Sulistiawati, SP1 selaku pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, nasihat, dan motivasi serta Bapak Dr drh Yusuf Ridwan, M Si selaku penguji luar komisi pada ujian tesis atas saran untuk perbaikan tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Unggulan (BU) DIKTI 2012, Bapak Prof. Muladno Basar atas bantuan dana penelitian. Terima kasih penulis ucapkan untuk Bapak Ngkuh dan tim dari Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan, IPB atas kerja samanya untuk kelancaran penelitian. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada Wildan NM, Wahyuddin Abd. Karim, Adrien Jems Akiles Unitly, dan Ibu Tini yang telah membantu sehingga penelitian ini bisa berjalan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada bapak dan ibu pengajar Biosains Hewan (BSH) atas segala ilmu, bimbingan, pengalaman, motivasi, dan nasihatnya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman BSH angakatan 2012 atas kebersamaan, keceriaan, solidaritas, kehangatan yang telah diberikan. Teriam kasih juga penulis sampaikan untuk keluarga besar Zoocorner; Gita Swara Pascasarjana (GSP) IPB atas kebersamaannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015 Silvia Puspitasari


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan Penelitian 2

1.3 Manfaat Penelitian 2

2 METODE PENELITIAN 2 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian 2 2.2 Hewan Eksperimen 2 2.3 Antihelminth 3 2.4 Desain Penelitian 3

2.5 Faecal Egg Count (FEC) 3

2.6 Analisis Data 3

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 3.1 Faecal Egg Count (FEC) 4 3.1.1 Telur Nematoda Gastrointestinal 4

3.1.2 FEC Domba yang Dikandangkan 5

3.1.3 FEC Domba yang Digembalakan 6

3.1.4 Hubungan FEC dengan Usia Hewan dan Pakan 7

3.1.5 Hubungan FEC dengan Biologi Perkembangan Nematoda 7

3.2 Faecal Egg Count Reduction (FECR) 8 3.2.1 FECR Domba yang Dikandangkan 8

3.2.2 FECR Domba yang Digembalakan 12

4 SIMPULAN 13 DAFTAR PUSTAKA 13 LAMPIRAN 18


(14)

DAFTAR TABEL

1 Formulasi perlakuan, cara pemberian, dan dosis antihelminth 3 2 FECR (%) dan efektifitas antihelminth dalam melawan nematoda

gastrointestinal pada domba yang dikandangkan 10

3 FECR (%) dan efektifitas antihelminth dalam melawan nematoda gastrointestinal pada domba yang digembalakan 11

DAFTAR GAMBAR

1 Telur nematoda gastrointestinal pada domba yang dikandangkan dan

digembalakan 4

2 Faecal Egg Count (FEC) pada nematoda gastrointestinal (a) domba

yang dikandangkan, (b) domba yang digembalakan 5

DAFTAR LAMPIRAN

1 a. Hewan eksperimen domba yang dikandangkan 18

b. Hewan eksperimen domba yang digembalakan

2 (a) tagging hewan eksperimen, (b) penimbangan bobot badan hewan eksperimen, (c) pemberian ivermectin secara injeksi subkutan, (d) pemberian albendazole secara oral, (e) dan (f) pengambilan sampel

feses 19

3 Antihelminth berspektrum luas (a) ivermectin, (b) albendazole 20


(15)

1

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nematoda gastrointestinal menjadi masalah utama pada ternak ruminansia kecil yang menyebabkan penyakit, kematian, dan penurunan produksi (Bekele et al. 1992; Wanyangu dan Bain 1994; Zainalabidin et al. 2014). Nematoda gastrointestinal sebagai penyebab nematodiasis yang dilaporkan terjadi di Indonesia adalah dari genus Haemonchus, Trichostrongylus, dan Oesophagostomum (Hanafiah et al. 2002; Suhardono et al. 2002; Beriajaya 2005).

Nematoda gastrointestinal pada ruminansia kecil dapat dikontrol dengan obat anti cacing (antihelminth) berspektrum luas. Ivermectin (IVM) merupakan anggota antihelminth dari kelas makrosiklik lakton. IVM merupakan campuran dari dua avermectins yaitu 22,23-dihydroavermectin-B1a dan 22,23 dihydroavermectin-B1B (Campbell dan Benz 1984). IVM adalah zat yang bersifat lipofilik, yang larut dalam sebagian besar pelarut organik, tetapi praktis tidak larut dalam air. IVM berspektrum luas dalam melawan endoparasit dan ektoparasit (Campbell et al. 1983). Mode aksi IVM adalah melepaskan dan mengikat subunit

α sebagai reseptor glutamate-gated chloride channels (GluCl) di sinapsis saraf

tertentu (Wolstenholme 2011) yang menghambat proses memakan, fekunditas, dan motilitas nematoda (Yates et al. 2003). Albendazole (ABZ) merupakan salah satu anggota dari kelas kimia Benzimidazole (BZ) dengan senyawa metil karbamat, berspektrum luas dalam melawan nematoda gastrointestinal, trematoda, dan cestoda (Campbell 1990). Mode aksi ABZ pada nematoda adalah mengikat dengan afinitas tinggi β-tubulin yang menghambat dimerisasi dengan α-tubulin dalam pembentukan mikrotubulus pada sel nematoda (Wolstenholme 2011). Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi serap sehingga nematoda mengalami kematian karena kelaparan dan terjadinya penghambatan produksi telur (Mehlhorn, 2008).

Antihelminth berspektrum luas sangat efektif untuk mengurangi infeksi nematoda gastrointestinal. Namun, penggunaannya yang terus-menerus disertai dosis yang tidak tepat dapat menimbulkan resistensi nematoda gastrointestinal terhadap antihelminth. Resistensi terjadi ketika sebagian dari populasi dapat mentolerir dosis suatu senyawa yang efektif terhadap populasi lain dari spesies yang sama dan resistensi tersebut akan menurun ke generasi berikutnya (Prichard et al. 1980). Beberapa penelitian pada domba di Indonesia menunjukkan terjadinya resistensi nematoda gastrointestinal terhadap ABZ, yaitu dari genus Haemonchus, Oesophagostomum, Trichostrongylus, Cooperia, dan Bunostomum (Ridwan 2000; Haryuningtyas 2001; Beriajaya et al.2002).

Penentuan efektifitas antihelminth didasarkan pada standar uji untuk mendeteksi resistensi yang telah disusun oleh WAAVP (World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology) oleh Coles et al. (1992). Salah satu uji yang umum dilakukan di lapang dan dapat mendeteksi resistensi antihelminth untuk semua kelas obat secara bersamaan adalah Faecal Egg Count Reduction Test (FECRT) (El-Abdellati et al. 2010). FECRT merupakan uji in vivo dengan menggunakan hewan percobaan dan deteksi dilakukan secara mikroskopik dari Faecal Egg Count (FEC) parasit gastrointestinal pada sampel feses sebelum dan sesudah pemberian antihelminth (Coles et al. 1992).


(16)

2

Pemberian antihelminth satu kali dosis merupakan dosis yang direkomendasikan oleh produsen obat. Sedangkan untuk pemberian antihelminth setengah dosis bertujuan untuk deteksi dini terjadinya resistensi (Palmer et al. 2000; Hughes et al. 2005). Kombinasi antihelminth merupakan salah satu upaya untuk memperlambat resistensi (Coles 2005; Leathwick et al. 2009). Istilah kombinasi mengacu pada formulasi campuran dari dua atau lebih kelas kimia antihelminth yang berbeda dengan spektrum aksi yang sama dan mekanisme aksi yang berbeda (Bartram et al. 2012).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efektifitas antihelminth IVM dan ABZ baik yang diberikan secara terpisah dengan satu dosis maupun setengah dosis dan kombinasi pada domba yang dikandangkan dan yang digembalakan yang secara alami terinfeksi nematoda gastrointestinal.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang penggunaan antihelminth yang efektif sebagai kontrol nematoda gastrointestinal dan mengetahui perkembangan resistensi antihelminth pada domba baik yang dikandangkan maupun yang digembalakan. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk pengendalian nematoda gastrointestinal.

2

METODE PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan Mei 2014. Sampel feses domba yang dikandangkan dikoleksi dari dari peternak domba di Ciampea. Sampel feses domba yang digembalakan dikoleksi dari Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan, IPB. Pengamatan dan identifikasi telur cacing dilakukan di Laboratorium Fisiologi dan Perilaku, Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

2.2 Hewan Eksperimen

Hewan eksperimen adalah domba yang dikandangkan dan digembalakan dengan usia sekitar 3-4 bulan, yang secara alami terinfeksi nematoda gastrointestinal. Sebanyak 12 ekor domba yang dikandangkan, diberi pakan rumput dan air secara ad libitum. Sebanyak 12 ekor domba yang digembalakan, dilepas bebas di padang rumput. Tagging dan penimbangan bobot badan domba dilakukan terlebih dahulu untuk pemberian dosis antihelminth (Lampiran 2).


(17)

3

2.3 Antihelminth

IVM yang digunakan dengan merk dagang Ivomec Super dalam bentuk larutan injeksi. ABZ yang digunakan dengan merk dagang Kalbazen® -SG-Albendazole 19 mg/ml dalam bentuk suspensi oral. Formulasi komersial dari IVM disediakan oleh Merial (Brazil) dan ABZ oleh Kalbe Animal Health (Indonesia) (Lampiran 3).

Tabel 1 Formulasi perlakuan, cara pemberian, dan dosis antihelminth Perlakuan

Formulasi Cara pemberian Dosis

Kontrol (tanpa pemberian antihelminth) - -

IVM ½ dosis Injeksi subkutan ½ ml/50 kg BB

IVM 1 dosis Injeksi subkutan 1 ml/50 kg BB

ABZ ½ dosis Oral ½ ml/5 kg BB

ABZ 1 dosis Oral 1 ml/5 kg BB

Kombinasi (IVM ½ dosis+ABZ ½ dosis) Subkutan+oral (½ml/50kg+½ml/5kg) BB Keterangan: IVM = ivermectin, ABZ = albendazole, BB = bobot badan

2.4 Desain Penelitian

Domba eksperimen dengan jumlah telur lebih dari 150 per gram feses/egg per gram (EPG), masing-masing dikelompokkan menjadi enam kelompok berdasarkan perlakuan pemberian antihelminth (Tabel 1). Pengambilan sampel feses sebagai objek dari penelitian, untuk setiap perlakuan dilakukan pada hari ke-0 (sebelum perlakuan antihelminth). Selanjutnya setelah perlakuan pada hari ke-7, 14, 21, 28, dan 35. Feses diambil langsung dari rektum domba. Di laboratorium, feses disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu  40C. (Hansen dan Perry 1994).

2.5 Faecal Egg Counts (FEC)

Metode Faecal Egg Count (FEC) dilakukan dengan menghitung total telur dengan teknik modifikasi McMaster dengan satu telur dihitung sama dengan 15 EPG. Teknik modifikasi Mc Master menggunakan larutan pengapung, yaitu larutan garam jenuh. Pengapungan sederhana yang menggunakan prinsip perbedaan berat jenis antara partikel feses dengan larutan pengapung sehingga menyebabkan telur mengapung ke permukaan cairan. Feses sebanyak dua gram digerus dan ditambahkan dengan 60 ml garam jenuh, diaduk sampai homogen. Cairan yang paling atas diambil dengan pipet dan dimasukkan ke dalam slide penghitung Mc Master untuk diamati di bawah mikroskop (modifikasi Southwell et al. 2008). Identifikasi nematoda gastrointestinal berdasarkan Foreyt (2001). Karakter telur cacing nematoda gastrointestinal yang diamati adalah ukuran (panjang dan lebar), bentuk, dan tahap perkembangan.

2.6 Analisis Data

Masing-masing pengambilan sampel feses dihitung rataan aritmatik FEC sesuai rekomendasi dari WAAVP oleh Coles et al. (1992). Interval waktu untuk estimasi efektifitas antihelminth tergantung pada kelompok antihelminth yang digunakan. Coles et al. (2006) merekomendasikan pengkoleksian sampel feses untuk perhitungan efektifitas antihelminth adalah pada 8-10 hari setelah


(18)

4

pemberian benzimidazole dan 14-17 hari setelah pemberian makrosiklik lakton. Apabila deteksi dilakukan pada beberapa antihelminth pada peternakan yang sama, pengkoleksian sampel feses untuk perhitungan efektifitas antihelminth pada hari ke-14. Faecal Egg Count Reduction (FECR) dihitung dengan menggunakan rumus dari El-Abdellati et al. 2010:

FECR (%) = 100 x [1-(T2/T1)]

T1 adalah rataan FEC pre-treatment pada kelompok yang diberi perlakuan. T2 adalah rataan FEC post-treatment pada kelompok yang diberi perlakuan. Menurut Coles et al. (1992), apabila terdapat 2 kriteria, yaitu % reduksi pada FEC

≤ 95% dan lower confidence limit 95% ≤ 90%, maka status keefektifan

antihelminth dinyatakan resisten. Apabila hanya satu dari dua kriteria tersebut yang ditemukan maka status keefektifan antihelminth dinyatakan diduga resisten.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Faecal Egg Count (FEC)

Telur nematoda gastrointestinal pada domba yang dikandangkan dan digembalakan disajikan dalam Gambar 1. FEC nematoda gastrointestinal masing-masing perlakuan dari sebelum perlakuan (hari ke-0) dan setelah perlakuan (hari ke-7 sampai 35) disajikan dalam Gambar 2.

3.1.1 Telur Nematoda Gastrointestinal

Gambar 1 Telur nematoda gastrointestinal pada domba yang dikandangkan dan digembalakan

Berdasarkan pemeriksaan feses pada domba yang dikandangkan dan digembalakan, jenis telur nematoda yang ditemukan adalah tipe telur strongylid. Tipe telur strongylid merupakan tipe telur pada ordo Strongylida. Bentuk telur dari tipe strongylid adalah oval, berdinding tebal, dan berisi kluster sel (morula) (Zajac dan Conboy 2012). Menurut Bowman (2009), ordo Strongylida terdiri dari empat superfamili, yaitu Strongyloidea, Trichostrongyloidea, Anclyostomatoidea,


(19)

5 0 500 1000 1500 2000 2500

0 7 14 21 28 35

F E C (e p g )

Hari ke-

Kontrol IVM 1/2 dosis IVM 1 dosis ABZ 1/2 dosis ABZ 1 dosis Kombinasi 0 500 1000 1500 2000 2500

0 7 14 21 28 35

F E C (e p g )

Hari ke-

Kontrol IVM 1/2 dosis IVM 1 dosis ABZ 1/2 dosis ABZ 1 dosis Kombinasi

dan Metastrongyloidea. Pada ruminansia umumnya terinfeksi dari superfamili Strongyloidea dan Trichostrongyloidea.

3.1.2 FEC Domba yang Dikandangkan

FEC pada perlakuan kontrol menunjukkan adanya peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal (Gambar 2a). Penambahan jumlah telur pada hari ke-21 disebabkan karena diperlukan 18-21 hari untuk larva nematoda gastrointestinal berkembang menjadi cacing dewasa dan memproduksi telur (Monnig 1950).

FEC pada perlakuan IVM ½ dosis mengalami peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal. Menurut De Graef et al. (2013), konsentrasi di bawah dosis dapat mengurangi bioavailabilitas antihelminth.

Gambar 2 Faecal Egg Count (FEC) pada nematoda gastrointestinal (a) domba yang dikandangkan, (b) domba yang digembalakan

FEC pada perlakuan IVM 1 dosis menunjukkan adanya penurunan jumlah telur nematoda gastrointestinal sampai level 0 pada hari ke-7 sampai 28. Keefektifan IVM terkait dengan cara pemberian antihelminth. Pemberian IVM 1 (b)


(20)

6

dosis secara injeksi mampu menurunkan jumlah telur nematoda gastrointestinal daripada pemberian secara oral (Maciel et al. 1996). Menurut Marriner et al. (1987), pemberian IVM secara injeksi menyebabkan waktu tinggalnya menjadi lebih lama sehingga konsentrasi obat dalam plasma menjadi tinggi sehingga menyebabkan IVM mampu menghambat perkembangan larva (Dash 1986). Selain itu, keefektifan IVM diduga karena belum intensifnya penggunaan IVM oleh peternak untuk pengendalian nematoda gastrointestinal. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Yacob et al. (2009) menunjukkan bahwa IVM 1 dosis mampu menurunkan jumlah telur Haemonchus sampai level 0 pada hari ke-7 sampai 21 karena jarangnya penggunaan IVM sebagai pengendali nematoda gastrointestinal.

FEC pada perlakuan ABZ ½ dosis mengalami peningkatan jumlah telur. Menurut Smith et al. (1999), pemberian antihelminth di bawah dosis yang direkomendasikan memiliki waktu paruh obat yang lebih pendek. Angka kematian nematoda gastrointestinal disebabkan karena kerja antihelminth diwakili dengan penurunan seketika di awal pemberian antihelminth. Hal ini diperkuat oleh De Graef et al. (2013) yang menyatakan bahwa konsentrasi di bawah dosis dapat mengurangi bioavailabilitas antihelminth.

FEC pada perlakuan ABZ 1 dosis mengalami peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal. Aktivitas ABZ 1 dosis yang tidak efektif dalam tubuh domba diduga disebabkan karena hilangnya zat aktif selama proses metabolisme dalam saluran pencernaan. Menurut Alvarez et al (2000), keefektifan ABZ ditentukan dengan sampainya zat aktif dari antihelminth pada nematoda gastrointestinal yang menjadi target. Pemberian antihelminth secara oral melewati rute panjang, yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum sehingga dimungkinkan zat aktif antihelminth tersebut hilang sebelum sampai di abomasum sebagai target lokasi nematoda gastrointestinal.

FEC pada perlakuan kombinasi mengalami penurunan jumlah telur nematoda gastrointestinal. Sejalan dengan penelitian Entrocasso et al. (2008) yang menunjukkan bahwa setelah pemberian kombinasi IVM dan ABZ terjadi penurunan jumlah telur nematoda gastrointestinal yang disebabkan adanya aksi sinergis kedua antihelminth tersebut untuk melawan nematoda gastrointetsinal. 3.1.3 FEC Domba yang Digembalakan

FEC nematoda gastrointestinal masing-masing perlakuan dari sebelum perlakuan (hari ke-0) dan setelah perlakuan (hari ke-7 sampai 35) pada domba yang digembalakan (Gambar 2b). FEC pada perlakuan kontrol mengalami peningkatan jumlah telur, terutama pada hari ke-7 sampai 28. Interval waktu 21 hari merupakan waktu untuk larva nematoda gastrointestinal berkembang menjadi cacing dewasa dan memproduksi telur, yaitu antara 18-21 hari (Anderson 2000).

FEC pada perlakuan IVM ½ dosis memperlihatkan adanya peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal. Pemberian antihelminth di bawah dosis yang direkomendasikan memiliki waktu paruh obat yang lebih pendek (Smith et al. 1999), sehingga domba lebih mudah terkena reinfeksi nematoda gastrointestinal.

FEC pada perlakuan IVM 1 dosis menunjukkan adanya penurunan jumlah telur nematoda gastrointestinal sampai level 0 pada hari ke-7 sampai 21 yang diduga terkait dengan karakteristik utama dari IVM adalah bersifat lipofilik tinggi. Menurut Canga et al. (2009), IVM yang lipofiliknya tinggi menyebabkan senyawa


(21)

7

aktifnya terdistribusi secara ekstensif sepanjang tubuh, terkonsentrasi terutama di jaringan adiposa, dan bersifat slow release pada reservoir lipid sehingga memperpanjang waktu tinggal obat dalam aliran darah. Disebabkan karena sifatnya yang slow release, menurut Dash (1986), IVM dapat menghambat perkembangan larva.

FEC pada perlakuan ABZ ½ dosis mengalami peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal. Hal ini diduga karena konsentrasi ABZ yang rendah menyebabkan antihelminth tidak efektif dalam melawan nematoda gastrointestinal. Sejalan dengan Lanusse dan Prichard (1993) yang melaporkan bahwa aktivitas ABZ tergantung pada kemampuan zat aktif untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi di lokasi parasit pada inang.

FEC pada perlakuan ABZ 1 dosis mengalami peningkatan jumlah telur. Hal ini diduga karena pada peternakan di UP3J menggunakan ABZ sebagai kontrol nematoda gastrointestinal. Hasil penelitian Keyyu et al. (2002) menunjukkan bahwa pemberian ABZ 1 dosis memperlihatkan peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal yang disebabkan penggunaan ABZ yang intensif sebagai kontrol nematoda gastrointestinal.

FEC pada perlakuan kombinasi mampu menurunkan jumlah telur sampai hari ke-21, sedangkan untuk hari ke-28 sampai 35 terjadi peningkatan jumlah telur. Menurut beberapa hasil penelitian, setelah pemberian kombinasi IVM dan fenbendazole (Mwamachi et al. 1995) dan IVM dan oxfendazole (Pomroy et al. 1992) mampu menurunkan jumlah telur nematoda gastrointestinal yang disebabkan adanya aksi sinergis dari kedua antihelminth tersebut.

3.1.4 Hubungan FEC dengan Usia Hewan dan Pakan

Perkembangan populasi nematoda gastrointestinal dipengaruhi oleh faktor inang yaitu usia hewan, pengelolaan pakan (nutrisi), dan sistem imunitas (Lanusse dan Prichard 1993). Penelitian ini menggunakan domba dengan usia 3-4 bulan. Domba yang berusia di bawah 6 bulan memiliki perkembangan imunitas yang sangat rendah terhadap nematoda gastrointestinal (Lyod dan Soulsby 1987). Selain itu, faktor nutrisi terutama kandungan protein dari pakan juga mempengaruhi laju perkembangan imunitas terhadap infeksi parasit (Gibson 1983). Domba dalam penelitian ini hanya mengandalkan pakan seperti jerami dan rerumputan yang memiliki tingkat protein yang rendah.

3.1.5 Hubungan FEC dengan Biologi Perkembangan Nematoda

Biologi perkembangan nematoda gastrointestinal berbeda-berbeda, yaitu langsung dan tidak langsung (membutuhkan inaang perantara). Nematoda gastrointestinal yang ditemukan pada penelitian ini adalah telur nematoda yang bertipe strongylid yang umumnya memiliki siklus hidup langsung yang terdiri dari dua fase, yaitu fase hidup bebas dan fase parasitik. Fase hidup bebas dimulai dengan keluarnya telur yang dihasilkan cacing betina bersama dengan feses ke lingkungan. Telur selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva 1 (L1), L1 terjadi ekdisis menjadi larva 2 (L2). L1 dan L2 hidup dengan sumber energi dari bakteri yang dimakannya. Ekdisis selanjutnya yaitu L2 menjadi L3 (larva infektif) yang memiliki dua selubung sehingga L3 tahan terhadap lingkungan yang ekstrem (kekeringan dan udara dingin). L3 akan aktif bergerak menaiki rerumputan yang berembun pada malam dan pagi hari.Fase parasitik berlangsung dalam tubuh


(22)

8

inang, dimulai saat larva yang dihasilkan menginfeksi kembali inang secara oral lewat memakan rumput (Monnig 1950). Setelah mengalami moulting (pelepasan selubung kutikula) di dalam abomasum, L3 berkembang menjadi larva 4 (L4) dan menjadi cacing dewasa. Cacing betina menghasilkan telur pada hari 18-21 setelah infeksi. Haemonchus merupakan salah satu nematoda gastrointestinal dengan produksi telur yang tinggi. Cacing dewasa betina Haemonchus bertelur sekitar 5.000-10.000 telur per hari, Ostertagia sekitar 100-200 telur per hari (Monnig 1950). Dikarenakan siklus hidupnya yang langsung, maka interval generasinya menjadi pendek.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi nematoda gastrointestinal paling tinggi ditemukan pada domba yang digembalakan. Domba yang dikandangkan dan diberi pakan di kandang dapat mengurangi resiko infeksi nematoda gastrointestinal. Domba yang dilepas untuk mencari pakan di siang hari dan malamnya dikandangkan, memiliki resiko infeksi nematoda gastrointestinal yang lebih tinggi. Menurut Tembely et al. 1997 dan Waller et al. 2004 menyatakan bahwa domba dilepas di padang rumput lebih rentan terkena beberapa infeksi parasit terutama nematoda gastrointestinal. Perkembangan larva infektif (L3) dalam feses, bermigrasi ke rerumputan, dan lokasi parasit pada rerumputan merupakan faktor kunci dalam transmisi parasit ke ternak yang dipelahara secara ekstensif. Hal ini disebabkan karena padang rumput merupakan lingkungan yang mendukung perkembangan, kelangsungan hidup, dan transmisi parasit.

3.2 Faecal Egg Count Reduction (FECR) 3.2.1 FECR Domba yang Dikandangkan

FECR pada perlakuan IVM ½ dosis berkisar -13 sampai 93% (Tabel 2). Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi. Adanya resistensi pada IVM ½ dosis menjadi peringatan untuk terjadinya resistensi IVM 1 dosis. Menurut Entrocasso et al. (2008), dosis setengah mungkin menandakan kegagalan yang akan datang pada tingkat dosis terapi.

FECR pada perlakuan IVM 1 dosis mencapai 100% sampai pada hari ke-28 (Tabel 2). FECR yang tinggi memperlihatkan adanya efektifitas perlakuan IVM 1 dosis yang mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-28. Efektifitas IVM diduga karena peternak masih banyak yang belum menggunakan IVM untuk pengendalian nematoda gastrointestinal karena harga IVM di pasaran yang sangat mahal dan pemberian antihelminth secara injeksi yang menyulitkan peternak untuk melakukannya sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Waller et al. (1989) dan Yacob et al. (2009) bahwa IVM 1 dosis memiliki FECR 100% dan hal ini terkait dengan penggunaan IVM yang belum banyak digunakan untuk mengontrol nematoda gastrointestinal di Indonesia. Selain itu, keefektifan IVM terkait dengan kemampuannya dalam meningkatkan permeabilitas ion klorida (Cl-) membran plasma pada saluran reseptor glutamate-gated chloride channels (GluCl). Saluran ini terhambat pada kondisi ion yang di bawah normal, dengan ion Cl- mengalir ke dalam sel diikuti hiperpolarisasi membran sel dan melumpuhkan neuromuskular dari jaringan target. Hal tersebut menyebabkan penghambatan pemompaan faring dan makan; penghambatan parasit untuk bertelur; atau penghambatan motilitas otot. Faring merupakan satu-satunya organ pencernaan yang berotot yang


(23)

9

berperan dalam proses menelan nutrien, ekskresi, dan mengatur tekanan turgor pada parasit. Kelumpuhan pada faring menyebabkan menipisnya cadangan energi parasit (Sangster dan Gill 1999) dan menghambat proses memakan dengan menghalangi pemompaan faring (Geary et al. 1993) sehingga menyebabkan kelaparan. Kelumpuhan otot-otot uterus pada cacing betina, produksi telur dan pelepasan sel telur yang sudah ada dalam rahim dapat ditekan. Kelumpuhan pada otot-otot somatik terjadi pada pertengahan tubuh parasit. Hal tersebut menyebabkan keterbatasan gerak/motilitas parasit sehingga akan dengan mudah dikeluarkan dari saluran intestinal inang (Sangster dan Gill 1999). Dalam kasus parasit gastrointestinal, kelumpuhan akan menyebabkan kematian yang cepat.

FECR perlakuan ABZ ½ dosis pada hari ke-14 adalah 96% (Tabel 2) yang menunjukkan adanya pendugaan terjadinya resistensi. Hari ke-21 sampai 35 memiliki nilai FECR rendah (Tabel 2) yang menunjukkan terjadinya resistensi. Menurut Smith et al. (1999), pemberian antihelminth di bawah dosis yang direkomendasikan memiliki waktu paruh obat yang lebih pendek. Angka kematian parasit disebabkan kerja obat cukup diwakili dengan penurunan seketika di awal pemberian antihelminth. Hal yang sama juga dijelaskan bahwa konsentrasi di bawah dosis memungkinkan lebih banyak cacing yang tahan terhadap pengobatan, meningkatkan perkembangan resistensi, dan mengurangi bioavailabilitas antihelminth (De Graef et al. 2013).

FECR ABZ 1 dosis berkisar -467 sampai 89% (Tabel 2). Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi. Menurut Sangster et al. (2002), mekanisme resistensi pada nematoda dikaitkan dengan berkurangnya afinitas tubulin dalam mengikat ABZ. Hal ini dikarenakan adanya mutasi pada β tubulin (Kohler 2001). Menurut Ross et al. (1995), populasi Haemonchus yang resisten

ditunjukkan dengan adanya delesi β tubulin isotipe 2. Kasus resistensi terhadap

ABZ di Indonesia dilaporkan oleh Ridwan et al. (2000); Haryuningtyas et al. (2001); dan Beriajaya et al. (2002).

FECR kombinasi berkisar 94 sampai 100% (Tabel 2). Nilai FECR yang tinggi pada hari ke-14 dan 21 memperlihatkan efektifitas perlakuan kombinasi. Nilai FECR mulai menurun pada hari ke-28 dan 35. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-21. Perlakuan kombinasi dilakukan didasarkan pada dugaan bahwa nematoda gastrointestinal dimungkinkan memiliki tingkat resisten yang lebih rendah terhadap formulasi beberapa senyawa antihelminth (kelas kimia dan mode aksi yang berbeda) dibandingkan ketika diberi senyawa antihelminth tunggal (Wrigley et al. 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi lebih efektif daripada perlakuan ABZ 1 dosis, tetapi perlakuan kombinasi tidak lebih efektif daripada perlakuan IVM 1 dosis. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Miller dan Craig (1996) yang menyatakan bahwa kombinasi IVM dan ABZ lebih efektif dalam melawan Haemonchus daripada diberikan secara tunggal. Menurut McKenna (1990), pemberian kombinasi antihelminth akan mampu menghambat perkembangan resistensi apabila resistensi tidak terjadi pada masing-masing kelompok antihelminth.


(24)

1

Tabel 2 FECR (%) dan efektifitas antihelminth dalam melawan nematoda gastrointestinalpada domba yang dikandangkan

Keterangan: FECR = Faecal Egg Count Reduction, kontrol = tanpa pemberian antihelminth, IVM = ivermectin, ABZ = albendazole, Kombinasi = ivermectin ½ dosis+albendazole ½ dosis, CL = confidence limit

Perlakuan Antihelminth FECRT

Perlakuan Hari

Pre-treatment Post-treatment

Hari ke-0 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 Hari ke-35

Kontrol FECR (%) - - - - -

IVM ½ dosis FECR (%) 0 -13 93 87 -7

Upper 95% CL 94 100 99 93

Lower 95% CL 0 0 0 0

Efektifitas Antihelminth Resisten Resisten Resisten Resisten

IVM 1 dosis FECR (%) 0 100 100 100 98

Upper 95% CL 100 100 100 100

Lower 95% CL 100 100 94 64

Efektifitas Antihelminth Berpengaruh Berpengaruh Berpengaruh Diduga resisten

ABZ ½ dosis FECR (%) 0 96 91 18 -18

Upper 95% CL 99 99 82 78

Lower 95% CL 77 22 0 0

Efektifitas Antihelminth Diduga resisten Resisten Resisten Resisten

ABZ 1 dosis FECR (%) 0 -5 -36 -80 -298

Upper 95% CL 83 83 66 -68

Lower 95% CL 0 0 0 0

Efektifitas Antihelminth Resisten Resisten Resisten Resisten

Kombinasi FECR (%) 0 98 100 98 94

Upper 95% CL 98 100 100 97

Lower 95% CL 98 100 84 88

Efektifitas Antihelminth Berpengaruh Berpengaruh Diduga resisten Resisten


(25)

2

Tabel 3 FECR (%) dan efektifitas antihelminth dalam melawan nematoda gastrointestinalpada domba yang digembalakan

Keterangan tabel mengacu pada keterangan Tabel 2 Perlakuan Antihelminth FECRT

Perlakuan Hari

Pre-treatment Post-treatment

Hari ke-0 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28 Hari ke-35

Kontrol FECR (%) - - - - -

IVM ½ dosis FECR (%) 0 85 93 -19 -263

Upper 95% CL 99 98 73 -8

Lower 95% CL 0 76 0 0

Efektifitas Antihelminth Resisten Resisten Resisten Resisten

IVM 1 dosis FECR (%) 0 100 100 -28 27

Upper 95% CL 100 100 80 96

Lower 95% CL 100 100 0 0

Efektifitas Antihelminth Berpengaruh Berpengaruh Resisten Resisten

ABZ ½ dosis FECR (%) 0 73 63 11 83

Upper 95% CL 97 90 76 95

Lower 95% CL 0 0 0 39

Efektifitas Antihelminth Resisten Resisten Resisten Resisten

ABZ 1 dosis FECR (%) 0 92 -13 31 92

Upper 95% CL 99 76 73 96

Lower 95% CL 36 0 0 85

Efektifitas Antihelminth Resisten Resisten Resisten Resisten

Kombinasi FECR (%) 0 100 98 6 42

Upper 95% CL 100 100 45 82

Lower 95% CL 100 84 0 0

Efektifitas Antihelminth Berpengaruh Diduga resisten Resisten Resisten


(26)

12

3.2.2 FECR Domba yang Digembalakan

FECR pada perlakuan IVM ½ dosis berkisar -263 sampai 93% (Tabel 3). Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hughes et al. (2005) yang menyatakan bahwa telah terjadi resistensi nematoda gastrointestinal terhadap IVM ½ dosis. Resistensi yang terjadi pada IVM ½ dosis menjadi peringatan terjadinya resistensi untuk IVM 1 dosis. Menurut Hughes et al. (2005), dosis setengah digunakan sebagai peringatan dini terjadinya resistensi.

FECR pada perlakuan IVM 1 dosis mencapai 100% sampai hari ke-21 (Tabel 3). FECR yang tinggi memperlihatkan adanya efektifitas perlakuan IVM 1 dosis yang mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-21. Hal ini diduga karena di peternakan Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) tidak menggunakan IVM sebagai kontrol nematoda gastrointestinal. Menurut hasil penelitian Uppal et al (1992), efektifitas IVM disebabkan karena penggunaannya yang kurang intensif untuk kontrol nematoda gastrointestinal. Frekuensi penggunaan antihelminth faktor penting yang mempengaruhi perkembangan resistensi antihelminth (Prichard et al. 1980).

FECR pada perlakuan ABZ ½ dosis berkisar 11 sampai 83% (Tabel 3). Nilai FECR yang rendah menunjukkan terjadinya resistensi. Hal ini diduga karena rendahnya konsentrasi ABZ yang menyebabkan antihelminth tidak efektif dalam melawan nematoda gastrointestinal. Menurut Lanusse dan Prichard (1993), keefektifan ABZ tergantung pada kemampuan zat aktif untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi di lokasi parasit pada inang.

FECR pada perlakuan ABZ 1 dosis berkisar -13 sampai 92% (Tabel 3). Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi. Resistensi terhadap ABZ 1 dosis diduga dikarenakan peternakan di UP3J intensif menggunakan ABZ selama beberapa tahun untuk pengendalian nematoda gastrointestinal. ABZ merupakan antihelminth yang paling banyak digunakan peternak karena selain harganya yang terjangkau, cara pemberian antihelminth secara oral lebih mudah dilakukan oleh peternak sendiri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa nematoda gastrointestinal yang resisten terhadap ABZ 1 dosis disebabkan karena intensifnya pengunaan ABZ (Requejo-Fernandez et al. (1997); Torres-Acosta et al. (2003); dan Cezar et al. (2010)). Menurut Prichard et al. (1980), frekuensi penggunaan antihelminth merupakan faktor penting yang mempengaruhi perkembangan resistensi antihelminth. Hal ini diperkuat oleh Waller (1987) yang menyatakan bahwa semakin sering dan intensif pemberian antihelminth akan mengakibatkan parasit yang resisten semakin berkembang.

FECR pada perlakuan kombinasi mencapai 100% pada hari ke-14 (Tabel 3). Hari ke-21 sampai 35 memiliki nilai FECR rendah yang menunjukkan terjadinya resistensi. Perlakuan kombinasi mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-14. Hal ini diduga terjadi karena adanya interaksi sinergis antar antihelminth. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mwamachi et al. (1995) bahwa kombinasi IVM dan fenbendazole (sekelas dengan ABZ) lebih efektif melawan nematoda gastrointestinal daripada pemberian IVM dan fenbendazole secara tunggal. Menurut Entrocasso et al. (2008), perlakuan kombinasi dinyatakan memiliki efek sinergis apabila efektifitas kombinasi lebih tinggi daripada efektifitas obat yang diberikan secara terpisah. IVM mampu menghambat saluran GluCl sehingga menyebabkan kelumpuhan,


(27)

13

sedangkan ABZ mampu menghambat dimerisasi mikrotubulus. Perbedaan mekanisme aksi antara IVM dan ABZ memungkinkan adanya interaksi sinergis untuk melawan nematoda gastrointestinal (Bennet et al. 1980).

4

SIMPULAN

IVM 1 dosis efektif dalam melawan nematoda gastrointestinal baik pada domba yang dikandangkan maupun yang digembalakan. Perlakuan kombinasi lebih efektif melawan nematoda gastrointestinal dibandingkan dengan pemberian ABZ 1 dosis baik pada domba yang dikandangkan maupun yang digembalakan.

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez LI, Imperiale FA, Sanchez SF, Murno GA, Lanusse CE. 2000. Uptake of albendazole dan albendazole sulphoxide by Haemonchus contortus and Fasciola hepatica in sheep. Vett Parasitol. 94 (1-2): 75-89.

Anderson RC. 2000. Nematode Parasites of Vertebrates: Their Development and Transmission. New York (US): CABI Publishing.

Bartram DJ, Leathwick DM, Taylor MA, Geurden T, Maeder SJ. 2012. The role of combination anthelmintic formulations in the sustainable control of sheep nematodes. Vet Parasitol. 186 (3-4): 151-158.

Bekele T, Woldeab T, Lahlou-Kassi A, Sherington J. 1992. Factors affecting morbidity and motility on-farm and on-station in the Ethiopian highland sheep. Acta Tropica. 52 (2-3): 99-109.

Bennet EM, Behm C, Bryant C, Chevis RAF. 1980. Synergistic action of menbendazole and levamisole in the treatment of a benzimidazole-resistant Haemonchus contortus in sheep. Vet Parasitol. 7 (3): 207-214.

Beriajaya. 2005. Nematodiasis in sheep and goats kept under traditional farming practice in Batujajar, Cigudeg, Bogor. JITV. 10 (3): 190-199.

Beriajaya, Haryuningtyas D, Gray GD. 2002. Kejadian resistensi terhadap antelmintika pada domba dan kambing di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi-Bogor, 30 September-1 Oktober 2002. Puslitbang Peternakan, Bogor. 403-407.

Bowman DD. 2009. Georgis’ Parasitology of Veterinarians. Ed-9. New York (US): Sauders.

Campbell WC. 1990. Benzimidazoles: veterinary uses. Parasitol Today. 6 (4): 130–133.

Campbell WC, Benz GW. 1984. Ivermectin: a review of efficacy and safety. J vet Pharmacol Therap. 7 (1): 1-16.

Campbell WC, Fisher MH, Stapley EO, Albers-Schonberg G, Jacob TA. 1983. Ivermectin: A Potent New Antiparasitic Agent. Science. 221 (4613): 823-828.


(28)

14

Canga AG, Prieto AMS, Liebana MJD, Martinez NF, Vega MS, Vieitez JJG. 2009. The pharmacokinetics and metabolism of ivermectin in domestic animal species. Vet J. 179 (1): 25-37.

Cezar AS, Toscan G, Camillo G, Sangioni LA, Ribas HO, Vogel FSF. 2010. Multiple resistance of gastrointestinal nematodes to nine different drugs in a sheep flock in southern Brazil. Vet Parasitol. 173 (1-2): 157-160.

Coles GC. 2005. Anthelminthic Resistance – Looking to the Future: a UK Perspective. Res Vet Sci. 78 (2): 99-108.

Coles GC, Bauer C, Borgsteede FH, Geerts S, Klei TR, Tylor MA, Waller PJ. 1992. World Association for the Advancement of Veterinary Parasitology (WAAVP) methods for the detection of anthelmintic resistance in nematodes of veterinary importance. Veterinary Parasitology. 44 (1-2): 35-44.

Coles GC, Jackson F, Pomroy WE, Prichard RK, von Samson-Himmelstjerna G, Silvestre A, Taylor MA, Vercruysse J. 2006. The detection of anthelmintic resistance in nematodes of veterinary importance. Vet Parasitol. 136 (3-4): 167-185.

Dash KM. 1986. Multiple anthelmintic resistance in Trichostrongylus colubriformis. Aust Vet J. 63 (2): 45-47.

De Graef J, Claerebout E, Geldhof P. 2013. Anthelmintic resistance of gastrointestinal cattle nematodes. Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift. 82: 113-123.

El-Abdellati A, Charlier J, Geldhof P, Levecke B, Demeler J, von Samson-Himmelstjerna G, Claerebout E, Vercruysse J. 2010. The use of simplified feacel egg count reduction test for assessing anthelmintic efficacy on Belgian and German cattle farms. Vet Parasitol. 169 (3-4): 352-357.

Entrocasso C, Alvarez L, Manazza J, Lifschitz A, Borda B, Virkel G, Mottier L, Lanusse C. 2008. Clinical efficacy assessment of the albendazole-ivermectin combination in lambs parasitized with resistant nematodes. Vet Parasitol. 155 (3-4): 249-256.

Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual. Amerika Serikat (US): Blackwell Publishing.

Geary, TG, Sims, SM, Thomas, EM, Vanover L, Davis, JP, Winterrowd, CA, Klein, RD, Ho, NFH, Thompson, DP. 1993. Haemonchus contortus: Ivermectin-induced paralysis of the pharynx. Experimental Parasitology. 77 (1): 88-96.

Gibson TE. 1983. The influence of nutrition on the relationship between gastrointestinal parasites and their hosts. Proceedings of the Nutrition Society. 22: 15-20.

Hanafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi infeksi nematoda gastrointestinal pada kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. J Sain Vet. 20 (1): 15-19.

Hansen J, Perry B. 1994. The epidemiology, diagnosis, and control of helminth parasites of ruminants. ILRAD: Nairobi, Kenya.

Haryuningtyas D, Beriajaya, Gray DG. 2001. Resistensi antelmintika golongan benzimidazole pada domba dan kambing di Indonesia. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 17-18 September 2001. Puslitbang Peternakan, Bogor. 509-518.


(29)

15

Hughes PL, McKenna PB, Dowling AF. 2005. A survey of the prevalence of emerging macrocyclic lactone resistance and of benzimidaazole resistance in sheep nematodes in the lower North Island of New Zealand. N Z Vet J. 53 (1): 87-90.

Keyyu JD, Mahingika HM, Magwisha HB, Kassuku AA. 2002. Efficacy of albendazole and levamisole against gastrointestinal nematodes of sheep and goats in Morogoro, Tanzania. Trop Anim Health Product. 34 (2): 115-120. Kohler P. 2001. The biochemical basis of anthelmintic action and resistance. Int J

Parasitol. 31 (4): 336-345.

Lanusse CE, Prichard RK. 1993. Clinical pharmacokinetics and metabolism of benzimidazole anthelmintics in ruminants. Drug Metabolism Reviews. 25 (3): 235-279.

Leathwick DM, Hosking BC, Bisset SA, McKay CH. 2009. Managing Anthelmintic Resistance: Is It Feasible in New Zealand to Delay The Emergence of Resistance to a New Anthelmintic Class?. N Z Vet J. 57 (4): 181–192.

Lyod S, Soulsby EJL. 1987. Immunobiology of gastrointestinal nematodes of ruminants. Immune Response in Parasitic Infections: Immunology, Immunopathology, and Immunoprophylaxis. Vol 1 (Editor: Soulsby EJL). Florida (US): CRC Press Inc.

Maciel S, Gimenez AM, Gaona C, Waller PJ, Hansen JW. 1996. The prevalence of anthelmintic resistance in nematode parasites of sheep in Southern Latin America: Paraguay. Vet Parasitol. 62 (3-4): 207-212.

Marriner SE, McKinnon I, Bogan JA. 1987. The pharmacokinetics of ivermectin after oral and subcutaneous administration to sheep and horses. J vet Pharmacol Therap. 10 (2): 175-197.

McKenna, PB. 1990. The use of benzimidazole-levamisole mixtures for the control and prevention of anthelmintic resistance in sheep nematodes: an assessment of their likely effects. N Z Vet J. 38 (2): 45-49.

Mehlhorn H. 2008. Encyclopedia of Parasitology. 3rd Edition. New York (US): Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Miller DK, Craig TM. 1996. Use of anthelmintic combinations against multiple resistant Haemonchus contortus in Angora goats. Small Ruminant Research. 19 (3): 281-283.

Monnig HO. 1950. Veterinary Helminthology and Entomology: The Diseases of Domesticated Animals Caused by Helminth and Arthropod Parasites. UK: Baltimore The Williams and Wilkins Company.

Mwamachi, DM, Audho JO, Thorpe W, Baker RL. 1995. Evidence for multiple anthelmintic resistance in sheep and goats reared under the same management in coastal Kenya. Vet Parasitol. 60 (3-4): 303-313.

Palmer DG, Besier RB, Lyon J. 2000. Anthelmintic resistance in WesternAustralia: a point of crisis?. In: Proceedings of the Australian Sheep Veterinary Society. AVA Conference Perth, Australia.

Pomroy WE, Whelan N, Alexander AM, West DW, Stafford K, Adlington BA, Calder SM. 1992. Multiple resistance in goat-derived Ostertugia and the effkacy of moxidectin and combinations of other anthelmintics. N Z Vet J. 40 (2): 76-78.


(30)

16

Prichard RK, Hall CA, Kelly JD, Martin ICA, Donald DA. 1980. The problem of anthelmintic resistance in nematodes. Aus Vet J. 56 (5): 239-250.

Requejo-Fernandez JA, Martinez A, Meana A, Rojo-Vazquez FA, Osoro K, Ortega-Mora LM. 1997. Anthelmintic resistance in nematode parasites from goats in Spain. Vet Parasitol. 73 (1-2): 83-88.

Ridwan Y, Satrija F, Retnani EB, Tiuria R. 2000. Heamonchus contortus resistant to albendazole on sheep farm in Bogor. International Conference on Soil Transmitted Helminth Control and Workshop on Indonesian Association of Parasitic Disease Control. Bali, 21-24 February 2000.

Roos MH, Kwa MSG, Grant WN. 1995. New genetic and practical implications of selection for anthelmintic resistance in parasitic nematodes. Parasitol Today. 11 (4): 148-150.

Sangster NC, Gill J. 1999. Pharmacology of anthelminthic resistance. Parasitol Today. 15 (4): 141-146.

Sangster N, Betterham P, David Chapman H, Duraisingh M, Le Jambre L, Shirley M, Upcroft P. 2002. Resistance to antiparasitic drugs: the role of molecular diagnosis. Int J Parasitol. 32 (5): 637-653.

Smith G, Grenfell BT, Isham V, Cornell S. 1999. Anthelmintic resistance revisited: under-dosing, chemoprophylactic strategies, and mating probabilities. Int J Parasitol. 29 (1): 77-91.

Southwell j, Fisk C, Sallur N. 2008. Internal Parasite Control in Sheep. Queensland (AU): Deborah Maxwell.

Suhardono, Beriajaya, Yulistiani D. 2002. Infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada domba yang digembalakan secara ekstensif di daerah padat ternak di Jawa Barat. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 370-375. Tembely S, Lahlou-kassi A, Rege JEO, Sovani S, Diedhiou ML, Baker RL. 1997.

The epidemiology of nematode infections in sheep in a cool tropical environment. Vet Parasitol. 70 (1-3): 129-141.

Torres-Acosta JFJ, Dzul-Canche U, Aguilar-Caballero AJ, Rodriguez-Vivas RI. 2003. Prevalence of benzimidazole resistant nematodes in sheep flocks in Yucatan, Mexico. Vet Parasitol. 114 (1): 33-42.

Uppal RP, Yadav CL, Godara P, Rana ZS. 1992. Multiple anthelmintic resistance in a field strain of Haemonchus contortus in goats. Vet Res Comm. 16 (3): 195-198.

Waller PJ. 1987. Anthelmintic resistance and the future for roundworm control. Vet Parasitol. 25 (2): 177-191.

Waller PJ, Donald AD, Dobson RJ, Lacey E, Hennessy DR, Allerton GR, Prichard RK. 1989. Changes in anthelmintic resistance status of Haemonchus contortus and Trichostrongylus colubriformis exposed to different anthelmintic selection pressures in grazing sheep. Int J Parasitol. 19 (1): 99-110.

Waller PJ, Rudby-Martin L, Ljungstrom BL, Rydzik A. 2004. The epidemiology of abomasal nematodes of sheep in Sweden, with particular reference to over-winter survival strategies. Vet Parasitol. 122 (3): 207-220.

Wanyangu SW, Bain RK. 1994. The impact of helminth infection on small ruminant production in tropical Africa. The Kenya Veterinarian. 18 (2): 104-106.


(31)

17

Wolstenholme AJ. 2011. Ion channels and receptor as targets for the control of parasitic nematodes. Int J Parasitol. 1 (1): 2-13.

Wrigley J, McArthur M, McKenna PB, Mariadass B. 2006. Resistance to a triple combination of broad-spectrum anthelmintics in naturally-acquired Ostertagia circumcincta infections in sheep. N Z Vet J. 54 (1): 47-49.

Yacob HT, Mistre Ch, Adem AH, Basu AK. 2009. Parasitology and clinical responses of lambs experimentally infected with Haemonchus contortus (L3) with and without ivermectin treatment. Vet Parasitol. 166 (1-2): 119-123.

Yates DM, Portillo V, Wolstenholme AJ. 2003. The avermectin receptors of Haemonchus contortus and Caenorhabditis elegans. Int J Parasitol. 33 (11): 1183–1193.

Zainalabidin FA, Raimy N, Yaacob MH, Musbah A, Bathmanaban P, Ismail EA, Mamat ZC, Zahari Z, Ismail MI, Panchadcharam C. 2014. The prevalence of parasitic infestation of small ruminant farms in Perak, Malaysia. Tropical Life Science Research. 25 (2).

Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology. Ed-8. Amerika Serikat (US): Wiley-Blackwell.


(32)

18

Lampiran 1a Hewan eksperimen domba yang dikandangkan


(33)

19

Lampiran 2 (a) tagging hewan eksperimen, (b) penimbangan bobot badan hewan eksperimen, (c) pemberian ivermectin secara injeksi subkutan, (d) pemberian albendazole secara oral, (e) dan (f) pengambilan sampel feses

(b)

(d)

(f) (a)

(c)


(34)

20

Lampiran 3 Antihelminth berspektrum luas (a) ivermectin, (b) albendazole


(35)

21

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 17 Juni 1988 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari Bapak Pandoyo dan Ibu Diah Sri Jayanti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Biosains Hewan Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan Dikti 2012.

Selama mengikuti program S2, penulis pernah menjadi pemakalah pada Kongres ke-15 dan Seminar Nasional ke-22 Perhimpunan Biologi Indonesia tahun 2013 yang diselenggarakan di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dengan judul “Profil Hematologi pada Reptil dan Amfibi”. Pada tahun 2014, penulis mengikuti workshop pelatihan program DELTA pada 3rd Marine Biodiversity and Molecular Ecology Course yang diadakan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Penulis pernah aktif sebagai bendahara Gita Swara Pascasarjana IPB periode 2013-2014. Penulis

juga menyusun artikel yang berjudul “Efficacy of Ivermectin and Albendazole

againts Haemonchus contortus in Sheep in Bogor, Indonesia” sebagai bahan terbitan di Tropical Life Science Research.


(1)

Prichard RK, Hall CA, Kelly JD, Martin ICA, Donald DA. 1980. The problem of anthelmintic resistance in nematodes. Aus Vet J. 56 (5): 239-250.

Requejo-Fernandez JA, Martinez A, Meana A, Rojo-Vazquez FA, Osoro K, Ortega-Mora LM. 1997. Anthelmintic resistance in nematode parasites from goats in Spain. Vet Parasitol. 73 (1-2): 83-88.

Ridwan Y, Satrija F, Retnani EB, Tiuria R. 2000. Heamonchus contortus resistant to albendazole on sheep farm in Bogor. International Conference on Soil Transmitted Helminth Control and Workshop on Indonesian Association of Parasitic Disease Control. Bali, 21-24 February 2000.

Roos MH, Kwa MSG, Grant WN. 1995. New genetic and practical implications of selection for anthelmintic resistance in parasitic nematodes. Parasitol Today. 11 (4): 148-150.

Sangster NC, Gill J. 1999. Pharmacology of anthelminthic resistance. Parasitol Today. 15 (4): 141-146.

Sangster N, Betterham P, David Chapman H, Duraisingh M, Le Jambre L, Shirley M, Upcroft P. 2002. Resistance to antiparasitic drugs: the role of molecular diagnosis. Int J Parasitol. 32 (5): 637-653.

Smith G, Grenfell BT, Isham V, Cornell S. 1999. Anthelmintic resistance revisited: under-dosing, chemoprophylactic strategies, and mating probabilities. Int J Parasitol. 29 (1): 77-91.

Southwell j, Fisk C, Sallur N. 2008. Internal Parasite Control in Sheep. Queensland (AU): Deborah Maxwell.

Suhardono, Beriajaya, Yulistiani D. 2002. Infeksi cacing nematoda saluran pencernaan pada domba yang digembalakan secara ekstensif di daerah padat ternak di Jawa Barat. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 370-375. Tembely S, Lahlou-kassi A, Rege JEO, Sovani S, Diedhiou ML, Baker RL. 1997.

The epidemiology of nematode infections in sheep in a cool tropical environment. Vet Parasitol. 70 (1-3): 129-141.

Torres-Acosta JFJ, Dzul-Canche U, Aguilar-Caballero AJ, Rodriguez-Vivas RI. 2003. Prevalence of benzimidazole resistant nematodes in sheep flocks in Yucatan, Mexico. Vet Parasitol. 114 (1): 33-42.

Uppal RP, Yadav CL, Godara P, Rana ZS. 1992. Multiple anthelmintic resistance in a field strain of Haemonchus contortus in goats. Vet Res Comm. 16 (3): 195-198.

Waller PJ. 1987. Anthelmintic resistance and the future for roundworm control. Vet Parasitol. 25 (2): 177-191.

Waller PJ, Donald AD, Dobson RJ, Lacey E, Hennessy DR, Allerton GR, Prichard RK. 1989. Changes in anthelmintic resistance status of Haemonchus contortus and Trichostrongylus colubriformis exposed to different anthelmintic selection pressures in grazing sheep. Int J Parasitol. 19 (1): 99-110.

Waller PJ, Rudby-Martin L, Ljungstrom BL, Rydzik A. 2004. The epidemiology of abomasal nematodes of sheep in Sweden, with particular reference to over-winter survival strategies. Vet Parasitol. 122 (3): 207-220.

Wanyangu SW, Bain RK. 1994. The impact of helminth infection on small ruminant production in tropical Africa. The Kenya Veterinarian. 18 (2): 104-106.


(2)

Wolstenholme AJ. 2011. Ion channels and receptor as targets for the control of parasitic nematodes. Int J Parasitol. 1 (1): 2-13.

Wrigley J, McArthur M, McKenna PB, Mariadass B. 2006. Resistance to a triple combination of broad-spectrum anthelmintics in naturally-acquired Ostertagia circumcincta infections in sheep. N Z Vet J. 54 (1): 47-49.

Yacob HT, Mistre Ch, Adem AH, Basu AK. 2009. Parasitology and clinical responses of lambs experimentally infected with Haemonchus contortus (L3) with and without ivermectin treatment. Vet Parasitol. 166 (1-2): 119-123.

Yates DM, Portillo V, Wolstenholme AJ. 2003. The avermectin receptors of Haemonchus contortus and Caenorhabditis elegans. Int J Parasitol. 33 (11): 1183–1193.

Zainalabidin FA, Raimy N, Yaacob MH, Musbah A, Bathmanaban P, Ismail EA, Mamat ZC, Zahari Z, Ismail MI, Panchadcharam C. 2014. The prevalence of parasitic infestation of small ruminant farms in Perak, Malaysia. Tropical Life Science Research. 25 (2).

Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology. Ed-8. Amerika Serikat (US): Wiley-Blackwell.


(3)

Lampiran 1a Hewan eksperimen domba yang dikandangkan


(4)

Lampiran 2 (a) tagging hewan eksperimen, (b) penimbangan bobot badan hewan eksperimen, (c) pemberian ivermectin secara injeksi subkutan, (d) pemberian albendazole secara oral, (e) dan (f) pengambilan sampel feses

(b)

(d)

(f) (a)

(c)


(5)

Lampiran 3 Antihelminth berspektrum luas (a) ivermectin, (b) albendazole


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 17 Juni 1988 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari Bapak Pandoyo dan Ibu Diah Sri Jayanti. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta dan lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Biosains Hewan Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Beasiswa Unggulan Dikti 2012.

Selama mengikuti program S2, penulis pernah menjadi pemakalah pada Kongres ke-15 dan Seminar Nasional ke-22 Perhimpunan Biologi Indonesia tahun 2013 yang diselenggarakan di Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dengan judul “Profil Hematologi pada Reptil dan Amfibi”. Pada tahun 2014, penulis mengikuti workshop pelatihan program DELTA pada 3rd Marine Biodiversity and Molecular Ecology Course yang diadakan oleh Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Penulis pernah aktif sebagai bendahara Gita Swara Pascasarjana IPB periode 2013-2014. Penulis juga menyusun artikel yang berjudul “Efficacy of Ivermectin and Albendazole againts Haemonchus contortus in Sheep in Bogor, Indonesia” sebagai bahan terbitan di Tropical Life Science Research.