FEC Domba yang Digembalakan

inang, dimulai saat larva yang dihasilkan menginfeksi kembali inang secara oral lewat memakan rumput Monnig 1950. Setelah mengalami moulting pelepasan selubung kutikula di dalam abomasum, L3 berkembang menjadi larva 4 L4 dan menjadi cacing dewasa. Cacing betina menghasilkan telur pada hari 18-21 setelah infeksi. Haemonchus merupakan salah satu nematoda gastrointestinal dengan produksi telur yang tinggi. Cacing dewasa betina Haemonchus bertelur sekitar 5.000-10.000 telur per hari, Ostertagia sekitar 100-200 telur per hari Monnig 1950. Dikarenakan siklus hidupnya yang langsung, maka interval generasinya menjadi pendek. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi nematoda gastrointestinal paling tinggi ditemukan pada domba yang digembalakan. Domba yang dikandangkan dan diberi pakan di kandang dapat mengurangi resiko infeksi nematoda gastrointestinal. Domba yang dilepas untuk mencari pakan di siang hari dan malamnya dikandangkan, memiliki resiko infeksi nematoda gastrointestinal yang lebih tinggi. Menurut Tembely et al. 1997 dan Waller et al. 2004 menyatakan bahwa domba dilepas di padang rumput lebih rentan terkena beberapa infeksi parasit terutama nematoda gastrointestinal. Perkembangan larva infektif L3 dalam feses, bermigrasi ke rerumputan, dan lokasi parasit pada rerumputan merupakan faktor kunci dalam transmisi parasit ke ternak yang dipelahara secara ekstensif. Hal ini disebabkan karena padang rumput merupakan lingkungan yang mendukung perkembangan, kelangsungan hidup, dan transmisi parasit. 3.2 Faecal Egg Count Reduction FECR 3.2.1 FECR Domba yang Dikandangkan FECR pada perlakuan IVM ½ dosis berkisar -13 sampai 93 Tabel 2. Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi. Adanya resistensi pada IVM ½ dosis menjadi peringatan untuk terjadinya resistensi IVM 1 dosis. Menurut Entrocasso et al. 2008, dosis setengah mungkin menandakan kegagalan yang akan datang pada tingkat dosis terapi. FECR pada perlakuan IVM 1 dosis mencapai 100 sampai pada hari ke- 28 Tabel 2. FECR yang tinggi memperlihatkan adanya efektifitas perlakuan IVM 1 dosis yang mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-28. Efektifitas IVM diduga karena peternak masih banyak yang belum menggunakan IVM untuk pengendalian nematoda gastrointestinal karena harga IVM di pasaran yang sangat mahal dan pemberian antihelminth secara injeksi yang menyulitkan peternak untuk melakukannya sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Waller et al. 1989 dan Yacob et al. 2009 bahwa IVM 1 dosis memiliki FECR 100 dan hal ini terkait dengan penggunaan IVM yang belum banyak digunakan untuk mengontrol nematoda gastrointestinal di Indonesia. Selain itu, keefektifan IVM terkait dengan kemampuannya dalam meningkatkan permeabilitas ion klorida Cl - membran plasma pada saluran reseptor glutamate-gated chloride channels GluCl. Saluran ini terhambat pada kondisi ion yang di bawah normal, dengan ion Cl - mengalir ke dalam sel diikuti hiperpolarisasi membran sel dan melumpuhkan neuromuskular dari jaringan target. Hal tersebut menyebabkan penghambatan pemompaan faring dan makan; penghambatan parasit untuk bertelur; atau penghambatan motilitas otot. Faring merupakan satu-satunya organ pencernaan yang berotot yang berperan dalam proses menelan nutrien, ekskresi, dan mengatur tekanan turgor pada parasit. Kelumpuhan pada faring menyebabkan menipisnya cadangan energi parasit Sangster dan Gill 1999 dan menghambat proses memakan dengan menghalangi pemompaan faring Geary et al. 1993 sehingga menyebabkan kelaparan. Kelumpuhan otot-otot uterus pada cacing betina, produksi telur dan pelepasan sel telur yang sudah ada dalam rahim dapat ditekan. Kelumpuhan pada otot-otot somatik terjadi pada pertengahan tubuh parasit. Hal tersebut menyebabkan keterbatasan gerakmotilitas parasit sehingga akan dengan mudah dikeluarkan dari saluran intestinal inang Sangster dan Gill 1999. Dalam kasus parasit gastrointestinal, kelumpuhan akan menyebabkan kematian yang cepat. FECR perlakuan ABZ ½ dosis pada hari ke-14 adalah 96 Tabel 2 yang menunjukkan adanya pendugaan terjadinya resistensi. Hari ke-21 sampai 35 memiliki nilai FECR rendah Tabel 2 yang menunjukkan terjadinya resistensi. Menurut Smith et al. 1999, pemberian antihelminth di bawah dosis yang direkomendasikan memiliki waktu paruh obat yang lebih pendek. Angka kematian parasit disebabkan kerja obat cukup diwakili dengan penurunan seketika di awal pemberian antihelminth. Hal yang sama juga dijelaskan bahwa konsentrasi di bawah dosis memungkinkan lebih banyak cacing yang tahan terhadap pengobatan, meningkatkan perkembangan resistensi, dan mengurangi bioavailabilitas antihelminth De Graef et al. 2013. FECR ABZ 1 dosis berkisar -467 sampai 89 Tabel 2. Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi. Menurut Sangster et al. 2002, mekanisme resistensi pada nematoda dikaitkan dengan berkurangnya afinitas tubulin dalam mengikat ABZ. Hal ini dikarenakan adanya mutasi pada β tubulin Kohler 2001. Menurut Ross et al. 1995, populasi Haemonchus yang resisten ditunjukkan dengan adanya delesi β tubulin isotipe 2. Kasus resistensi terhadap ABZ di Indonesia dilaporkan oleh Ridwan et al. 2000; Haryuningtyas et al. 2001; dan Beriajaya et al. 2002. FECR kombinasi berkisar 94 sampai 100 Tabel 2. Nilai FECR yang tinggi pada hari ke-14 dan 21 memperlihatkan efektifitas perlakuan kombinasi. Nilai FECR mulai menurun pada hari ke-28 dan 35. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-21. Perlakuan kombinasi dilakukan didasarkan pada dugaan bahwa nematoda gastrointestinal dimungkinkan memiliki tingkat resisten yang lebih rendah terhadap formulasi beberapa senyawa antihelminth kelas kimia dan mode aksi yang berbeda dibandingkan ketika diberi senyawa antihelminth tunggal Wrigley et al. 2006. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi lebih efektif daripada perlakuan ABZ 1 dosis, tetapi perlakuan kombinasi tidak lebih efektif daripada perlakuan IVM 1 dosis. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Miller dan Craig 1996 yang menyatakan bahwa kombinasi IVM dan ABZ lebih efektif dalam melawan Haemonchus daripada diberikan secara tunggal. Menurut McKenna 1990, pemberian kombinasi antihelminth akan mampu menghambat perkembangan resistensi apabila resistensi tidak terjadi pada masing-masing kelompok antihelminth.