aktifnya terdistribusi secara ekstensif sepanjang tubuh, terkonsentrasi terutama di jaringan adiposa, dan bersifat slow release pada reservoir lipid sehingga
memperpanjang waktu tinggal obat dalam aliran darah. Disebabkan karena sifatnya yang slow release, menurut Dash 1986, IVM dapat menghambat
perkembangan larva.
FEC pada perlakuan ABZ ½ dosis mengalami peningkatan jumlah telur nematoda gastrointestinal. Hal ini diduga karena konsentrasi ABZ yang rendah
menyebabkan antihelminth
tidak efektif
dalam melawan
nematoda gastrointestinal. Sejalan dengan Lanusse dan Prichard 1993 yang melaporkan
bahwa aktivitas ABZ tergantung pada kemampuan zat aktif untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi di lokasi parasit pada inang.
FEC pada perlakuan ABZ 1 dosis mengalami peningkatan jumlah telur. Hal ini diduga karena pada peternakan di UP3J menggunakan ABZ sebagai kontrol
nematoda gastrointestinal. Hasil penelitian Keyyu et al. 2002 menunjukkan bahwa pemberian ABZ 1 dosis memperlihatkan peningkatan jumlah telur
nematoda gastrointestinal yang disebabkan penggunaan ABZ yang intensif sebagai kontrol nematoda gastrointestinal.
FEC pada perlakuan kombinasi mampu menurunkan jumlah telur sampai hari ke-21, sedangkan untuk hari ke-28 sampai 35 terjadi peningkatan jumlah
telur. Menurut beberapa hasil penelitian, setelah pemberian kombinasi IVM dan fenbendazole Mwamachi et al. 1995 dan IVM dan oxfendazole Pomroy et al.
1992 mampu menurunkan jumlah telur nematoda gastrointestinal yang disebabkan adanya aksi sinergis dari kedua antihelminth tersebut.
3.1.4 Hubungan FEC dengan Usia Hewan dan Pakan
Perkembangan populasi nematoda gastrointestinal dipengaruhi oleh faktor inang yaitu usia hewan, pengelolaan pakan nutrisi, dan sistem imunitas Lanusse
dan Prichard 1993. Penelitian ini menggunakan domba dengan usia 3-4 bulan. Domba yang berusia di bawah 6 bulan memiliki perkembangan imunitas yang
sangat rendah terhadap nematoda gastrointestinal Lyod dan Soulsby 1987. Selain itu, faktor nutrisi terutama kandungan protein dari pakan juga
mempengaruhi laju perkembangan imunitas terhadap infeksi parasit Gibson 1983. Domba dalam penelitian ini hanya mengandalkan pakan seperti jerami dan
rerumputan yang memiliki tingkat protein yang rendah. 3.1.5 Hubungan FEC dengan Biologi Perkembangan Nematoda
Biologi perkembangan nematoda gastrointestinal berbeda-berbeda, yaitu langsung dan tidak langsung membutuhkan inaang perantara. Nematoda
gastrointestinal yang ditemukan pada penelitian ini adalah telur nematoda yang bertipe strongylid yang umumnya memiliki siklus hidup langsung yang terdiri dari
dua fase, yaitu fase hidup bebas dan fase parasitik. Fase hidup bebas dimulai dengan keluarnya telur yang dihasilkan cacing betina bersama dengan feses ke
lingkungan. Telur selanjutnya menetas dan berkembang menjadi larva 1 L1, L1 terjadi ekdisis menjadi larva 2 L2. L1 dan L2 hidup dengan sumber energi dari
bakteri yang dimakannya. Ekdisis selanjutnya yaitu L2 menjadi L3 larva infektif yang memiliki dua selubung sehingga L3 tahan terhadap lingkungan yang ekstrem
kekeringan dan udara dingin. L3 akan aktif bergerak menaiki rerumputan yang berembun pada malam dan pagi hari.Fase parasitik berlangsung dalam tubuh
inang, dimulai saat larva yang dihasilkan menginfeksi kembali inang secara oral lewat memakan rumput Monnig 1950. Setelah mengalami moulting pelepasan
selubung kutikula di dalam abomasum, L3 berkembang menjadi larva 4 L4 dan menjadi cacing dewasa. Cacing betina menghasilkan telur pada hari 18-21 setelah
infeksi. Haemonchus merupakan salah satu nematoda gastrointestinal dengan produksi telur yang tinggi. Cacing dewasa betina Haemonchus bertelur sekitar
5.000-10.000 telur per hari, Ostertagia sekitar 100-200 telur per hari Monnig 1950. Dikarenakan siklus hidupnya yang langsung, maka interval generasinya
menjadi pendek.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi nematoda gastrointestinal paling tinggi ditemukan pada domba yang digembalakan. Domba yang
dikandangkan dan diberi pakan di kandang dapat mengurangi resiko infeksi nematoda gastrointestinal. Domba yang dilepas untuk mencari pakan di siang hari
dan malamnya dikandangkan, memiliki resiko infeksi nematoda gastrointestinal yang lebih tinggi. Menurut Tembely et al. 1997 dan Waller et al. 2004
menyatakan bahwa domba dilepas di padang rumput lebih rentan terkena beberapa infeksi parasit terutama nematoda gastrointestinal. Perkembangan larva infektif
L3 dalam feses, bermigrasi ke rerumputan, dan lokasi parasit pada rerumputan merupakan faktor kunci dalam transmisi parasit ke ternak yang dipelahara secara
ekstensif. Hal ini disebabkan karena padang rumput merupakan lingkungan yang mendukung perkembangan, kelangsungan hidup, dan transmisi parasit.
3.2 Faecal Egg Count Reduction FECR 3.2.1 FECR Domba yang Dikandangkan
FECR pada perlakuan IVM ½ dosis berkisar -13 sampai 93 Tabel 2. Nilai FECR yang rendah menunjukkan adanya resistensi.
Adanya resistensi pada IVM ½ dosis menjadi peringatan untuk terjadinya resistensi IVM 1 dosis.
Menurut Entrocasso et al. 2008, dosis setengah mungkin menandakan kegagalan yang akan datang pada tingkat dosis terapi.
FECR pada perlakuan IVM 1 dosis mencapai 100 sampai pada hari ke- 28 Tabel 2. FECR yang tinggi memperlihatkan adanya efektifitas perlakuan
IVM 1 dosis yang mampu memproteksi domba dari reinfeksi nematoda gastrointestinal sampai hari ke-28. Efektifitas IVM diduga karena peternak masih
banyak yang belum menggunakan IVM untuk pengendalian nematoda gastrointestinal karena harga IVM di pasaran yang sangat mahal dan pemberian
antihelminth secara injeksi yang menyulitkan peternak untuk melakukannya sendiri. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Waller et al. 1989 dan Yacob
et al. 2009 bahwa IVM 1 dosis memiliki FECR 100 dan hal ini terkait dengan penggunaan IVM yang belum banyak digunakan untuk mengontrol nematoda
gastrointestinal di Indonesia. Selain itu, keefektifan IVM terkait dengan kemampuannya dalam meningkatkan permeabilitas ion klorida Cl
-
membran plasma pada saluran reseptor glutamate-gated chloride channels GluCl. Saluran
ini terhambat pada kondisi ion yang di bawah normal, dengan ion Cl
-
mengalir ke dalam sel diikuti hiperpolarisasi membran sel dan melumpuhkan neuromuskular
dari jaringan target. Hal tersebut menyebabkan penghambatan pemompaan faring dan makan; penghambatan parasit untuk bertelur; atau penghambatan motilitas
otot. Faring merupakan satu-satunya organ pencernaan yang berotot yang