Industri Kecil 2008 Industri menengah besar

Tabel 1.3 Unit Usaha Unit, Tenaga Kerja Orang, Nilai Produksi Juta Rp Pada Industri Menengah Besar dan Kecil di Kabupaten Kudus Tahun 2008 – 2010

a. Industri Kecil 2008

2009 2010 Unit Usaha unit 10.442 10.442 10.598 Tenaga Kerja orang 71.118 71.118 74.283 Nilai Produksi juta Rp 2.667.938,169 2.801.389,200 3.964.107,708

b. Industri menengah besar

2008 2009 2010 Unit Usaha unit 100 100 100 Tenaga Kerja orang 142.732 142.732 142.732 Nilai Produksi Juta Rp 75.771.554,60 75.771.554,60 75.771.554,60 Sumber : Disperinkop dan UMKM Kudus, 2012. Tabel 1.3 menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah unit usaha, tenaga kerja, dan nilai produksi industri menengah besar dari tahun 2008 hingga tahun 2010 stagnan atau tidak menunjukkan perubahan, hal ini dikarenakan tidak semua industri dapat menjadi besar karena banyak hal yang harus dipenuhi baik dari segi jumlah tenaga kerjanya maupun permodalan, sedangkan untuk industri kecil dari tahun 2008 stagnan hingga tahun 2009 akan tetapi nilai produksi yang dihasilkan bertambah. Pada tahun 2010 pertumbuhan industri kecil cukup bagus karena mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak sehingga prospek industri kecil cukup bagus untuk dikembangkan dan menanggulangi masalah ketenagakerjaan yaitu sempitnya lapangan kerja. Tabel 1.4 Proporsi Pengangguran Kabupaten Kudus Tahun 2008 – 2010 Tahun Jumlah Pencari Kerja orang Jumlah Angkatan Kerja orang Proporsi Pengangguran 2008 24.713 401.827 6,15 2009 32.306 439.215 7,36 2010 26.155 373.715 7,00 Sumber : Kudus Dalam Angka, 2011. Tabel 1.4 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran di Kabupaten Kudus pada tahun 2008 hingga tahun 2010 mengalami fluktuasi naik turun, hal ini dikarenakan pada tahun 2009 banyak tenaga kerja yang diberhentikan karena industri banyak yang mengalami masalah sehingga jumlah pengangguran bertambah. Permasalahan pengangguran yang tidak ada habisnya menjadi pendorong tumbuhnya industri kecil karena industri kecil banyak membantu dalam penyerapan tenaga kerja. Terdapat 3 tiga alasan yang mendorong keberadaan industri kecil, yang pertama karena kinerja industri kecil cenderung lebih baik dalam menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Kedua, industri kecil sering mencapai peningkatan produktivitasnya melalui investasi dan perubahan teknologi. Ketiga, industri kecil diyakini memiliki keunggulan dalam hal fleksibilitas dibanding dengan industri besar. Industri kecil telah memegang peranan penting dalam menyerap tenaga kerja, meningkatkan jumlah usaha dan pendapatan keluarga. Tabel 1.5 Perkembangan Upah Minimum di Kabupaten Kudus Tahun 2008 – 2011 Tahun Upah perbulan Rp 2008 672.500,00 2009 750.694,00 2010 775.000,00 2011 840.000,00 Sumber : Setda bagian perekonomian Kabupaten Kudus, 2012. Tabel 1.5 menunjukkan bahwa perkembangan upah di Kabupaten Kudus semakin meningkat, hal ini nantinya diharapkan agar kesejahteraan masyarakat semakin baik. Industri kecil yang banyak menyerap tenaga kerja ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam mewujudkan salah satu dari empat pilar pemerintah daerah yaitu pemberdayaan usaha mikro ekonomi kecil dan menengah UMKM dalam penyerapan tenaga kerja untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Di Kabupaten Kudus terdapat bermacam-macam industri kecil yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah dan tingkat pendidikan yang rendah salah satunya adalah industri kecil rokok kretek. Industri rokok di Kabupaten Kudus sudah dimulai sejak abad ke 19, pada saat itu secara tidak sengaja seorang warga menemukan barang yang memiliki nilai lebih yang berasal dari cengkeh dan tembakau dibungkus dengan kertas, seiring perkembangan zaman rokok mulai melekat dengan citra masyarakat Kudus dan industri rokok berkembang pesat. Kudus, sebagai salah satu pusat industri rokok terbesar kedua setelah Jawa Timur. Disamping Industri berskala besar dan sedang, banyak industri rokok yang berusaha pada skala kecil, mikro bahkan rumah tangga. Sebagian besar dapat dikatakan berusaha dengan basis masyarakat. Berkaitan dengan karakter produknya, rokok termasuk produk yang dibatasi peredarannya sehingga dikenakan cukai. Berbagai aturan pembatasan tidak menyurutkan mereka untuk terus berusaha. Hal ini diduga terdapat nilai-norma dan kepercayaan sebagai komponen modal sosial yang bekerja dalam komunitas industri rokok tersebut. Disamping itu dilihat dari sejarahnya, kebanggaan sebagai cikal bakal kota kretek yang secara turun temurun diwariskan menjadi motif berusaha yang tidak mudah untuk dialihkan kepada produk lain. Tabel 1.6 Perkembangan Seluruh Jenis Produksi Rokok di Kabupaten Kudus Tahun 2008-2010 batang No Tahun Jenis Jumlah SKT SKM Klobot 1 2008 18.518.147.214 42.756.952.200 10.265.970 61.285.365.384 2 2009 17.802.238.888 41.599.662.358 4.515.200 59.406.416.446 3 2010 17.330.300.118 41.078.181.304 5.884.900 58.414.366.322 Sumber : Kudus Dalam Angka, 2011. Keterangan : SKT : Sigaret Kretek Tangan SKM : Sigaret Kretek Mesin Tabel 1.6 menunjukkan bahwa jumlah nilai produksi industri rokok di Kabupaten Kudus baik dari SKT, SKM, atau Klobot dari tahun 2008-2010 mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan berlakunya regulasi pemerintah dalam menindaklanjuti banyaknya rokok yang tidak memiliki izin ilegal sehingga banyak industri kecil rokok di Kabupaten Kudus yang gulung tikar. Besarnya nilai produksi tersebut ditopang oleh industri rokok besar. Industri kecil rokok kretek di Kabupaten Kudus mencapai 1.800 unit usaha pada tahun 2007, tahun tersebut merupakan masa keemasan bagi para pengusaha rokok kecil karena masih ada kebebasan dalam mengembangkan usahanya dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Selain industri kecil rokok, di Kabupaten Kudus terkenal dengan industri besar rokok Djarum, Sukun maka dari itu tidak heran bahwa sektor industri merupakan sektor utama penyangga pendapatan daerah. Tabel 1.7 Perkembangan Industri Kecil Rokok Kretek di Kabupaten Kudus tahun 2008 – 2011 No Tahun Unit Usaha Tenaga Kerja orang Nilai Produksi Juta Rp 1 2008 562 196.000 843.000 2 2009 239 98.000 358.500 3 2010 209 89.889 259.500 4 2011 173 85.665 227.000 Sumber : Dinas Perinkop dan UMKM, 2012. Tabel 1.7 menunjukkan bahwa jumlah industri kecil rokok kretek semakin menurun dari tahun 2008 hingga tahun 2011, hal ini dikarenakan menurunnya daya saing industri dan menghadapi berbagai permasalahan baik faktor eksternal maupun internal, harga bahan baku yang semakin mahal membuat para pengusaha rokok kretek kecil kesulitan untuk menekan biaya produksi yang nantinya akan menyebabkan pengurangan tenaga kerja dan penurunan nilai produksi. Selain itu karena adanya regulasi pemerintah, kebijakan tarif pengenaan cukai pada batang rokok yang dirasa mahal membuat banyak pabrik rokok kretek kecil berjatuhan karena tidak mampu mengeluarkan biaya lebih banyak lagi dalam memproduksi, jumlah pabrik rokok kretek kecil yang awalnya mencapai ribuan sekarang tinggal 173 unit usaha. Tabel 1.8 Sebaran Industri Rokok Kecil Menurut Kecamatan Tahun 2011 No Kecamatan Unit Usaha 1 Gebog 35 2 Dawe 24 3 Kaliwungu 20 4 Kota 24 5 Mejobo 18 6 Jekulo 15 7 Unda’an 10 8 Jati 14 9 Bae 13 Jumlah 173 Sumber : Dinas Perindustrian UMKM Kabupaten Kudus, 2012. Tabel 1.8 menunjukkan bahwa penyebaran industri kecil rokok kretek di tiap kecamatan di Kabupaten Kudus berbeda-beda, Kecamatan Gebog merupakan kecamatan yang memiliki jumlah industri kecil rokok yang paling banyak. Permasalahan industri kecil rokok sangat beragam, dalam hal modal misalnya, modal merupakan langkah awal pengusaha untuk memulai produksi apabila pengusaha kekurangan modal maka akan kesulitan sehingga produksi yang dihasilkan akan turun. Permasalahan lain adalah terkendalanya bahan baku, harga bahan baku untuk memproduksi rokok semakin mahal, yaitu cengkeh dan tembakau yang berfluktuasi sehingga banyak pengusaha rokok kecil tidak mampu menekan biaya produksi yang semakin mahal dan akhirnya gulung tikar. Industri rokok di Kabupaten Kudus bersaing satu sama lain, tidak heran jika industri rokok kecil banyak yang bangkrut karena tekanan dari sesamanya. Selain itu, penjiplakan merk rokok juga menjadi salah satu alasan agar industri tersebut tetap beroperasi. Sistem pasar persaingan sempurna yang diantara sesame produsen rokok saling menjatuhkan jelas terjadi. Rokok erat kaitannya dengan cukai, tarif cukai yang semakin bertambah menyebabkan para pengusaha rokok kecil mengeluh, karena selain terkendala dari bahan baku yang harganya berfluktuasi, mereka juga keberatan apabila harga menjadi mahal karena sasaran mereka adalah masyarakat golongan menengah kebawah. Kabupaten Kudus merupakan penghasil cukai tembakau yang sangat potensial bagi negara. Tahun 2011 dihasilkan cukai sebesar 18,78 triliun rupiah, yang terdiri dari cukai hasil tembakau 99,44, cukai lainnya sebesar 0,003 dan penerimaan lainnya 0,55. Statistik Daerah Kabupaten Kudus, 2012 Sumbangan cukai rokok dari Kabupaten Kudus pada tahun 2011 Rp 18,78 triliun dari target 17,4 triliun dan pada tahun 2012 ditargetkan Rp 19,1 triliun. Penerimaan negara dari cukai rokok Kudus ikut menyumbang penerimaan cukai nasional yang tahun 2011 diplot Rp 62,759 triliun, dan tahun 2012 ditargetkan Rp 72 triliun mengingat tahun ini ada kenaikan cukai rata-rata 16,3 persen lewat produksi hasil tembakau yang diperkirakan 268,4 miliar batang. Kampanye cukai ilegal dan Permenkeu Nomor 200 Tahun 2008 yang mewajibkan bangunan industri rokok kecil 200 m 2 ikut menekan industri rokok rumahan. Ketergantungan masyarakat Kudus terhadap industri rokok sangat tinggi karena sedikitnya 100 ribu dari 700 ribu penduduk kota itu menggantungkan hidupnya dari industri itu. Berdasarkan kenyataan mengenai perkembangan produksi industri kecil rokok kretek di Kabupaten Kudus, maka penulis tertarik untuk meneliti “Analisis Kinerja Produksi Industri Kecil Rokok Kretek di Kabupaten Kudus.”

1.2 Rumusan Masalah