Analisis struktur, kinerja, dan perilaku industry rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008

(1)

ANALISIS STRUKTUR, KINERJA, DAN PERILAKU INDUSTRI

ROKOK KRETEK DAN INDUSTRI ROKOK PUTIH

DI INDONESIA SELAMA PERIODE 1991-2008

OLEH :

GUSTYANITA PRATIWI H14070039

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

GUSTYANITA PRATIWI. Analisis Struktur, Kinerja, dan Perilaku Industri Rokok Kretek dan Industri Rokok Putih di Indonesia Selama Periode 1991-2008 (dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI).

Industri Hasil Tembakau (IHT) dinilai sebagai industri yang mampu menunjang sektor perekonomian Indonesia. Penerimaan cukai hasil tembakau terbukti efektif untuk meningkatkan penerimaan negara, sehingga industri ini masih tetap dipertahankan. Perkembangan yang terjadi selama kurun waktu 1991-2008, mengindikasikan adanya perubahan pada struktur, kinerja, dan perilaku dari industri rokok, baik industri rokok kretek maupun industri rokok putih. Pertumbuhan jumlah perusahaan yang cukup besar pada industri rokok kretek diduga akan berdampak terhadap struktur industrinya. Pada industri rokok putih, pertumbuhan jumlah perusahaan memang tidak sebesar pada industri rokok kretek. Namun demikian, analisis pada industri ini tetap penting, mengingat belum banyak penelitian yang membahas tentang industri rokok putih. Perubahan struktur tersebut, pada akhirnya akan mempengaruhi bagaimana kinerja dan perilaku yang ada pada kedua industri.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan antara industri rokok kretek dengan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008. Perbedaan yang dianalisis mencakup struktur, kinerja, dan perilaku di kedua industri. Selain itu akan dianalisis faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja. Perbedaan struktur, kinerja, dan perilaku kedua industri akan dianalisis menggunakan Metode SCP. Pendekatan ini terdiri dari tiga analisis utama yaitu analisis struktur, analisis kinerja, dan analisis perilaku. Analisis struktur diproksi melalui indikator CR4 serta hambatan masuk. Kinerja industri diukur dengan Pendekatan Price Cost Margin (PCM). Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dianalisis dengan Metode Ordinary Least Square (OLS).

Hasil analisis struktur, didapatkan bahwa tingkat konsentrasi industri rokok kretek berubah dari oligopoli ketat (84,29 persen) menuju ke oligopoli sedang (52,65 persen). Industri rokok putih masih bertahan pada tingkat oligopoli ketat, dengan rata-rata nilai CR4 sebesar 94,75 persen. Rata-rata nilai MES yang mencerminkan hambatan masuk pada industri rokok putih lebih tinggi (95,17 persen) daripada industri rokok kretek (72,17 persen). Analisis regresi pada industri rokok kretek menunjukkan bahwa variabel Growth dan X-Eff signifikan positif, sedangkan variabel jumlah perusahaan signifikan negatif terhadap PCM. Pada industri rokok putih, variabel yang signifikan terhadap PCM adalah X-eff dengan nilai sebesar 0,002426. Adapun analisis perilaku antara kedua industri tidak terlepas dari peraturan pemerintah terutama dalam hal penetapan harga jual. Perilaku yang terkait dengan strategi promosi meskipun meningkatkan biaya promosi, tetap dilakukan untuk mempertahankan pangsa pasar yang besar.

   


(3)

GUSTYANITA PRATIWI. Analysis Structure, Performance, and Conduct of Clove Cigarette Industry and White Cigarettes industry During the Period 1991-2008 (guided by LUKYTAWATI ANGGRAENI).

Tobacco Products Industry (IHT) is rated as the industry capable of supporting Indonesia's economy sector. Tobacco excise receipts proved effective for increasing state revenues, so the industry is still maintained. Developments that occurred during the period 1991-2008, indicating a change in the structure, performance, and conduct of the tobacco industry, both clove cigarettes industries and white cigarette industries. Growth of a sizeable number of firms in the clove cigarette industries is expected to affect the structure of industry. In white cigarette industry, growth in number of firms is not as big as clove cigarettes industry. However, the analysis in this industry is still important, considering the many studies that discuss the white cigarette industry. Changes in the structure, will ultimately affect how the performance and conduct, that exist in both industries.

This study aims to analyze the difference between clove cigarette industry with a white cigarette industry in Indonesia during the period 1991-2008. Differences analyzed include the structure, performance, and conduct in both of industries. Additionally, it will analyze any factors that could affect performance. Differences of structure, performance, and behavior will be analyzed using SCP Method. This approach consists of three main analysis of the structural analysis, performance analysis, and conduct analysis. Analysis of the structure is measured through CR4 indicators and barriers to entry. Industry performance is measured by Price Cost Margin (PCM). Factors affecting the performance was analyzed by method of Ordinary Least Square (OLS).

The results of structural analysis, it was found that the level of industry concentration of clove cigarettes went from tight oligopoly (84,29 percent) toward medium oligopoly (52,65 percent). White cigarette industry remained at the level of tight oligopoly, with an average value of CR4 of 94,75 percent. The average value of MES that reflects the barrier to entry on a white cigarette industry is higher (95,17 percent) than the cigarette industry (72,17 percent). Regression analysis on a clove cigarette industry indicates that the variable X-eff and Growth significantly positive, whereas a variable number of firms significantly negative effect on PCM. In white cigarette industry, a significant variable to the PCM is the X-eff with a value of 0,002426. The analysis of the behavior between the two industries can not be separated from government regulation, especially in setting the sale price. Behavior associated with the promotion strategy despite increased promotional costs, is still being done to maintain a large market.


(4)

   

ANALISIS STRUKTUR, KINERJA, DAN PERILAKU

INDUSTRI ROKOK KRETEK DAN INDUSTRI ROKOK

PUTIH DI INDONESIA SELAMA PERIODE 1991-2008

Oleh

GUSTYANITA PRATIWI H14070039

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

   

Kretek dan Industri Rokok Putih di Indonesia Selama Periode 1991-2008

Nama Mahasiswa : Gustyanita Pratiwi NIM : H14070039

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Lukytawati Anggraeni, SP. M.Si NIP.1997 1213 2005012002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec NIP. 1964 1022 19890310003


(6)

   

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2011

Gustyanita Pratiwi H14070039


(7)

   

Penulis bernama Gustyanita Pratiwi, lahir pada tanggal 5 September 1989 di Kebumen, Jawa Tengah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Drs.Tri Hardi Agus Mulyanto dan Titik Nurjayati, S.Pt. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 1 Bagung pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Prembun, lulus pada tahun 2004. Penulis selanjutnya diterima di SMA Negeri 1 Prembun, dan lulus tahun 2007.

Pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di perguruan tinggi tersebut melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). IPB menjadi pilihan penulis dengan harapan agar penulis memperoleh ilmu serta pola pikir yang baik sehingga akhirnya menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan daerah asal yaitu Kebumen. Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan seperti FORKOMA dan SES-C.


(8)

   

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, karena atas rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul : “Analisis Struktur, Kinerja, dan Perilaku Industri Rokok Kretek dan Industri Rokok Putih di Indonesia Selama Periode 1991-2008”. Industri rokok merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian negara. Perubahan yang terjadi selama 18 tahun terakhir, telah mengindikasikan banyak perubahan dalam hal struktur, kinerja maupun perilaku antara industri rokok kretek maupun industri rokok putih. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk menganalisis bagaimana struktur, kinerja, maupun perilaku kedua industri tersebut. Di samping itu, skipsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Lukytawati Anggraeni, SP. M.Si, yang telah membimbing penyusunan skripsi ini, baik secara teknis maupun teoretis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Tanti Novianti, M.Si, selaku Dosen Penguji Utama atas kritik, saran yang membangun, serta kesediaannya menjadi dosen penguji.

3. Widyastutik, M.Si, selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan yang telah bersedia memberikan saran dan tatacara penulisan skripsi yang baik.

4. Badan Pusat Statisik yang telah memberikan data penunjang analisis Struktur, Kinerja, dan Perilaku Industri Rokok Kretek dan Industri Rokok Putih di Indonesia Selama Periode 1991-2008.

5. Bapak Drs. Tri Hardi Agus Mulyanto, Ibu Titik Nurjayati, S.Pt, Gustitia Putri Perdana, Gustitiara An Nissa, serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.


(9)

   

pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011

Gustyanita Pratiwi H14070039


(10)

   

5

7

9

0

5

1

1

3.4

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 1.5. Ruang Lingkup ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri ... 9

2.2. Pendekatan Structur Conduct Performance (SCP) ... 1

2.2.1. Struktur Pasar ... 11

2.2.2. Kinerja Pasar ... 1

2.2.3. Perilaku Pasar ... 15

2.3. Penelitian Terdahulu ... 15

2.4. Kerangka Pemikiran ... 18

III. METODE PENELITIAN ... 2

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 21

3.2. Metode Analisis Data ... 2

3.2.1. Analisis Struktur ... 21

3.2.2. Analisis Kinerja ... 22

3.2.3. Analsis Perilaku ... 24

3.3. Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi kinerja ... 24

. Uji Statistika dan Ekonometrika ... 25

3.4.1. Uji R-Squared (R2) ... 26


(11)

   

7

8

0

4

5.1

8

5.4.8. Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi

3.4.3. Uji t ... 2

3.4.4. Uji Normalitas ... 27

3.4.5. Uji Autokorelasi ... 2

3.4.6. Uji Multikolinearitas ... 28

3.4.7. Uji Heteroskedastisitas... 28

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA... 30

4.1. Pengertian Industri Rokok ... 3

4.2. Perkembangan Industri Rokok di Indonesia ... 32

4.3. Penyerapan Tenaga Kerja ... 3

4.4. Produsen Besar dalam Industri Rokok ... 36

4.4.1. Produsen Rokok Kretek ... 36

4.4.2. Produsen Rokok Putih... 39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

. Analisis Struktur Industri Rokok di Indonesia ... 43

5.1.1. Analisis Konsentrasi ... 43

5.1.2. Analisis Hambatan Masuk Industri ... 45

5.2. Analisis Kinerja Industri Rokok di Indonesia ... 4

5.2.1. Analisis Price Cost Margin (PCM) ... 48

5.2.2. Analisis Efisiensi Internal (X-eff) ... 51

5.3. Analisis Perilaku Industri Rokok di Indonesia ... 53

5.3.1. Strategi Harga ... 53

5.3.2. Strategi Promosi ... 55

5.4. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja ... 60

5.4.1. Uji R-Squared (R2) ... 60

5.4.2. Uji F ... 60

5.4.3. Uji t ... 61

5.4.4. Uji Normalitas ... 61

5.4.5. Uji Multikolinearitas ... 62

5.4.6. Uji Autokorelasi ... 63


(12)

   

VI. KE

6.2. Saran... Kinerja dalam Industri Rokok di Indonesia ... 65 SIMPULAN DAN SARAN ... 68 6.1. Kesimpulan ... 68 69 DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN ... 72


(13)

   

1.1. Penerim

2.1. T

3

5.2. M

5.4. P

5.6. G

5.8. B

5.10. M

5.12. H

5.14. H

Halaman Nomor

aan Cukai Hasil Tembakau Tahun 1991-2008 ... 2

1.2. Jumlah Perusahaan Rokok di Indonesia, Tahun 1991-2008 ... 4

ipe Pasar dan Kondisi Utamanya ... 13

4.1. Perkembangan Output Rokok Nasional, Tahun 1991-2008 ... 3

4.2. Jumlah Tenaga Kerja Industri Rokok, Tahun 1991-2008 ... 35

5.1. CR4 Industri Rokok di Indonesia, Tahun 1991-2008 ... 44

ES Industri Rokok di Indonesia, Tahun 1991-2008 ... 47

5.3. PCM Industri Rokok Kretek, Tahun 1991-2008 ... 50

CM Industri Rokok Putih, Tahun 1991-2008 ... 51

5.5. Perbandingan HJE dan HTP Industri Rokok, Tahun 2008 ... 54

olongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau ... 55

5.7. Belanja Iklan Rokok di Seluruh Media Massa, Tahun 2009 ... 56

elanja Iklan Per Sektor, Tahun 2009 ... 57

5.9. Even dengan Sponsor Utama Produsen Rokok, Tahun 2004-2008 ... 58

atriks Korelasi pada Industri Rokok Kretek ... 63

5.11. Matriks Korelasi pada Industri Rokok Putih ... 63

asil Uji Autokorelasi pada Industri Rokok Kretek ... 63

5.13. Hasil Uji Autokorelasi pada Industri Rokok Putih ... 64

asil Uji Heteroskedastisitas pada Industri Rokok Kretek ... 64


(14)

   

omor

.1. Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja ... 10

.2. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 19

.1. Pohon Industri Berbasis Tembakau ... 32

.1. Grafik Hasil Uji Normalitas pada Industri Rokok Kretek ... 62

.2. Grafik Hasil Uji Normalitas pada Industri Rokok Putih ... 62

DAFTAR GAMBAR

Halaman N

1 1 4 5 5


(15)

   

Halaman Nomor

1. PDB Indonesia Terhadap Harga Konstan 2000 ... 72

2. Efisiensi Internal (X-eff) Industri Rokok Kretek ... 73

3. Efisiensi Internal (X-eff) Industri Rokok Putih ... 74

4. Hubungan Struktur dan Kinerja Industri Rokok Kretek ... 75

5. Hubungan Struktur dan Kinerja Industri Rokok Putih ... 76

6. Hasil Uji Regresi pada Industri Rokok Kretek ... 77


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indikator kemajuan suatu negara dapat dilihat dari perkembangan sektor industrinya. Semakin maju suatu negara, maka peranan dari sektor industrinya akan semakin besar. Berdasarkan data BPS tahun 2001-2008, peranan sektor industri pengolahan di Indonesia telah mencapai 27,58 persen terhadap PDB nasional (Lampiran 1). Nilai ini merupakan pencapaian kontribusi tertinggi yang didapat setelah sebelumnya dikuasai oleh sektor pertanian. Perekonomian negara yang lambat laun menuju ke arah industrialisasi menjadikan Indonesia semakin berpotensi untuk maju. Dari sinilah sektor industri kemudian dijadikan sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi nasional. Salah satu sektor industri yang kemudian berpotensi dalam hal ini adalah Industri Hasil Tembakau (IHT).

Menurut Roadmap Industri Pengolahan Tembakau (2009), IHT mempunyai peran penting dalam menggerakkan sektor perekonomian nasional melalui sektor pajak. Sektor pajak dalam industri ini ditetapkan dalam bentuk cukai hasil tembakau. Berdasarkan Tabel 1.1., penerimaan cukai hasil tembakau di Indonesia ternyata meningkat sebesar 29 kali lipat dari Rp. 1,7 Trilyun (1991) menjadi Rp. 49,9 Trilyun (2008). Peningkatan ini sengaja ditetapkan pemerintah dalam rangka memperbesar kas negara, sehingga roda perekonomian tetap berjalan. Pada saat penerimaan negara meningkat, maka upaya ini dinilai efektif, sehingga IHT menjadi layak untuk dipertahankan dalam perekonomian.


(17)

 

Tabel 1.1. Penerimaan Cukai Hasil Tembakau, Tahun 1991-2008

Tahun

Cukai Hasil Tembakau (Trilyun Rupiah)

Total Penerimaan Pemerintah (Trilyun Rupiah)

Cukai Hasil Tembakau Terhadap

Total Penerimaan Pemerintah (%)

1991 1,70 42,58 4,00

1992 2,12 48,86 4,30

1993 2,47 56,11 4,40

1994 2,65 66,42 4,00

1995 3,45 73,01 4,70

1996 4,06 87,60 4,60

1997 4,89 108,18 4,50

1998 7,45 152,87 4,90

1999 10,11 142,2 5,00

2000 13,80 205,34 6,70

2001 18,30 301,08 6,10

2002 23,08 298,6 7,73

2003 26,40 341,4 7,73

2004 28,64 407,9 7,02

2005 32,65 493,9 6,61

2006 36,96 636,2 5,81

2007 43,48 706,1 6,16

2008 49,92 959,5 5,20

Sumber : Nota Keuangan (1991-2008) dan Bea Cukai (2009)

IHT sendiri sebenarnya dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu industri rokok kretek dan industri rokok putih. Industri ini tidak hanya berperan sebagai penunjang ekonomi bagi daerah-daerah penghasil tembakau, namun juga sebagai penyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. Pada saat krisis ekonomi sekalipun, IHT mampu bertahan dengan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seperti yang dilakukan oleh industri-industri lain. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terus terjadi, hingga pada tahun 2008 telah terjadi penyerapan sebanyak 469.868 orang pada industri rokok kretek, sedangkan pada industri rokok putih sebanyak 4.258 orang (BPS, 2008).


(18)

3  

       

Selain sebagai penyedia lapangan usaha, industri rokok juga mengalami peningkatan tren dari segi jumlah perusahaan. Peningkatan ini terutama terjadi pada industri rokok kretek. Berdasarkan Tabel 1.2., jumlah perusahaan dalam industri rokok kretek, meningkat sebesar 1,72 kali lipat, dari 137 unit (1991) menjadi 236 unit (2008). Peningkatan ini cukup tinggi, karena pangsa pasar rokok nasional pada dasarnya dikuasai oleh rokok kretek, yaitu sebesar 93 persen1.

Rokok kretek ini lebih diminati oleh pasar dalam negeri karena ciri khasnya yang tidak ditemukan dalam rokok lain. Rokok kretek merupakan rokok asli Indonesia, dengan bahan baku utama selain tembakau yaitu cengkeh. Aroma cengkeh yang harum akhirnya menciptakan satu alternatif produk tersendiri, yang ternyata memang sesuai dengan selera orang Indonesia.

Berbeda dengan industri rokok kretek, peningkatan jumlah perusahaan dengan jumlah yang sangat sedikit terjadi pada industri rokok putih. Kondisi ini terjadi di beberapa titik tahun, dimana industri rokok putih sempat mengalami stagnasi dari 1997-2000. Selama kurun waktu empat tahun, industri ini hanya memiliki 10 unit perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan bahkan sempat terjadi, meski kemudian kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi 13 unit. Hal ini kemudian mengindikasikan terjadinya perubahan dari struktur industri itu sendiri, sehingga akan berdampak pada perolehan tingkat keuntungan yang didapat.

  1

Pontianak Post. “Rokok Kretek Dominasi Pangsa Pasar”. http://www.pontianakpost.com. [4 November, 2009].


(19)

 

Tabel 1.2. Jumlah Perusahaan Rokok di Indonesia, Tahun 1991-2008

Tahun Jumlah Perusahaan Rokok Kretek (Unit) Growth (%) Jumlah Perusahaan Rokok Kretek (Unit) Growth (%)

1991 137 10,48 11 -8,33

1992 145 5,54 9 -18,18

1993 175 20,69 10 11,11

1994 201 14,86 11 10,00

1995 203 1,00 12 9,09

1996 191 -5,91 12 0,00

1997 190 -0,52 10 -16,67

1998 200 5,26 10 0,00

1999 209 4,50 10 0,00

2000 210 0,48 10 0,00

2001 200 -4,76 9 -10,00

2002 207 3,50 5 -44,44

2003 211 1,93 9 80,00

2004 235 11,37 10 11,11

2005 284 20,85 7 -30,00

2006 449 58,10 13 85,71

2007 425 -5,35 8 -38,46

2008 381 -10,35 13 62,50

Sumber : BPS (1991-2008)

Penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok di Indonesia. Penelitian ini sangat penting dalam rangka mengidentifikasi keadaan industri rokok, terutama perbandingan antara industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia. Struktur pasar yang terjadi dalam industri rokok perlu diperhatikan agar tidak terjadi persaingan usaha yang tidak sehat. Struktur sendiri merupakan acuan mendasar dalam memproyeksikan perilaku dan kinerja industri. Analisis perilaku juga penting untuk mengetahui perkembangan strategi-strategi apa saja yang diterapkan produsen guna mencapai hasil kinerja yang baik dalam bentuk keuntungan.


(20)

5  

1.2. Rumusan Masalah

Kajian tentang industri rokok selalu menarik untuk dianalisis lebih mendalam. Perkembangan industri ini dapat dikatakan meningkat secara signifikan selama 1991-2008. Jumlah perusahaan rokok yang keluar masuk pasar setiap tahunnya tidak menunjukkan fluktuasi yang berarti, kecuali pada tahun 2006. Pertumbuhan pada tahun tersebut mencapai persentase yang cukup tinggi, baik pada industri rokok kretek (58,10 %) maupun industri rokok putih (85,71 %). Hal ini diduga karena hambatan masuk bagi perusahaan-perusahaan baru semakin berkurang. Pada saat kondisi ini berlangsung, maka masalah utamanya terletak pada perolehan keuntungan yang semakin berkurang. Artinya, dari sisi produsen, tingkat keuntungan antara produsen lama maupun produsen baru akan mengalami perubahan. Semakin tinggi tingkat persaingan dalam industri, maka semakin memberikan ancaman bagi produsen yang tidak dapat bersaing dalam industri tersebut untuk keluar dalam pasar. Apabila hal tersebut terjadi, maka tingkat keuntungan yang diperoleh akan menurun. Secara umum, kondisi ini akan menggambarkan bagaimana perubahan tingkat struktur dari industri itu sendiri.

Menurut Bain dalam Sumarno dan Kuncoro (2002), struktur industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 1998 adalah oligopoli ketat. Empat perusahaan terbesar menguasai pangsa pasar dengan nilai CR4 sebesar 68 persen. Pada tahun tersebut, terjadi penurunan konsentrasi industri yang disebabkan oleh dua hal. Pertama, bertambahnya perusahaan akan menyebabkan CR4 berkurang, sehingga hambatan masuk bagi perusahaan baru ikut berkurang. Kedua, tahun 1998 merupakan puncak krisis ekonomi sehingga roda perekonomian ikut tersendat.


(21)

 

Bagaim

Bagaim

Fa

Pertumbuhan yang cukup pesat, terutama pada industri rokok kretek antara tahun 2005-2008, cukup mempengaruhi tingkat konsentrasinya. Kondisi ini mengekspektasikan bahwa struktur industri rokok tersebut mulai berubah. Dengan kata lain apakah strukur tersebut masih bertahan pada tingkat oligopoli ketat, atau mulai berubah menjadi oligopoli longgar. Sementara itu, pada industri rokok putih belum diketahui bagaimana strukturnya. Hal ini terjadi karena selama ini jarang sekali terdapat penelitian yang membahas tentang industri rokok putih.

Banyaknya perusahaan yang masuk ke dalam industri menyebabkan tingkat persaingan semakin ketat. Perilaku suatu perusahaan tentulah sangat menentukan bertahan tidaknya perusahaan tersebut dalam industri. Perilaku ini merupakan kumpulan dari strategi perusahaan yang mencakup strategi penetapan harga maupun promosi. Selain sebagai antisipasi dalam upaya pertahanan, strategi yang terangkum dalam perilaku merupakan upaya untuk memperluas pasar. Adapun kinerja sangat berkaitan dengan struktur dan perilaku dari industri itu sendiri. Struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok kemudian menjadi penting untuk dianalisis, sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini ditekankan pada: 1. ana struktur industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia

selama periode 1991-2008 ?

2. ana perilaku industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008 ?

3. ktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008 ?


(22)

7  

M

M

M

1.4. Manfaat

nelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

a. Pem an yang terkait

ndonesia, terkait dengan perilaku dan

an masukan

i tempat untuk pengaplikasian ilmu

1.5. Ruang Lingkup

nelitian ini meliputi, struktur, perilaku, dan kinerja dari industri rokok di Indonesia. Adapun objek penelitiannya hanya mencakup industri

1.3. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. engidentifikasi struktur industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008.

b. engidentifikasi perilaku industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008.

c. engidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dari industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008.

Hasil dari pe

erintah selaku regulator dalam penetapan berbagai kebijak dengan industri rokok di Indonesia.

b. Para pelaku industri rokok di I

kinerjanya dalam aktivitas produksi yang semakin berdaya saing. c. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi d

dalam penelitian-penelitian selanjutnya. d. Bagi penulis diharapkan dapat menjad

pengetahuan selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.


(23)

 

rokok kretek dan industri rokok putih. Variabel yang digunakan merupakan variabel yang dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kinerja. Kinerja industri rokok sendiri diwakili oleh Variabel Price Cost Margin

(PCM). Sedangkan variabel yang diduga dapat mempengaruhi kinerja terdiri dari tingkat pertumbuhan nilai output (Growth), jumlah perusahaan (Usaha), dan efisiensi internal (X-eff). Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1991-2008.


(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Ekonomi Industri

Ekonomi industri merupakan cabang ilmu yang khusus mempelajari perilaku-perilaku perusahaan dalam industri (Teguh, 2006). Perilaku industri tentu sangat berhubungan erat dengan tujuan-tujuan industri. Setiap keputusan bisnis yang diambil oleh produsen akan sejalan dengan tujuan ekonomi yang telah ditentukan sebelumnya. Tujuan tersebut tercermin dalam bentuk keuntungan yang didapat dalam jangka panjang (Kuncoro, 2007).

Tiap-tiap industri dalam perekonomian memiliki perilaku yang berbeda-beda. Ada industri yang memiliki tipe oligopoli, ada pula yang tidak memiliki tipe demikian. Perekonomian yang serba tidak pasti menjadikan industri-industri tersebut mampu bertahan dengan segala strategi yang telah diperhitungkan. Di sisi lain terdapat pula industri-industri yang cukup rentan terhadap gejala perekonomian yang ada. Hal-hal seperti inilah yang kemudian dirangkum dalam ilmu ekonomi industri.

Pengertian lain tentang ekonomi industri dikemukakan Jaya (2001). Ekonomi industri didefinisikan sebagai pengorganisasian pasar untuk mengetahui cara kerja dari industri itu sendiri. Secara relatif, pengorganisasian pasar diperlukan untuk mengidentifikasi aspek-asek seperti, struktur, perilaku dan kinerja pasar. Kajian mengenai struktur, perilaku dan kinerja suatu industri menjadi penting untuk dipelajari. Hal ini tidak terlepas dari semakin tingginya konsentrasi struktur pasar yang menciptakan kecenderungan ke arah oligopoli.


(25)

10   

Ketika konsentrasi oligopoli berada pada tingkat yang sangat ketat, maka barrier to entry juga akan semakin besar. Persaingan menjadi tidak sehat, dan perusahaan besar akan cenderung melakukan tekanan-tekanan pada perusahaan lainnya

2.2. Pendekatan Structure-Conduct-Performance (SCP)

Teori ekonomi industri selalu menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi struktur, kinerja, dan perilaku pasar. Semuanya itu bertujuan untuk mencapai tingkat efisiensi baik di tingkat perusahaan, industri, maupun perekonomian secara luas (Jaya, 2001).

Struktur (Structure) Jumlah penjual dan pembeli Skala pembeli, Kondisi biaya, diferensiasi produk, Hambatan masuk, Integrasi vertikal, Integrasi horizontal,Konglomerasi

Tingkat kerjasama

Kinerja (Performance) Efisiensi Pemerataan Kemajuan Teknologi Laba Full employment Kesempatan kerja Kualitas produk

Perilaku (Conduct) Strategi harga Strategi produk Strategi promosi                        

Sumber : dimodifikasi dari Scherer dalam Kuncoro (2007)

Gambar 1.1. Hubungan Struktur-Perilaku-Kinerja  

   


(26)

11   

     

Gambar 1.1., menunjukkan adanya keterkaitan antara struktur, perilaku, maupun kinerja dari suatu industri. Kinerja (performance) dalam suatu industri dipengaruhi oleh perilaku (conduct), dari para penjual dan pembeli dalam industri. Perilaku ini mencakup perilaku harga, persaingan nonharga (produk, promosi, dan inovasi), serta kerja sama antar perusahaan. Perilaku perusahaan tergantung dari struktur (structure) pasar yang relevan.

Struktur dapat dilihat dari jumlah penjual dan jumlah pembeli, skala pembeli, tingkat diferensiasi produk, hambatan masuk, struktur biaya, integrasi vertikal, integrasi horizontal, maupun konglomerasinya. Analisis organisasi industri dengan pendekatan SCP dimulai dengan cara menelaah terlebih dahulu struktur terhadap kinerja, baru setelah itu mengamati bagaimana perilaku industrinya (Kuncoro, 2007).

2.2.1. Struktur Pasar

Menurut Teguh (2006), struktur pasar menunjukkan karakteristik pasar, seperti jumlah pembeli dan penjual, keadaan produk, pengetahuan penjual dan pembeli, serta keadaan hambatan masuk pasarnya. Perbedaan pada elemen-elemen tersebut akan membedakan cara masing-masing pelaku pasar dalam berperilaku. Perbedaan berperilaku ini akhirnya akan menentukan perbedaan kinerja pada pasar itu sendiri.

Jumlah penjual dalam pasar akan mempengaruhi harga jual yang berlaku dan output yang terdapat dalam pasar. Pasar yang memiliki struktur oligopoli ditandai dengan adanya sejumlah produsen yang menguasai pasar namun dalam jumlah yang sedikit. Perusahaan tersebut akan mampu menghasilkan output dalam


(27)

12   

     

skala besar dan menguasai keadaan pasar. Di sisi lain, terdapat pula produsen-produsen dengan skala kecil sehingga hanya mampu memproduksi output dalam jumlah kecil. Produsen-produsen ini pada akhirnya hanya memiliki andil yang kecil dalam industri.

Menurut Teguh (2006), produk-produk yang dihasilkan industri oligopolis, dapat bersifat homogen, dan dapat pula bersifat heterogen. Perbedaan penampilan produk yang dihasilkan oleh produsen akan turut menentukan perbedaan perilaku bersaing dalam pasar. Produsen yang menghasilkan output yang berbeda corak pada akhirnya akan memiliki wilayah pasar tersendiri, sehingga output mereka menjadi dominan dibandingkan dengan pesaing-pesaing lainnya. Sejumlah perusahaan kemudian menerapkan strategi-strategi bisnis yang jitu agar tetap masuk menjadi bagian yang dominan dalam pasar.

Menurut Jaya (2001), struktur pasar lebih mengacu pada organisasi pasar yang dapat mempengaruhi persaingan dan tingkat harga, baik barang maupun jasa. Struktur pasar dalam konteks ini menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi sifat persaingan. Beberapa elemen penting untuk mengukur struktur pasar diantaranya tingkat konsentrasi dan hambatan masuk pasar.

a. Konsentrasi Pasar

Tingkat konsentrasi industri merupakan salah satu variabel penting dalam struktur pasar. Konsentrasi menurut Jaya (2001), dapat diartikan sebagai kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopolis yang terdapat hubungan saling ketergantungan di dalamnya. Konsentrasi juga menunjukan tingkat produksi dari pasar yang hanya terfokus pada satu atau beberapa


(28)

13   

     

perusahaan terbesar. Semakin besar pangsa pasar yang dikuasai oleh perusahaan relatif terhadap pangsa pasar total, maka semakin tinggi nilai konsentrasinya.

Tabel 2.1. Tipe Pasar dan Kondisi Utamanya

Tipe Pasar Kondisi Utama

Monopoli Murni Perusahaan menguasai 100 persen pangsa pasar. Perusahaan yang dominan Perusahaan minimal menguasai 50 persen sampai

dengan 100 persen pangsa pasar tanpa pesaing yang kuat.

Oligopoli Ketat Penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60 persen sampai dengan 100 persen.

Oligopoli Sedang Penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 40 persen sampai dengan 60 persen.

Oligopoli Longgar Penggabungan empat perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar di bawah 40 persen.

Persaingan Monopolistik Banyak pesaing yang efektif dan tidak ada satupun yang memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. Persaingan Murni Terdapat lebih dari 50 pesaing dan tidak ada

satupun yang memiliki pangsa pasar berarti. Sumber : Jaya ( 2001)

Tingginya konsentrasi pasar menunjukkan bahwa pasar tersebut memiliki kecenderungan ke arah monopoli atau oligopoli. Pembangunan industri di Indonesia saat ini lebih difokuskan pada konsentrasi modal, sehingga mendorong terbentuknya struktur pasar oligopoli. Pertumbuhan sektor industri oligopoli relatif lebih tinggi karena penggunaan teknologi produksi yang relatif padat modal dengan tingkat keterampilan yang relatif lebih tinggi (Kuncoro, 2007).

b. Hambatan Masuk Pasar

Hambatan masuk pasar terjadi sebagai akibat dari ketatnya persaingan dalam industri. Menurut Teguh (2006), hambatan masuk terdiri dari hambatan alamiah dan hambatan artifisial. Hambatan alamiah merupakan hambatan yang dimiliki oleh setiap perusahaan yang mapan dalam industri guna menghambat


(29)

14   

     

entry bagi pesaing potensial yang diperoleh secara alamiah, seperti unggul dalam kepemilikan modal, efisien dalam berproduksi, serta kemampuan manajemen bisnis yang unggul.

Hambatan artifisial dapat berupa keunggulan yang dimiliki perusahaan karena proses ditunjuk pemerintah, dan kolusi formal. Perusahaan dominan dapat menaikkan atau menurunkan harga jual pasar agar calon pesaing tidak tertarik memasuki pasar. Perusahaan dengan biaya produksi lebih rendah dapat menghalangi calon pesaing dengan cara mengenakan harga jual sampai kepada batas biaya marginal. Adanya hambatan yang demikian menyebabkan calon pesaing tidak tertarik memasuki pasar, sehingga perusahaan mapan menjadi dominan dalam pasar.

Oligopolis mapan juga dapat menerapkan kolusi dalam bentuk asosiasi yang bersifat legal. Wadah-wadah kolusi tersebut akan memberikan kekuatan ekstra bagi perusahaan-perusahaan dalam persekutuan guna merintangi calon pesaing masuk ke dalam pasar. Pesaing potensial, sengaja dibiarkan masuk ke dalam pasar, untuk menciptakan situasi aman bagi penguasa pasar. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan-perusahaan tersebut terhindar dari tuduhan mengeksploitasi konsumen sehingga pada akhirnya masih dapat mencapai keuntungan super normal dalam pasar. Namun demikian, jika kehadiran pesaing dirasa berbahaya, maka pihak-pihak yang berada dalam ikatan kolusi dapat menurunkan harga secara bersama sehingga tidak menarik perhatian pesaing potensial masuk ke dalam pasar.


(30)

15   

     

2.2.2. Kinerja Pasar

Kinerja pasar menurut Teguh (2006), merupakan hasil kerja atau prestasi yang muncul sebagai reaksi akibat terjadinya tindakan-tindakan para pesaing pasar yang menjalankan strategi perusahaannya guna bersaing dan menguasai pasar. Kinerja dapat diukur melalui berbagai bentuk pencapaian yang diraih perusahaan, beberapa diantaranya adalah keuntungan dan efisiensi.

Struktur industri yang berbeda-beda ditandai oleh keuntungan yang diterima setiap perusahaan dalam industri yang berbeda-beda pula. Industri yang berstruktur pasar persaingan sempurna, akan mendapatkan keuntungan normal.

Produsen pada umumnya akan berproduksi pada saat harga sama dengan biaya marginal dan biaya rata-rata. Sebaliknya, pasar yang berstruktur oligopoli/monopoli akan berproduksi pada saat tingkat harga melebihi biaya rata-rata yang sedang menurun sehingga keuntungan yang didapat bersifat super normal profit.

Menurut Teguh (2006), struktur pasar yang bersifat oligopoli/ monopoli pada umumnya berproduksi pada situasi penerimaan marginal sama dengan biaya marginal. Oligopolis/monopolis tersebut akan berproduksi pada saat kapasitas produksi yang rendah sehingga mendapat keuntungan super normal.

2.2.3. Perilaku Pasar

Perilaku pasar menurut Kuncoro (2007), diartikan sebagai pola tanggapan yang dilakukan perusahaan untuk mencapai tujuannya dalam lingkup persaingan industri. Aksi reaksi antar satu perusahaan terhadap perusahaan lainnya diterapkan dalam bentuk penetapan harga jual, serta promosi produk (advertising).


(31)

16   

     

Perilaku pasar digunakan untuk menentukan segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan operasional perusahaan. Strategi pasar jenis ini dilakukan oleh pelaku pasar beserta pesaing-pesaingnya. Masing-masing tindakan yang dijalankan oleh perusahaan dalam industri memiliki ciri khas tersendiri sebagai langkah untuk melakukan penetrasi pasar (Teguh, 2006). Perilaku setiap perusahaan akan sulit diperkirakan untuk kondisi pasar oligopoli. Tindakan yang dilakukan seringkali harus mengantisipasi tindakan dari pesaing-pesaing terdekat.

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian dengan pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja (SCP), telah banyak diterapkan di berbagai industri seperti industri minuman ringan (Sunengcih, 2009), industri pertambangan non-migas (Fathan, 2010), serta industri pengolahan dan pengawetan daging (Panaadhy, 2010). Mengacu pada konteks yang sama, penelitian ini juga menggunakan SCP sebagai alat analisisnya. Penelitian ini diarahkan untuk menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok dengan acuan dari penelitian-penelitian sebelumnya tentang SCP industri rokok.

Sumarno dan Kuncoro (2002), menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia periode 1996-1999. Penelitian ini menggunakan indikator CR4 dan jumlah perusahaan sebagai ukuran dari struktur, sedangkan keuntungan sebagai indikator dari kinerja. Hasil analisis yang didapat yaitu, keuntungan tiap perusahaan mempunyai korelasi yang positif dengan indikator turunnya nilai CR4. Sedangkan keuntungan tiap perusahaan mempunyai korelasi yang negatif terhadap jumlah perusahaan. Keuntungan per output industri


(32)

17   

     

rokok kretek di Indonesia secara total pada tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 4,1 persen bila dibandingkan dengan keuntungan per output pada tahun 1996. Keuntungan per output yang meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah perusahaan inilah yang menyebabkan keuntungan tiap perusahaan menurun.

Muslim dan Wardhani (2008), menganalisis tentang hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek dengan menggunakan tiga variabel. Variabel tersebut terdiri dari CR4 dan MES (Minimum Efficiency of Scale) sebagai indikator struktur, sedangkan PCM (Price Cost Margin) sebagai indikator kinerja.

Hasil penelitian yang didapatkan yaitu variabel CR4 signifikan positif terhadap PCM. Konsentrasi yang meningkat akan mempengaruhi peningkatan PCM atau sebaliknya. Hasil lainnya yaitu, variabel MES signifikan negatif terhadap PCM. Semakin tinggi hambatan masuk pasar maka semakin menurun nilai PCM, atau sebaliknya. MES bernilai signifikan negatif karena pada industri rokok kretek, orientasinya lebih mengacu pada produk efisiensi. Produk efisiensi diukur berdasarkan peningkatan produktivitas tenaga kerja dalam menghasilkan rokok kretek. Hal ini dilakukan karena industri rokok kretek lebih bersifat padat karya dibandingkan dengan orientasinya terhadap teknologi.

Adapun perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada kelengkapan aspek yang menjadi dasar analisisnya. Penelitian sebelumnya (Sumarno dan Kuncoro, 2002) dan (Muslim dan Wardhani, 2008) hanya menganalisis hubungan antara struktur dan kinerja dari industri rokok kretek. Struktur industri rokok berdasarkan penelitian sebelumnya mengarah pada


(33)

18   

     

tingkat oligopoli ketat. Hal tersebut wajar, mengingat peningkatan jumlah perusahaan tidak terlalu besar, pada tahun-tahun sebelumnya yaitu 1996-1999, dan 2001-2005.

Penelitian ini akan menganalisis tidak hanya terkait SCP pada industri rokok kretek, namun juga pada industri rokok putih. Tahun analisis yang digunakan dimulai dari tahun 1991 hingga tahun 2008. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari penelitian sebelumnya, mengingat setelah tahun 2005, banyak perusahaan baru yang masuk dalam industri. Kondisi ini kemudian memunculkan suatu indikasi baru tentang adanya perubahan tingkat konsentrasi dari industri itu sendiri. Perubahan tersebut diduga akan berpengaruh terhadap kinerja industri. Pembahasan dalam penelitian ini juga akan dilengkapi dengan satu analisis tambahan yang tidak didapatkan dalam penelitian sebelumnya. Analisis tersebut berupa analisis perilaku dari masing-masing industri. Analisis perilaku ini muncul setelah analisis struktur dan kinerja industri tersebut diketahui.

2.4. Kerangka Pemikiran

Tujuan utama ekonomi industri menurut Jaya (2001), adalah mengembangkan suatu alat untuk menganalisis organisasi pasar dan dampaknya terhadap kinerja ekonomi. Konsep Struktur, Kinerja, dan Perilaku (SCP) menjelaskan tentang bagaimana perusahaan akan berperilaku (conduct) dalam menghadapi struktur pasar tertentu, dimana dari perilaku tersebut akan tercipta suatu kinerja (performance).

Penelitian ini akan membahas tentang struktur, perilaku, dan kinerja dari industri rokok kretek dan rokok putih di Indonesia selama periode 1991-2008.


(34)

19   

     

Penelitian ini penting karena perubahan yang terjadi hampir di setiap tahunnya, mengindikasikan pula terjadinya perubahan pada struktur, perilaku, maupun kinerja dari kedua industri.

Industri Rokok di Indonesia (1991-2008)                  

Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang terdapat dalam Gambar 1.2., analisis dimulai secara deskriptif tentang bagaimana kondisi dari struktur, kinerja, dan perilaku dari kedua industri. Struktur akan dianalisis melalui konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dan hambatan masuk pasar (MES). Adapun kinerja akan dijelaskan melalui Analisis Price Cost Margin (PCM).

Setelah mengetahui tentang bagaimana struktur, kinerja, dan perilaku dari kedua industri, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja dari industri rokok tersebut. PCM yang mencerminkan tingkat keuntungan dari industri akan dilihat keterkaitannya

Struktur

CR4

Hambatan Masuk 

Perilaku Strategi Harga Strategi Promosi Kinerja PCM X-eff Growth Industri Rokok Putih Industri Rokok Kretek

Hubungan SCP

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Industri Rokok Indonesia

Analisis Regresi dengan Metode OLS


(35)

20   

     

dengan variabel-variabel yang terdiri dari tingkat pertumbuhan nilai output (Growth), jumlah perusahaan (Usaha) serta efisiensi internal (X-eff). PCM ditetapkan sebagai variabel dependen, sedangkan variabel-variabel lainnya yaitu

Growth, jumlah perusahaan, dan X-eff ditetapkan sebagai variabel independen. Adapun perilaku akan dianalisis berdasarkan strategi harga dan promosi dari kedua industri.


(36)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data utama berasal dari Statistik Industri Besar dan Sedang dalam bentuk buku, Ditjen Bea Cukai, jurnal-jurnal ilmiah, serta literatur-literatur terkait. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1991-2008. Data-data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari: (1) jumlah perusahaan; (2) PCM; (3) CR4; (4) MES; (5) PCM; serta (6) X-eff. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan Eviews 6.

3.2. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua pendekatan. Pertama, pendekatan deskriptif dengan SCP untuk menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok. Kedua adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan salah satu model ekonometrika, yaitu Ordinary Least Square (OLS). Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dari industri rokok kretek maupun industri rokok putih.

3.2.1. Analisis Struktur

Struktur industri di Indonesia dicirikan dengan tingginya tingkat konsentrasi pada beberapa perusahaan (oligopolistik). Struktur industri juga menunjukkan atribut pasar yang mempengaruhi persaingan dalam industri. Struktur pasar biasanya dinyatakan dalam ukuran distribusi perusahaan pesaing.


(37)

22   

MES O O

Ukuran tersebut dapat diketahui melalui analisis konsentrasi rasio dari perusahaan terbesar serta hambatan masuk pasarnya (Kuncoro, 2007).

a. Konsentrasi Pasar

Indikator konsentrasi yang umumnya digunakan adalah metode CR4. CR4 merupakan persentase pangsa perusahaan relatif terhadap pangsa total industri. Struktur oligopoli memiliki 3 tingkatan yaitu: (1) oligopoli ketat, yaitu jika empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar 60 persen sampai dengan 100 persen; (2) oligopoli sedang, yaitu jika empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar 40 persen sampai dengan 60 persen: (3) oligopoli longgar, yaitu jika empat perusahaan terbesar memiliki pangsa pasar di bawah 40 persen (Jaya, 2001). b. Hambatan Masuk Industri

Selain menggunakan ukuran konsentrasi, struktur industri juga dapat diidentifikasi melalui hambatan masuk pasarnya. Alat analisis yang digunakan dalam hal ini adalah Minimum Efficiency Scale (MES). Nilai MES didapatkan dari hasil pembagian antara output perusahaan terbesar dengan total output industrinya (Muslim dan Wardhani, 2008).

x % ... (3.1) 3.2.2. Analisis Kinerja

PCM diidentifikasikan sebagai persentase keuntungan dari kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Semakin tinggi nilai tambah, maka efisiensi kinerja industri semakin meningkat sehingga keuntungan yang didapat akan semakin besar (Muslim dan Wardhani, 2008).


(38)

23   

PCM = % ... (3.2) Efisiensi internal (X-eff) menunjukkan kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk menekan biaya produksi (Putri, 2004). Secara umum, nilai efisiensi internal adalah antara 0-100 persen. Namun demikian, terdapat beberapa kasus yang menyebabkan efisiensi dapat mencapai angka di atas 100 persen. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti sifat dari industri itu sendiri.

Industri yang bersifat mass production merupakan industri yang berorientasi terhadap keberadaan tenaga kerja dalam proses produksinya. Industri ini cenderung bersifat padat karya dan menggunakan sistem jasa upah daripada jasa bulanan. Artinya, upah yang akan diberikan tergantung dari seberapa banyak tenaga kerja tersebut dapat menghasilkan barang. Industri yang bersifat mass production memiliki kecenderungan nilai tambah yang sangat besar. Hal ini terjadi karena nilai output yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan nilai inputnya. Efisiensi internal didapatkan dengan cara membagi nilai tambah dengan nilai input suatu industri (Jaya, 2001).

X-eff = % ... (3.3) Variabel lain yang digunakan adalah pertumbuhan nilai output (Growth). Growth ditentukan dengan cara membagi selisih antara nilai output pada tahun ke-1 dengan nilai output pada tahun sebelumnya (Sunengcih, 2009).


(39)

24   

3.2.3. Analisis Perilaku

Perilaku industri rokok dalam penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif. Analisis tersebut lebih ditekankan pada strategi apa saja yang digunakan industri rokok untuk mendapatkan pangsa pasarnya. Adapun strategi-strategi tersebut terdiri dari strategi-strategi harga dan strategi-strategi promosi.

a. Strategi Harga

Setiap perusahaan dalam lingkup industri tentu memiliki strategi yang berbeda dalam hal penetapan harga. Struktur pasar yang memiliki kecenderungan oligopoli, akan menciptakan perilaku saling ketergantungan antara perusahaan yang kurang mendominasi terhadap perusahaan lain yang lebih mendominasi (Kuncoro, 2007). Kesepakatan dalam hal penetapan harga terkadang dipengaruhi pula oleh kebijakan pemerintah, seperti halnya dalam industri rokok.

b. Strategi Promosi

Promosi digunakan sebagai salah satu upaya perusahaan untuk meningkatkan penjualan. Setiap perusahaan akan mengalokasikan anggaran yang berbeda-beda untuk mempromosikan produknya. Hal demikian sangat terkait dengan ukuran dari perusahaan dalam industri (Kuncoro, 2007). Semakin besar ukuran suatu perusahaan, maka kemampuan untuk mengalokasikan dana untuk promosi akan semakin besar pula. Tingkat kreativitas dan inovasi pun akan sangat menentukan, sehingga produk dapat diterima masyarakat.

3.3. Hubungan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Ordinary Least Square (OLS) digunakan untuk menganalisis hubungan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja. Variabel dalam penelitian ini


(40)

25   

PCM β β Growth β Usaha β Xeff U

β

β ,β β ,β β

prinsipnya tidak boleh menyimpang dari asumsi BLUE (Best, Linear, Unbiased, terdiri atas variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen yang digunakan adalah PCM. Sementara variabel independennya meliputi pertumbuhan nilai output (Growth), jumlah perusahaan (Usaha), dan efisisensi internal (Xeff).

Model persamaan dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunengcih (2009) dalam menganalisis SCP Industri Minuman Ringan di Indonesia, serta Pannaadhy (2010) dalam menganalisis SCP Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging di Indonesia. Adapun model tersebut dapat ditulis dalam persamaan berikut :

Keterangan :

t : tahun ke-t

PCM : proksi keuntungan perusahaan (%) Growth : pertumbuhan output (%)

Usaha : jumlah perusahaan (unit) Xeff : efisiensi internal (%)

U : galat

: intersep (β )

: koefisien kemiringan parsial (β )

3.4. Uji Statistika dan Ekonometrika

Metode Ordinary Least Square (OLS) merupakan salah satu metode pendugaan parameter dalam model regresi. Terdapat sejumlah asumsi tertentu yang harus dipenuhi dalam metode ini. Model regresi yang dibangun pada


(41)

26   

3.4.1. Uji R-Squared (R2)

ntuk mengukur tingkat keberhasilan model regresi dalam

ika R2 bernilai 0 maka tidak ada

3.4.2. Uji F

ji F, Probability F-statistic digunakan untuk mengetahui besarnya pengar

ang signifikan

tu variabel independen yang signifikan dan Estimator). Artinya, setiap model yang dibuat harus terbebas dari penyimpangan asumsi seperti masalah normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, serta heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi masalah tersebut maka diperlukan sejumlah uji asumsi klasik dimulai dari Uji R-Squared (R2), Uji F, Uji t, Uji Normalitas, Uji Autokorelasi, Uji Multikolinearitas serta Uji Heteroskedastisitas (Gujarati, 2006).

Uji ini digunakan u

memprediksi nilai keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel independen terhadap variabel dependennya. Nilai R2 memiliki dua sifat, yaitu: 1. R2 memiliki besaran yang selalu positif,

2. R2 dengan nilai 0 ≤ R2 ≤ 1. Artinya, j

hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Sedangkan apabila R2 bernilai satu, maka terdapat kecocokan yang sempurna antara variabel dependen dengan variabel independen (Gujarati, 2006).

Pada U

uh secara keseluruhan dari variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis untuk melakukan Uji F-statistik adalah:

H0 : semua β = 0, artinya tidak ada variabel independen y terhadap variabel dependen.


(42)

27   

tistic kurang dari taraf nyata, maka

kesimp d

bility t-statistik menunjukkan besarnya pengaruh nyata untuk masing

igunakan karena data yang digunakan kurang dari 30 observa

, maka residualnya terhadap variabel dependen.

Apabila Probability F-sta

ulannya a alah tolak H0. Artinya, minimal ada satu variabel independen yang signifikan terhadap variabel dependennya. Namun sebaliknya, jika Probability F-statistic lebih besar dari taraf nyata, maka harus terima H0, yang berarti tidak ada variabel independen yang signifikan terhadap variabel dependennya (Gujarati, 2006).

3.4.3. Uji t Proba

-masing variabel. Apabila Probability t-statistik untuk masing-masing variabel independen bernilai lebih kecil dari taraf nyata, maka dapat disimpulkan variabel independen tersebut signifikan. Begitupula sebaliknya, jika Probability t-statistik lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka variabel independen tersebut tidak signifikan terhadap variabel dependen (Gujarati, 2006).

3.4.4. Uji Normalitas Uji normalitas d

si. Uji ini digunakan untuk mendeteksi apakah residualnya terdistribusi normal dengan membandingkan nilai Jarque Bera (JB) terhadap taraf nyata yang digunakan (Gujarati, 2006). Ketentuan dari uji ini meliputi:

1. Jika probabilitas JB > taraf nyata yang digunakan terdistribusi normal.


(43)

28   

2. Jika diperoleh nilai probabilitas JB < taraf nyata yang digunakan, maka residualnya tidak terdistribusi normal.

3.4.5. Uji Autokorelasi

Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan sepanjang waktu, berkaitan satu sama lain. Masalah autokorelasi sering terjadi pada data time series. Hal ini disebabkan karena error pada satu variabel akan mempengaruhi error pada variabel yang sama pada periode berikutnya (Gujarati, 2006). Pengujian autokorelasi dapat diketahui dengan menggunakan Breusch-godfrey serial Correllation LM test. Hasil kesimpulannya dapat diketahui melalui nilai Probability Obs*R-squared.

Adapun kriteria uji yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jika nilai Probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka terjadi autokorelasi di dalam model persamaan.

2. Jika nilai Probability Obs*R-squared ternyata lebih besar dari taraf nyata yang digunakan, maka tidak terjadi autokorelasi di dalam model persamaan.

3.4.6. Uji Multikolinearitas

Uji ini diidentifikasi untuk melihat korelasi yang kuat antara variabel independen terhadap variabel dependennya. Multikolinearitas dapat menyebabkan koefisien variabel independen cenderung tidak signifikan terhadap variabel dependen. Uji ini dilakukan dengan melihat koefisien korelasi antar variabel independen yang terdapat pada matriks korelasi. Jika terdapat nilai korelasi parsial


(44)

29   

antar variabel yang lebih besar dari │0,8│ maka dapat disimpulkan terjadi multikolinearitas pada model persamaan yang digunakan (Gujarati, 2006).

3.4.7. Uji Heteroskedastisitas

Suatu persamaan fungsi dapat dikatakan baik apabila tidak memenuhi asumsi heteroskedastisitas (Gujarati, 2006). Gejala adanya Heteroskedastisitas dapat ditunjukkan oleh Probability Obs*R-squared pada Uji Heteoskedastisitas. Kriteria uji yang digunakan meliputi :

1. Jika nilai Probability Obs*R-squared lebih kecil dari taraf nyata, maka persamaan mengalami heteroskedastisitas.

2. Jika nilai Probability Obs*R-squared ternyata lebih besar dari taraf nyata, maka persamaan tidak mengalami heteroskedastisitas.


(45)

IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI ROKOK DI INDONESIA

4.1. Pengertian Industri Rokok

Industri merupakan suatu aktivitas ekonomi yang memanfaatkan peluang bisnis untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang. Analisis industri diarahkan untuk meramalkan perilaku para pesaing, baik itu pemain lama maupun pemain baru. Analisis industri juga diarahkan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan produk, penerapan teknologi baru, serta pengaruh pembangunan terhadap industri yang berhubungan (Kuncoro, 2007).

Industri rokok merupakan kumpulan dari sentra-sentra produksi rokok. Industri ini dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu industri rokok kretek dan industri rokok putih. Perbedaan kedua industri ini terletak pada jenis produk rokok yang ditawarkan2.

Rokok kretek dan rokok putih merupakan dua produk yang sangat berbeda. Kedua rokok ini dibedakan berdasarkan cara pembuatannya. Rokok kretek adalah rokok yang cara pembuatannya menggunakan tembakau rakyat, cengkeh, saus dan bumbu rokok lainnya. Berdasarkan Gambar 4.1., tanaman tembakau pada awalnya terdiri dari batang, daun, dan bunga. Setelah tanaman berumur, daun secara bertahap dipetik mulai dari bawah, tengah, hingga atas. Proses ini memerlukan ketelitian yang cukup tinggi, baik dari segi aroma, rasa, maupun ciri-ciri fisiknya. Daun tembakau yang sudah kering, kemudian diolah dalam proses yang cukup panjang. Proses tersebut dimulai dari pemisahan daun       

2

Darmawan. 2000. “IndustriRokok, Antara Kesehatan, Lapangan Kerja, dan Pemasukan Negara. http://www.kompas.com. [27 Februari 2004].


(46)

31   

       

dari batang-batangnya, pembersihan terhadap benda-benda asing, perajangan, serta pengemasan untuk disimpan dalam gudang dengan suhu dan kelembaban tertentu. Selanjutnya daun tembakau diproses menjadi produk rokok kretek.

Komposisi lain dari rokok kretek adalah cengkeh, saus, serta bumbu rokok lainnya. Cengkeh (Eugenia caryophyllus) merupakan satu bahan baku utama yang membedakan antara rokok kretek dengan rokok putih. Cengkeh dengan kualitas tinggi harus melalui proses pembersihan, perajangan, dan pengeringan terlebih dahulu sebelum disimpan dalam tempat penyimpanan khusus. Bahan lain yang juga berpengaruh terhadap rasa rokok adalah filter dan kertas sigaret (ambri). Bahan filter ini cukup sulit didapat, sehingga masih harus diimpor3.

Adapun bahan baku utama rokok putih adalah Tembakau Virginia. Kebutuhan tembakau jenis ini masih terkendala oleh suplai impor. Volume impor dalam lima tahun terakhir berkembang relatif kecil, namun masih lebih besar dibandingkan dengan volume ekspornya. Rata-rata impornya mencapai volume sebesar 42,95 ton per tahun4. Mengacu pada permasalahan ini, Badan Urusan

Tembakau kemudian membiayai penyelenggaraan kebun-kebun yang menghasilkan benih tembakau pilihan untuk disebarkan ke seluruh petani tembakau di Indonesia. Biaya tersebut diusahakan hingga mencapai 15 Ha per kebunnya. Program ini diharapkan dapat meningkatkan produksi Tembakau Virginia yang berkualitas untuk keperluan dalam industri rokok putih.

  3

PT. Gudang Garam Tbk. 2002. “Bahan Baku dan Proses Pembuatan Rokok Kretek”. http://www.gudanggaramtbk.com. [ 5 Mei 2011].

4

Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1955. Tentang Pemungutan Sumbangan Dari Pabrikan-Pabrikan Rokok bagi"Badan Urusan Tembakau".


(47)

32   

Hal lain yang membedakan antara rokok kretek dengan rokok putih adalah pada penambahan bahan lain berupa cengkeh. Pada pembuatan rokok putih, prosesnya tidak melibatkan penambahan bahan baku cengkeh, seperti yang terjadi pada pembuatan rokok kretek. Secara singkat, pohon industri tanaman tembakau dapat digambarkan sebagai berikut:

                  Batang Bunga (Biji) Kayu Bakar Benih Tembakau Daun Basah Tembakau Rajangan Tembakau Kering tanpa Tulang Daun Tembakau Kering dengan Tulang Daun Tembakau Blended Cerutu Pucuk Daun Badan Daun Tangkal Daun Rokok Rokok Putih Rokok Kretek Tembakau

  Sumber : Roadmap Industri Pengolahan Tembakau (2009)

Gambar 4.1. Pohon Industri Berbasis Tembakau

4.2. Perkembangan Industri Rokok di Indonesia

Industri rokok dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu industri rokok kretek dan industri rokok putih. Selama periode 1991-2008, perkembangan output keduanya memiliki tren yang cukup berbeda. Rokok kretek memiliki tren yang cenderung meningkat, sedangkan rokok putih adalah sebaliknya.


(48)

33   

Tabel 4.1. Perkembangan Output Rokok Nasional, Tahun 1991-2008

Tahun Output Rokok Kretek (Milyar batang)

Growth

(%)

Output Rokok Putih (Milyar batang)

Growth

(%)

1991 134 -3,60 20,4 17,92

1992 139 3,73 19,1 -6,37

1993 139 0,00 19,8 3,66

1994 134 -3,60 21,5 8,59

1995 175 30,60 24,8 15,35

1996 187 6,86 28,7 15,73

1997 197 5,35 29,4 2,44

1998 196 -0,51 32,5 10,54

1999 197 0,51 30,3 -6,77

2000 206 4,57 25,8 -14,85

2001 202 -1,94 24,7 -4,26

2002 182 -9,90 24,2 -2,02

2003 182 0,00 18,9 -21,90

2004 205 12,64 18,7 -1,06

2005 205 0,00 15,3 -18,18

2006 203 -0,98 13,5 -11,76

2007 216 6,40 16,0 18,52

2008 233 7,87 17,0 6,25

Sumber : Ditjen Bea Cukai (2009)

Berdasarkan Tabel 4.1., perkembangan output rokok kretek meningkat secara signifikan sebesar 2,18 kali lipatnya, dari -3,60 persen (1991) menjadi 7,87 persen (2008). Krisis ekonomi memang sempat menurunkan produksi rokok kretek sebesar -0,51 persen dari 197 Milyar batang (1997) menjadi 196 Milyar batang (1998). Namun demikian, produksi kembali meningkat pada tahun 2000 sebesar 206 Milyar batang. Awal tahun 2001, produksi rokok kretek mengalami fluktuasi hingga tahun 2006. Menurut Indocommercial (2006), selama tujuh bulan pertama di tahun 2006, penjualan rokok mengalami penurunan sebesar 4,4 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2005. Produksi meningkat


(49)

34   

kembali di tahun 2007 sebesar 6,40 persen dan mencapai puncaknya di tahun 2008 sebesar 7,87 persen.

Sementara itu, produksi rokok putih terlihat terus mengalami penurunan terhitung sejak tahun 1999. Menurut Indocommercial (2006), penurunan produksi rokok putih tidak hanya dialami oleh produsen rokok berskala kecil, tetapi juga produsen rokok berskala multinasional. Produsen rokok putih terbesar yaitu Phillip Morris dan PT. BAT Indonesia pun mengalami penurunan produksi sejak beberapa tahun terakhir. Secara keseluruhan, produksi rokok putih pada tahun 2004, tercatat hanya sebesar 18,7 Milyar batang, jauh mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun 1999 yang sempat memproduksi sebesar 30,3 Milyar batang. Namun demikian, pertumbuhan kembali positif hingga tahun 2008, yaitu sebesar 6,25 persen. Angka tersebut dinilai memiliki selisih yang cukup jauh sebesar 11,67 persen, dibandingkan dengan angka pertumbuhan yang dicapai pada tahun 1991.

Adapun rata-rata produksi rokok kretek ternyata meningkat menjadi 3,22 persen per tahun, yaitu dari 139 Milyar batang pada tahun 1997 menjadi 233 Milyar batang pada tahun 2008. Sementara itu, rata-rata produksi pada rokok putih justru menunjukkan adanya tren yang menurun sebesar 0,66 persen. Penurunan tersebut terjadi dari 20,4 Milyar batang di tahun 1991, menjadi 17 Milyar batang saja pada tahun 2008.

4.3. Penyerapan Tenaga Kerja

Sejak 1991-2008, telah terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja pada industri rokok kretek maupun industri rokok putih. Berdasarkan Tabel 4.2.,


(50)

35   

penyerapan tenaga kerja pada industri rokok kretek jauh lebih besar dibandingkan dengan penyerapan tenaga kerja pada industri rokok putih. Hal ini disebabkan oleh jumlah perusahaan rokok kretek yang lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan rokok putih. Penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek tercatat sebesar 3,08 persen (1997), meningkat terus hingga mencapai 0,95 persen (2002), kemudian sempat mengalami pertumbuhan negatif sebesar -0,34 persen (2003) dan -5,87 persen (2004). Penyerapan tenaga kerja dengan nilai tertinggi dicapai pada tahun 2008 dengan pertumbuhan sebesar 68,80 persen. Hal ini terjadi karena rentang penambahan jumlah perusahaan pada tahun tersebut mencapai 1,68 kali lipat dari tahun sebelumnya.

Tabel 4.2. Jumlah Tenaga Kerja Industri Rokok, Tahun 1991-2008

Tahun Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek (Orang) Growth (Persen) Tenaga Kerja Industri Rokok Kretek (Orang) Growth (Persen)

1991 139.394 4,50 4.320 3,28

1992 141.889 1,79 4.261 -1,37

1993 144.061 1,53 3.761 -11,73

1994 159.353 10,61 5.135 36,53

1995 166.842 4,70 5.254 2,32

1997 171.977 3,08 5.132 -2,32

1998 188.711 9,73 5.021 -2,16

1999 197.569 4,69 4.765 -5,10

2000 200.821 1,65 4.352 -8,67

2001 211.189 5,16 4.779 9,81

2002 213.197 0,95 1.170 -75,52

2003 212.476 -0,34 5.215 345,73

2004 199.998 -5,87 4.577 -12,23

2005 228.709 14,36 2.954 -35,46

2006 261.257 14,23 2.994 1,35

2007 278.353 6,54 2.907 -2,91

2008 469.868 68,80 4.258 46,47


(51)

36   

Berbeda dengan industri rokok kretek, industri pesaingnya yaitu rokok putih ternyata lebih banyak mengalami pertumbuhan negatif di beberapa titik tahun. Industri ini hanya mengalami pertumbuhan positif sebesar 9,81 persen (2001), 1,35 persen (2006), dan 46,47 persen (2008). Penyerapan tenaga kerja tertinggi juga terjadi di tahun 2008 yaitu sebesar 46,4 persen. Hal ini terjadi karena peningkatan jumlah perusahaan antara tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat sebesar 1,46 kali lipatnya, sehingga secara otomatis akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

4.4. Produsen Besar dalam Industri Rokok

Industri rokok terus mengalami perkembangan selama periode 1991-2008. Baik industri rokok kretek maupun industri rokok putih, keduanya mampu bertahan dalam setiap kondisi ekonomi yang ada. Kedua industri ini, meskipun tidak meningkat dalam jumlah yang besar, namun menunjukkan tren yang naik di akhir tahun analisis. Kedua industri ini terutama dikuasai oleh perusahaan-perusahaan skala besar yang mampu bertahan di tengah ketatnya persaingan.

4.4.1. Produsen Rokok Kretek a. PT. Gudang Garam Tbk

PT. Gudang Garam didirikan pada tanggal 26 Juni 1958 oleh Surya Wonowidjojo. Usaha ini dimulai dari sebuah industri rumah tangga di Kediri. Produksi pertamanya, berupa Sigaret Kretek Klobot (SKL) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT), dengan hasil produksi sebesar 50 juta batang pada tahun 1958. Perusahaan beralih status menjadi firma pada tahun 1969, dan kembali berubah


(52)

37   

       

menjadi Perseroan Terbatas (PT) tahun 1971. Pada tahun tersebut perusahaan ini sudah mendapatkan fasilitas dari PMDN.

PT. Gudang Garam semakin berkembang, baik dari segi kualitas, produksi, menejemen, maupun teknologi. Pada tahun 1979 perusahaan ini mulai memproduksi Sigaret Kretek Mesin (SKM). Produksi sigaret kretek mesin ini tidak mengubah sifat PT. Gudang Garam sebagai perusahaan yang menganut sistem padat karya, bahkan semakin memperluas kesempatan kerja5.

Merek-merek terkenal dari perusahaan ini diantaranya GG Merah King Size, GG Djaja, Taman Sriwedari Lurik, Taman Sriwedari Biru Lurik, GG Special de Luxe, GG Tanda Mata, GG Filter International Merah, GG Filter International Coklat, serta GG Filter Surya. PT Gudang Garam Tbk kemudian memproduksi dan memasarkan produk barunya, yaitu: Gudang Garam Surya Signature Series. Produk ini dikeluarkan setelah perusahaan mengadakan pemantauan dan riset pasar dengan seksama pada tahun 2002.

b. PT. H.M. Sampoerna Tbk

PT. H.M. Sampoerna didirikan oleh Liem Seeng Tee pada tahun 1913. Perusahaan rokok ini berawal dari sebuah industri rumah tangga yang berada di Surabaya. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan pertama yang memproduksi dan memasarkan rokok kretek maupun rokok putih di Indonesia.

Awal tahun 1930-an, Liem Seeng Tee mengganti nama perusahaannya menjadi Sampoerna, yang berarti “kesempurnaan”. Sampoerna berkembang pesat dan menjadi perseroan publik pada tahun 1990 dengan struktur usaha modern.

  5

Gudang Garam. 2002. Profil dan Sejarah Gudang Garam, Tbk. http:// www.gudanggaramtbk.com. [5 Mei 2011].


(53)

38   

       

Sampoerna kemudian berhasil memperkuat posisinya sebagai salah satu perusahaan terkemuka di Indonesia. Keberhasilan Sampoerna menarik perhatian

Philip Morris International untuk mengakuisisi kepemilikan sahamnya6.

Keduanya kemudian memproduksi, memasarkan dan mendistribusikan rokok di Indonesia, yang terdiri dari sigaret kretek tangan, sigaret kretek mesin, dan rokok putih. Rokok kretek menguasai sekitar 92 persen pasar rokok di Indonesia. Merek-merek yang dihasilkan keduanya antara lain: Dji Sam Soe, A Mild,

Sampoerna Kretek(sebelumnya disebut Sampoerna A Hijau), danU Mild.

c. PT. Djarum

PT. Djarum didirikan oleh Oei Wie Gwan di Kudus pada tahun 1951. Produk pertamanya berupa Sigaret Kretek Tangan (SKT), baru setelah itu disusul dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM)7.

Pada tahun 1985 dan 1986, PT. Djarum pernah menduduki tempat teratas dalam memproduksi rokok kretek di Indonesia. Produk-produk Djarum yang terkenal diantaranya Djarum Super, Djarum Super CS, Djarum Super Mezzo, Djarum Coklat, Djarum Coklat Extra, Djarum Istimewa, Djarum 76, Djarum Black, Djarum Black Slimz, Djarum Black Menthol, Djarum Black Cappucino, Djarum Black Tea, Djarum Vanilla, L.A Lights, serta L.A Menthol Lights.

d. PT. Bentoel

PT. Bentoel didirikan oleh Ong Hok Liong sebagai industri rumahan dengan nama “Strootjes Fabriek Ong Hok Liong” pada tahun 1930. Industri

  6

Sampoerna. 2005. “Sejarah Perusahaan”. http://www.sampoernatbk.com. [5 Mei 2011]. 7


(54)

39   

       

rumahan tersebut berubah nama menjadi N.V Pertjetakan Hien An pada tahun 1951. Bentoel merupakan produsen rokok pertama yang memproduksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) berfilter di Indonesia pada akhir tahun 60-an. Bentoel juga merupakan produsen pertama yang menggunakan plastik sebagai pembungkus kemasan sehingga menjadi acuan bagi produsen-produsen rokok lainnya.

Produk-produk Bentoel terbagi menjadi dua jenis, yaitu produk lokal dan produk internasional. Produk-produk dengan merek lokal diantaranya terdiri dari Star Mild, NeO Mild, Club Mild, U nO Mild, X Mild, Sejati, Bintang Buana, Joged, Rawit, Prinsip, Country, Tali Jagat, Ardath, serta Bentoel Biru Slim.

Sejak menjalin kerja sama dengan Philip Morris pada tahun 1984, Bentoel mendapatkan hak eksklusif untuk memproduksi rokok Marlboro dan menjadi distributor tunggal dari semua produk Philip Morris Indonesia. Pemberian hak eksklusif tersebut berakhir pada tahun 1998 sedangkan kerja sama distribusi baru berakhir pada tahun 20058. Di samping itu, merek-merek lain Bentoel, yang

merupakan hasil kerjasama dengan perusahaan asing meliputi Dunhill, Lucky Strike, serta Pall Mall.

4.4.2. Produsen Rokok Putih a. PT. BAT Indonesia Tbk

BAT International merupakan perusahaan rokok yang berpusat di London. Perusahaan ini telah beroperasi sejak 1902 atau lebih dari 100 tahun. Perusahaan ini menanamkan investasinya di Indonesia pada tahun 1917 di Cirebon.

  8


(55)

40   

PT. Philip

       

BAT Indonesia telah melakukan akuisisi terhadap banyak perusahaan diantaranya PT. Rothmans of Pall Indonesia, PT. Java Tobacco dan beberapa perusahaan lainnya. Perusahaan ini juga melakukan akuisisi terhadap Bentoel sejak 17 Juni 2009. Proses transformasi ini selanjutnya menggabungkan BAT Indonesia dan Bentoel Group menjadi satu kesatuan di Indonesia. Bentoel Group kemudian resmi menjadi anggota British American Tobacco International pada tanggal 1 Januari 20109. Produk Rokok yang dihasilkan oleh perusahaan ini

diantaranya Dunhill, Ardath, Pall Mall, Kansas, Lucky Strike, serta Rothmans.

b. Morris Indonesia Tbk (PMI)

Philip Morris Indonesia merupakan anak perusahaan Philip Morris Internasional yang berpusat di Amerika Serikat. Philip Morris beroperasi dengan cara mengakuisisi perusahaan rokok besar di Indonesia. Pada tanggal 12 Maret 2005, PMI membeli 40 persen saham PT. H.M. Sampoerna melalui pembelian saham publik. Pada saat itu, harga yang dikenakan per sahamnya mencapai Rp. 10.600 sehingga nilai total yang didapatkan melebihi Rp. 47 Trilyun. Hal tersebut merupakan satu-satunya peristiwa akuisisi yang memiliki nilai tertinggi di Indonesia. Perkembangan yang terjadi selanjutnya adalah kepemilikan sahamnya saat ini, sudah mencapai 98,04 persen di PT. H.M. Sampoerna10.

Adapun alasan-alasan PMI melakukan akuisisi, yaitu untuk:

1. Meningkatkan kekuatan pasar, dimana dengan mengakuisisi HMS yang merupakan produsen besar di Indonesia, akan memberikan nilai lebih dan membuat PMI semakin menguasai pasar rokok global.

  9

BAT. 2010. “BAT 1st Half Profit Up 5 pct”. http: //guliat.ecnext.com. [29 April 2011]. 10

Gustia. 2005.Philip Morris Resmi Kuasai 97 persen Saham HM Sampoerna”. http://www.detikfinance.com. [18 Mei 2005].


(56)

41   

PT. Rothm

2. Menghindari biaya dari pengembangan produk baru. PMI dapat langsung memiliki manajemen, pabrik, jalur distribusi, pemasok dan sumber daya manusia yang berkompeten dari perusahaan yang telah diakuisisi.

3. Meningkatkan kecepatan memasuki pasar dan melewati barriers to entry. PMI yang sudah memiliki akses menuju pasar, akan mendapatkan kemudahan baik dari segi perijinan, regulasi, serta brand equity. PMI tinggal meneruskan yang sudah ada sebelumnya dari perusahaan yang telah diakuisisi.

Adapun merek-merek yang dihasilkan perusahaan ini terdiri dari merek lokal dan merek internasional. Merek lokal yang paling dikenal adalah Sampoerna Hijau dan Dji Sam Soe. Sementara itu merek internasionalnya adalah Marlboro.

c. an of Pall Mall Indonesia (RPMI)

Perusahaan ini didirikan pada tanggal 13 Juni 1931 dengan nama “NV. Tot Exploitatie Van Cigaretten Fabrieken Faroka”. Pendirinya adalah NV. Tabacofina dari Belgia. Semasa pendudukan Jepang, sekitar tahun 1942-1945, Faroka berada di bawah kekuasaan Jepang. Menjelang tahun 1949, NV. Tabacofina kembali mengelola perusahaan ini. Pada tanggal 12 Februari 1958, perusahaan ini berganti nama menjadi PT. Faroka SA dengan saham tetap NV. Tabacofina.

Berdasarkan Ketetapan Presiden No.6 tahun 1965, terhitung sejak tanggal 13 Mei 1965 perusahaan dikuasai oleh pemerintah RI. Pada tanggal 7 Maret 1986, NV. Tabacofina-Belgia menjual sahamnya di PT. Faroka SA kepada Rothmans of Pall Mall (Australia) Limited. Tanggal 28 April 1986 telah terjadi perubahan susunan pemegang saham dari NV. Tabacofina-Belgia menjadi Rothmans Of Pall


(57)

42   

       

Mall (Australia) Limited. Nama perusahaan juga telah diganti secara resmi menjadi PT. Rhotmans of Pall Mall Indonesia pada tanggal 17 September 198711.

Keberadaan Rothmans kemudian dihapus dan bergabung secara penuh dengan BAT pada tahun 2005. Hal ini merupakan konsekuensi atas pembelian saham Rothmans oleh BAT yaitu sebesar 99,99 persen secara global. Proses merger baru bisa dilaksanakan pada tahun tersebut karena menghadapi sejumlah kendala. Sebelum melakukan merger, manajemen BAT Indonesia masih mengamati pergerakan pasar rokok putih di Indonesia. Hasilnya, pabrik milik Rothmans yang berlokasi di Malang, Jawa Timur, ditutup. Pihak manajemen kemudian memutuskan untuk memusatkan semua produksi (rokok putih buatan Rothmans), mulai dari Lucky Strike, Ardath, Kansas, Dunhill, dan lain-lain bergabung dengan BAT Indonesia Tbk12

.

  11

Avriyani. 2000. “Sistem Kearsipan dalam Melancarkan Administrasi di PT. Rothman of Pall Mall Indonesia. http://elib.unikom.ac.id. [6 Mei 2011].

12

Mahimza, et al. 2001. “Bergabung Melawan si Koboi. http://www.majalahtrust.com. [19 Juni 2011].


(58)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Struktur Industri Rokok di Indonesia 5.1.1. Analisis Konsentrasi

Struktur suatu industri dapat dianalisis melalui tingkat konsentrasinya. Alat analisis yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi adalah rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). CR4 ini merupakan indikator yang menunjukkan persentase penjualan empat perusahaan terbesar terhadap penjualan total dalam industri.

Adapun produsen yang dianggap mewakili empat perusahaan terbesar dari industri rokok kretek meliputi PT. Gudang Garam Tbk, PT. Djarum, PT. H.M. Sampoerna Tbk, serta Bentoel Group. Sebenarnya jumlah produsen rokok kretek terus meningkat setiap tahun. Jumlah produsen terbanyak berasal dari produsen-produsen berskala kecil, kemudian menengah, baru setelah itu produsen-produsen berskala besar. Namun demikian, penguasaan pasar terbesar tetap dikuasai oleh produsen dengan skala besar. Penguasaannya bahkan mencapai persentase sebesar 90 persen. Produsen-produsen tersebut tetap bertahan, meskipun banyak produsen baru yang masuk dalam industri seperti, PT. Karya Niaga Bersama, PT. Wikatama Indah, dan PT. Nojorono13.

Jumlah produsen rokok putih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah produsen rokok kretek. Meskipun demikian, terdapat pula produsen-produsen dengan skala besar diantaranya PT. BAT Indonesia Tbk, PT. Philip       

13

Profil Bisnis. 16 Oktober 2006.’’Perkembangan dan Prospek Industri Rokok di Indonesia’’. Indocommercial: 374.


(59)

 

Morris Indonesia, serta PT. Rothmans of Pall Mall Indonesia. Adapun CR4 dalam penelitian ini merupakan gabungan dari CR4 produsen terbesar dari masing-masing industri. Data CR4 dalam industri rokok dapat dilihat dalam Tabel 5.1. yang menunjukkan rata-rata tertimbang untuk konsentrasi pada industri rokok kretek maupun rokok putih selama periode 1991-2008.

Tabel 5.1. CR4 Industri Rokok di Indonesia, Tahun 1991-2008

Tahun CR4 (%)

Rokok Kretek Rokok Putih

1991 84,29 91,60 1992 81,09 90,99 1993 75,03 91,70 1994 76,15 93,86 1995 77,74 91,45 1996 78,25 91,24 1997 79,48 94,40 1998 73,18 97,21 1999 79,20 97,94 2000 77,62 95,47 2001 61,94 98,95 2002 74,10 98,76 2003 74,42 92,36 2004 79,55 98,15 2005 74,80 98,93 2006 70,28 99,64 2007 57,49 99,33 2008 52,65 83,50 Rata-rata 73,74 94,75

Sumber : BPS (1991-2008)

Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 5.1., terjadi perbedaan dalam perkembangan tren CR4 antara rokok kretek dengan rokok putih. CR4 rokok kretek lebih menunjukkan gejala penurunan tren jika dibandingkan dengan CR4 industri rokok putih. Selama 18 tahun, terjadi penurunan rasio konsentrasi dari 84,29 persen (1991) menjadi 52,65 persen (2008).


(1)

Lampiran 1. PDB Indonesia Terhadap Harga Konstan 2000 

Lapangan Pekerjaan Umum

Tahun

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Rata-rata 1. Pertanian 67318,5 231613,5 240387,3 247163,6 253881,7 262402,8 271509,3 284620,7

Kontribusi (%) 16,35 15,38 15,24 14,92 14,5 14,21 13,82 13,67 14,76

2. Pertambangan dan Pertamngan 39401,3 169932 167603,8 160100,5 165222,6 168031,7 171278,4 172442,7

Kontribusi (%) 9,57 11,29 10,63 9,66 9,44 9,1 8,72 8,28 9,59

3. Industri Pengolahan 108272 419388 441755 469952 491561 514100 538085 557764 Kontribusi (%) 26,3 27,86 28,01 28,37 28,08 27,83 27,39 26,79 27,58 4. Listrik, Gas, dan Air Minum 7111,9 9868,2 10349,2 10897,6 11598,1 12251 13517 14993,6

Kontribusi (%) 1,73 0,66 0,66 0,66 0,66 0,66 0,69 0,72 0,8

5.Kontruksi 24308,2 84469,8 89621,8 96334,4 103598,4 112233,6 121808,9 130951,6

Kontribusi (%) 5,9 5,61 5,68 5,82 5,92 6,08 6,2 6,29 5,94

6. Perdagangan, Hotel, Restoran 65824,6 243266,6 256516,6 271142,2 293654 312518,7 340437,1 363813,5

Kontribusi (%) 15,99 16,16 16,26 16,37 16,77 16,92 17,33 17,47 16,66

7. Pengangkutan 65824,6 76173,1 85458,4 96896,7 109261,5 124808,9 142326,7 165905,5

Kontribusi (%) 31338,9 5,06 5,42 5,85 6,24 6,76 7,25 7,97 6,52

8. Lembaga Keuangan dan Jasa 7,61 131523 140374,4 151123,3 161252,2 170074,3 183655,9 198799,6

Kontribusi (%) 28932,3 8,74 8,9 9,12 9,21 9,21 9,35 9,55 8,89

9. Jasa-Jasa 7,03 138982,4 145104,9 152906,1 160799,3 170705,4 181,706 193024,3

Kontribusi (%) 39245,4 9,23 9,2 9,23 9,18 9,24 9,25 9,27 9,27

Total 411754 1505216 1577171 1656517 1750815 1847127 1964327 2082327


(2)

Lampiran 2. X-eff Industri Rokok Kretek, Tahun 1991-2008

Tahun

Nilai Tambah Setelah Dikurangi Pajak

(000 Rupiah)

Total Nilai Input (000 Rupiah)

X-Eff (persen) 1991 2.143.866.646 1.787.328.028 142,75 1992 3.386.680.897 2.692.005.195 125,81 1993 4.039.623.516 2.908.965.105 138,87

1994 2.929.726.287 3.170.579.855 92,40

1995 5.349.557.780 2.090.938.452 255,84 1996 4.330.828.194 4.326.414.076 100,10

1997 4.797.483.000 4.735.587.000 101,31

1998 11.643.219.071 7.269.967.182 160,16

1999 12.498.326.176 8.197.183.593 152,47

2000 13.381.732.991 9.404.937.933 142,28

2001 17.608.815.882 15.341.175.766 114,78

2002 22.717.905.498 14.027.028.000 161,96

2003 18.551.982.236 12.669.314.318 146,43

2004 15.894.594.099 10.131.059.070 156,89

2005 17.731.867.596 16.098.467.816 110,15

2006 13.087.511.888 18.446.469.485 70,95

2007 28.034.972.099 30.793.983.556 91,04

2008 17.396.475.667 59.273.680.569 29,35

Rata-rata 11.477.713.805 11.855.894.948 126,66

Sumber : BPS (1991-2008), diolah.

                               


(3)

Lampiran 3. X-eff Industri Rokok Putih, Tahun 1991-2008

Tahun

Nilai Tambah Setelah Dikurangi Pajak

(000 Rupiah)

Total Nilai Input (000 Rupiah)

X-Eff (persen)

1991 112.266.978 218.750.492 51,32

1992 121.279.709 265.766.872 45,63

1993 149.577.624 298.894.685 50,04

1994 355.534.686 300.902.226 118,16

1995 383.571.278 382.878.343 100,18

1996 4.330.828.194 469.154.795 923,11

1997 579.404.000 542.450.000 106,81

1998 1.263.141.477 1.440.069.372 87,71 1999 8.197.183.593 1.541.940.301 531,61

2000 1.470.604.081 958.705.603 153,39

2001 3.254.836.181 14.079.901.188 23,12

2002 1.598.713.850 375.933.880 425,26

2003 1.549.375.312 1.314.146.501 117,90

2004 1.512.580.949 829.940.254 182,25

2005 2.724.957.498 1.395.693.488 195,24 2006 2.657.021.956 1.544.760.061 172,00 2007 2.335.927.376 1.433.722.147 162,93 2008 2.314.231.077 2.286.693.826 101,20 Rata-rata 1.841.491.324 1.571.609.117 188,99

Sumber : BPS (1991-2008), diolah.

     


(4)

Lampiran 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja pada Industri

Rokok Kretek, Tahun 1991-2008

Tahun Rokok Kretek

PCM Growth Usaha X-Eff

1991 49,66 -2,37 137 142,75

1992 47,66 40,17 145 125,81

1993 49,18 15,13 175 138,87

1994 29,39 15,67 201 92,40

1995 46,12 20,31 203 255,84

1996 32,15 16,38 191 100,10

1997 31,12 11,73 190 101,31

1998 51,69 44,74 200 160,16

1999 41,72 37,37 209 152,47

2000 39,99 10,39 210 142,28

2001 38,95 38,18 200 114,78

2002 41,21 16,83 207 161,96

2003 34,02 -2,01 211 146,43

2004 31,85 -9,36 235 156,89

2005 29,70 20,96 284 110,15

2006 16,54 14,71 449 70,95

2007 30,14 37,16 425 91,04

2008 13,36 30,77 381 29,35


(5)

Lampiran 5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja pada Industri

Rokok Putih, Tahun 1991-2008

  

Tahun Rokok Putih

PCM Growth Usaha X-Eff

1991 24,70 24,66 11 51,32

1992 23,82 11,28 9 45,63

1993 25,20 16,48 10 50,04

1994 48,12 34,77 11 118,16

1995 44,32 14,67 12 100,18

1996 420,21 23,68 12 923,11

1997 46,65 17,22 10 106,81

1998 42,85 141,70 10 87,71

1999 44,29 11,27 10 531,61

2000 57,48 -20,77 10 153,39

2001 18,38 601,90 9 23,12

2002 78,59 -88,45 5 425,26

2003 48,55 51,66 9 117,90

2004 61,00 -21,95 10 182,25

2005 63,34 76,86 7 195,24

2006 32,66 88,02 13 172,00

2007 59,56 -52,17 8 162,93

2008 37,81 22,12 13 101,20

Sumber : BPS (1991-2008), diolah.

     


(6)

Lampiran 6. Hasil Uji Regresi pada Industri Rokok Kretek Dependent Variable: PCM

Method: Least Squares Date: 03/29/11 Time: 07:25 Sample: 1991 2008

Included observations: 18

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

GROWTH 0.197710 0.081294 2.432037 0.0290 USAHA -0.067296 0.016686 -4.033192 0.0012

XEFF 0.107275 0.031523 3.403085 0.0043

C 34.67233 7.229270 4.796104 0.0003

R-squared 0.813096 Mean dependent var 36.35888 Adjusted R-squared 0.773045 S.D. dependent var 10.83366 S.E. of regression 5.161127 Akaike info criterion 6.313317 Sum squared resid 372.9213 Schwarz criterion 6.511178 Log likelihood -52.81985 Hannan-Quinn criter. 6.340599 F-statistic 20.30161 Durbin-Watson stat 1.735826

Prob(F-statistic) 0.000023

Lampiran 7. Hasil Uji Regresi pada Industri Rokok Putih Dependent Variable: PCM

Method: Least Squares Date: 03/29/11 Time: 07:18 Sample: 1991 2008

Included observations: 18

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

GROWTH -0.000847 0.000627 -1.352440 0.1977 USAHA -0.004725 0.044053 -0.107268 0.9161

XEFF 0.002426 0.000411 5.895811 0.0000

C 3.467957 0.454561 7.629245 0.0000

R-squared 0.755746 Mean dependent var 3.854200 Adjusted R-squared 0.703405 S.D. dependent var 0.671227 S.E. of regression 0.365554 Akaike info criterion 1.018322 Sum squared resid 1.870812 Schwarz criterion 1.216183 Log likelihood -5.164900 Hannan-Quinn criter. 1.045605 F-statistic 14.43910 Durbin-Watson stat 2.094692