Pengaturan Konvensi Jenewa Kedua

6 II. LANDASAN TEORI

A. Fokus Bahasan

Fokus bahasan dalam penulisan makalah ini yaitu membahas tentang Konvensi Jenewa II Tahun 1949, dimana Konvensi ini merupakan salah satu sumber hukum humaniter internasional utama dalam bentuk perjanjian internasional. Konvensi ini bertandatangan oleh wakil-wakil Kuasa Penuh dari Pemerintah-pemerintah yang hadir pada Konferensi Diplomatik yang diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April sampai dengan tanggal 12 Agustus 1949 dengan maksud meninjau kembali Konvensi Den Haag ke-X tanggal 18 Oktober 1906 mengenai Peperangan di Laut. Dalam ranah diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa, yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat. 1. Konvensi Jenewa Pertama First Geneva Convention, mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864 2. Konvensi Jenewa Kedua Second Geneva Convention, mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906 3. Konvensi Jenewa Ketiga Third Geneva Convention, mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929 4. Konvensi Jenewa Keempat Fourth Geneva Convention, mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949 Satu rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau, secara lebih sederhana, “Konvensi Jenewa”.

B. Pengaturan Konvensi Jenewa Kedua

Hukum Jenewa tentang Hukum Humaniter Internasoanal diatur dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1864 yang mengalami perubahan pada tahun 1906 dan 1929 dan Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol I dan II 1977. 7 Konvensi Jenewa II Tahun 1949 Tentang Perbaiakan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korba Karam. Konvensi Jenewa II ini merupakan konvensi yang teridiri dari beberapa bab, yaitu: Bab I. Ketentuan Umum Bab II. Yang Luka, Sakit dan Korban Karam Bab III. Kapal Kesehatan Bab IV. Anggota Dinas Keagamaan, Kesehatan dan Rumah Sakit Bab V. Pengangkutan Kesehatan Bab VI. Lambang Pengenal Bab VII. Pelaksanaan Konvensi Bab VIII. Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Dan yang terakhir Ketentuan-Ketentuan Pentup. Konvensi Jenewa tersebut telah diratifikasi sebagai hukum nasional Indonesia dengan Undang-Undang No. 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 No. 109 tanggal 31 Juli 1958. Ratifikasi tersbut dailakukan tanpa adanya reservasi atau pensyaratan terhadap isi Konvensi. Sebagaimana asas dalam sebuah perjanjian yaitu pacta sunt servanda, maka ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 menyebabkan Indonesia mempunyai kewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan isi Konvensi serta membuat peraturan-peraturan yang harmonis dengan isi Konvensi. 14 14 Evi Deliana HZ, “Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam Hal terjadinya Kejahatan Perang Berdasarkan Konvensi Jen ewa 1949”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 no. 1 Februari 2011, Hal.258. 8 III. PEMBAHASAN Pada dasarnya pengaturan Konvensi Jenewa II adalah sama benar dasar dan tujuannya seperti konvensi sebelumnya yaitu Konvensi Jenewa I, hanya saja perbedaannya terletak pada tempat pelaksanaannya saja dimana yang satu perawatan dan perlindungan korban pertempuran di laut, sedangkan yang lainnya berlaku untuk korban di darat. Pasal 12 ayat 1 pada pokoknya menetapkan bahwa anggota angkatan bersenjata dan peserta konflik bersenjata lainnya yang luka dan sakit dan sudah berhenti bertempur hors de-combat tidak boleh diserang dan harus dilindungi. 15 A. Keberlakuan dan subjek dalam Konvensi Jenewa II Keberlakuan Konvensi Jenewa terdapat dalam pasal 2 yang berbunyi : Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka. Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata. Meskipun salah satu dari Negara yang bersengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, Negara-negara yang menjadi peserta Konvensi ini akan sama tetap terikat olehnya didalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh Konvensi ini dalam hubungan dengan Negara tersebut, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan- ketentuan Konvensi ini. Dari pasal diatas dijelaskan bahwa hukum humaniter berlaku bagi siapa saja baik oleh pihak yang sedang berperang maupun pihak netral dan berlaku bagi peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka. Negara netral memiliki peran penting dalam konvensi ini, sebab negara netral pun wajib untuk ikut serta dalam merawats dan melindungi korban anggota 15 Septiawan Riki, “Konvensi Jenewa II”, tanpa tahun, http:rikiseptiawan180991.blogspot.com201205makalah-konvensi-jenewa-iii.html [22042013] 9 angkatan bersenjata yang terluka, sakit, dan karam di laut hal ini di jelaskan dalan Konvensi Jenewa II pasal 17 yang berbunyi: Apabila tidak diperjanjikan lain antara Negara netral dan Negara-negara yang bersengketa, maka orang-orang yang luka, sakit atau karam yang telah didaratkan di pelabuhan netral dengan persetujuan penguasa setempat, harus dijaga sedemikan rupa oleh Negara netral, jika hukum internasional menghendaki demikian, sehingga orang-orang tersebut tidak dapat lagi turut serta dalam operasi perang. Biaya-biaya penempatan dalam rumah sakit dan interniran harus dipikul oleh negara yang ditaati oleh orang-orang yang luka, sakit atau korban karam. Subjek dalam Konvensi Jenewa II terdapat pada pasal 13 yang berbunyi: Konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka, sakit dan korban karam dilaut yang termasuk dalam kategori-kategori berikut ini : 1 Anggota angkatan perang dari suatu Pihak yang bersengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau prajurit cadangan sukarela, yang merupakan bagian dari angkatan perang itu; 2 Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari prajurit cadangan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau prajurit cadangan sukarela tersebut, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut : a dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; b mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap yang dapat dikenal dari jauh; c membawa senjata secara terang-terangan; d melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang; 3 Anggota-anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh Negara Penahan; 4 Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok barang perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah menerima kewenangan dari angkatan perang yang mereka sertai; 5 Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nakhoda, pemandu laut, taruna, dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional; 10 6 Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum dan kebiasaan perang. Keenam kelompok subjek humaniter tersebut dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:i 1. Golongan kombatan, yang terdiri dari: a. Anggota angkatan perang dari puhak dalam sengketa dan anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan Perang itu; b. Anggota milisi dan barisan sukarela gerakan perlawanan yang diorganisir dari suatu pihak yang bersengketa baik yang beroperasi didalam maupun diluar wilayahnya meskipun wilayah itu diduduki, asalkan memenuhi syarat: 1.dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya. 2. memiliki tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh. 3. membawa senjata terang-terangan 4. melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. c. Anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada kekuasaan yang tidak diakui negara penahan. 2. Orang atau Penduduk Sipil , terdiri dari: a. Bukan anggota angkatan perang tapi disahkan untuk menyertai aggota angkatan perang b. Anggota awak kapal niaga atau pesawat sipil yang tidak dilindungi hukum internasional dan hukum lain; 3. Levee en Masse, yaitu penduduk wilayah yang belum diduduki tetapi pada saat datangnya musuh dengan serentak mereka mengangkat senjata dan menyerbu musuh dan tidak sempat mengorganisir diri secara teratur asalkan mereka membawa senjata secara terang-terangan dan mengormati hukum dan kebiasaan perang. 16

B. Konvensi Jenewa II dan Kaitannya dalam Hak Asasi Manusia HAM