Makalah Hukum Humaniter Internasional

(1)

1 KONVENSI JENEWA II TENTANG PERBAIKAN KEADAAN ANGGOTA

ANGKATAN PERANG DI LAUT YANG LUKA, SAKIT, DAN KORBAN KARAM DALAM HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

(Makalah Hukum Humaniter Internasional)

Oleh :

PRISCA OKTAVIANI SAMOSIR (NPM. 1112011286)

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(2)

2 I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu International Humanitarian Laws. Istilah lain yang kadang-kadang dipakai ialah hukum sengketa bersenjata (the law of armed conflict). Sebelum perang dunia istilah yang lazimnya dipakai ialah hukum perang (the law of war), juga dilingkungan angkatan bersenjata (armed forces) dibanyak negara biasanya digunakan istilah hukum perang.1

Hal yang serupa dikemukakan oleh Arlina Permanasari dimmana Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini dikenal dengan istilah hukum humaniter.2

Hukum Humaniter menurut Jean Pictet adalah “International

Humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision whether written and customary , ensuring repect for individual and his well being”. (Hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah suatu ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan rasa hormat kepada individu maupun kesejahteraannya).3 Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.4

Dalam bukunya Pengantar Hukum Humaniter Arlina Permanasari juga mengemukakan bahwa hukum humaniter terdiri atas peraturan-peraturan perlindungan korban perang dan peraturan-peraturan tenang alat dan cara berperang. Sedangkan ketentuan ketentuan Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dan kebebasan sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya bagi setiap orang.5 Sedangkan menurut Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual mengemukakan

1

H. Suwardi Martowirono, dalam Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional,

Bandarlampung: Universitas Lampung, 2011, hal.1.

2

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : ICRC, 1999, hal. 117.

3

Jean Pictet, dalam Ria Wierma Putri, Op.Cit., hal.3.

4

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalamPelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1980. hal.5.

5


(3)

3 bahwa Hukum humaniter mengatur bagaimana berlaku dalam sebuah konflik bersenjata sehingga tidak melaggar Hak Asasi Manusia (HAM) yang diatur dalam hukum HAM.6 Hukum humaniter sendiri pada awalnya dan yang paling penting didasarkan pada harapan timbal balik kedua pihak yang berperang dan pada pengertian perilaku ksatria dan beradab.7

Tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan.8

Sumber hukum humaniter internasional dalam bentuk perjanjian internasional dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum humaniter utama dan sumber-sumber hukum lain. Sumber hukum humaniter yang utama, terdiri dari hukum Jenewa dan Hukum Den Haag.

Konvensi Jenewa 1949 dibentuk di sebuah konperensi atas undangan pemerintah Swiss dan komite palang merah internasional (International Committee of the Red Cross Untuk selanjutnya ICRC).9

Konperensi diplomatik yang diselenggarakan atas undangan Dewan Federal Swiss di Jenewa pada tanggal 21 April sampai 12 Agustus 1949 berhasil menerima empat Rancangan Konvensi yang diajukan oleh Komite Internasional Palang Merah (International Committee of The Red Cross) menjadi Konvensi. Keempat Konvensi tersebut ialah : KJ untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran darat (selanjutnya disebut KJ I Tahun 1949), KJ untuk perbaikan keadaan angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam (selanjutnya disebut KJ II Tahun 1949), KJ mengenai perlakuan tawanan perang (selanjutnya disebut KJ III Tahun 1949) dan KJ mengenai perlindungan penduduk sipil di masa perang (selanjutnya disebut KJ IV Tahun 1949).10

Dari judul Konvensi tersebut tampak bahwa KJ I, II, III Tahun 1949 terutama berisi ketentuan-ketentuan yang menetapkan perlindungan bagi anggota agkatan bersenjata yang menjadi korban perang. Adapun KJ IV Tahun 1949 berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menetapkan perlindungan bagi penduduk sipil yang menjadi korban perang.

6

Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, Cianjur: IMR Press, Hal. 189.

7Cordula Droege, “Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter”, International Review of The Red

Cross, Volume 90 Nomor 871 September 2008, Hal.3.

8Haryomataram dalam Aryuni Yuliantiningsih, ”Agresi Israel terhada

p Palestina Perspektif

Hukum Humaniter Internasional, “Jurnal Dinamika Hukum”, Volume 9 Nomor 2 Mei 2009, hal.

112.

9Stuart Walters Belt, dalam Hersapta Mulyono, “Prinsip Military Necessity dalam Hukum

Internasional Humaniter, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 35 Nomor 2 April-Juni 2005, hal. 176.

10

Mochtar Kusumaatmadja dalam F.Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum, Yogyakarta: Andi offset, 1992, hal.37.


(4)

4 Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan (yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil).11 The Humanitarian law rules applicable to non-international armed conflicts contained in the Geneva Conventions 1949.12

Berlakunya konvensi-konvensi jenewa 1949 diatur dalam Pasal 2 paragraf 1 dan 2 yang menetapkan:

Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih pihak-pihak Pesrta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh satu antara mereka. Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari Wilayah pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Konvensi Jenewa 1949 berlaku terhadap semua peristiwa konflik bersenjata, yang meliputi:

1. Konflik bersenjata yang memenuhi syarat yuridis perang yaitu perang yang didahului pernyataan perang dan diakui oleh pihak lawan.

2. Perang antara pihak-pihak yang menandatangani Konvensi Jenewa 1949. 3. Perang antara para pihak yang meskipun salah satu pihak tidak mengakui

adanya perang.

4. Peristiwa pendudukan meskipun pendudukan itu tidak menemui adanya perlawanan bersenjata.

5. Perang antara para pihak meskipun salah satu pihak bukan peserta Konvensi Jenewa 1949.

Kelima peristiwa konflik bersenjata tersebut menunjukan bahwa Konvensi Jenewa 1949 telah menghapus adanya Klausula Sie Omnes yang dianut di dalam Konvensi Den Haag 1907 yang menetapkan bahwa Konvensi hanya berlaku apabila semua pihak yang bertkai adalah sama-sama peserta Konvensi sebaliknya apabila salah satu pihak bukan peserta Konvensi maka Konvensi tidak berlaku.13

11Jean Marie Henckaerts, “Studi (kajian) tetang Hu

kum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan terhadap Tertib Hukum dalam Konflik

Bersenjata”, Internasional Review of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, hal.1.

12Haryomataram, “Implementation of the International Humanitarian Law”, Majalah Hukum

Trisakti, Nomor 18 Tahun XX April 1995, hal. 3.

13


(5)

5 B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis mengidentifikasi masalahnya yaitu “Bagaimanakah pengaturan Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut dalam Konvensi Jenewa kedua?”

C.Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaturan Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut dalam Konvensi Jenewa kedua.

D.Metode Penulisan

Metode yang di pakai dalam makalah ini adalah Metode Pustaka, yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat, baik berupa buku maupun informasi di internet mengenai Konvensi Jenewa kedua Tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam.

E.Sistematika Penulisan

Sistemtika penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan

Meliputi latar belakang, identifikasi masalah, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II. Landasan Teori

Berisi tentang dasar-dasar teori dan pengaturan Hukum Internasional. Bab III. Pembahasan

Berisi pembahasan atau jawaban atas idenfikasi masalah penulis yaitu Bagaimanakah pengaturan Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut dalam Konvensi Jenewa kedua ?

Bab V Penutup


(6)

6 II.LANDASAN TEORI

A.Fokus Bahasan

Fokus bahasan dalam penulisan makalah ini yaitu membahas tentang Konvensi Jenewa II Tahun 1949, dimana Konvensi ini merupakan salah satu sumber hukum humaniter internasional utama dalam bentuk perjanjian internasional. Konvensi ini bertandatangan oleh wakil-wakil Kuasa Penuh dari Pemerintah-pemerintah yang hadir pada Konferensi Diplomatik yang diadakan di Jenewa dari tanggal 21 April sampai dengan tanggal 12 Agustus 1949 dengan maksud meninjau kembali Konvensi Den Haag ke-X tanggal 18 Oktober 1906 mengenai Peperangan di Laut.

Dalam ranah diplomasi, istilah konvensi mempunyai arti yang lain dari artinya yang biasa, yaitu pertemuan sejumlah orang. Dalam diplomasi, konvensi mempunyai arti perjanjian internasional atau traktat. Ketiga Konvensi Jenewa yang terdahulu direvisi dan diperluas pada tahun 1949, dan pada tahun itu juga ditambahkan Konvensi Jenewa yang keempat.

1. Konvensi Jenewa Pertama (First Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat, 1864

2. Konvensi Jenewa Kedua (Second Geneva Convention), mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut, 1906

3. Konvensi Jenewa Ketiga (Third Geneva Convention), mengenai PerlakuanTawanan Perang, 1929

4. Konvensi Jenewa Keempat (Fourth Geneva Convention), mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang, 1949

Satu rangkaian konvensi yang terdiri dari empat konvensi ini secara keseluruhan disebut sebagai “Konvensi-konvensi Jenewa 1949” atau, secara lebih sederhana, “Konvensi Jenewa”.

B.Pengaturan Konvensi Jenewa Kedua

Hukum Jenewa tentang Hukum Humaniter Internasoanal diatur dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1864 yang mengalami perubahan pada tahun 1906 dan 1929 dan Konvensi Jenewa 1949 beserta Protokol I dan II 1977.


(7)

7 Konvensi Jenewa II Tahun 1949 Tentang Perbaiakan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korba Karam. Konvensi Jenewa II ini merupakan konvensi yang teridiri dari beberapa bab, yaitu:

Bab I. Ketentuan Umum

Bab II. Yang Luka, Sakit dan Korban Karam Bab III. Kapal Kesehatan

Bab IV. Anggota Dinas Keagamaan, Kesehatan dan Rumah Sakit Bab V. Pengangkutan Kesehatan

Bab VI. Lambang Pengenal Bab VII. Pelaksanaan Konvensi

Bab VIII. Tindakan Terhadap Penyalahgunaan dan Pelanggaran Dan yang terakhir Ketentuan-Ketentuan Pentup.

Konvensi Jenewa tersebut telah diratifikasi sebagai hukum nasional Indonesia dengan Undang-Undang No. 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949, yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 No. 109 tanggal 31 Juli 1958. Ratifikasi tersbut dailakukan tanpa adanya reservasi atau pensyaratan terhadap isi Konvensi. Sebagaimana asas dalam sebuah perjanjian yaitu pacta sunt servanda, maka ratifikasi Konvensi Jenewa 1949 menyebabkan Indonesia mempunyai kewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan isi Konvensi serta membuat peraturan-peraturan yang harmonis dengan isi Konvensi.14

14Evi Deliana HZ, “Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam Hal terjadinya Kejahatan

Perang Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 no. 1 Februari 2011, Hal.258.


(8)

8 III. PEMBAHASAN

Pada dasarnya pengaturan Konvensi Jenewa II adalah sama benar dasar dan tujuannya seperti konvensi sebelumnya yaitu Konvensi Jenewa I, hanya saja perbedaannya terletak pada tempat pelaksanaannya saja dimana yang satu perawatan dan perlindungan korban pertempuran di laut, sedangkan yang lainnya berlaku untuk korban di darat. Pasal 12 ayat (1) pada pokoknya menetapkan bahwa anggota angkatan bersenjata dan peserta konflik bersenjata lainnya yang luka dan sakit dan sudah berhenti bertempur (hors de-combat) tidak boleh diserang dan harus dilindungi.15

A.Keberlakuan dan subjek dalam Konvensi Jenewa II

Keberlakuan Konvensi Jenewa terdapat dalam pasal 2 yang berbunyi :

Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka. Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari wilayah Pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata.

Meskipun salah satu dari Negara yang bersengketa mungkin bukan peserta Konvensi ini, Negara-negara yang menjadi peserta Konvensi ini akan sama tetap terikat olehnya didalam hubungan antara mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh Konvensi ini dalam hubungan dengan Negara tersebut, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.

Dari pasal diatas dijelaskan bahwa hukum humaniter berlaku bagi siapa saja baik oleh pihak yang sedang berperang maupun pihak netral dan berlaku bagi peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih Pihak-pihak Peserta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu antara mereka.

Negara netral memiliki peran penting dalam konvensi ini, sebab negara netral pun wajib untuk ikut serta dalam merawats dan melindungi korban anggota

15Septiawan Riki, “Konvensi Jenewa II”, (tanpa tahun),


(9)

9 angkatan bersenjata yang terluka, sakit, dan karam di laut hal ini di jelaskan dalan Konvensi Jenewa II pasal 17 yang berbunyi:

Apabila tidak diperjanjikan lain antara Negara netral dan Negara-negara yang bersengketa, maka orang-orang yang luka, sakit atau karam yang telah didaratkan di pelabuhan netral dengan persetujuan penguasa setempat, harus dijaga sedemikan rupa oleh Negara netral, jika hukum internasional menghendaki demikian, sehingga orang-orang tersebut tidak dapat lagi turut serta dalam operasi perang.

Biaya-biaya penempatan dalam rumah sakit dan interniran harus dipikul oleh negara yang ditaati oleh orang-orang yang luka, sakit atau korban karam.

Subjek dalam Konvensi Jenewa II terdapat pada pasal 13 yang berbunyi:

Konvensi ini akan berlaku terhadap yang luka, sakit dan korban karam dilaut yang termasuk dalam kategori-kategori berikut ini :

(1) Anggota angkatan perang dari suatu Pihak yang bersengketa, begitu pula anggota-anggota milisi atau prajurit cadangan sukarela, yang merupakan bagian dari angkatan perang itu;

(2) Anggota-anggota milisi serta anggota-anggota dari prajurit cadangan sukarela lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau prajurit cadangan sukarela tersebut, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut :

(a) dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; (b) mempunyai tanda pengenal khusus yang tetap yang dapat dikenal dari

jauh;

(c) membawa senjata secara terang-terangan;

(d) melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang;

(3) Anggota-anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh Negara Penahan; (4) Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya

menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok barang perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah menerima kewenangan dari angkatan perang yang mereka sertai;

(5) Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nakhoda, pemandu laut, taruna, dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional;


(10)

10 (6) Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan pasukan-pasukan yang menyerbu, tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata yang teratur, asal saja mereka membawa senjata secara terang-terangan dan menghormati hukum dan kebiasaan perang.

Keenam kelompok subjek humaniter tersebut dapat digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:i

1. Golongan kombatan, yang terdiri dari:

a. Anggota angkatan perang dari puhak dalam sengketa dan anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan Perang itu;

b. Anggota milisi dan barisan sukarela (gerakan perlawanan) yang diorganisir dari suatu pihak yang bersengketa baik yang beroperasi didalam maupun diluar wilayahnya meskipun wilayah itu diduduki, asalkan memenuhi syarat:

1.dipimpin oleh seorang yang bertanggungjawab atas bawahannya. 2. memiliki tanda pengenal tetap yang dapat dikenal dari jauh. 3. membawa senjata terang-terangan

4. melakukan operasi-operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.

c. Anggota angkatan perang reguler yang tunduk pada kekuasaan yang tidak diakui negara penahan.

2. Orang atau Penduduk Sipil , terdiri dari:

a. Bukan anggota angkatan perang tapi disahkan untuk menyertai aggota angkatan perang

b. Anggota awak kapal niaga atau pesawat sipil yang tidak dilindungi hukum internasional dan hukum lain;

3. Levee en Masse, yaitu penduduk wilayah yang belum diduduki tetapi pada saat datangnya musuh dengan serentak mereka mengangkat senjata dan menyerbu musuh dan tidak sempat mengorganisir diri secara teratur asalkan mereka membawa senjata secara terang-terangan dan mengormati hukum dan kebiasaan perang.16

B.Konvensi Jenewa II dan Kaitannya dalam Hak Asasi Manusia (HAM)

Konvensi Jenewa II sangat menghormati apa yang disebut dengan HAM terutama bagi orang-orang yang luka, sakit atau korban karam, pasal 12 Konvensi Jenewa II mengatakan :

Anggota angkatan perang dan orang-orang lain yang disebut dalam Pasal berikut yang berada di laut dan yang luka, sakit atau korban karam, harus

16


(11)

11 dihormati dan dilindungi dalam segala keadaan, dengan pengertian bahwa istilah "karam" berarti karam karena sebab apapun termasuk pendaratan terpaksa di laut oleh atau dari pesawat terbang.

Orang-orang tersebut itu harus diperlakukan dengan perikemanusiaan dan dirawat oleh pihak dalam sengketa dalam kekuasaan siapa mereka mungkin berada, tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas jenis kelamin, suku, kebangsaan, agama, pendapat politik, atau setiap kriteria lainnya yang serupa. Tiap serangan atas jiwa mereka atau tindakan kekerasan atas diri mereka harus dilarang dengan keras; mereka terutama tidak boleh dibunuh atau dimusnahkan, dijadikan obyek penganiayaan atau percobaan-percobaan biologis; mereka tidak boleh dengan sengaja ditinggalkan tanpa bantuan dan perawatan kesehatan, begitu pula tidak boleh ditimbulkan keadaan-keadaan yang mengakibatkan mereka mendapat penyakit menular atau infeksi.

Hanya alasan-alasan kesehatan yang mendesak dapat membenarkan pengutamaan dalam urutan pengobatan yang diberikan.

Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan yang patut diberikan mengingat jenis kelamin mereka.

Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensikonvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung.

Di satu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia (HAM).17

17


(12)

12 C.Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa II

Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa II dijelaskan dalam pasal 51 yaitu :

Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan oleh Pasal terdahulu ialah pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut apabila dilakukan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh Konvensi : pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta pembinasaan yang meluas dan tindakan pemilikan atsa harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan melawan hukum dan dengan

semena-mena.”

1. Pelanggaran berat

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:

1. pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi

2. dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan

3. memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan

4. dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang

Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:

1. penyanderaan

2. penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.

3. deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum

Menurut common articels dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, yang termasuk kategori pelanggaran berat adalah: 1) pembunuhan yang disengaja, 2)


(13)

13 penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi, 3) segala tindakan yang menyebabkan dengan sengaja penderitaan yang besar atau luka berat.18

Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan.

Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.19

D.Sanksi dalam Konvensi Jenewa II

Sanksi dalam Konvensi Jenewa II dijelaskan dalam pasal 50 yang berbunyi: Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan peraturan yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana effektip terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu di antara pelanggaran berat atas Konvensi ini sebagaimana ditentukan di dalam Pasal berikut.

Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang demikian, dengan tak memandang kebangsaanya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan, orang-orang demikian untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung itu dapat menunjukkan suatu perkara prima facie.

Tiap Pihak Peserta Agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.

18Pudak Nayati, “Operasi Militer ABRI di Aceh dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional”, Jurnal Hukum, Volume 1 Nomor 1 Tahun 1998, Hal 36.

19


(14)

14 Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Pasal 105 dan jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949.

Pada Pasal 50 Konvensi Jenewa II mengatur bahwa setiap pihak dalam Konvensi Jenewa ini berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan sendiri, menyerahkan kepada pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan terhadap orang-orang tersebut untuk diadili, asal saja pihak tersebut dapat menunjukan suatu perkara secara prima facie.20

E.Kompensasi dalam Konvensi Jenewa II

Masalah konvensasi adalah penting dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa ketentuan tersebut diatur baik dalam Hague Regulation, termasuk salah

satu pasal “Common Aricels” dari Konvensi Jenewa. Perumusan masalah

kompensasi dalam Konvensi Jenewa tidak digunakan istilah “Kompensasi” tetapi digolongkan dalam masalah Responsibilities of the ContractingParties yang diatur dalam pasal 52 Konvensi Jenewa II yang berbunyi:

Tiada Pihak Peserta Agung diperkenankan membebaskan dirinya atau Pihak Agung lain manapun dari tanggung jawab apapun yang disebabkan olehnya sendiri atau oleh Pihak Peserta Agung lain berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran yang termaktub dalam Pasal yang terdahulu. Hal ini jelas bahwa pihak berperang harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota angkatan perangnya.21

20

Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam Perspektif Hukum Inernasional, (tanpa tahun) Hal 12-13 http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf [22/03/2013]

21Haryomataram, “Kompensasi Perang Menurut Hukum Internasional”, Jurnal Keadilan,

Volume 2 Nomor 3 Tahun 2002, Hal 40.


(15)

15 IV. PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa keberlakuan Konvensi Jenewa II terdapat dalam Pasal 2, Subjek terdapat pada pasal 13, Konvensi Jenewa II sangat menghormati apa yang disebut dengan HAM terutama bagi orang-orang yang luka, sakit atau korban karam yang termuat dalam pasal 12, pelanggaran dan Sanksi diatur dalam pasal 50 dan 51 Konvensi Jenewa II.

B.Saran

Sebagai penutup uraian penulis merekomendasikan yaitu agar penerapan konvensi-konvensi dalam hukum humaniter khususnya konvensi jenewa dapat terlaksana sesuai dengan tujuan utama hukum humaniter yaitu memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan.


(16)

16 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : ICRC, 1999. F.Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat

Semesta dan Hukum, Yogyakarta: Andi offset, 1992.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1980.

Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, Cianjur: IMR Press.

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandarlampung: Universitas Lampung, 2011.

Jurnal

Cordula Droege, “Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter”, International

Review of The Red Cross, Volume 90 Nomor 871 September 2008, Hal.3. Evi Deliana HZ, “Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam Hal

terjadinya Kejahatan Perang Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949”, Jurnal

Ilmu Hukum, Vol. 2 no. 1 Februari 2011, Hal.258.

Haryomataram, “Implementation of the International Humanitarian Law”, Majalah Hukum Trisakti, Nomor 18 Tahun XX April 1995, hal. 3.

Haryomataram, “Kompensasi Perang Menurut Hukum Internasional”, Jurnal

Keadilan, Volume 2 Nomor 3 Tahun 2002, Hal 40.

Haryomataram dalam Aryuni Yuliantiningsih, ”Agresi Israel terhadap Palestina

Perspektif Hukum Humaniter Internasional, “Jurnal Dinamika Hukum”, Volume 9 Nomor 2 Mei 2009, hal. 112.

Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam Perspektif Hukum Inernasional, (tanpa tahun) Hal 12-13 http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf [22/03/2013]


(17)

17 Jean Marie Henckaerts, “Studi (kajian) tetang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan

terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata”, Internasional Review

of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, hal.1.

Pudak Nayati, “Operasi Militer ABRI di Aceh dalam Perspektif Hukum

Humaniter Internasional”, Jurnal Hukum, Volume 1 Nomor 1 Tahun 1998,

Hal 36.

Septiawan Riki, “Konvensi Jenewa II”, (tanpa tahun),

http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/05/makalah-konvensi-jenewa-iii.html [22/04/2013]

Stuart Walters Belt, dalam Hersapta Mulyono, “Prinsip Military Necessity dalam

Hukum Internasional Humaniter, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 35 Nomor 2 April-Juni 2005, hal. 176.


(1)

12 C.Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa II

Pelanggaran dalam Konvensi Jenewa II dijelaskan dalam pasal 51 yaitu :

Pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan oleh Pasal terdahulu ialah pelanggaran yang meliputi perbuatan-perbuatan berikut apabila dilakukan terhadap orang atau harta benda yang dilindungi oleh Konvensi : pembunuhan disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan-percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan atau kesehatan, serta pembinasaan yang meluas dan tindakan pemilikan atsa harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilakukan dengan melawan hukum dan dengan

semena-mena.”

1. Pelanggaran berat

Tidak semua pelanggaran atas Konvensi-konvensi Jenewa diperlakukan setara. Kejahatan yang paling serius disebut dengan istilah pelanggaran berat (grave breaches) dan secara hukum ditetapkan sebagai kejahatan perang (war crime). Pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Kedua dan Ketiga antara lain adalah tindakan-tindakan berikut ini jika dilakukan terhadap orang yang dilindungi oleh konvensi tersebut:

1. pembunuhan sengaja, penyiksaan, atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi

2. dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar atau cedera serius terhadap jasmani atau kesehatan

3. memaksa orang untuk berdinas di angkatan berrsenjata sebuah negara yang bermusuhan

4. dengan sengaja mencabut hak atas pengadilan yang adil (right to a fair trial) dari seseorang

Tindakan berikut ini juga dianggap sebagai pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa Keempat:

1. penyanderaan

2. penghancuran dan pengambilalihan properti secara ekstensif yang tidak dapat dibenarkan berdasarkan prinsip kepentingan militer dan dilaksanakan secara melawan hukum dan secara tanpa alasan.

3. deportasi, pemindahan, atau pengurungan yang melawan hukum

Menurut common articels dalam Konvensi-Konvensi Jenewa 1949, yang termasuk kategori pelanggaran berat adalah: 1) pembunuhan yang disengaja, 2)


(2)

13

penganiayaan dan perlakuan tidak manusiawi, 3) segala tindakan yang menyebabkan dengan sengaja penderitaan yang besar atau luka berat.18

Negara yang menjadi peserta Konvensi-konvensi Jenewa harus memberlakukan dan menegakkan peraturan perundang-undangan yang menghukum setiap kejahatan tersebut. Negara-negara juga berkewajiban mencari orang yang diduga telah melakukan kejahatan tersebut, atau yang diduga telah memerintahkan dilakukannya kejahatan tersebut, serta mengadili orang tersebut, apapun kebangsaan orang tersebut dan di mana pun kejahatan tersebut dilakukan.

Prinsip yurisdiksi universal ini juga berlaku bagi penegakan hukum atas pelanggaran berat. Untuk tujuan itulah maka Mahkamah Pidana Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) dan Mahkamah Pidana Internasional untuk eks-Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia) dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk melakukan penuntutan atas berbagai pelanggaran yang diduga telah terjadi.19

D.Sanksi dalam Konvensi Jenewa II

Sanksi dalam Konvensi Jenewa II dijelaskan dalam pasal 50 yang berbunyi:

Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan peraturan yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana effektip terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu di antara pelanggaran berat atas Konvensi ini sebagaimana ditentukan di dalam Pasal berikut.

Tiap Pihak Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang demikian, dengan tak memandang kebangsaanya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan, orang-orang demikian untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung itu dapat menunjukkan suatu perkara prima facie.

Tiap Pihak Peserta Agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.

18Pudak Nayati, “Operasi Militer ABRI di Aceh dalam Perspektif Hukum Humaniter

Internasional”, Jurnal Hukum, Volume 1 Nomor 1 Tahun 1998, Hal 36.

19


(3)

14 Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Pasal 105 dan jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949.

Pada Pasal 50 Konvensi Jenewa II mengatur bahwa setiap pihak dalam Konvensi Jenewa ini berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut, dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak Peserta Agung dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan sendiri, menyerahkan kepada pihak Peserta Agung lain yang berkepentingan terhadap orang-orang tersebut untuk diadili, asal saja pihak tersebut dapat menunjukan suatu perkara secara prima facie.20

E.Kompensasi dalam Konvensi Jenewa II

Masalah konvensasi adalah penting dapat dibuktikan dari kenyataan bahwa ketentuan tersebut diatur baik dalam Hague Regulation, termasuk salah

satu pasal “Common Aricels” dari Konvensi Jenewa. Perumusan masalah

kompensasi dalam Konvensi Jenewa tidak digunakan istilah “Kompensasi” tetapi

digolongkan dalam masalah Responsibilities of the ContractingParties yang diatur dalam pasal 52 Konvensi Jenewa II yang berbunyi:

Tiada Pihak Peserta Agung diperkenankan membebaskan dirinya atau Pihak Agung lain manapun dari tanggung jawab apapun yang disebabkan olehnya sendiri atau oleh Pihak Peserta Agung lain berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran yang termaktub dalam Pasal yang terdahulu.

Hal ini jelas bahwa pihak berperang harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggota angkatan perangnya.21

20

Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam Perspektif Hukum Inernasional, (tanpa tahun) Hal 12-13 http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf [22/03/2013]

21Haryomataram, “Kompensasi Perang Menurut Hukum Internasional”, Jurnal Keadilan,

Volume 2 Nomor 3 Tahun 2002, Hal 40.


(4)

15 IV. PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tersebut penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa keberlakuan Konvensi Jenewa II terdapat dalam Pasal 2, Subjek terdapat pada pasal 13, Konvensi Jenewa II sangat menghormati apa yang disebut dengan HAM terutama bagi orang-orang yang luka, sakit atau korban karam yang termuat dalam pasal 12, pelanggaran dan Sanksi diatur dalam pasal 50 dan 51 Konvensi Jenewa II.

B.Saran

Sebagai penutup uraian penulis merekomendasikan yaitu agar penerapan konvensi-konvensi dalam hukum humaniter khususnya konvensi jenewa dapat terlaksana sesuai dengan tujuan utama hukum humaniter yaitu memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan.


(5)

16 DAFTAR PUSTAKA

Buku

Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : ICRC, 1999. F.Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat

Semesta dan Hukum, Yogyakarta: Andi offset, 1992.

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1980.

Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual,

Cianjur: IMR Press.

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandarlampung: Universitas Lampung, 2011.

Jurnal

Cordula Droege, “Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter”, International Review of The Red Cross, Volume 90 Nomor 871 September 2008, Hal.3.

Evi Deliana HZ, “Penegakan Hukum Humaniter Internasional dalam Hal terjadinya Kejahatan Perang Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 no. 1 Februari 2011, Hal.258.

Haryomataram, “Implementation of the International Humanitarian Law”, Majalah Hukum Trisakti, Nomor 18 Tahun XX April 1995, hal. 3.

Haryomataram, “Kompensasi Perang Menurut Hukum Internasional”, Jurnal

Keadilan, Volume 2 Nomor 3 Tahun 2002, Hal 40.

Haryomataram dalam Aryuni Yuliantiningsih, ”Agresi Israel terhadap Palestina

Perspektif Hukum Humaniter Internasional, “Jurnal Dinamika Hukum”,

Volume 9 Nomor 2 Mei 2009, hal. 112.

Intan Innayatun Soeparna, “ Global War on Terror oleh Amerika Serikat dalam

Perspektif Hukum Inernasional, (tanpa tahun) Hal 12-13 http://journal.unair.ac.id/filerPDF/ArticleIntan.pdf [22/03/2013]


(6)

17 Jean Marie Henckaerts, “Studi (kajian) tetang Hukum Humaniter Internasional

Kebiasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan

terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata”, Internasional Review of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, hal.1.

Pudak Nayati, “Operasi Militer ABRI di Aceh dalam Perspektif Hukum Humaniter Internasional”, Jurnal Hukum, Volume 1 Nomor 1 Tahun 1998, Hal 36.

Septiawan Riki, “Konvensi Jenewa II”, (tanpa tahun),

http://rikiseptiawan180991.blogspot.com/2012/05/makalah-konvensi-jenewa-iii.html [22/04/2013]

Stuart Walters Belt, dalam Hersapta Mulyono, “Prinsip Military Necessity dalam Hukum Internasional Humaniter, Jurnal Hukum dan Pembangunan,