Latar Belakang Makalah Hukum Humaniter Internasional

2 I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan terjemahan dari bahasa inggris yaitu International Humanitarian Laws. Istilah lain yang kadang-kadang dipakai ialah hukum sengketa bersenjata the law of armed conflict. Sebelum perang dunia istilah yang lazimnya dipakai ialah hukum perang the law of war, juga dilingkungan angkatan bersenjata armed forces dibanyak negara biasanya digunakan istilah hukum perang. 1 Hal yang serupa dikemukakan oleh Arlina Permanasari dimmana Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang laws of war, yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata laws of armed conflict, yang akhirnya pada saat ini dikenal dengan istilah hukum humaniter. 2 Hukum Humaniter menurut Jean Pictet adalah “International Humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision whether written and customary , ensur ing repect for individual and his well being”. Hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah suatu ketentuan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan rasa hormat kepada individu maupun kesejahteraannya. 3 Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum Humaniter adalah bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. 4 Dalam bukunya Pengantar Hukum Humaniter Arlina Permanasari juga mengemukakan bahwa hukum humaniter terdiri atas peraturan-peraturan perlindungan korban perang dan peraturan-peraturan tenang alat dan cara berperang. Sedangkan ketentuan ketentuan Hak Asasi Manusia dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dan kebebasan sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya bagi setiap orang. 5 Sedangkan menurut Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual mengemukakan 1 H. Suwardi Martowirono, dalam Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandarlampung: Universitas Lampung, 2011, hal.1. 2 Arlina Permanasari dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta : ICRC, 1999, hal. 117. 3 Jean Pictet, dalam Ria Wierma Putri, Op.Cit., hal.3. 4 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1980. hal.5. 5 Arlina Permanasari dkk, Op.Cit., hal. 333. 3 bahwa Hukum humaniter mengatur bagaimana berlaku dalam sebuah konflik bersenjata sehingga tidak melaggar Hak Asasi Manusia HAM yang diatur dalam hukum HAM. 6 Hukum humaniter sendiri pada awalnya dan yang paling penting didasarkan pada harapan timbal balik kedua pihak yang berperang dan pada pengertian perilaku ksatria dan beradab. 7 Tujuan utama hukum humaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban perang, baik mereka yang secara aktif turut serta dalam permusuhan maupun yang tidak turut serta dalam permusuhan. 8 Sumber hukum humaniter internasional dalam bentuk perjanjian internasional dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum humaniter utama dan sumber-sumber hukum lain. Sumber hukum humaniter yang utama, terdiri dari hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Konvensi Jenewa 1949 dibentuk di sebuah konperensi atas undangan pemerintah Swiss dan komite palang merah internasional International Committee of the Red Cross Untuk selanjutnya ICRC. 9 Konperensi diplomatik yang diselenggarakan atas undangan Dewan Federal Swiss di Jenewa pada tanggal 21 April sampai 12 Agustus 1949 berhasil menerima empat Rancangan Konvensi yang diajukan oleh Komite Internasional Palang Merah International Committee of The Red Cross menjadi Konvensi. Keempat Konvensi tersebut ialah : KJ untuk perbaikan keadaan yang luka dan sakit dalam angkatan perang di medan pertempuran darat selanjutnya disebut KJ I Tahun 1949, KJ untuk perbaikan keadaan angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam selanjutnya disebut KJ II Tahun 1949, KJ mengenai perlakuan tawanan perang selanjutnya disebut KJ III Tahun 1949 dan KJ mengenai perlindungan penduduk sipil di masa perang selanjutnya disebut KJ IV Tahun 1949. 10 Dari judul Konvensi tersebut tampak bahwa KJ I, II, III Tahun 1949 terutama berisi ketentuan-ketentuan yang menetapkan perlindungan bagi anggota agkatan bersenjata yang menjadi korban perang. Adapun KJ IV Tahun 1949 berisi tentang ketentuan-ketentuan yang menetapkan perlindungan bagi penduduk sipil yang menjadi korban perang. 6 Pranoto Iskandar, Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual, Cianjur: IMR Press, Hal. 189. 7 Cordula Droege, “Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter”, International Review of The Red Cross, Volume 90 Nomor 871 September 2008, Hal.3. 8 Haryomataram dalam Aryuni Yuliantiningsih, ”Agresi Israel terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter Internasional, “Jurnal Dinamika Hukum”, Volume 9 Nomor 2 Mei 2009, hal. 112. 9 Stuart Walters Belt, dalam Hersapta Mulyono, “Prinsip Military Necessity dalam Hukum Internasional Humaniter, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Volume 35 Nomor 2 April-Juni 2005, hal. 176. 10 Mochtar Kusumaatmadja dalam F.Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan Hukum, Yogyakarta: Andi offset, 1992, hal.37. 4 Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil. 11 The Humanitarian law rules applicable to non- international armed conflicts contained in the Geneva Conventions 1949. 12 Berlakunya konvensi-konvensi jenewa 1949 diatur dalam Pasal 2 paragraf 1 dan 2 yang menetapkan: Sebagai tambahan atas ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan dalam waktu damai, maka Konvensi ini akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap sengketa bersenjata lainnya yang mungkin timbul antara dua atau lebih pihak-pihak Pesrta Agung, sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh satu antara mereka. Konvensi ini juga akan berlaku untuk semua peristiwa pendudukan sebagian atau seluruhnya dari Wilayah pihak Peserta Agung, sekalipun pendudukan tersebut tidak menemui perlawanan bersenjata. Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa Konvensi Jenewa 1949 berlaku terhadap semua peristiwa konflik bersenjata, yang meliputi: 1. Konflik bersenjata yang memenuhi syarat yuridis perang yaitu perang yang didahului pernyataan perang dan diakui oleh pihak lawan. 2. Perang antara pihak-pihak yang menandatangani Konvensi Jenewa 1949. 3. Perang antara para pihak yang meskipun salah satu pihak tidak mengakui adanya perang. 4. Peristiwa pendudukan meskipun pendudukan itu tidak menemui adanya perlawanan bersenjata. 5. Perang antara para pihak meskipun salah satu pihak bukan peserta Konvensi Jenewa 1949. Kelima peristiwa konflik bersenjata tersebut menunjukan bahwa Konvensi Jenewa 1949 telah menghapus adanya Klausula Sie Omnes yang dianut di dalam Konvensi Den Haag 1907 yang menetapkan bahwa Konvensi hanya berlaku apabila semua pihak yang bertkai adalah sama-sama peserta Konvensi sebaliknya apabila salah satu pihak bukan peserta Konvensi maka Konvensi tidak berlaku. 13 11 Jean Marie Henckaerts, “Studi kajian tetang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan: Sebuah Sumbangan bagi Pemahaman dan Penghormatan terhadap Tertib Hukum dalam Konflik Bersenjata”, Internasional Review of The Red Cross, Volume 87 Nomor 857 Maret 2005, hal.1. 12 Haryomataram, “Implementation of the International Humanitarian Law”, Majalah Hukum Trisakti, Nomor 18 Tahun XX April 1995, hal. 3. 13 Lihak Article 2 Konvensi Den Haag 1907. 5

B. Identifikasi Masalah