I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis keuangan global yang memuncak di 2008 masih menyisakan dampak pada perekonomian global hingga saat ini; hal tersebut membuktikan bahwa
pengelolaan risiko sistem keuangan melalui kebijakan ekonomi makro, moneter, fiskal serta pengaturan dan pengawasan mikroprudensial saja tidak cukup untuk
mencegah krisis. Selain itu, krisis ekonomi dan keuangan global memberi pelajaran bahwa stabilitas ekonomi makro tidak bisa hanya dilakukan dengan
menjaga inflasi yang rendah dan stabil dan nilai tukar yang stabil dan mendukung perdagangan internasional Indonesia; karena ketidakstabilan ekonomi makro
semakin banyak bersumber dari adanya gangguan keseimbangan yang terjadi di sektor keuangan. Kajian Stabilitas Keuangan September 2014, Bank Indonesia
Krisis yang terjadi di Amerika Serikat pada 2008 yang kemudian menular ke berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa ketidakstabilan di sektor keuangan
berdampak serius pada sektor riil Agung, 2010. Krisis keuangan yang didorong oleh penggelembungan kredit berubah menjadi krisis global dan telah
menyebabkan aktivitas perekonomian turun drastis. Claessens et al., 2012 dan Hahm et al., 2011 berargumen bahwa ada 3 pelajaran penting dari krisis
finansial. Pertama, dampak dari perkembangan di sektor keuangan ke sektor riil
ternyata lebih besar dibandingkan perkiraan semula. Kedua, biaya dari penyelamatan krisis sangat besar. Ketiga, stabilitas harga dan output ternyata tidak
menjamin kestabilan finansial.
Sejalan dengan hal tersebut, perkembangan produk keuangan yang semakin canggih, perilaku ambil risiko sebagai akibat dari motif cari untung yang sebesar-
besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan sistem keuangan global yang semakin terintegrasi menyebabkan perlunya tambahan kerangka berfikir
yang bersifat makro namun terfokus pada sistem keuangan secara keseluruhan. Oleh karena itu, disusun suatu kerangka kebijakan guna menanggulangi
ketidakstabilan sistem keuangan yaitu kebijakan makroprudensial.
Menurut Bank of England 2009 kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan misalnya
jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit, dan penjaminan atas risiko terhadap perekonomian. Sedangkan menurut International Monetary Fund IMF 2011,
kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan
peningkatan risiko sistemik.
Pelaksanaan kebijakan makroprudensial diikuti oleh beberapa prinsip. Pertama, kebijakan makroprudensial adalah sebuah kebijakan pelengkap, tidak
menggantikan kebijakan moneter Beau et al., 2012; Hallet et al., 2011; Hanson et al
., 2005. Kedua, ukuran kebijakan makroprudensial harus memiliki target yang
jelas, misalnya untuk membatasi arus masuk modal jangka pendek dan membatasi kredit kepada sektor properti Bank of England, 2009; Unsal, 2011. Ketiga,
Kebijakan makroprudensial harus dilaksanakan secara efektif Agung, 2010; Nicolo dan Lev, 2012. Keempat, komunikasi kebijakan makroprudensial harus
jelas Galati dan Richhild, 2011; Working Group G-30, 2010.
Menurut Bruno dan Hyun 2013, Nijathaworn 2009 dan Lim et al. 2011 pada dasarnya instrumen makroprudensial ditujukan untuk pertama, prosiklikalitas
yang merupakan perilaku sistem keuangan yang mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat ketika ekspansi dan memperlemah perekonomian ketika siklus
kontraksi dan kedua, common exposure yang mana instrumen digunakan sebagai aturan kehati-hatian pada masing-masing institusi perbankan. Penggunaan
instrumen makroprudensial sebenarnya bukan hal yang baru. Hanya saja, instrumen tersebut mengalami lebih banyak penyesuaian pasca krisis global tahun
2008. Negara-negara sedang berkembang emerging market menggunakan instrumen makroprudensial lebih luas dibandingkan negara-negara maju Antipa
et al., 2011; Galati dan Richhild, 2011, dan Tovar et al., 2012. Beberapa negara
menggunakan instrumen yang bervariasi. Penggunaan instrumen tersebut tergantung pada tingkat perkembangan ekonomi dan keuangan, rezim nilai
tukar,dan daya tahan terhadap guncangan keuangan Unsal, 2011. Indonesia merupakan salah satu negara emerging market yang sektor
keuangannya didominasi oleh industri perbankan, sehingga bila terjadi guncangan pada perbankan maka akan berdampak pada sektor keuangan secara keseluruhan.
Selain itu, apabila melihat kondisi ketidakseimbangan yang terjadi di sektor
perbankan Indonesia saat terjadinya krisis, sektor keuangan di Indonesia kurang mampu menilai, meminimalisir, serta memitigasi risiko kegiatan usahanya
sehingga menciptakan perilaku prosiklikalitas yang berlebihan. Prosiklikalitas perbankan merupakan perilaku penyaluran kredit bank yang berlebihan sehingga
mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat ketika kondisi ekspansi upturn dan mempercepat penurunan kegiatan ekonomi ketika dalam keadaan kontraksi
downturn. Apalagi pasca pemulihan krisis Asia 19971998 perilaku prosiklikalitas perbankan Indonesia semakin meningkat terutama berlangsung
sejak September 2009 Kajian Stabilitas Keuangan September 2014, Bank Indonesia.
Penyaluran kredit di Indonesia dalam 10 tahun terakhir tumbuh cukup berfluktuasi dengan kisaran antara 10 persen hingga hampir dikisaran 40 persen Gambar 1.
Namun, pada tahun 2014 di kuartal empat yang terlihat dalam Gambar 1, kredit perbankan tumbuh melambat hampir dua kali lipat menjadi 11,65 persen
dibandingkan tahun sebelumnya pada kuartal yang sama yaitu sebesar 21,80 persen sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik yang hanya
tumbuh sebesar 5,03 persen sebagai salah satu akibat dari melemahnya ekonomi Tiongkok, sehingga menimbulkan kontraksi dalam pertumbuhan ekspor,
khususnya komoditas berbasis sumber daya alam.
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia 2014, Bank Indonesia diolah
Gambar 1. Pertumbuhan Kredit Perbankan dan GDP Indonesia
Penurunan pertumbuhan kredit tersebut merupakan salah satu yang paling buruk hampir dalam satu dekade terakhir yang sebelumnya pernah terjadi pada tahun
2006 kuartal III sebesar 9,76 persen dan tahun 2009 kuartal III 2009 sebesar 9,62 persen. Selain itu permasalahan fundamental pasar keuangan global juga masih
menjadi faktor melemahnya pertumbuhan kredit dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti stagnasi perekonomian negara-negara Eropa dan kenaikan suku
bunga di Inggris dan AS yang memicu investor global untuk menarik dananya dari Indonesia.
Dari sisi jenis penggunaan dalam Gambar 2, peranan kredit ke sektor produktif Kredit Modal KerjaKMK, dan Kredit InvestasiKI masih tetap mendominasi
dalam mendukung pertumbuhan sektor riil meskipun sedikit mengalami perlambatan. Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik,
pertumbuhan kredit pada semua jenis penggunaan juga mengalami penurunan dengan pertumbuhan KI melambat dari 34,95 persen pada akhir 2013 menjadi
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00
5.00 10.00
15.00 20.00
25.00 30.00
35.00 40.00
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 2005
2006 2007
2008 2009
2010 2011
2012 2013
2014 Pertumbuhan Kredit
Pertumbuhan PDB , Skala Kanan
13,16 pada akhir 2014 dan KMK melambat dari 20,43 persen menjadi 10,83 persen.
Sumber : Kajian Stabilitas Keuangan 2014, Bank Indonesia diolah
Gambar 2. Pertumbuhan Kredit Per Jenis Penggunaan
Sementara itu, Kredit Konsumsi KK juga melambat dari 13,67 persen menjadi 11,51 persen. Secara umum, pangsa kredit investasi merupakan yang terbesar
dibandingkan dengan jenis kredit lainnya di Indonesia, sementara kredit konsumsi merupakan yang terkecil. Kondisi tersebut mencerminkan dukungan sektor
keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan penyaluran kredit pada sektor yang lebih produktif.
Perilaku prosiklikalitas perbankan seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3, umumnya diikuti dengan peningkatan perilaku ambil risiko risk taking dalam
penyaluran kredit dapat tercermin dari adanya risiko ketidakseimbangan antara penyaluran kredit dengan kebutuhan perekonomian. Sebelum terjadinya krisis
finansial di Indonesia, perekonomian selalu diawali dengan pertumbuhan kredit
-10.00 0.00
10.00 20.00
30.00 40.00
50.00
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2008
2009 2010
2011 2012
2013 2014
GKredit Total GMK
GKI GKK
yang lebih tinggi daripada kebutuhan perekonomian overheated sebagaimana tercermin dari gap antara rasio kreditGDP dengan tren jangka panjangnya yang
positif.
1
Gap paling besar terjadi di tahun 2005 pada kuartal II hampir 2 persen, namun setelah itu mengalami tren yang negatif pada tahun 2006 dan pada saat
krisis finansial di tahun 2009 yang menyentuh hampir 2 persen pula.
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia Berbagai Edisi, Bank Indonesia diolah
Gambar 3. Prosiklikalitas Pertumbuhan Kredit
Ketika ekonomi memasuki fase perlambatan pertumbuhan, kredit mengalami penurunan yang lebih tajam yang menyebabkan rasio kreditGDP berada dibawah
tren jangka panjangnya, mengindikasikan pertumbuhan kredit tidak cukup untuk membiayai kebutuhan ekonomi sehingga memperburuk kondisi perekonomian.
Namun di sisi lain juga dalam Gambar 3 terlihat peran perbankan dalam pembangunan nasional masih stabil di tengah perlambatan kredit yang cukup
1
Kebutuhan perekonomian diproksi dengan tren jangka panjang dari indikator rasio antara kreditGDP, dimana tren jangka panjang dihitung dengan pendekatan Hodrick-Prescott Filter.
GAP merupakan selisih antara rasio kreditGDP dengan trennya. GAP merupakan indikator ketidakseimbangan antara penyaluran kredit dengan kebutuhan perekonomian.
-2.5 -2
-1.5 -1
-0.5 0.5
1 1.5
2 2.5
10 20
30 40
50
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 5
6 7
8 9
10 11
12 13
14 Gap , Skala Kanan
KreditGDP , Skala Kiri Tren
dalam. Hal ini tercermin dari rasio kredit terhadap GDP Indonesia pada tahun 2014 yang relatif tidak berubah dibandingkan dengan tahun 2013 pada kisaran
36. Namun, pertumbuhan kredit yang berlebihan juga berpotensi meningkatkan risiko kredit yang berujung pada meningkatnya potensi tekanan terhadap stabilitas
sistem keuangan. Rasio kredit terhadap GDP yang relatif rendah antara lain disebabkan oleh terbatasnya sumber pendanaan bagi bank yang tercermin dari
rasio total aset per GDP yang cenderung stabil.
Selain itu, indikasi prosiklikalitas yang berlebihan dapat diketahui dari perkembangan indikator risiko ketidakseimbangan penyaluran kredit yang lebih
besar daripada kebutuhan perekonomiannya yang menyebabkan kondisi overheated
pada kuartal III 2005 dan kuartal III 2013 yang terlihat pada Gambar 4, dengan pertumbuhan kredit sebesar 23,23 persen. Namun, risiko
ketidakseimbangan relatif menurun sejak awal 2014, dengan pertumbuhan kredit sebesar 19,61 persen dimana kebijakan makroprudensial mulai efektif
diberlakukan, dengan berbagai upaya kebijakan makroprudensial LTV
2
, GWM LDR
3
, SBDK
4
,Capital Buffer
5
sehingga dapat mampu menekan laju pertumbuhan kredit. Namun pada kuartal II 2014, perkembangan indikator
menunjukkan adanya potensi penyaluran kredit yang lebih rendah daripada yang dibutuhkan perekonomian, hal ini juga perlu diwaspadai karena akan berimplikasi
pada perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik lebih lanjut. Oleh karena itu
2
Surat Edaran Bank Indonesia No. 1540DKMP tanggal 24 September 2013
3
Peraturan Bank Indonesia No. 157BPI2013 tanggal 26 September 2013, dan Surat Edaran No. 1541DKMP tanggal 1 Oktober 2013
4
Surat Edaran Bank Indonesia No. 135DPNP tanggal 8 Februari 2011, diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia No 151DPNP tanggal 15 Januari 2013
5
Peraturan Bank Indonesia No.1512PBI2013 tanggal 12 Desember 2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
kebijakan makroprudensial diperlukan agar dapat tercipta sektor keuangan yang sehat dan kuat.
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia Berbagai Edisi, Bank Indonesia diolah
Gambar 4. Imbalance Penyaluran Kredit
Beberapa negara menggunakan kombinasi beberapa instrumen untuk mengatasi suatu risiko karena dapat meningkatkan efektifitas dengan mengatasi risiko dari
berbagai sisi, namun hal ini menyebabkan banyak beban biaya administrasi dan pengaturan yang lebih tinggi. Di Indonesia kebijakan makroprudensial merupakan
kewenangan BI yang tersirat di UU OJK yaitu pasal 7 dan pasal 40 sehingga instrumen yang digunakan di bawah wewenang BI. Kebijakan makroprudensial
tersebut adalah pemberlakuan LTV, GWM LDR, transparansi SBDK, countercyclical capital buffer, capital surcharge
dan posisi devisa neto. Namun, dalam penelitian ini hanya digunakan dua indikator instrumen makroprudensial
yakni GWMLDR dan Capital Buffer, karena dua instrumen tersebut didasarkan dari empat alat yang telah ditetapkan dalam survey IMF Financial Stability dan
Macroprudential Policy pada tahun 2010 dalam menangani masalah pertumbuhan
kredit. Selain itu penggunaan instrumen Capital Buffer dan GWMLDR juga
20 25
30 35
40
Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 5
6 7
8 9
10 11
12 13
14 KreditGDP
Tren
sering digunakan oleh BI dalam menangani pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan. Sedangkan indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai
variabel kontrol untuk membantu menjelaskan pengaruh instrumen kebijakan makroprudensial dalam mengurangi prosiklikalitas pertumbuhan kredit adalah
variabel pertumbuhan GDP, BI Rate dan Nilai Tukar Riil RpUS
Eksposur
6
dari faktor risiko ekonomi makro bank merupakan sumber risiko sistemik yang mempengaruhi kinerja sektor perbankan. Perkembangan tingkat
suku bunga BI Rate dan nilai tukar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5, menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit, tingkat suku bunga BI Rate dan nilai
tukar yang berfluktuasi periode Januari 2008 hingga Desember 2014.
Sumber : BPS dan Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia diolah
Gambar 5. Pertumbuhan Kredit, Tingkat Suku Bunga BI Rate, dan Nilai Tukar
Peningkatan tingkat suku bunga akan memperburuk pertumbuhan kredit terutama bagi masyarakat, sehingga nantinya akan membuat debitur harus membayarkan
6
Eksposur merupakan objek yang rentan terhadap resiko dan berdampak pada kinerja perusahaan apabila resiko yang diprediksikan benar-benar terjadi.
6000 7000
8000 9000
10000 11000
12000 13000
3 8
13 18
23 28
33 38
43
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2008
2009 2010
2011 2012
2013 2014
Pertumbuhan Kredit BI Rate
Nilai Tukar RpUS, Skala Kanan
biaya pinjaman lebih tinggi dari sebelumnya dan selain itu akan suku bunga yang tinggi berpotensi merugikan untuk debitur Bofondi dan Ropele, 2011.
Sehingga peningkatan suku bunga akan mengurangi pertumbuhan kredit. Sejalan dengan yang dijelaskan dalam Gambar di atas, secara umum pada tahun 2014
tingkat suku bunga BI Rate mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya menjadi 7,75 persen yang berbanding terbalik terhadap pertumbuhan kredit yang
cenderung menurun tajam menjadi 11,58 persen.
Selanjutnya, nilai tukar merupakan satuan nilai yang digunakan untuk pertukaran satu mata uang dengan mata uang lain Ahmad dan Bashir, 2013. Depresiasi
penurunan home currency akan mengakibatkan harga barang impor menjadi mahal, dimana hal tersebut akan memberikan tekanan terhadap letter of credit
pedagang, sehingga risiko default meningkat Badar dan Javid, 2013. Dengan terjadinya peningkatan risiko default memungkinkan terjadinya kredit
bermasalah sehingga berlanjut pada penurunan pertumbuhan kredit. Dari Gambar 5 menunjukkan bahwa rata-rata nilai tukar mengalami inkonsistensi, hal
tersebut dapat dilihat pada tahun 2012 rata- rata nilai tukar mengalami depresiasi sebesar Rp 646US namun penurunan tersebut justru diikuti oleh
peningkatan pertumbuhan kredit sebesar 0,43 persen.
Kebijakan Capital Buffer merupakan sebuah kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia, dimana perbankan harus memperkuat likuiditas dan permodalan yang
tinggi dan berkualitas, sehingga hal ini mengharuskan bank untuk memelihara ekses kapital atau buffer kapital guna mengantisipasi peningkatan kerugian di
masa depan dan mengantisipasi apabila mendapatkan modal di periode penurunan tidak mudah dan mahal Fikri, 2012. Capital Buffer merupakan selisih lebih dari
Capital Adequacy Ratio CAR atau rasio kecukupan modal aktual bank dengan
persyaratan minimum modal perbankan yang diberlakukan regulator 8. Secara umum, perbankan konvensional memiliki rata- rata CAR di atas 18 persen KSK
2014, Bank Indonesia. Hal itu menunjukkan adanya kelebihan cadangan modal yang dimiliki oleh bank, padahal nilai CAR yang terlalu tinggi pula tidak baik
untuk industri perbankan, dikarenakan kelebihan modal tersebut memicu adanya penggunaan untuk penyaluran kredit yang berlebihan sehingga memicu perilaku
prosiklikalitas perbankan di Indonesia. Sehingga Bank Indonesia untuk mengantisipasi hal tersebut, diberlakukanlah kebijakan capital buffer untuk
melindungi bank apabila terjadi guncangan risiko kredit yang tinggi di masa mendatang.
Dari Gambar 6 dapat diketahui bahwa bank- bank umum di Indonesia menjaga Capital Adequacy Ratio
CAR untuk berada di atas persyaratan modal yang diberlakukan bank sentral yaitu di atas 8 persen. Capital buffer bank-bank umum
mencapai tingkat tertinggi pada tahun 2008 yaitu sebesar 13,6 persen dan mencapai level terendah dua tahun setelahnya. CAR rata-rata perbankan di
Indonesia selama periode 2008-2014 menyentuh angka 18,08 persen. Artinya, CAR perbankan di Indonesia sudah jauh di atas persyaratan BASEL III
7
yang memberlakukan CAR minimum sebesar 13 persen. Peningkatan capital buffer
7
BASEL III merupakamn peraturan terkaitan persyaratan modal untuk mewujudkan sistem keuangan yang sehat dan stabil. Pada Basel III memuat aturan mengenai aturan standar kecukupan
modal terbaru yang menitikberatkan pada penguatan struktur modal perbankan API, Bank Indonesia
tersebut pada akhirnya diiringi dengan penurunan pertumbuhan kredit, sesuai dengan kebijakan yang diharapkan oleh regulator BI dalam memitigasi risiko
sistemik yang terjadi akibat pertumbuhan kredit yang tinggi.
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia Berbagai Edisi, Bank Indonesia diolah
Gambar 6. Pertumbuhan Kredit dan Buffer
Giro Wajib Minimum GWM adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya
ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga DPK. Salah satu kebijakan makroprudensial yang umum digunakan
untuk mengelola risiko likuiditas adalah menggunakan instrumen GWM. Sebagaimana dikutip dari studi Galati dan Richhild 2011: 26, instrumen
makroprudensial tersebut saat ini digunakan terutama untuk membatasi penawaran kredit terhadap sektor tertentu guna mengurangi pertumbuhan kredit
yang berlebihan. Selain itu, instrumen GWM juga digunakan terutama di negara-
5 10
15 20
25
5 10
15 20
25 30
35 40
45
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2008
2009 2010
2011 2012
2013 2014
Pertm. Kredit Skala Kiri CAR Aktual
Buffer
negara berkembang untuk mencegah ketidakseimbangan domestik akibat aliran masuk modal asing yang sangat besar dan berfluktuasi.
Gambar 7 menunjukkan bahwa aliran masuk modal asing ke Indonesia masih cukup besar, walaupun dibeberapa tahun terakhir terjadi penurunan. Hal ini terkait
dengan kondisi pasar keuangan global yang masih belum pulih sehingga investor global memilih menempatkan dananya di pasar negara berkembang. Hal ini dapat
menimbulkan tekanan terhadap apresiasi nilai tukar. Oleh karenanya, BI dalam kondisi tersebut melakukan kebijakan sterilisasi valuta asing untuk mengurangi
tekanan terhadap nilai tukar. Namun di sisi lain, hal ini akan menyebabkan bertambahnya ekses likuiditas di perbankan. Di tengah terbatasnya ruang
kebijakan suku bunga, BI menerapkan kebijakan GWM Primer untuk menyerap kondisi ekses likuiditas tersebut dengan melakukan kebijakan GWM Primer.
Sumber : Statistik Ekonomi dan Moneter Indonesia, Bank Indonesia diolah
Gambar 7. Posisi Operasi Pasar Terbuka dan Operasi Moneter
- 100,000.00
200,000.00 300,000.00
400,000.00 500,000.00
600,000.00
Jan Ap
r Ju
l Ok
t Jan
Ap r
Ju l
Ok t
Jan Ap
r Ju
l Ok
t Jan
Ap r
Ju l
Ok t
Jan Ap
r Ju
l Ok
t Jan
Ap r
Ju l
2010 2011
2012 2013
2014 2015
Operasi Moneter Operasi Pasar Terbuka
Miliar Rp
Seperti yang dijelaskan dalam Gambar 7, terlihat posisi instrumen operasi moneter yaitu operasi pasar terbuka pada September 2015 secara net tercatat
sebesar 205.821 miliar rupiah, turundari bulan sebelumnya pada periode yang sama sebesar 5,53 persen namun nilai tersebut masih cukup tinggi dalam pasar
keuangan. Sehingga kemudian membuat kondisi likuiditas bagi perbankan masih cukup stabil, yang selanjutnya mempengaruhi penyaluran kredit untuk tetap
tumbuh.
GWM+LDR Loan to Deposit Ratio merupakan simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia
sebesar persentase dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh bank dengan LDR target Peraturan Bank Indonesia, 2010.
Melengkapi kebijakan makroprudensial yang telah dikeluarkan, pada bulan Maret 2011 BI kembali mengeluarkan ketentuan GWM yang dikaitkan dengan LDR
GWM+LDR. Maksud dari kebijakan GWM+LDR adalah untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan secara optimal dengan didasarkan atas prinsip
keseimbangan antara pencapaian tujuan moneter dan stabilitas sistem keuangan serta mendorong perbankan melakukan fungsi intermediasinya dalam hal ini
kredit. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kredit perbankan terutama pada bank-bank yang masih memiliki LDR yang relatif rendah.
Sementara itu, dari aspek makroprudensial, ketentuan GWM+LDR merupakan upaya untuk mengendalikan risiko yang muncul akibat perilaku bank yang
prosiklikal dalam pemberian kredit kepada sektor swasta. Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan perekonomian ke depan dapat terus dijaga.
Gambar 8 menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan kredit bank, BI mengeluarkan kebijakan GWMLDR ketika kondisi pertumbuhan kredit sedang
booming yang ditandai dengan pertumbuhan di atas 20 persen secara year on
year yoy, seperti yang dialami sepanjang tahun 2010 hingga 2013 dengan
pertumbuhan kredit tertinggi sebesar 36,35 persen pada tahun 2008 dengan nilai total kredit sebesar Rp 1.297.860 miliar dan terus terakselerasi. Setelah
dikeluarkannya kebijakan GWMLDR secara penuh, sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya dampak kebijakan ini bersifat kontraktif di awal. Hal ini
terlihat dari penurunan pertumbuhan kredit dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun setelah implementasi kebijakan GWMLDR, dimana pada tahun 2013
pertumbuhan kredit mulai mengalami penurunan. Kemudian pada bulan-bulan berikutnya, pertumbuhan kredit kembali normal dan mulai menunjukan adanya
sedikit peningkatan.
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia diolah
Gambar 8. Posisi Kredit Bank Umum
0.00 5.00
10.00 15.00
20.00 25.00
30.00 35.00
40.00 45.00
500000 1000000
1500000 2000000
2500000 3000000
3500000 4000000
1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 1 4 7 10 2008
2009 2010
2011 2012
2013 2014
Miliar Rp
Total Kredit Pertumbuhan Kredit , skala kanan
Meskipun berdasarkan Gambar tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa implementasi GWMLDR terkait dengan penurunan pertumbuhan kredit, namun
hal ini bisa juga dikarenakan oleh sinkronisasi antara kebijakan pengetatan GWMLDR dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia BI Rate.
Berdasarkan penelitian Hahm et al., 2009 tentang efektifitas penggunaan instrumen kebijakan makroprudensial di Korea Selatan menunjukkan bahwa
kebijakan Loan to Value LTV, GWMLDR dan Buffer sebagai instrumen makroprudensial sangat efektif untuk mengurangi siklus kredit. Berbeda dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustamante et al., 2012 yang mana efektifitas penggunaan instrumen makroprudensial di Kolombia menunjukkan
bahwa kebijakan GWMLDR kurang efektif diterapkan. Hal ini karena naiknya harga rumah yang digunakan sebagai agunan pinjaman. Dampaknya adalah secara
rata-rata dapat menurunkan rasio LTV dan akan menurunkan suku bunga pinjaman.
Peneliti lain yaitu Tovar et al., 2012 dalam penelitiannya di Brazil, Kolombia,dan Peru menunjukkan bahwa penggunaan instrumen makroprudensial
berupa GWM efektif diterapkan di Brazil dan Peru, sedangkan di Kolumbia tidak.Kemudian Lim et al., 2011 mengevaluasi efektifitas penggunaan
instrumen makroprudensial dalam mengurangi risiko sistemik di 49 negara. Mereka berargumen bahwa sebagian besar instrumen Buffer dan GWM efektif
dalam mengurangi prosiklikalitas, tetapi efektivitasnya sangat tergantung padaguncangan di sektor finansial.
Dari permasalahan yang telah diungkapkan, pelajaran yang didapat dari krisis keuangan global belakangan ini adalah pentingnya otoritas kebijakan mewaspadai
risiko dari penyaluran kredit yang berlebihan. Hal ini mengingat periode pertumbuhan kredit agregat yang berlebih kerap terkoneksi dengan risiko
sistemik. Oleh karena itu, otoritas kebijakan perlu mengidentifikasi kapan pertumbuhan kredit sudah dianggap berpotensi menimbulkan risiko bagi
kestabilan sistem keuangan dan kestabilan makro.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah rancangan kebijakan makroprudensial yang bersifat countercyclical
8
untuk mengantisipasi risiko dari pertumbuhan kredit yang berlebih. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, khususnya perbankan
dalam konteks ini, tidak hanya dibutuhkan kepastian bahwa sektor perbankan, baik secara keseluruhan maupun individual memiliki solvency yang cukup pada
saat disstress, tetapi juga memiliki modal yang cukup untuk menjaga aliran kredit dalam perekonomian. Sehingga beranjak dari permasalahan dan kondisi yang
timbul, maka penulis tertarik untuk mengambil sebuah judul penelitian mengenai “ASSESSEMENT INSTRUMEN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL DALAM
MEMITIGASI RISIKO KREDIT DI INDONESIA : ANALISIS DATA PANEL”.
B. Rumusan Masalah