II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teoritis
1. Kebijakan Makroprudensial
Pasca terjadinya krisis keuangan tahun 2007, istilah „kebijakan makroprudensial‟ tiba-tiba secara langsung menjadi bahan pembicaraan populer di dunia keuangan,
moneter, dan perbankan secara global. Hasil penelusuran cepat via internet pada awal Maret 2016 menghasilkan lebih dari 400.000 referens sejak tahun 2008;
menunjukkan bahwa topik kebijakan makropudensial memainkan peranan yang semakin penting dalam keuangan internasional, ekonomi moneter, dan perbankan.
Kebijakan makroprudensial merupakan suatu unsur kunci dari respons kebijakan internasional terhadap krisis untuk memperkuat orientasi makroprudensial dari
regulasi dan supervisi keuangan dengan cara meningkatkan fokus pada sisttem keuangan secara keseluruhan dan kaitannya dengan ekonomi makro.
10
Hasil dari tesisnya adalah bahwa untuk meningkatkan pertahanan terhadap ketidakstabilan
keuangan, maka setiap negara harus memperkuat orientasi makroprudensial dari kerangka regulasi dan supervisinya. Dengan demikian, orientasi kebijakan ini
10
See, for instance, FSF 2009, De Larosière 2009, Group of Twenty 2009 and, among the more academic references, Brunnermeier et al 2009.
bukan pada keamanan dan kesehatan individual institusi keuangan, melainkan pada sistem secara garis besar. Kebijakan makroprudensial ini juga sering
diinterpretasikan sebagai kebijakan untuk meng- address ”to big too fail” bank
atau systematically important financial institutions, SIFI Clemment, 2010.
Menurut Working Group G-30 2010 penerapan kebijakan makroprudensial ini dimaksudkan untuk mengatasi dua dimensi dari risiko sistemik, yaitu dimensi
time series dan dimensi cross section.
1. Dimensi time series menggambarkan mekanisme akumulasi risiko pada sistem
keuangan sepanjang waktu. Kejadian ini dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan sistem keuangan dalam memperbesar naik turunnya siklus
bisnis. Dalam hal ini institusi keuangan bertindak prosiklikal terhadapa siklus bisnis karena institusi finansial secara kolektif cenderung meningkatkan risk
exponsure selama perekonomian dalam masa boom dan menjadi sangat risk
averse pada saat ekonomi dalam masa bust. Hal ini dapat dilihat dari kredit
yang disalurkan oleh bank. Kebijakan makroprudensial diharapkan dapat memoderasi siklus finansial, bukan menghilangkannya.
2. Dimensi cross section menggambarkan distribusi risiko pada sistem finansial
pada waktu tertentu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko tertular spillovers dari ketidakstabilan keuangan financial distress. Masalah
yang terjadi pada institusi keuangan yang satu dapat menyebar dengan cepat ke institusi keuangan yang lain karena adanya saling ketergantungan yang sangat
erat.
Kebijakan makroprudensial fokus pada interaksi antara institusi keuangan, pasar, infrastruktur, dan ekonomi secara luas. Kebijakan itu merupakan komplemen dari
kebijakan mikroprudensial yang fokus pada individual bank. Berbeda dengan protokol manajemen krisis CMP, orientasi kebijakan ini adalah untuk
pencegahan preventive. Dalam praktiknya, penggunaan satu instrumen dapat berfungsi sebagai multiple objective tergantung pada situasi kapan instrumen
tersebut digunakan, misalnya contingent capital. Apabila tool diaplikasi untuk seluruh bank dan digunakan sebelum risiko sistemik berlangsung. Kebijakan
tersebut dapat dikategorikan sebagai kebijakan mikroprudensial. Jika diaplikasikan untuk systematically important financial insitutions SIFI,
kebijakan tersebut dapat digolongkan sebagai kebijakan makropudensial. Sementara itu, jika diaplikasikan sebagai respons dari krisis, kebijakan tersebut
dapat digolongkan sebagai krisis manajemen.
1.1 Instrumen Kebijakan Makroprudensial
Pada dasarnya instrumen makroprudensial ditujukkan untuk mengatasi masalah i procyclicality
11
dan ii common exposure
12
. Untuk mengatasi masalah procyclicality,
instrumen digunakan sebagai buffers atau pelindung dari pengaruh yang merugikan pada saat good times mengingat risiko membesar dan dapat
11
Procyclical is a term used in economics to describe how an economic quantity is related to
economic fluctuations. It is the opposite of countercyclical… In business cycle theory and finance, any economic quantity that is positively correlated with the overall state of the economy is said to
be procyclical
12
Common exposure merupakan terkonsentrasinya portofolio beberapa bank pada aset danatau kewajiban yang sama sehingga menimbulkan potensi risiko yang sama, antara lain
terkonsentrasinya kredit beberapa bank pada sektor usaha yang sama atau ketergantungan beberapa bank pada sumber dana yang sama.
dikurangi pada saat bad times sementara itu, untuk mengatasi masalah common exponsure,
instrumen digunakan sebagai aturan kehati-hatian pada institusi masing-masing.
Penggunaan instrumen makroprudensial sebenarnya bukan hal yang baru dalam keuangan internasional, moneter, dan perbankan; hanya saja instrumen tersebut
lebih banyak digunakan sejak pascrakrisis global tahun 2008. Selain itu, negara- negara emerging market menggunakan instrumen makroprudensial lebih ekstensif
dibandingkan dengan negara-negara maju. Beberapa negara menggunakan instrumen-instrumen yang bervariasi tergantung pada tingkat perkembangan
ekonomi, keuangan, rezim nilai tukar, dan daya tahan terhadap shocks.
Instrumen yang digunakan untuk kebijakan mekroprudensial sebenarnya mengadopsi instrumen mikroprudensial yang ada pada saat ini, seperti standar
kehati-hatian misalnya, kewajiban untuk memelihara modal yang cukup tinggi dan buffer likuiditas dan instrumen tersebut juga digunakan untuk mengurangi
kegiatan atau aktivitas yang dapat meningkatkan risiko. Pada dasarnya instrumen kebijakan makroprudensial dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian seperti
tampak pada tabel berikut :
Tabel 1. Instrumen Kebjiakan Makroprudensial
No Masalah
Instrumen Target
1 Kredit
1. Caps on the loan-to-value
LTV ratio 2.
Caps on the debt-to-income DTI ratio
3. Capital Buffer
4. Ceiling on credit or credit
growth Prosiklikalitas
Prosiklikalitas Prosiklikalitas
Prosiklikalitas 41
27
18 14
2 Likuiditas
1. Limits on net open currency
positioncurrency mismatch NOP
2. Limit on maturity mismatch
3. Reserve requirements
Common Exponsure
Common Exponsure
Prosiklikalitas 39
27 39
3 Modal
1. Countercyclicaltime-varying
capital requirements 2.
Time varyingdynamic provisioning
3. Restrictions on profit
distribution Prosiklikalitas
Prosiklikalitas Prosiklikalitas
22 29
14
Berdasarkan IMF Financial Stability dan Macroprudensial Policy Survey, 2010
Tabel 2. Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Berbagai Negara
Instrumen Negara yang Menerapkan
Mitigasi Risiko Kredit : Pembatasan pertumbuhan
Pembatasan LDR dan
Buffer LTV
Dynamic provisioning
Brazil, Kuwait, UK Bulgaria, Kroasia, Hongkong, Kuwait,
Indonesia China, Hongkong, Korea, Hungaria, Indonesia
Kolumbia, Bolivia, Uruguay, Peru, Spanyol
Mitigasi Insolvency : Pembatasan debt to income
ratio Leverage ratio
Permodalan
Korea Kanada
Brazil, Saudi Arabia, Bulagria
Mitigasi Risiko Pasar : Limit posisi valas
Pembatasan kredit valas
Mitigasi Risiko Likuiditas : Minimum liquidity
mismatch ratio Minimum core funding
ratio Reserve requirement
Pembatasan ekspor interbank
New Zealand New Zealand
Bulgaria, Kolumbia, Peru, Rumania Euro area
Sumber : Utari 2012
1.1.1 Kebijakan Giro Wajib Minimum GWM a.
Definisi Giro Wajib Minimum GWM
Menurut Pasal 1 PBI No. 1019PBI2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing, Giro Wajib
Minimum GWM adalah simpanan minimum yang harus dipelihara oleh bank dalam bentuk Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. Kebijakan pemberian jasa giro atau persentasi jasa giro dapat disesuaikan dari waktu ke waktu dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian dan arah kebijakan Bank Indonesia.
Penentuan besarnya persentase jasa giro tersebut dilakukan dengan Surat Edar Bank Indonesia. Besarnya GWM sangat tergantung kapada persentase Rasio
GWM yang ditetapkan oleh bank sentral. Semakin besar rasio GWM yang ditetapkan oleh bank sentral, maka semakin kecil daya ekspansi kredit bank
umum.
Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 1219PBI2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing,
mengatakan bahwa bank wajib memenuhi GWM dalam bentuk rupiah dan valuta asing. GWM dalam rupiah bank umum harus memenuhi :
1. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8 dari DPK dalam rupiah
2. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5 dari DPK dalam rupiah, dan
3. GWM Loan Deposit Ratio LDR sebesar perhitungan antara parameter
disensentif bawah atau parameter disinsentif atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum KPMM Bank dan KPMM Insentif.
b. Giro Wajib Minimum Berdasarkan LDR Loan Deposit Ratio
GWM LDR adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia sebesar persentase dari DPK
yang ditetapkan sebesar perhitungan antara parameter disinsentif bawah atau parameter disinsentif atas dengan selisih antara LDR Bank dan LDR Target
dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif. Besaran
dan parameter yang digunakan dalam perhitungan GWMLDR dalam rupiah ditetapkan dapat sewaktu-waktu diubah oleh BI sebagai berikut :
1. Batas bawah LDR target sebesar 78 dan batas atas LDR target sebesar 100.
2. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR
sebesar 0. 3.
Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR target diberikan disinsentif GWMLDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Bawah sebesar
0,1 dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target. 4.
Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif saat ini 14 akan diberikan disinsentif GWM
LDR sebesar perkalian parameter disinsentif atas saat ini sebesar 0,2 dengan selisih LDR bank dari batas atas LDR target.
5. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR target dan memiliki
KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif saat ini sebesar 14, maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0.
6. Besaran dan parameter LDR target, KPMM Insentif, parameter disinsentif
bawah, dan parameter disinsentif atas akan dievaluasi sewaktu waktu apabila diperlukan.
Ketentuan Giro Wajib Minimum diperlukan untuk mempengaruhi likuiditas dalam perbankan. Bank dalam menghimpun dana diwajibkan memelihara
sejumlah likuiditas tertentu dari total DPK yang dihimpun bank pada periode tertentu. Jumlah likuiditas wajib minimum tersebut harus ditetapkan dalam
rekening giro bank yang bersangkutan pada bank sentral. Ketentuan dari Bank
Indonesia, GWM dalam rupiah adalah 8 dari total DPK rupiah yang dihitung rata-rata harian dalam satu minggu dan harus dilaporkan ke BI.
Perhitungan GWM bagi analis luar menggunakan data keuangan bank yang dipublikasikan di media, sedangkan ketentuan dari BI bank wajib
mempublikasikan laporan keuangan setiap triwulan per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. Perhitungan GWM ini adalah :
c. Implementasi Kebijakan
1. PBI No.1219PBI2010 tanggal 4 Oktober 2010, dirubah dengan PBI
N.157PBI2013 tanggal 26 September 2013, dan SE BINo.1541DKMP tanggal 1 Oktober 2013.
2. Tujuan : meningkatkan ketahanan sektor perbankan dalam menghadapi
berbagai risiko khususnya terkait dengan risiko kredit dan likuiditas. Sehingga dapat mendukung stabilitas sistemkeuangan sekaligus stabilitas
moneter melalui penguatan peran intermediasi bank. 3.
Pokok ketentuan : a.
Bank wajib memelihara tambahan GWM rupiah selain GWM primer dan GWM sekunder yang besarnya ditentukan berdasarkan presentase
tertentu dari total DPK rupiah bank yang nilainya ditentukan berdasarkan angka LDR bank.
b. Apabila angka LDR bank berada dalam kisaran LDR target, yakni 78 -
92 sebelum 100, maka besarnya tambahan GWMLDR bank adalah 0.
c. Apabila LDR bank 78, maka besarnya tambahan GWMLDR bank
adalah GWM LDR 78 LDR bank x 0,1 parameter disinsentif bawah
d. Apabila LDR bank 92, maka besarnya tambahan GWMLDR bank
adalah : GWMLDR = LDR bank 92 x 0,2 parameter disinsentif atasKecuali : bank dengan CAR 14, maka besarnya GWMLDR
adalah 0. 4.
Kebijakan GWMLDR SE Ekstern No.1541DKMP tanggal 1 Oktober 2013. Kewajiban GWM sekunder yang saat ini sebesar2,5 akan
dinaikkan : a.
Menjadi 3 dari DPK dalam rupiah sejak 31 Oktober 2013. b.
Menjadi 3,5 dari DPK dalam rupiah sejak tanggal 31 November 2013. c.
Menjadi 4 dari DPK dalam rupiah sejak 2 Desember 2013. 5.
Penyesuaian dilakukan terhadap batas atas GWMLDR yang diturunkan dari 100 menjadi 92 sementara batas bawah tetap sebesar 78.
6. Bank diharapkan dapat menjaga LDR mereka pada kisaran 78 sampai
dengan 92 disinsentif batas atas dikenakan kepada bankbank yang memiliki LDR diatas 92 dengan KPMM Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum atau CAR kurang dari 14, sementara disinsentif batas bawah dikenakan kepada bank-bank dengan LDR kurang dari 78. Adapun
perhitungan disinsentif untuk pelanggaran terhadap batas atas atau batas
bawah dilakukan dengan mekanisme perhitungan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.
1.1.2 Kebijakan Capital Buffer
a. Definisi Capital Buffer
Capital buffer didefinisikan sebagai selisih lebih antara rasio kecukupan modal
CAR yang dimiliki perbankan dengan persyaratan minimum modal perbankan yang diberlakukan regulator Anggitasari, 2013. Meskipun, regulasi modal
bermanfaat untuk keamanan dan kesehatan bank, mewajibkan bank untuk menahan peningkatan modal memiliki banyak biaya dan dapat menjadi kendala
terkait perilaku bank. Capital buffer dapat menjadi pelindung yang dapat menyerap berbagai risiko yang mungkin muncul, jika financial distress cost dari
modal yang rendah, serta biaya akses modal baru yang tinggi Wong, et al. 2010. Selain itu, bank yang memiliki modal yang rendah, lebih mudah kehilangan
kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, bank dapat menahan dan menjadikan capital buffer
sebagai asuransi untuk menghindari biaya disiplin pasar market dicipline
maupun biaya intervensi pengawasan supervisory intervention jika mereka memutuskan untuk menurunkan modal di bawah persyaratan rasio
kecukupan modal.
Alasan lain bank harus memiliki capital buffer adalah pasar memaksa bank besar untuk memiliki capital buffer, bahkan ketika modal relatif mahal, sebagaimana
modal bank berfungsi untuk memonitor dan tanpa penjamin simpanan yang
memungkinkan bank membuat jaminan simpanan menjadi lebih murah Berger et al., 1995. Jokipi dan Milne 2008 menyatakan bahwa di saat terjadi peningkatan
yang substansial pada permintaan kredit, bank-bank dengan modal yang relatif kecil akan kehilangan pangsa pasar yang baik untuk dikapitalisasi. Mishkin
2006 menyatakan bahwa bank menahan modalnya berdasarkan beberapa alasan berikut.
Pertama , modal bertujuan untuk mengantisipasi kegagalan, bank menahan
modalnya untuk mengurangi risiko tidak solvabel. Bank cenderung memiliki kecukupan modal untuk menyerap kerugian. Kedua, jumlah modal mempengaruhi
pengembalian pemegang saham. Semakin besar modal yang ditahan, semakin kecil keuntungan yang diterima pemegang saham. Terdapat situasi dimana
manajer harus mengambil keputusan yang optimal di antara menjaga likuiditas bank tetap aman dan memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham. Ketiga,
modal minimum perbankan diatur oleh regulator.
b. Regulasi Capital Buffer untuk Pengendalian Kredit
Regulasi kapital atau modal bank dapat mempengaruhi shock perekonomian terhadap pinjaman melalui dual saluran yaitu bank lending chanel dan bank
capital chanel. Keduanya didasarkan atas permasalahan adverse selection yang
mempengaruhi pengumpulan dana bank. Saluran pertama, bergantung pada ketidaksempurnaan di pasar pinjaman, sedangkan yang kedua bergantung pada
ketidakseimbangan di pasar ekuitas Gambacorta 2011 dalam Utari, 2012.
Bank lending channel memfokuskan pengaruh pengetatan moneter terhadap
penyaluran kredit. Pengetatan moneter akan meningkatkan cost of fund bank khususnya untuk dana pihak ketiga dan mengurangi interest margin. Akibatnya
profitabilitas bank berkurang dan jika pada kondisi ini bank harus meningkatkan permodalan, bank akan bereaksi dengan meningkatkan persyaratan kredit,
sehingga penyaluran kredit akan berkurang karena adanya peningkatan biaya.
Ketika terjadi peningkatan ketentuan permodalan, ekses kapital bank akan berkurang. Secara umum permodalan bank dapat mempengaruhi pinjaman
melalui capital channel jika terpenuhinya dua kondisi. Kondisi pertama, pelanggaran ketentuan modal minimum sangat berisiko dan akibatnya bank perlu
membatasi risiko terhadap kemungkinan ketidakcukupan modal, sehingga kemudian bank akan melakukan penyesuaian jumlah kredit. Kondisi kedua, jika
pasar untuk ekuitas bank tidak sempurna, bank tidak dapat dengan mudah mengeluarkan ekuiti baru, terutama pada periode krisis karena adanya tax
disadvantage, problem adverse selection dan agency cost
2. Sistem Keuangan dan Perbankan