Perkembangan Kebijakan Kakao Indonesia

5.5 Perkembangan Kebijakan Kakao Indonesia

Kakao mulai dibudidayakan secara luas di Indonesia sejak tahun 1970. Sampai saat ini berbagai kebijakan telah diterapkan atas komoditas ini. Kebijakan pengembangan areal dan produksi kakao melalui proyek-proyek nasional menjadi pusat perhatian pemerintah, mengingat kakao adalah komoditas perkebunan yang sangat potensial. Perkembangan produksi dan ekspor yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir telah berhasil mengangkat posisi pangsa produksi dan ekspor Indonesia sehingga menduduki peringkat ke-tiga di dunia. Dukungan pemerintah untuk mengembangkan produksi kakao antara lain dengan mengunakan beberapa pola pengembangan, seperti: 1 Plasma, PRPTE, UPP Berbantuan, Partial, Swadaya Berbantuan, Swadaya Murni dilaksanakan oleh perkebunan pakyat; 2 Program Inti dan Non Inti dilaksanakan oleh pemerintah; 3 PBSN dan PBSA dilaksanakan oleh perkebunan besar swasta yang dilaksanakan hampir di tiap propinsi dengan tingkat produktivitas yang berbeda-beda Arsyad, 2004. Departemen Pertanian pada tahun 2007 berencana memperluas areal perkebunan kakao hingga mencapai 23 ribu hektar. Hal ini dilakukan guna meningkatkan produktivitas kakao Indonesia sebagai program Revitalisasi Perkebunan 2 . Selain kebijakan produksi, kakao sebagai komoditas perdagangan internasional telah mengikuti perkembangan kebijakan perkakaoan dunia. Antara lain perubahan harga dunia, automatic detention, depresiasi nilai tukar dan standar mutu. Automatic detention telah lama dijadikan kebijakan oleh negara importir 2 Jaknews. 2006. Deptan Perluas Areal Kakao 23 Ribu HA. www.jaknews.com. Diakses tanggal 2 Januari 2007. kakao Indonesia untuk mengenakan denda bagi kakao Indonesia sebesar US200ton, karena isu kualitas Kedutaan Besar Republik Indonesia, 2005. Pemerintah menerapkan pula kebijakan keringanan pajak untuk investasi kakao. Menurut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM, Muhammad Luthfi, pemerintah akan memberikan keringanan pajak 30 persen bagi investor Amerika Serikat yang tertarik menggarap pengolahan kakao. Insentif lain yang ditawarkan adalah dispensasi pembayaran pajak selama beberapa tahun 3 . Kebijakan lainnya adalah PPN 10 persen yang dikenakan untuk seluruh hasil komoditas primer, termasuk kakao. Adanya kebijakan ini membuat pedagang lebih senang untuk menjual kakao ke luar negeri ekspor. Lebih lanjut lagi adanya kebijakan ini membuat industri pengolahan coklat mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku untuk usahanya, sehingga tidak heran industri pengolahan cokelat dalam negeri tidak berkembang. Akhirnya untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan dalam negeri serta menciptakan keseimbangan antara ekspor komoditas dan ketersediaan komoditas di dalam negeri sebagai bahan baku industri nasional, maka pemerintah berencana untuk menghapuskan PPN 10 persen dan sebagai gantinya pemerintah akan menerapkan kebijakan pungutan ekspor untuk komoditas kakao 4 . Sebenarnya rencana pemeritah untuk menerapkan pungutan ekspor atas komoditas kakao masih menjadi perdebatan berbagai pihak 3 Tempo. 2006. Keringanan Pajak untuk Investasi Kakao. www.tempointeraktif.com. Diakses tanggal 29 November 2006. 4 Kompas. 2005. Komoditas Tertentu akan Kena Pungutan Ekspor. www.kompas.comkompas- cetak050503. Diakses tanggal 29 November 2006. meskipun kenyataannya pada 17 Maret 2005 lalu, Mensesneg dengan surat No. B.168M.Sesneg0305 meminta Menkeu untuk segera mengatur kebijakan penghapusan PPN dan penerapan pungutan ekspor atas kakao, serta melaporkan realisasinya langsung kepada Presiden Supriyanto, 2005. Petani, pedagang dan eksportir berada pada posisi menolak. Di pihak lain, industri pengolahan yang setuju dan memperjuangkan penerapan PE. Masing- masing mempunyai dasar pertimbangan sendiri, yang sebenarnya cukup beralasan. Petani, pedagang dan eksportir berpandangan bahwa PE akan semakin membebani petani, karena nantinya harga jual akan lebih rendah. Sementara bagi eksportir tidak akan kena efek apapun karena pihak ini hanya menyesuaikan harga jual yang dibebankan kepada petani dengan adanya PE. Industri pengolahan, pada sisi lain memandang bahwa PE akan memberikan dukungan bagi pasokan kebutuhan biji kakao industri yang selama ini kesulitan, karena eksportir lebih memilih melakukan ekspor biji kakao. Hal ini karena eksportir lebih memilih tidak dikenakan PPN 10 persen dengan mengekspor langsung, daripada menjual kepada industri pengolahan.

BAB VI ANALISIS INTEGRASI PASAR