BAB VII DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR KAKAO
Adanya rencana pemerintah untuk menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kakao tentunya akan menimbulkan berbagai dampak. Meskipun
kebijakan ini baru berada pada tahap perencanaan, namun berbagai polemik yang timbul dibalik perlu atau tidaknya menerapkan kebijakan ini memerlukan analisis
tersendiri terhadap permasalahan ini. Penerapan pungutan ekspor, seperti yang telah dijabarkan sebelumnya,
akan meningkatkan harga ekspor kakao Indonesia namun di sisi lain akan menurunkan harga yang diterima oleh eksportir Indonesia dan pada akhirnya akan
menyebabkan harga yang diterima oleh produsen kakao petani menjadi lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Adapun pengurangan harga yang diterima
petani akibat adanya pungutan ekspor dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Formulasi Harga Kakao Apabila Memperhitungkan Pungutan Eskpor
dengan Menggunakan Perhitungan Versi ASKINDO.
Rincian Tanpa Pungutan
Ekspor PE Dengan Pungutan
Ekspor PE a. Harga dunia NYBOT
1.501 USmt 1.501 USmt
b. Penalti 250 USmt
250 USmt d. Harga yang diterima eksportir FOB
1.251 USmt 1.251 USkg – t
e. Cost margin eksportir 50 USmt
50 USmt f. Harga kakao
1201 USmt 1201 USmt – t
g. Harga kakao pedagang 10.448,7kg 10.448,7kg
– t
h. Harga kakao petani setelah dikurangi PPh 0.5 persen
10.396kg 10.396kg –
t Berdasarkan kurs 1 US = Rp 8700
Diasumsikan harga kakao dunia tetap, baik sebelum maupun sesudah adanya pungutan ekspor, untuk memudahkan perhitungan. Adanya pungutan
ekspor ini sebesar t ternyata akan dibebankan ke petani sehingga mengakibatkan harga kakao di dalam negeri tidak memiliki pola yang sama dengan harga dunia.
Di satu sisi, harga kakao dunia tetap tidak terjadi perubahan, namun harga kakao di dalam negeri menurun. Perbedaan pola tersebut menunjukkan bahwa antara
pasar kakao dunia dengan dalam negeri tidak terintegrasi. Dengan kondisi pasar kakao di dalam negeri yang sudah tidak terintegrasi
maka adanya pungutan ekspor ini akan membuat kondisi pasar kakao di dalam negeri semakin jauh dari dunia dan semakin tidak terintegrasi. Begitu pula halnya
dengan ketiga wilayah lainnya, seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, yang memiliki kondisi pasar yang sudah tidak terintegrasi
sebelum adanya pungutan ekspor. Untuk wilayah Sumatera Utara, perkebunan kakao tidak hanya dimiliki
oleh smallholders saja namun juga oleh perkebunan negara dengan luas wilayah yang cukup besar. Untuk perkebunan kakao yang dikelola oleh negara, tentunya
formulasi harga yang ditampilkan pada Tabel 13 tidak berlaku karena dalam tataniaganya tidak melibatkan pedagang perantara. Selain itu pemerintah
bertindak sebagai eksportir sekaligus sebagai pemilik dari perkebunan produsen. Dengan demikian pungutan ekspor akan ditanggung sendiri oleh perusahaan
perkebunan negara dan harga produsen di dalam negeri yang terjadi adalah sebesar 1.251 USkg – t. Kondisi Sumatera Utara ini mengakibatkan harga kakao
dunia dan dalam negeri memiliki pola yang berbeda namun perbedaan tersebut tidak akan terlalu jauh, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Tenggara di ketiga wilayah tersebut harga yang diterima produsen adalah sebesar 10.396kg – t.
Kebijakan pungutan ekspor ini ternyata tidak hanya berdampak pada integrasi pasar kakao saja tetapi mempunyai implikasi lain. Pertama, adanya
pungutan ekspor akan membuat daya saing Indonesia di dunia dalam ekspor kakao melemah. Tanpa dilakukannya perbaikan kualitas kakao Indonesia, maka
kenaikan harga ekspor kakao Indonesia, akibat adanya pungutan ekspor, akan membuat importir kakao Indonesia beralih pada eksportir kakao lainnya yang
menjadi saingan Indonesia seperti Pantai Gading dan Ghana. Hal ini dikarenakan kedua negara tersebut cukup dikenal akan kualitas biji kakaonya.
Kedua, penurunan harga yang akan diterima produsen kakao akibat penerapan pungutan ekspor kakao ini akan menurunkan pendapatan yang
diperoleh petani. Selain itu perlu diketahui bahwa dalam sistem tataniaga kakao di Indonesia Lampiran 15 besarnya margin yang ditetapkan pedagang biasanya
tetap untuk eksportir adalah sebesar 50 USmt. Apabila rantai distribusi untuk sampai ke tangan eksportir semakin panjang, maka semakin besar bagian petani
yang akan hilang. Hal ini disebabkan ada biaya tambahan akibat pungutan tersebut akan dibebankan pada petani. Padahal selama ini telah cukup banyak
komponen biaya yang dibebankan kepada petani, contohnya pungutan Pemda Rp50kg, PPh 0.5 persen, PPN dan biaya ekspedisi dari gudang-pelabuhan
Rp200kg. Ketiga, bagi pedagang eksportir adanya kebijakan ini tidak akan begitu
berpengaruh. Pihak ini hanya akan menyesuaikan harga beli kakao di tingkat petani jika terjadi kenaikan harga jual kakao ekspor. Selain itu, adanya kebijakan
ini akan menyebabkan terjadinya penyelundupan kakao ke negara lain akibat adanya biaya pungutan dalam melakukan ekspor.
Keempat, adanya penerapan pungutan ekspor kakao akan menyebabkan pihak industri lebih terjamin dalam memperoleh input untuk produksi cokelatnya
karena selama ini pedagang lebih memilih untuk melakukan ekspor akibat kebijakan PPN 10 persen atas biji kakao. Akan tetapi dengan kondisi kualitas biji
kakao olahan dalam negeri yang masih rendah, tidak dapat dijamin apakah industri akan beralih menggunakan kakao dalam negeri sebagai input dalam
proses produksinya. Dan apabila kebijakan PPN 10 persen atas komoditas primer jadi akan dicabut, maka penerapan pungutan ekspor dapat menjadi alternatif
pendapatan bukan pajak bagi pemerintah.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN