Perkembangan Harga Perkembangan Kakao Dunia .1 Perkembangan

Tabel 4. Perkembangan Impor Biji Kakao Beberapa Negara Importir Utama, 20002001-20032004 Ribu Ton Negara 200001 200102 200203 200304 Pertumbuhan persentahun Pangsa persen France 157.18 142.65 138.89 154.59 4.79 5.77 Germany 228.24 212.39 205.13 212.15 5.98 7.92 Netherland 549.05 493.91 495.24 561.23 2.77 20.95 United Kingdom 150.73 107.34 126.96 138.81 3.32 5.18 Spain 48.80 55.73 60.05 67.35 4.74 2.51 Belgium 101.31 106.27 122.54 139.59 11.13 5.21 Switzerland 21.48 22.12 22.51 24.64 1.44 0.92 Estonia 58.65 65.50 57.28 68.69 0.81 2.56 Rusia Federation 71.67 68.35 70.72 64.49 1.93 2.41 South Afrika 5.80 3.46 3.63 2.52 13.76 0.09 Brazil 41.73 46.56 60.71 44.15 16.90 1.65 Canada 57.84 56.23 52.15 71.85 11.10 2.68 USA 354.68 397.13 323.26 488.57 4.74 18.24 Cina 22.09 12.16 9.06 19.43 8.06 0.73 Japan 49.16 50.09 49.18 56.84 0.82 2.12 Malaysia 109.63 113.99 99.19 181.20 27.11 6.77 Singapore 67.00 62.53 64.97 57.09 7.28 2.13 Thailand 12.29 14.53 15.72 18.89 7.89 0.71 Lainnya 302.18 298.47 276.46 306.39 3.99 11.44 Sumber: Dirjen Perkebunan Deptan , 2006

2.2.4 Perkembangan Harga

Fluktuasi harga biji kakao dapat dilihat dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Berdasarkan metode yang dipublikasikan oleh ICCO, variasi harga dalam jangka pendek biasanya diukur dalam mingguan, jangka menengah diukur dalam bulanan, sedangkan dalam jangka panjang diukur dalam tahunan. Sementara itu menurut Lolowang 1999, untuk informasi mengenai harga tersebut selama ini berpatokan pada harga yang berlaku dan terjadi di London Cocoa Terminal Market dan New York Board of Trade NYBOT mengingat tujuan ekspor dan konsumen kakao terbesar di dunia sejak dulu adalah Masyarakat Eropa dan Amerika Utara. Pada dasarnya harga kakao dunia dipengaruhi oleh harga kakao nomor satu dari Pantai Gading, Afrika Barat. Sejak dahulu Pantai Gading memang merajai kakao dunia dengan hasil tinggi dan mutunya yang menjadi incaran para pembeli Roesmanto, 1991. Harga kakao di pasar dunia senantiasa berfluktuasi. Hal ini disebabkan oleh laju peningkatan produksi yang tinggi. Terjadinya akumulasi stok yang terus meningkat mengakibatkan harga kakao dunia melemah. Sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5, harga biji kakao dunia selama periode 1988-1990 cukup fluktuatif. Pada tahun 1989 harga biji kakao mengalami penurunan meskipun kembali mengalami kenaikan yang cukup berarti pada tahun 1997. Hal ini mendorong terjadinya perluasan areal yang dapat meningkatkan produksi kakao dunia dan secara terus-menerus mengakumulasi stok. Akibatnya, harga kakao dunia turun kembali pada tahun 1999 dan kembali menguat pada tahun 2002. Tabel 5. Perkembangan Harga Rata-Rata Tahunan Biji Kakao di Pasar Dunia, 1988-2005 SDRton Tahun Harga Tahun Harga 1988 1176.94 1997 1177.06 1989 967.44 1998 1236.46 1990 934.20 1999 833.45 1991 872.36 2000 672.76 1992 780.52 2001 855.17 1993 800.04 2002 1369.17 1994 973.86 2003 1256.28 1995 945.23 2004 1045.09 1996 1002.98 2005 1040.50 Sumber : Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics ICCO, 2006 2.3 Kajian Penelitian Terdahulu Meskipun hingga penelitian ini didesain belum ditemukan penelitian yang mengkaji secara khusus mengenai dampak rencana kebijakan pungutan ekspor kakao, namun ditemukan berbagai studi terdahulu yang relevan, yang terkait dengan komoditas kakao. Mulai dari analisis keunggulan komparatif, analisis penawaran dan permintaan sampai pada penelitian yang membahas dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan dan ekspor kakao. Namun dalam bagian ini hanya akan dijabarkan studi-studi terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Arsyad 2004 dalam penelitiannya mencoba untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi areal panen dan produktivitas kakao di daerah produsen utama Sulawesi Selatan, faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kakao Sulawesi Selatan, menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap produksi dan ekspor kakao Sulawesi Selatan serta menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap kesejahteraan masyarakat dan devisa ekspor. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam jangka pendek ekspor kakao Sulawesi Selatan kurang responsif terhadap perubahan harga ekspor sebelumnya, pertumbuhan produksi kakao Sulawesi Selatan, nilai tukar tahun sebelumnya dan trend waktu. Kebijakan subsidi harga pupuk bagi petani produsen ternyata merupakan alternatif kunci pengembangan produksi dan ekspor kakao Sulawesi Selatan. Kebijakan depresiasi perlu dipertimbangkan sebagai langkah berikutnya, mengingat dampak kebijakan ini mampu meningkatkan produksi, ekspor, dan harga kakao Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi utama kakao Indonesia. Secara umum dapat disimpulkan bahwa kedua kebijakan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berbeda dengan dilakukan oleh Noorsapto 1994 yang meneliti mengenai keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Policy Analysis Matrix PAM. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa semua sistem komoditas kakao menguntungkan baik secara finansial dan ekonomi dimana ketiga bentuk pengusahaan memiliki keunggulan komparatif dan secara finansial memiliki keunggulan kompetitif sebagai komoditas ekspor. Pada sisi yang berbeda, Akiyama 1992 menganalisis dampak dari pajak optimal atas komoditas kakao terhadap surplus produsen dan cadangan pemerintah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor yang paling penting dalam menentukan pajak ekspor yang optimal adalah bagaimana petani dan pemerintah membentuk harapan harga. Ketika harapan petani tidak diketahui atau tidak tergantung pada harga dan pajak, maka pajak optimal tidak dapat ditentukan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Lam 1979. Lam mengukur pengaruh pajak ekspor pada kopi, kopra, dan kakao di Papua New Guinea. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya penerapan pajak ekspor membuat petani dengan luas tanah marginal akan mendapat efek negatif yang paling besar apabila harga ekspor turun. Di sisi lain, apabila terjadi kenaikan harga, maka keuntungan tersebut tidak akan ditransfer seluruhnya oleh petani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak dalam sektor ini akan menyebabkan harga yang tidak pantas untuk petani. Baffes dan Bruce 2003 menyatakan dalam penelitiannya bahwa: “One of the objectives of these programs was the removal of distortionary price and trade policies by moving prices close to international ones .” Program dalam kata tersebut mengacu pada reformasi kebijakan dengan mengurangi pajak, subsidi dan hambatan non tarif. Merujuk pada pernyataan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah akan menimbulkan distorsi harga dan perdagangan serta membuat harga domestik semakin jauh dari harga internasional. Dengan demikian hubungan antara pasar dalam negeri dan internasional akan semakin jauh dan semakin tidak terintegrasi. Dalam penelitian yang dilakukannya di beberapa negara yang mengalami reformasi kebijakan, misalnya di Chile, adanya kebijakan yang diterapkan pemerintah untuk mengatasi pasar gelap dengan memonopoli penjualan gandum membuat harga gandum di negara tersebut tidak bergantung pada harga internasional. Selain itu di Madagaskar, adanya reformasi kebijakan membuat integrasi pasar di negara ini membaik. Adapun studi yang menggunakan pendekatan integrasi pasar, salah satunya adalah yang dilakukan Lestari 2006 untuk menganalisis tataniaga bengkuang. Lestari menganalisis keterpaduan pasar antara tingkat petani di Kecamatan Prembun dengan Pasar Gamping Yogyakarta dan Pasar Induk Keramat Jati sebagai pasar acuan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pasar di tingkat petani, yaitu Pasar Prembun, tidak terintegrasi dengan kedua pasar acuan. Namun melalui analisis nilai Index of Market Connection IMC terlihat bahwa antara pasar Prembun dan Pasar Gamping lebih efisien. Perbedaan seluruh studi tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan kali ini adalah akan dikajinya perkiraan dampak dari sebuah kebijakan pungutan ekspor kakao yang belum diterapkan apabila kebijakan tersebut jadi diterapkan. Dengan menggunakan pendekatan integrasi pasar diharapkan mampu menjelaskan kondisi pasar kakao di Indonesia, sehingga dapat mempermudah analisis. Dari analisis tersebut akan didapat rekomendasi tentang perlu tidaknya penerapan kebijakan ini.

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN