Sumber Khitin dan Khitosan Sifat Fisika Kimia Khitin dan Khitosan

Sumarwoto 1983 juga menga takan bahwa anemia bisa terjadi karena timbal dalam darah akan mempengaruhi aktifitas enzim asam delta amino levolonat dehidratase ALAD dalam pembentukan hemoglobin pada butir-butir darah merah.

2.3 Sumber Khitin dan Khitosan

Sumber khitin dan khitosan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan di perairan Indonesia adalah limbah rajungan. Hal ini sejalan dengan munculnya rajungan sebagai salah satu komoditas primadona dalam industri pengolahan hasil perikanan, sejak diresmikannya program peningkatan devisa non migas terutama dari subsektor perikanan Suptijah et al. 1992. Produksi krustasea di Indonesia tahun 2000-2002 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi krustasea di Indonesia pada tahun 2000-2002 ton Jenis Krustasea Tahun 2000 2001 2002 Udang 249.032 263.037 241.485 Rajungan dan Kepiting 22.827 33.792 31.228 Jumlah 271.859 296.829 272.713 Sumber: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2004 Johnson dan Peniston 1982 menyatakan bahwa kulit udang dan rajungan merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang persentasenya mencapai 50-60 dari berat utuh. Khitin dapat ditemukan pada limbah udang dan rajungan masing-masing sebesar 14-27 dan 13-15 berat kering tergantung dari jenis spesies dan faktor lain Ashford 1977 dalam Knorr 1984. Khitin dan khitosan merupakan senyawa golongan karbohidrat yang dapat dihasilkan dari limbah hasil laut, khususnya golongan udang, kepiting, lobster, dan kerang Angka dan Suhartono 2000. Khitin di alam terdapat sebagai materi pembentuk tulang pada mahluk hidup golongan udang, kepiting, lobster, dan beberapa jenis ganggang Chandrkrachang et al. 1991. Khitosan merupakan produk deasetilasi dari khitin yang merupakan polimer rantai panjang glukosamin Knorr 1982.

2.4 Sifat Fisika Kimia Khitin dan Khitosan

Khitin merupakan senyawa organik terbesar kedua setelah selulosa yang melimpah dan tersebar luas di alam Rha 1984. Menurut Brzeski 1987, bentuk molekul khitin hampir sama dengan selulosa yaitu polisakarida yang dibentuk dari molekul-molekul gula sederhana yang identik. Bedanya dengan selulosa terletak pada gugus rantai C–2, dimana gugus hidroksil pada C–2 digantikan oleh gugus asetil amino - NHCOCH3 Bastaman 1989. Menurut Ornum 1992 khitin adalah suatu polimer linear yang tersusun oleh 2000-3000 monomer N-Asetil D-glukosamin dalam ikatan ß 1-4. Khitin merupakan polimer linear yang mempunyai berat molekul besar dari unit 2–asetamida–2deoksi–D glukopiranol atau suatu N–asetil D–glukosamin. Khitin juga dapat didefinisikan sebagai suatu polimer dari glukosamin yang terbentuk oleh adanya proses asetilasi dari polimerisasi. Khitin tidak larut dalam air, asam, alkohol atau pelarut organik lainnya, tetapi khitin dapat larut dalam larutan HCl pekat, H 2 SO 4 pekat, asam fosfat 78-79, atau asam format anhidrat Angka dan Suhartono 2000. Ornum 1992 menyatakan bahwa khitin mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air, asam organik encer, dan asam-asam organik, tetapi larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium klorida. Struktur molekul khitin dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Struktur kimia khitin Suptijah 2006 Khitosan merupakan produk deasetilasi khitin, yang memiliki sifat yang unik. Unit penyusun khitosan merupakan disakarida 1-4–2–amino–2–deoksi–a– D–glukosa yang saling berikatan ß Angka dan Suhartono 2000. Berat molekulnya tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer khitin, semakin rendah berat molekulnya serta semakin kuat interaksi antara ion dan ikatan hidrogen dari khitosan Knorr,1982. Penampilan fungsional khitosan ditentukan oleh sifat fisik dan kimiawinya. Seperti halnya dengan polisakarida lain, khitosan memiliki kerangka gula tetapi dengan sifat yang unik karena polimer ini memiliki gugus amin bermuatan positif sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negative Angka dan Suhartono 2000. Menurut Knorr 1982, khitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Ornum 1992 menambahkan bahwa gugus amino bebas inilah yang memberikan banyak kegunaan pada khitosan. Bila dilarutkan dalam asam, khitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam pembentuk film atau imobilisasi dalam beberapa reagen biologi termasuk enzim. Khitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi sehingga mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, khitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai pengikat, penstabil, dan pembentuk tekstur Brzeski 1987. Struktur molekul khitosan disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Struktur kimia khitosan Suptijah 2006 Khitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada pH diatas 6,5 dan pelarut organik, tetapi dapat larut cepat dalam asam organik encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain kecuali sulfur. Sifat kelarutan khitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi, rotasi spesifik yang bervariasi serta tergantung dari sumber dan metode isolasinya Austin 1984. Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dan asam asetat dengan konsentrasi masing-masing 0,2–1,0 dan 1–2 Ornum 1992. Standar mutu khitosan dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Standar mutu khitosan Parameter Nilai Ukuran partikel Serpihan sampai serbuk Kadar air = 10 Kadar abu = 2 Larutan Jernih Derajat deasetilasi = 70 Viskositas cps - rendah 200 cps - sedang 200 – 799 cps - tinggi 800 – 2000 cps - ekstra tinggi 2000 cps Sumber : Protan Laboratories dalam Suptijah et al. 1992 2.5 Isolasi Khitosan Khitosan adalah produk deasetilasi dari khitin dengan menggunakan larutan alkali Johnson dan Peniston 1982. Khitin di alam tidak berada dalam keadaan murni tetapi bergabung dengan unsur-unsur lain seperti protein, unsur mineral dan berbagai macam pigmen. Khitin berikatan kovalen dengan sebagian protein dan berasosiasi dengan unsur mineral membentuk mukopolisakarida yang berfungsi sebagai material pelindung pada udang. Oleh sebab itu untuk mendapatkan Khitin dalam keadaan murni perlu dilakukan ekstraksi dengan perlakuan yang sesuai dengan karakter asosiasi khitin dengan protein dan mineral. Khitin diperoleh dengan cara menghilangkan protein deproteinasi dan mineral demineralisasi dari kulit atau cangkang udang dan rajungan dilanjutkan dengan proses deasetilasi untuk mendapatkan khitosan. Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Kulit udang dan rajungan umumnya mengandung 30 – 50 berat kering mineral. Mineral utama yang terdapat pada udang dan rajungan adalah kalsium dalam bentuk CaCO 3 dan sedikit Ca 3 PO 4 3 Purwatiningsih 1993. Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan menambah HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume pengekstrak 1:7 bv dipanaskan pada suhu 90-100 C selama satu jam Suptijah et al. 1992. Reaksi demineralisasi dapat dilihat pada Gambar 4. CaCO 3 + 2HCL CaCl 2 + H 2 CO 3 H 2 CO 3 H 2 O + CO 2 CaCO 3 + 2HCl CaCl 2 + H 2 O + CO 2 Ca 3 PO 4 2 + 6HCl 3CaCl 2 + 2H 3 PO 4 Gambar 4 Reaksi demineralisasi menurut Bastaman 1989 Proses demineralisasi akan berlangsung sempurna dengan mengusahakan agar konsentrasi asam yang digunakan serendah mungkin dan disertai pengadukan yang konstan, karena dengan pengadukan yang konstan diharapkan asam berkonsentrasi rendah tersebut dapat bereaksi sempurna dengan bahan baku yang digunakan Karmas 1982. Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dari limbah udang dan rajungan. Efektivitas proses tersebut tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya suhu yang digunakan. Menurut Suptijah et al. 1992, penggunaan larutan NaOH 3,5 dengan pemanasan 90 C selama satu jam dapat dilakukan sebagai alternatif deproteinasi. Penghilangan gugus asetil -COCH 3 dari khitin dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH pekat 50 dengan perbandingan 1:20 bv dipanaskan pada suhu 120 – 140 C selama satu jam. Derajat deasetilasi adalah suatu parameter mutu khitosan yang menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan pada gugus khitin. Semakin tinggi derajat deasetilasi khitosan, maka gugus asetil yang terdapat dalam khitosan tersebut semakin sedikit Knorr 1982. Menurut Suptijah et al. 1992, deasetilasi pada khitin yang optimum dapat dilakukan dengan cara menambahkan larutan NaOH pekat 50 nisbah 1:20 bv kemudian dipanaskan pada suhu 120 – 140 C selama satu jam. Waktu dan suhu pada proses deasetilasi juga berpengaruh terhadap hasil akhir, waktu deasetilasi yang lama dengan suhu tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan rendemen khitosan, berat molekul, viskositas, dan kemampuan mekanik dari film khitosan Bastaman 1989.

2.6 Khitosan Sebagai Pengikat Logam Berat