Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
sulit dibendung. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, mengarahkan pertemuan itu sehingga
terlaksananya “perkawinan” dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan
menjadi ketentraman dan sakinah.
4
Menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa :
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia
dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.
5
Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang
muslimah sebagai istri, merupakan perjanjian yang dibuat atas nama Allah. Karena itu hidup sebagai suami istri bukanlah semata-mata sebuah ikatan yang
dibuat berdasarkan perjanjian dengan manusia, yaitu dengan wali dari pihak perempuan dan dengan keluarga perempuan itu secara keseluruhan, serta dengan
perempuan itu sendiri, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membuatperjanjian dengan Allah. Karena itu, pernikahan adalah salah satu di
antara tandatanda kekuasaan Allah.
6
Allah Swt. berfirman dalam surat Ar-Rûm ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
4
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur.an, Bandung: Mizan, 2000, Cet. Ke-11, h. 192.
5
Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999, Cet. Ke-1, h. 14.
6
Rusli Amin, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami, Jakarta: Al- Mawardi Prima, 2003, Cet. Ke-11, h. 24.
3
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir
”. Q. S. Ar-Rûm: 21.
Ayat tersebut menggambarkan jalinan ketentraman, rasa kasih dan rasa sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing-masing individu,
laki-laki dan perempuan ketika jauh dari pasangannya. Setiap suami dan istri yang menikah, tentu sangat menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah
tangga mereka, ada ketenangan, ketentraman, kenyamanan dan kasih sayang. Rumah tangga yang menjadi surga dunia tidaklah identik dengan limpahan
materi, kebahagiaan bukanlah sebuah kemustahilan untuk dicapai, sebab kebahagiaan merupakan pilihan dan buah dari cara berfikir dan bersikap. Maka
dari itu, hanya dengan pasangannyalah ia dapat menikmati manisnya cinta dan indahnya kasih sayang dan kerinduan.
7
Islam menjadikan keluarga sebagai tempat untuk menjaga diri, yaitu menciptakan ketentraman dan keselamatan dari segala bentuk kejahatan yang
ditimbulkan oleh orang lain, sehingga keluarga harus dijadikan tempat tinggal yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga betah di rumah
dan selalu merindui.
Untuk mewujudkan keluarga haruslah bersama-sama antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah, karena tidak dapat
dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri dalam rumah tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah mawaddah wa rahmah.
8
Kehidupan suami istri itu adalah rumus dari kebahagiaan dunia. Maka ciptakanlah keluarga
7
Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar, Bandung: Mizan, 1990, Cet. Ke-1, h. 82.
8
Sholeh Gisymar, Kado Cinta Untuk Istri, Yogyakarta: Arina, 2005, Cet. Ke-1, h. 91.
4
yang bahagia agar hidup di dunia juga bahagia.
9
Oleh sebab itu, suami istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan perkawinan yang telah dibuat
sebagai sebuah ikatan yang suci. Agar perkawinan itu menjadi kuat, diperlukan pengikat yang kuat pula. Adapun pengikat perkawinan yaitu:
1. Mawaddah Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak
buruk. Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: “Mawaddah” adalah cinta plus
Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang
dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki keburukan.
10
2. Rahmah Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan:
“Rahmah” kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah
menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendendam.
11
Kualitas mawaddah wa rahmah di dalam rumah tangga, yang dipupuk oleh suami dan istri
sangat menentukan bagaimana kondisi rumah tangga tersebut, apakah bahagia atau tidak. Lebih tegas Dr. Yusuf al-Qardlawy mengatakan bahwa tidak ada
artinya hubungan suami istri yang tidak didasarkan pada cinta dan kasih sayang, badan berdekatan namun ruh berjauhan. Jadi, tidak bisa kita sangkal bahwa istri
9
Abu Mohammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, Yogyakarta: Wihdah Press, 2000, Cet. Ke-3, h. 21.
10
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur.an., h. 195.
11
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur.an., h. 196.
5
tidak hanya membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan material belaka, namun istri juga sangat mengharapkan dari suami
perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang cerah, senyum yang ceria, senda gurau yang menyenangkan, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra serta
berbagai perilaku mulia yang menyejukkan hati dan mendinginkan gundahnya, bahkan itu semua melebihi daripada kebutuhan material.
12
Pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran, sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih
sayang, kepahitan dalam hidup, harmonis, kerjasama, saling menasehati dan toleran meletakkan pondasi mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan
yang lestari dan sehat.
13
Untuk mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh laki-laki, tetapi perempuan pun diberi hak untuk memilih laki-
laki yang akan dijadikannya suami. Dan yang terbaik itu adalah yang bagus agamanya.
Sebagaimana Rasulullah. Saw. bersabda:
“Dari Abu Hurairah r.a berkata: Bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhoi akhlak dan agamanya
maka nikahkanlah ia, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas”.
14
12
Adil Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007. Cet. Ke-1, h. xiii.
13
Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, Jakarta: PT Mitra Pustaka, 1999, Cet. Ke-1, h. 93.
14
Hadits Hasan dikeluarkan oleh At Tirmidzi 1085 dari hadits Abu Hatim Al Muzani rodhiyallahu „anhu, dihasankan oleh Al Albany di Shohih Sunan At Tirmidzi.
6
Selama ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah seorang istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling
bertanggung jawab tentang kehidupan di dalam rumah, mulai dari melayani suami, merawat dan mendidik anak, ini berakibat ketika ada sesuatu kesalahan di
rumah tangga itu, istrilah yang sering disalahkan. Sejujurnya tidaklah pantas untuk selalu menyalahkan istri, karena suami pun ikut bertanggung jawab. Tidak
becusnya seorang istri dalam melayani suami, tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain sebagainya, juga menggambarkan bahwa suami tidak bisa menjadi
pemimpin dalam rumah tangga tersebut, sehingga ia tidak bisa membimbing istrinya.
Dalam kehidupan rumah tangga ada kalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta
sebagai saudara bagi istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi saingan bagi suami, apalagi sebagai musuh. Tetapi suami dan istri itu akan jalan bersama,
saling melengkapi untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah.
15
Suami istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena itulah Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta,
kasih sayang, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran serta saling keterikatan.
16
15
Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih., h. 1.
16
Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida, Bandung: Al-Bayan, 1996, Cet. Ke-3, h. 21.
7
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud suami yaitu: “laki-
laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan ”.
17
Sedangkan peranan adalah dari kata dasar
“peran” yang ditambahkan akhiran “an”., Peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan di masyarakat. Sedangkan “peranan” adalah bagian dari tugas
utama yang harus dilaksanakan.
18
Dan sakinah disini adalah kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan.
19
Jadi, peranan suami dalam membina keluarga sakinah adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh suami laki-laki
yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan untuk mewujudkan keluarga yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan
kebahagiaan. Pada diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan.
Dan kekurangan itu membuktikan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan sifat yang sempurna itu hanyalah ada pada Allah Swt. Untuk itulah manusia hidup
di dunia ini harus saling tolong-menolong dan lengkap melengkapi. Allah Swt juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam susunan
badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan anggotanya, jenis
kelamin dan seterusnya.
20
Perbedaan-perbedaan itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki maupun perempuan tidak akan dapat membantah dan
17
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1, h. 860.
18
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Edisi ke-2, h. 751.
19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 769.
20
Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih., h. 12.
8
menyangkalnya, sehingga dengan perbedaan itu, mereka dapat saling mengerti, cinta mencintai, sayang menyayangi dan selanjutnya mereka juga dapat saling
kuasa menguasai. Maka dari itu pendamping istri yang baik adalah suami yang bertanggungjawab.
21
Menurut al-Qur ’ân, suami yang bertanggung jawab adalah
suami yang bergaul dengan istrinya secara baik dan sabar atas apa yang tidak disukai darinya.
22
Sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisâ ayat 19:
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak
”.