Tujuan Berkeluarga Kehidupan Keluarga dalam Islam

36 „zawwaja’ yang keduanya memiliki arti „ keberpasangan. 6 Kata nikah diulang- ulang Allah dalam al-Qur ’an sebanyak 23 kali sementara kata zawwaja sebanyak 80 kali. Secara eksplisit al-Qurân dan al-hâdits menjelaskan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah karena 7 : a. Cinta, „fankihû mâ tâba lakum’, Sebagai ungkapan perasan terdalam dari hati membuat manusia berkeinginan untuk selalu dekat kepada orang yang dicintainya. Kerinduan akan kekasih yang dilamunkan setiap saat, terpenuhi dengan adanya ikatan perkawinan. b. Kebutuhan akan keberpasangan sebagai sifat naluriah manusia atau saling membutuhkan yang ditamsilkan Allah sebagai pakaian „hunna libâsul lakum, waantum libâsul lahunna. Maksudnya, sebagai kodrat manusia, kita tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga masing-masing pasangan dapat menutupi kelemahan dan kekurangan pasangannya, sebagaimana fungsi pakaian untuk menutup aurat pemakainya, juga sebagai tahsin atau memperindah pemakainya. Karena itu dalam kehidupan berkeluarga, masing- masing suami-istri harus bersungguh-sungguh dan berjuang untuk mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang menggangu dan mengeruhkannya, saling menutupi kelemahan keduanya dan saling mendukung untuk kemajuan keduanya sesuai tujuan Islam. 6 Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Panduan Pernikahan Islami, Jawa Tengah: 2010, h. 5. 7 Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, jakarta: almahira, 2009, h. 75. 37 c. Untuk memperoleh keturunan dan pemenuhan hasrat libido secara legal atau syah. Allah menganugerahkan kepada manusia libido dorongan seksual. Libido dapat menimbulkan ketegangan dan kegelisahan orang. Ketegangan libido dapat diredakan dengan masturbasi, prostitusi dan free sex, namun ketiga hal tersebut bukan merupakan penyaluran yang yang di ridhai Allah Swt, bahkan haram hukumnya. Free sex dan prostitusi mengandung resiko sangat tinggi, yang berakibat kepada timbulnya penyakit HIVAIDS. Hanya dengan perkawinan yang syah atau legal penyaluran seksual manusia terpenuhi. Pernikahan umumnya menimbulkan keinginan untuk memiliki keturunan, dan terjaminnya kelanggengan keturunan umat manusia yang diakui secara hukum, sehingga dengan kumunitas yang banyak, bumi Allah yang luas dan subur ini dapat dikelola atau dimanage secara benar sesuai dengan hukum- hukum Allah, „Hua ansyâkum min al ardi wasta‟marakum fîhâ ’. Tidak seperti pasangan yang hidup bersamen levenkumpul kebo yang pada umumnya tidak mau terbebani kelahiran anak yang berakibat kepada pemusnahan komunitas dan menimbulkan kerugian pada pihak perempuan, yang bisa jadi pelecehan, karena dianggap sebagai alat pemuas sex belaka. d. Untuk memperoleh ketenangan, ketenteraman, dan kasih sayang. Kenyataan empirik membuktikan orang yang melajang, hidupnya tidak begitu tenang, selalu gelisah. Merasa serba salah. Ingin mencurahkan segala isi hati dan uneg-uneg pikirannya, tapi tidak tahu kepada siapa akan dicurahkan. Dan ketika kegelisahan itu ditumpahkan kepada orang tua, ayah atau ibu, tetapi hal 38 itu juga terasa kurang dan masih ada yang mengganjal. Ini disebabkan semua persoalan yang membuat kegelisahan itu tidak seluruhnya tercurahkan. Ada hal-hal yang terkadang kita tabu atau tidak pantas untuk diungkapkan kepada orang tua atau kepada kawan akrab sekalipun. Karena itu ikatan perkawinan membuat kegelisahan dan ketidak nyamanan hati hanya dapat ditumpahkan seluruhnya kepada orang yang kita cintai atau pasangan hidup. Dengan pasangan yang menjadi istri atau suami kita bersedia membuka rahasia yang paling dalam, yang pada gilirannya melahirkan ketentraman dan kasih sayang sakinah, mawaddah dan rahmah. e. Karena mengikuti amanah Allah dan sunah Nabi-Nya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Akhoztumuhunna biamânatillah atau Kalian menerima istri berdasar amanah Allah, dan Annikahû sunnatî faman lam ya‟mal bisunnatî falaisâ minnî atau Nikah itu sunahku, barangsiapa yang tidak menikah , maka ia bukan dari golonganku. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa apa yang diamanahkan itu akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya diharapkan aman ditangan sipenerima amanah. Secara empiris juga dibuktikan bahwa, pasangan suami atau istri tidak akan menjalin ikatan perkawinan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Artinya, pembelaan suami atas dirinya lebih besar dari pembelaan saudara-saudaranya bahkan orang tuanya. Sementara itu, pernikahan merupakan sunah Nabi Saw, maka sebagai pengikut atau 39 felowship yang baik dan ta‟at, apa yang diperintahkan Nabi Saw sebagai suatu ajaran harus diikuti dan dilaksanakan. Dari kelima dasar tujuan berkeluarga di atas, umumnya yang paling dominan dari setiap keberpasangan menikah menginginkan lahirnya anak yang unggul untuk melanjutkan kehidupan dan peradaban manusia. 8 Cita-cita luhur itu akan terwujud manakala setiap anggota rumah tangga tekun dan bergairah melaksanakan ajaran Islam. Dan dari rumah tangga yang demikian itulah insya Allah akan lahir keluarga muslim yang baik zurriyatan tâiyyibah atau unggul, sebagaimana do’a Nabi Zakaria As, pada Q.S. Al Imrân: 38, yaitu komunitas yang tunduk patuh kepada ajaran Islam, “ Ya Tuhan ku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi Engkau keturunan atau zurriyat yang baik”. 9 Secara tegas dapat digaris bawahi bahwa tujuan keluarga ada yang bersifat intern yaitu kebahagian dan kesejahteraan hidup keluarga itu sendiri, ada tujuan ekstern atau tujuan yang lebih jauh yaitu untuk mewujudkan generasi atau masyarakat muslim yang maju dalam berbagai seginya atas dasar tuntunan agama.

3. Pilar-Pilar Keluarga Sakinah

Kata sakinah diambil dari akar kata yang terdiri atas huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan, atau anonim dari guncang dan gerak. Berbagai bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk 8 Syaikh Hafiz Ali, Kado Pernikahan..., h. 120. 9 Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, h. 81. 40 meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak beraktivitas di luar. 10 Sedangkan menurut Quraish Shihab, sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak. 11 Penggunaan kata sakinah dalam pembahasan keluarga pada dasarnya diambil dari Al-Quran surat al-Rû m ayat 21 ”litaskunû ilaihâ” yang artinya bahwa Allah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tentram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga. 12 Kata sakinah yang digunakan dalam mensifati kata ”keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarganya. Ia merupakan tempat kembali kemana pun mereka pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat. Dalam istilah sosiologi ini disebut dengan unit terkecil dari suatu masyarakat. 13 10 Said Husin al-Munawwarl, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat Madani, Jakarta: Pena Madani, 2003, h. 62. 11 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 2000, h. 192. 12 Said Husin al-Munawwar, Agenda Keluarga Sakinah, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008, h.62. 13 Miftah Farid, Merajut Benang Kaluarga Sakinah, dalam Jurnal Al-Insan No. 3 vol. 2, 20, Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2006, h.75.