Konsep kafaah dalam hukum islam dan urgensinya terhadap keutuhan rumah tangga sakinah

(1)

KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN

URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN

RUMAH TANGGA SAKINAH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Ahmad Mulyono NIM. 104044101386

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1430 H / 2009 M


(2)

KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN

URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN

RUMAH TANGGA SAKINAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh : Ahmad Mulyono NIM. 104044101386

Di Bawah Bimbingan :

DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH

NIP. 150 289 199 NIP. 150 285 972

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1430 H / 2009 M


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah (Peradilan Agama).

Jakarta, 09 Januari 2009 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (………...………) NIP. 150 169 102

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (……...………) NIP. 150 285 972

3. Pembimbing I : DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA (………..…) NIP. 150 289 199

4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (…..……….……) NIP. 150 285 972

5. Penguji I : Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH,MA,MM (…..………….……....) NIP. 150 210 422

6. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (……..………...) NIP. 150 169 102


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 09 Januari 2009


(5)

MOTTO

“Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,

Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (QS.al-Insyirah, 94: 5-8)

!

"

(Kalidasha)

Skripsi ini saya persembahkan untuk : Kedua Orang Tua tercinta (Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati), Kakek (alm) dan Nenek, Ibunda Siti Fatimah sekeluarga serta Kakak (almh) dan adikku tersayang.


(6)

KATA PENGANTAR

Ahamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah menunjukkan jalan kebenaran kepada kita baik di dunia maupun di akhirat.

Skripsi ini dengan judul “Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah” diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seolah terasa ringan berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu dalam pengantar yang singkat ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada:

1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, beserta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah, dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah, serta seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman Jama’ yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 5. Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati yang selalu memberikan dukungan baik

moril maupun materil, perhatian, kasih sayang dan doa yang tak pernah henti-hentinya diberikan kepada Ananda. ‘Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana mereka mengasihiku sewaktu masih kecil’.

6. Atase Agama, Atase Promosi Pendidikan, khususnya kepada Atase Pendidikan Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Bapak Rosli bin Sakimin sekeluarga yang telah membantu menyediakan fasilitas dalam penulisan skripsi ini.

7. Keluarga Besar Ikatan Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (IKAMARU), Komando Resimen Mahasiswa “WIRA DHARMA”, dan Perguruan Kungfu Shaolin “Lan She Lung”, di mana penulis mendapatkan tambahan bekal ilmu dan pengalaman yang sangat berharga dalam menghadapi tantangan masa depan.


(8)

8. Teman-teman senasib dan seperjuangan: Amien, Omen, Said, Nurul, Ragil, Nu’ma, Hanifah, Amiq (almh), dkk. Teman-teman PTIQ: Mahasin, Ruba’I, Ashari, dkk. Teman-teman Malaysia: Norman, Izrul, Fahmi, Jamilah dan tidak lupa Ummu Hajar. Serta teman-teman kelas PA baik reguler maupun ekstensi. Semoga pertemuan dan persahabatan ini dirahmati oleh Allah serta tetap terjalin indah selamanya.

9. The last but not least, untuk semua pihak yang telah berjasa dalam proses penyusunan skripsi ini.

Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang berlipat-ganda dari Allah SWT dan termasuk sebagai amal yang saleh.

Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu kemajuan pendidikan, khususnya masalah pembinaan keluarga sakinah dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amin ya Robb al-‘Alamin.

Jakarta, 12 Muharram 1430 H 09 Januari 2009 M


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 5

D. Kajian Pustaka ... 6

E. Metode Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH A. Konsep Pernikahan dalam Islam... 13

1. Pengertian Pernikahan ... 13

2. Hukum dan Prinsip Pernikahan ... 17

3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan... 19

B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup ... 21

1. Kriteria Calon Suami... 21

2. Kriteria Calon Isteri... 28


(10)

BAB III KAFAAH DALAM ISLAM

A. Pengertian Kafaah dan Dasar Hukumnya ... 55

B. Pendapat Ulama tentang Kafaah... 57

C. Kafaah dalam Pernikahan... 68

BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA A. Permasalahan dalam Pernikahan ... 76

1. Halangan Pernikahan... 76

2. Krisis Rumah Tangga ... 82

B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga ... 85

C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga ... 94

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...103

B. Saran ...105

DAFTAR PUSTAKA


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia. Dari makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang pernikahan.1

Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi dapat juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan istrinya, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah

1


(12)

pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.2

Secara umum, pernikahan dianggap sebagai aktifitas penyatuan dua jiwa ke dalam sebuah ikatan yang sakral, menciptakan rumah tangga sakinah dan menurunkan generasi demi generasi. Oleh sebab itu, syariat Islam menetapkan beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Begitu teliti Islam mengatur sendi-sendi kehidupan manusia sehingga menyentuh bagian dasar yang dianggap non-prinsipil tetapi sebenarnya adalah prinsipil, seperti menikah dengan pasangan yang sekufu-sepadan, baik dari segi sosial, harkat dan martabat, keturunan, pengetahuan, wawasan, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa secara naluriah setiap manusia ingin mendapatkan pasangan hidup yang sepadan, bahkan yang lebih baik dari dirinya. Sewajarnya mereka membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan. Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk membentuk keluarga sakinah. Sebaliknya, ketidaksepadanan dalam pernikahan dapat mengakibatkan ketimpangan yang menimbulkan kesenjangan sosial dalam rumah tangga.

Memperhatikan terlebih dahulu kafaah adalah salah satu faktor penting yang sebaiknya dipertimbangkan oleh calon suami/istri maupun orang tua wali sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada

2


(13)

mengetahuinya setelah berumah tangga. Selain itu, menerapkan kafaah bisa mengurangi tingkat kesenjangan antara suami-isteri serta mencegah seringnya pertengkaran dan keributan dalam rumah tangga.

Namun, sebagian para calon pasangan pengantin tidak terlalu memusingkan masalah kafaah ini. Mereka berpikir bahwa keutuhan rumah tangga bisa terwujud hanya dilandasi oleh cinta. Kemurnian cinta bisa mengalahkan segala-galanya, ‘Love is Blind’, cinta itu buta. Kekuatannya begitu dahsyat sehingga sanggup menerjang segala hambatan yang menghadang. Jika cinta sudah bicara, apa yang tidak bisa dilakukan? Adat-istiadat akan didobrak, kafaah akan dilabrak, bahkan tidak jarang ajaran agama dan hukum negara pun akan dilanggar. Tidak peduli apakah itu halal atau haram, tidak peduli itu dosa dan berujung dengan ganjaran menginap di penjara. Semua itu tidak berarti apa-apa bagi insan yang sedang kerasukan cinta dan dilanda mabuk asmara. Namun ketika cinta memasuki bahtera rumah tangga dan mengarungi samudera kehidupan, ketika prahara mengguncang dan mengancam keutuhan bahtera itu, mereka baru sadar bahwa cinta itu tidak menjamin segalanya menjadi lebih baik.

Kafaah dalam pernikahan merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami-isteri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/isteri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya pernikahan. Karena pernikahan yang tidak seimbang serta banyaknya perbedaan antara suami-istri akan menimbulkan problema berkelanjutan yang


(14)

mengancam keutuhan rumah tangga dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian.

Itulah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk mengadakan pembahasan dan penelitian masalah tersebut dengan menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) berjudul: Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan pada masalah yang telah diuraikan pada latar belakang di atas, maka pembatasan pokok masalah yang hendak dibahas melalui skripsi ini adalah bagaimana pandangan Islam, baik yang berupa pendapat ulama dalam kitab-kitab fiqh maupun dalam hukum positif Indonesia tentang konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah dan kafaah dalam pernikahan. Juga membahas tentang permasalahan yang muncul dalam bahtera rumah tangga dan upaya untuk menjaga keutuhan keluarga serta urgensi kafaah dalam membina rumah tangga yang sakinah.

2. Perumusan Masalah

Pada umumnya, setiap orang menginginkan kehidupan keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Rumah tangga sakinah memang tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa


(15)

menciptakan surga dalam rumah tangga, ‘Baiti Jannati’. Demikian juga, banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa menjadikan kehancurannya. Perceraian merupakan salah satu akibat dari berbagai hal yang menyebabkan kegoncangan dalam rumah tangga dan mengancam keutuhan keluarga, diantaranya adalah ketidakcocokan antara suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini sama artinya dengan tidak sekufu.

Agar lebih mudah dipahami, maka masalah ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana rumusan konsep tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam?

2. Bagaimana konsep kafaah dalam Islam yang dapat menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga umat Islam dan masyarakat pada umumnya?

3. Bagaimana urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Memperoleh gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang konsep pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam;


(16)

2. Dapat mengetahui konsep kafaah dalam Islam untuk menciptakan kebahagian rumah tangga dalam mengarungi bahtera kehidupan;

3. Dapat mengetahui urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga.

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi dunia keilmuan, menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah kritis dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan mengisi perubahan kehidupan bangsa dan negara;

2. Bagi masyarakat, menjadi bahan pertimbangan dalam memilih calon pasangan hidup dalam membina rumah tangga sakinah;

3. Dapat mendorong kemajuan pola pikir umat Islam Indonesia dari stagnasi pemahaman hukum.

D. Kajian Pustaka

Pertama, dalam tulisan Nurhayati tentang Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar (‘Aa Gym)3, dijelaskan bahwa ada tiga pola pembinaan keluarga sakinah ‘Aa Gym yaitu pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan pembinaan keluarga dalam bermasyarakat.

Perekonomian keluarga ‘Aa Gym didirikan atas dasar sikap pertengahan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula terlalu hemat sehingga terkesan kikir, serta

3

Nurhayati, “Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 37-40.


(17)

diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan kebutuhan ukhrawi. Selain itu, dalam keluarganya diterapkan sifat sabar dan qana’ah (menerima apa adanya) atas rizki yang diperoleh dari hasil ikhtiar, dan dalam mengelola keuangan keluarga memakai prinsip mengutamakan kebutuhan primer, kemudian kebutuhan sekunder dan setelah itu baru pemenuhan kebutuhan pelengkap (tersier). Pola pembinaan selanjutnya adalah melatih sikap zuhud (menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan utama), dan wara’ (hati-hati dalam menjalani hidup). Kemudian juga melatih jiwa wiraswasta agar mampu menggunakan pikiran dan potensi secara tepat, kreatif, efektif, dan efisien.

Pembinaan terhadap keluarga, terutama istri sangat diperlukan untuk menjadi sosok yang diteladani oleh anak-anak, karena istri (ibu) adalah seorang pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dalam keluarga. Pada ibu-lah beban digantungkan, sebagaimana digambarkan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Adapun pola pembinaan yang dilakukan ‘Aa Gym terhadap istri dan anak-anaknya di antaranya yaitu: menyamakan visi dan misi, memberi teladan dan pendidikan, membuat dan menetapkan peraturan yang adil serta istiqamah.

Sedangkan pembinaan keluarga dalam masyarakat, bahwa semua keluarga muslim terikat dalam satu kesatuan kokoh yang mempunyai keserasian dalam hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat Allah SWT yang diwujudkan dalam perilaku bermasyarakat berdasarkan prinsip tauhid,


(18)

ukhuwah, musawwah, musyawarah, ta’awun, tahafulul ijtima’, fastabiqul khairat, tasamuh, amal shalih, dan istiqamah.4

Dalam tulisannya ini, Nurhayati menitikberatkan pembahasannya tentang keluarga sakinah secara umum dan konsep ‘Aa Gym dalam membina keluarganya menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah.

Kedua, Umar, dalam tulisannya tentang Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam5, menyatakan bahwa kafaah berlaku untuk Ahlul Bait Nabi SAW dan keturunannya, Alawiyyin, baik itu laki-laki (syarif) maupun perempuan (syarifah). Hal ini disebabkan agar hubungan tali kekerabatan dengan Nabi SAW tidak terputus. Kafaah adalah bagian dari syariat pernikahan, Rasulullah SAW sendiri yang mengatur prosesi pernikahan anak-cucunya.

Penerapan kafaah semestiya dipahami dan dihayati oleh semua pihak, khususnya pihak yang bersangkutan, yaitu syarifah itu sendiri. Adapun walinya, keluarga, kerabat atau teman-temannya harus mendukung penerapan kafaah. Sementara, orang-orang selain Alawiyyin hendaknya ikut melestarikan populasi keturunan Rasulullah SAW dengan cara menjaga substansi kafaah. Karena terwujudnya silsilah mulia mereka bukan berdasarkan permintaan, melainkan anugerah Ilahi. Maka, bagi Alawiyyin seyogyanya mensyukuri nikmat itu.6

4

Ibid., h. 53. 5

Umar, “Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 49-51.

6


(19)

Demikianlah, dalam tulisannya ini, penulis menggambarkan tentang Ahlul Bait dan keutamaannya dibandingkan dengan umat Islam yang lain serta kafaahnya dalam pernikahan.

Ketiga, Abdullah Zahir, dalam tulisannya tentang Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Hukum Islam7, menyatakan bahwa dalam hal perkawinan, kaum Alawiyyin yang ada di Indonesia memiliki beberapa tahap dalam menyelenggarakan perkawinannya, di antaranya yaitu: 1. Meminta dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak orang tua.

Istilah untuk tahap ini adalah “baca fatihah.”

2. Tunangan. Setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk melanjutkan hubungan yang lebih serius. Istilahnya “tukar cincin.”

3. Lamaran. Sebelum menikah, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak perempuan. Hukum lamaran tidak wajib dan berbeda-beda menurut adat masing-masing.

4. Akad Nikah.

Para ulama Alawiyyin mewajibkan pernikahan sekufu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah SAW yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan al-Hadis tetap berada dalam diri mereka.

Penulis memperoleh hasil tentang perkawinan senasab di kalangan Alawiyyin sebanyak 84% yang menjalani konsep kafaah nasab tersebut dengan

7

Abdullah Zahir, “Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam; Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 73-87.


(20)

baik, sedangkan sebanyak 16% tidak menjalankan konsep kafaah nasab dalam pernikahannya disertai dengan alasan masing-masing.8

Pelaksanaan kafaah yang dilakukan oleh golongan Alawiyyin didasari oleh perbuatan Rasulullah SAW yang dicontohkannya dalam menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyyin menjaga anak putrinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.9

Berbeda dengan tulisan kedua tentang Ahlul Bait dan Kafaahnya yang dijelaskan secara umum, Penulis kali ini menitikberatkan pada perkawinan Ahlul Bait (Alawiyyin) di Indonesia dan kafaahnya serta dilampirkan juga prosentase yang menikah dengan menerapkan kafaah nasab dan yang tidak melaksanakannya.

E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari kajian pustaka yang telah Penulis dapatkan dari beberapa literatur kepustakaan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten

8

Ibid., h. 77. 9


(21)

dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam skripsi ini.

2. Jenis Penelitian

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian, penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian.

3. Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekuder, yaitu :

b. Data Primer

Data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Adapun dokumen yang dimaksud adalah :

Al-Qur’an, Hadis, Kitab-kitab Fiqh klasik, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974, dan Kompilasi Hukum Islam.

c. Data Sekunder

Meliputi : Majalah, Bulletin, Koran, Internet dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.


(22)

Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkannya dengan masalah yang diteliti.

F. Sistematika Penulisan

Adapun laporan hasil penelitian ini dituangkan ini dalam bentuk karya tulis skripsi dengan sistematika penulisan sebagaimana berikut :

Bab pertama, Pendahuluan. Pembahasan ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua, Tinjauan Umum Rumah Tangga Sakinah. Pembahasan ini mencakup konsep pernikahan dalam Islam, ajaran Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup, dan konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah.

Bab ketiga, Kafaah dalam Islam. Pembahasan ini mencakup pengertian kafaah, pendapat ulama tentang kafaah, dan hukum kafaah dalam pernikahan.

Bab keempat, Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga. Pembahasan ini mencakup permasalahan dalam pernikahan, upaya untuk menjaga keutuhan keluarga, dan urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM

TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH

A. Konsep Pernikahan dalam Islam 4. Pengertian Pernikahan

Dalam bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata “nikah, yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi).10 Sedangkan menurut istilah, nikah berarti suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim.11 Akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam. Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus). Pernikahan disebut juga perkawinan, berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.12

10

Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shan’aniy, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, jil.III, (Bandung: Dahlan, tth.), h. 109.

11

M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 249. 12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.II, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.456.


(24)

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:

!

"

#

$

#

%

&

'

$

(

)

*

&

"

#

$

#

$

(

)

'

%

&

+

Artinya: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.”13

Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani mendefinisikan:

,-.

/

(0

' 1&2ی 4 %

4 '

Artinya: “Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang menghalalkan hubungan seksual antara suami-istri.”14

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.15

Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU No.1/1974) pasal 1 bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

13

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-7, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), h. 29.

14

Muhammad Ali Ibn Muhammad Syaukani, Nail Authar, juz-5, (Kairo: Maktabah al-Iman, t.th.), h. 110.

15

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2005), h. 114.


(25)

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 KHI menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menggunakan istilah yang bersifat umum, maka KHI menggunakan istilah khusus yang tercantum dalam al-Qur’an. Misalnya, mitsaqan galidzan, ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah.16

Kedua pengertian perkawinan tersebut dari sudut kebahasaan dan istilah, dapatlah dipahami bahwa nikah merupakan suatu ikatan perjanjian yang sakral dan kekal antara seorang laki-laki (calon suami) dengan seorang perempuan (calon istri) untuk bersama-sama sepakat saling mengikat di antara keduanya, hidup bersama dalam membentuk lembaga keluarga (rumah tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketenteraman jiwa dan cinta kasih.

Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21 sebagai berikut:

!

"

#$ 

&'

(

)*,

 . /

0

1&2

34

56

7

8

!9 , :

16


(26)

,;<2 *<

=

>

?

@

< 34

A3B

C

 D

EF

G

HI * 4 /

JK L

MNOP

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum, 30:21)

Dasar disyariatkannya nikah ialah firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 3 :

+++

(

*

"00 R

0

ST0 U

S

V0W

X

0

@Y;8 Z

[

7\

]

^?

(

3_ R

\.&

S

ab

(

*

c 7 

e;

c

 * R

+++

Artinya: “…, maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja,...” (QS. An-Nisa’, 4:3)

Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

5 6 - 7 8

9: ; 4' 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

<

ی

@

A

4

"

#

B

-.

=

@

(

)

C

#

C

E

1F

@

G

*

G

4

4

=

ی

;

#

B

H

C

'

G

I

C

%

(

+

J K # L 17

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu (mempunyai biaya), maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya nikah dapat menundukkan mata dan dapat menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan perisai baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

17

Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, juz-3, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyyah, 1997), h. 1632.


(27)

5. Hukum dan Prinsip Pernikahan

Hukum pernikahan menurut para ulama bermacam-macam, yaitu berdasarkan situasi dan kondisi. Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan umatnya yang sudah mampu untuk menikah karena banyak hikmah yang terkandung di dalamnya. Hukum pernikahan berdasarkan situasi dan kondisi ini terbagi menjadi lima, yaitu:18

a. Sunah,19 artinya nikah itu sunah bagi orang yang telah mampu dan berkehendak untuk menikah.

b. Wajib,20 artinya nikah itu wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah mampu menikah dan jika tidak menikah ia akan terjatuh ke dalam perzinaan.

c. Mubah,21 artinya nikah itu mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh hal-hal yang mengharuskan atau mengharamkan nikah.

d. Makruh,22 artinya nikah itu makruh bagi orang yang tidak mampu untuk nikah, yakni tidak mampu baik biaya maupun mental.

18

As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1983), h. 12-14. 19

Pernikahan yang hukumnya sunnat berarti pernikahan itu lebih baik dilakukan daripada ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.

20

Pernikahan yang hukumnya wajib berarti pernikahan itu harus dilakukan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.

21

Pernikahan yang hukumnya mubah (boleh) berarti pernikahan itu boleh dilaksanakan dan boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan tidak berdosa.

22

Pernikahan yang hukumnya makruh berarti pernikahan itu lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa.


(28)

e. Haram,23 artinya nikah itu haram hukumnya bagi orang yang berkeinginan nikah dengan niat menyakiti atau berbuat aniaya.

Prinsip-prinsip hukum pernikahan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan pernikahan, dan harus dicatat oleh petugas yang berwenang.

c. Asas monogami24 terbuka.

d. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa dan raganya dapat melangsungkan pernikahan, agar mewujudkan tujuan pernikahan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

23

Pernikahan yang hukumnya haram berarti pernikahan itu dilarang keras dilakukan, jika dilakukan berdosa dan jika tidak dilakukan mendapat pahala.

24

Perkawinan diartikan seorang perempuan hanya memiliki seorang suami dan seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri. (KUH Perdata ps. 27)


(29)

e. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri.

g. Asas pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan mempermudah mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan.25

6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan keluarga untuk mencapai tujuan syariat yaitu kemaslahatan dalam kehidupan.

Adapun secara rinci, tujuan-tujuan dari pelaksanaan pernikahan dalam rangka membentuk lembaga keluarga (rumah tangga), yakni sebagai berikut:

a. Menurut al-Quran

1) Dalam surat al-A’raf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan pernikahan itu adalah untuk bersenang-senang.

2) Dalam surat ar-Rum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan pernikahan adalah: litaskunu ilaiha (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang).26

25

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarijan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.I, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 54.


(30)

b. Menurut Hadis

1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan 2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat.27

c. Menurut Akal

1) Meningkatkan jumlah manusia 2) Mewujudkan keteraturan nasab 3) Menertibkan masalah kewarisan.28

Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu antara lain: a. Pernikahan sesuai dengan fitrah manusia untuk berkembang biak dan

melampiaskan syahwat.

b. Upaya Menghindarkan diri dari perbuatan maksiat (zina). c. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya..

d. Memperkokoh tali persaudaraan dalam masyarakat, terutama antar keluarga.

e. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram dengan adanya cinta dan kasih saying antara sesama.29

26

A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I, (t.t.: Qalbun Salim, 2007), h. 86.

27

Ibid., h. 88. 28

Ibid., h. 89. 29

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 12.


(31)

B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup

Agama Islam memberikan kebebasan, baik kepada laki-laki maupun perempuan untuk mencari pasangan hidupnya menurut selera dan perasaan cintanya masing-masing. Meskipun demikian, bukan berarti Islam memberikan kebebasan secara mutlak dalam hal mencari dan memilih pasangan hidup tanpa mengindahkan kaidah-kaidah hukum agama, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan cara mencari dan memilih pasangan hidup melalui hubungan bebas (free love), melakukan hubungan seks di luar pernikahan (free sex), karena dalam hukum Islam disebut zina.

Sebagaimana dijelaskan secara tegas dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 32:

5b

(

*

J&4 

A;fghi

0

(

j k"34

#Ll

,= m

R

V0

n

ZLo39

n

MgNP

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’, 17:32) Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam sangat mengharamkan hubungan bebas di luar pernikahan secara resmi antara laki-laki dengan perempuan atau sebaliknya, karena perbuatan itu termasuk zina yang kotor dan keji. Islam sangat menghargai kehormatan dan kemuliaan manusia.


(32)

Kriteria calon suami harus diketahui oleh pihak perempuan yang bersangkutan yang hendak menjalankan rumah tangga dan juga harus diketahui oleh orang tua perempuan sebagai penanggungjawabnya.30 Hal ini karena pihak perempuan sangat bergantung kepada suaminya dalam membentuk dan membina rumah tangganya.

Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

p#

ghJ

0

qr* s* #

A  

V0W

X

0

0

>3

56at R

uV0

\15t 7

@A  

vw 7

V0

>3

(

*!4L

"

31

 *&

@

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya... “ (QS. An-Nisa’, 4:34)

Sesuai dengan fungsinya sebagai suami yang mengendalikan biduk rumah tangga secara fitrah, fisiologis dan psikologis, maka suami berhak untuk memimpin, membimbing dan menjaga keluarganya secara lahir dan batin. Adapun kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang laki-laki sebagai calon suami adalah sebagai berikut:

a. Laki-laki yang seagama

Dalam hal memilih calon suami, pihak perempuan dan keluarganya wajib untuk memilih laki-laki yang seagama.31 Dalam ajaran Islam, seorang perempuan muslimah diharamkan menikah dengan seorang

30

Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz. Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006), h. 537.

31

Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Aujar al-Masalik ila Muwatha’ Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.391.


(33)

laki-laki non-muslim. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

!"

#$ %&'

(

$ ! )*+ #

x

x

x

x

x

x

x

x

Artinya: “…jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. ..” (QS. Al-Mumtahanah, 60:10)

5b

(

*

, 

F Ll3y z>&

0

@Y{|

}

@

=

€=;X

y J

S

C=Ll3y z•

*

9

‚ 

5b

(

*

,7

Bƒ l3y z>&

0

@Y{|

(

*,

@

Yc C

7

y J

S

C…3y z•

*

9

‚ 

C‡k

ˆ ‰

* c

A v34

?0<,

0

(

uV0

(

)* c

A v34

=<X

‚&

0

; J

&

>&

0

"&D3_3

(

B3 ƒ C

<0<X

1k

7

JKlLo

MNNOP

Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah / 2:221)

b. Laki-laki yang kuat agamanya

Kaum perempuan yang beragama Islam hendaklah memilih dan menentukan calon suami yang kuat agamanya (keimanan dan


(34)

ketakwaannya) melebihi dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan suami itu sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab membawa istri ke jalan benar atau salah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.32 Kuat beragama di sini adalah kuat dalam pengakuan dan kuat dalam menjalankan agama Islam, bukan hanya kuat dalam pengakuan tetapi lemah dalam menjalankannya.

Seorang suami wajib menjaga keluarganya dari api neraka, artinya kebahagiaan dan keselamatan keluarganya di dunia dan di akhirat adalah tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

0=‹qc ˆk

BΠ#KV0

(

*,

(

)*7#

W !

"

o3

X?0 "

+++

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim, 66:6)

Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis:

$ 4' 7 @ 4

= "

7 > ? 18@- 5 6 $M- 7 >

<

N1

.

=

9

N1

.

=

;

O

P

9

;

O

5

%

&

9

>

;

O

5

$

(

)

Q

' >

R

S

%

M

8

;

O

Q

@

9

>

5

"

,

T

C

.1

.

=

9

N1

.

=

;

O

5

+

J K # L 33

Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kamu semua adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Para penguasa adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin di rumahnya (keluarganya), dia juga akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin

32

Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, cet.I, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 101.

33


(35)

di dalam rumah suaminya, dia pun akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta tuannya, dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan ditanya tentang kepemimpinanmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adapun cara untuk memilih calon suami yang taat dalam menjalankan semua ajaran Islam, dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam hal ini adalah ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan orang tuanya, saudara-saudaranya dan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya. Biasanya, orang yang ahli ibadah itu disenangi, dihormati dan dikagumi atau menjadi panutan masyarakat.

c. Laki-laki yang berpengetahuan luas

Perempuan yang beragama Islam, hendaklah memperhatikan dan memprioritaskan calon suami beragama Islam yang memiliki pengetahuan (intelektual) yang lebih luas atau lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri. Yang dimaksud pengetahuan di sini adalah memiliki ilmu, wawasan dan konsep secara menyeluruh, bukan saja mengenai pengetahuan agama, tetapi juga tentang masalah umum, termasuk seputar masalah rumah tangga.

Seorang suami memikul tanggung jawab yang sangat berat dalam membentuk, membina, dan menjaga rumah tangganya. Suami dituntut bukan saja untuk memberi nafkah lahir dan batin, sandang, pangan dan papan, tetapi ia juga berkewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya.


(36)

Di sinilah letak peranan suami dalam mendidik istri untuk menjadi pendidik yang baik dan handal, suami harus memiliki pengetahuan (intelektual) yang lebih tinggi dan luas. Di samping itu, seorang suami merupakan tempat berlabuh, bersandar dan mengadu seorang istri dalam menghadapi masalahnya.

d. Laki-laki yang mampu membiayai hidup

Dalam kehidupan berumah tangga, pasti banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi. Suatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya jika kebutuhan dalam suatu rumah tangga telah terpenuhi walaupun baru kebutuhan pokok (primer-nya) saja, suasana kehidupan rumah tangga akan terasa tenang, tenteram, dan nyaman. Sebaliknya, jika suatu rumah tangga belum dapat memenuhi kebutuhan pokok, maka sulit diharapkan akan tercipta suasana kehidupan rumah tangga yang tenang, tenteram dan penuh kebahagiaan.

Itulah sebabnya, Islam melarang kaum laki-laki yang belum mampu membiayai kebutuhan rumah tangga memaksakan diri untuk menikah, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

Ž

7

 2&

BΠ#KV0

5b

c 1 •

#• #

"

@Y{|

 ‘‹ y ,&

uV0


(37)

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya...“ (QS. An-Nur, 24:33) Dengan demikian, bagi seorang suami, memenuhi kebutuhan rumah tangga itu merupakan suatu kewajiban, karena istri dan anak termasuk dirinya sendiri memerlukan kebutuhan pokok, seperti makan, minum, sandang, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari umat manusia. Orang yang hidup serba kekurangan atau belum mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, terkadang kurang khusyu’ dalam melaksanakan ibadah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga memikul tanggung jawab yang berat, yakni harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dalam berumah tangga. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:

' 4 Qی

4' 9= .* 4

<

P

%

"

(

5

-@

8

?

7 >

"

=

<

*

1K

$

(

)

>

6 U

5

<

P

ی

B

$

M

V

W

=

P

ی

.

;

V

N

#

;

A Xی

>

ی

%

R @ >C

P YMی

Z,@

+

J % 4' T L

34

Artinya: “Dari Hakim Ibnu Muawiyah dari bapaknya bahwa: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah! Apakah hak seorang suami terhadap istrinya?’ Beliau bersabda: ‘Hendaklah memberinya makan seperti yang ia makan dan memberinya pakaian seperti ia berpakaian.” (HR. Ibnu Majah)

34


(38)

Hal yang tak kalah penting yang perlu diperhatikan oleh seorang perempuan muslimah dan orang tua atau walinya adalah hendaknya mengetahui sifat dan sikap calon suami tersebut.

Adapun sifat dan sikap seorang laki-laki yang baik untuk menjadi suami yang baik sesuai dengan pandangan Islam, yakni sebagai berikut: 1) Bertanggung jawab

2) Rajin bekerja 3) Berwibawa 4) Penyabar

5) Memiliki sikap humor 6) Adil dan Bijaksana 7) Jujur dan dapat dipercaya 8) Tidak cemburu berlebihan

9) Dapat membimbing dan mendidik istri 10)Tidak pemarah

11)Tidak kikir namun tidak boros dalam memberikan uang belanja 12)Tidak ringan tangan.35

Apabila telah menemukan kriteria seorang laki-laki yang mempunyai sifat dan sikap yang demikian, insyaAllah harapan dan tujuan dalam berumah tangga yang didambakan sesuai selera hati akan tercapai, yakni rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah.

2. Kriteria Calon Istri

35


(39)

Dalam hal memilih calon istri, bagi kaum laki-laki harus memiliki kriteria tertentu. Membina suatu rumah tangga bukanlah sekadar untuk pelampiasan nafsu syahwat belaka, bukan untuk sekadar permainan belaka (kawin-cerai) dan juga bukan untuk sementara waktu (seumur jagung), tetapi berumah tangga adalah suatu kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah yang sakral yang telah diatur tata caranya sedemikian rupa baik oleh agama dan maupun oleh negara.

Untuk itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan perlu memperhatikan kriteria-kriteria calon istri sehingga pemilihan calon istri tersebut merupakan hasil penyeleksian pemikiran yang matang, bukan sekadar asal-asalan. Hal itu ditujukan untuk memperoleh kebahagian dalam berumah tangga.

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh kaum laki-laki dalam memilih calon istri, yaitu:

a. Motivasi pernikahan

Pada hakikatnya, dalam hal memilih calon istri itu terdorong oleh empat faktor, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW:

4

'

>

ی

)

8

7

-P

-@

8

?

7 >

"

=

6

5

<

ﺕ-.

Z

$

(

)

'

9H

<

$

M

2

;

@

M

Y

$

M

ی-M

C

\

'

]

^

4

'

R

ی

_

+

J K # L 36

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya,

36


(40)

kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan.” (HR. Bukhari dan Muslim) 1) Faktor harta kekayaan

Rasulullah SAW berpesan kepada kaum laki-laki dalam hal memilih calon istri agar bukan karena dorongan faktor kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:

5 6 9 $ 4' 7 @ 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

%

,-;

(

2

;

-M

4

C

;

* >

;

-M

4

P

ی

:

ی

M

4

%

4

M

4

C

;

>

M

4

P

B

`

M

4

.

4

%

4

, >

ی

4

+++

J % 4' T L

37

Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah menikahi seorang wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu justru menyesatkan. Jangan pula karena hartanya itu karena dapat membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya...

(HR. Ibnu Majah)

Oleh karena itu, untuk memperoleh harta kekayaan bukanlah dengan cara menikahi perempuan kaya, tetapi harus berusaha dengan sendiri. Karena perkawinan bukanlah jalan untuk memperoleh harta kekayaan, melainkan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga bahagia sejahtera.

2) Faktor kedudukan

Rasulullah SAW pun berpesan dalam sebuah hadis,

37


(41)

5 6 - 7 8

9! 4' 9aﻥ 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

4

)

,

=

ی

:

T

7

Vb

+

++

J $* T L 38

Artinya: “Dari anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawanannya (kedudukan), niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaannya.” (HR. Ahmad) Dengan demikian, untuk memperoleh status sosial atau kedudukan yang terhormat, baik dalam lingkungan kerja atau lingkungan masyarakat, adalah dengan berusaha sendiri, bukan dengan cara menumpang orang lain, termasuk istri sendiri.

3) Faktor kecantikan

Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah menikahi seorang wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu justru menyesatkan. ...” (HR. Ibnu Majah)

Namun, bila kecantikan istri itu ditunjang oleh kecantikan rohaninya yakni agamanya, kecantikannya itu bukan saja menimbulkan rasa cinta bagi suami, tetapi juga akan membawa ketenteraman dan ketenangan batin suami. Karena suami percaya pada istrinya yang memiliki agama yang kuat, sehingga tidak mencurigai istrinya berselingkuh. Hal semacam ini telah dijanjikan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

*7•

i #KV0

4

vs&

k"

E;

c

56

7

8

38


(42)

0=‹ [

0

1

8

'

S

 2

0=‹ y

34

(

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. ..” (QS. Al-A’raf, 7:189)

4) Faktor agama

Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan karena faktor agama maka ia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam hadisnya,

5 6 - 7 8

9! 4' 9aﻥ 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

4

S

6

7

)

?

2

Q

C

>

B

:

ی-C

#

K

7

C

>

B

@

6

>

+

J T $* L 39

Artinya: “Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa dikaruniai istri yang shalihah oleh Allah, berarti ia telah menyelamatkan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam separuhnya lagi.” (HR. Ahmad)

Untuk itu, hendaknya mengutamakan faktor agama dalam menikahi seorang perempuan, yakni taat (konsisten) dalam melakukan ajaran-ajaran agama, taat kepada suaminya, menyenangkan hati suami, dan dapat menjaga dirinya dan harta suami manakala suami bepergian. b. Status atau keberadaan perempuan untuk dinikahi

39


(43)

Yang dimaksud dengan status atau kedudukan perempuan di sini adalah boleh tidaknya seorang perempuan dinikahi berdasarkan hukum agama Islam, Undang-undang dan Adat/Tradisi setempat.

Dalam ajaran Islam dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia, tidak semua orang boleh dinikahi. Ada orang-orang yang haram dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad), yaitu orang yang memiliki hubungan darah (nasab), hubungan kerabat semenda (mushaharah), atau hubungan sepersusuan (radha’ah). Ada pula yang haram dinikahi untuk sementara waktu (mahram muaqqat).40

Allah SWT berfirman:

5b

(

*

, 

0

L

"

!’

V0

q“

V0W

X

0

ab34

0

c #

n

@

j k"34

05’

,= m

R

0”.&4

V0

n

eLo39

n

MNNP

F

ghJ

!9&o

1< ‰

70;X

!97 *

S

}> 

S

 0;X

N•. 0

 0;X

F SZ 0

 !9.

1< ‰

BYŽ| K

0

;X 7WO ?

!97 *

S

q“

=

7 WOsJ

0

!F

1< ‰

–V0W 3—

 !99‡k

?

YŽ| K

0

A3B

!’?*!‚

–V0W 3=—

YŽ| K

0

\.R

S

2

} 313

3_ R

K

(

*"*

\.R

S

2

40

Ketentuan ini dimuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 8-9, yang dirinci lagi oleh Kompilasi Hukum Islam pasal 39-44 dan pasal 54.


(44)

˜“313

5L R

0;X8

!9&o

6‡k

 !9–V0;X

BŒŽoK

0

!93C

š

(

*7

> ‚ 

q› ƒ

PB ƒ

SZ 0

ab34

0

c #

n

ar34

KV0

#Ll

X?*!

L€

0•>2

s?

MNgP

_

!F ;XWœ >&

0

S

V0W

X

0

ab34

0

F

!9X

>

(

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.…” (QS. An-Nisa’, 4:22-24)

Dalam hukum adat pun terdapat larangan menikahi orang-orang tertentu. Dalam adat masyarakat Minang, misalnya, berlaku eksogami suku yaitu orang yang sesuku di dalam satu desa tidak boleh nikah. Begitu


(45)

juga dalam adat masyarakat Batak, berlaku larangan pernikahan semarga.41

c. Sifat dan sikap calon istri

Ada beberapa sifat pada diri seorang perempuan yang dapat dijadikan modal atau syarat untuk terciptanya suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

1) Shalihah (taat) dalam beragama

Perempuan shalihah adalah perempuan yang benar-benar baik akidahnya, baik akhlaknya dan baik pula ibadahnya; niscaya akan menjadi istri yang benar-benar berbakti kepada suami, pandai menjaga kehormatan diri dan pandai pula menjaga kehormatan saat suami tiada di sampingnya.42 Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:

!F

3

•œ

00 R

]F

,

#

F

!

Ž &o R

/

0

>3

uV0

@

Artinya: “…Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka)…” (QS. An-Nisa’, 4:34)

Istri yang shalihah itu merupakan perhiasan yang paling indah di dunia serta memiliki nilai yang tinggi dan agung. Shalihahnya

41

A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 101.

42

M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.II, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 43.


(46)

seorang perempuan bukanlah sebatas pengakuannya saja, tetapi tercermin dari segala perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebelum berumah tangga maupun sesudah hidup berumah tangga.

Rasulullah SAW bersabda:

7 > ? 7 5 " P 9 $ 4' 7 @ 4

5 6 = "

<

1ﻥ

#

c

#

M

$

)

G

2

Q

+

J T = ; L 43

Artinya: “Dari Abdullah Ibnu Amr, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Dunia adalah hiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)

Dengan demikian, maka perempuan shalihah itu kelak akan menjadi istri terbaik di hadapan suaminya. Ia menyenangkan setiap kali dipandang oleh sang suami, taat apabila diperintah, rela dengan apa yang diterima dan senantiasa menjaga kehormatan keluarganya. Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

c

,-;

(

4

V

d

^

M

"

!

V

M

W

#

!

V

6

;

$

R

M

'

!

V

E

@

R

-M

*

d

#

!

C

ﻥ >

;

M

!

+

J e ;- T L

Artinya: “Sebaik-baik istri ialah dia yang jika kau pandangi, ia menyenangkanmu; jika kau perintah, ia menaatimu; jika kau beri bagian, ia senang menerimanya dan jika kau tinggalkan, ia senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu.” (HR. An-Nasa’i)

Kemanfaatan hidup seorang mukmin yang paling tinggi ialah bertakwa kepada Allah SWT. Karena dengan bertakwa kepada-Nya,

43

Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, juz-5, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Araby, t.th.), h. 1090.


(47)

niscaya ia akan meraih kebahagiaan hidup yang sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Namun ada kemanfaatan lain yang juga akan melengkapi kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni kemanfaatan beristrikan perempuan shalihah. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

5 6 - 7 8

Q

>' 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

"

#

:

$

O

4

'

#

7 f

%

&

c

4

S

%

9Q

?

2

9Q

+++

J T $* L 44

Artinya: “Dari Abu Umamah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tiada kemanfaatan yang lebih baik bagi insan beriman setelah bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, selain istri yang shalihah...” (HR. Ahmad)

Itulah kemanfaatan beristrikan perempuan shalihah. Dia senantiasa menjadi pendukung dan motivator bagi segenap keluarganya menuju kebahagiaan dunia hingga akhirat. Ia akan mengingatkan dengan penuh kasih kepada suami dan anak-anaknya saat mereka melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Ia akan senantiasa memberikan dorongan yang dapat membangkitkan semangat bagi suami dan anak-anak agar menghambakan diri secara total kepada Allah SWT. Ia akan selalu memberikan semangat kepada suami agar tekun bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan demi terpenuhinya totalitas penghambaan diri kepada

44


(48)

Allah SWT. Sehingga kebahagiaan dunia-akhirat pun akan lebih dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan.45

2) Berasal dari keturunan (nasab) yang baik

Istri ibarat ladang tempat bercocok tanam bagi suami. Maka ladang yang subur tentunya akan menumbuhkan tanaman yang subur pula, ladang yang gersang akan menggersangkan tanamannya juga, dan seterusnya. Allah SWT mengibaratkan hal ini dalam firman-Nya:

l

V0W 3—

YŸ J

K

Artinya: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu…” (QS. Al-Baqarah, 2:223)

Jika para ahli genetika mengatakan bahwa gen-gen akan memberikan pembawaan tersendiri kepada keturunan generasi berikutnya secara langsung atau berselang, maka jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah menegaskan hal ini dalam sabdanya:

5 6 - 7 8

9!

4' 9aﻥ 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

%

C

>

2

Y

G

Z

C

P

g

:

"

h

+

++

J $* T L 46

Artinya: “Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kawinlah dengan golongan yang shalih sebab pengaruh keturunan itu sangat kuat.” (HR. Ahmad)

Sehubungan dengan itu, maka calon istri yang ideal tentulah perempuan yang bernasab baik-baik, perempuan yang diturunkan dari alur keluarga yang baik-baik. Dan para remaja muslim seharusnya

45

M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 46. 46


(49)

memilih perempuan yang bernasab baik-baik tatkala hendak menentukan pilihannya. Sehingga diharapkan kelak akan melahirkan anak-anak yang baik pula.47

Baiknya seorang istri dalam suatu rumah tangga itu merupakan hasil bimbingan dan didikan kedua orang tuanya. Peran kedua orang tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya sangatlah penting dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah sarana dan wahana yang pertama dan pokok dalam membimbing dan mendidik anak untuk membentuk suatu kepribadian, mengenal nilai-nilai dan norma-norma serta hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kelak.

Kaum laki-laki yang menginginkan calon istri yang shalihah, carilah dari keluarga yang baik. Biasanya dari keturunan yang baik (agamis), terlahir anak-anaknya yang baik pula. Sebaliknya, suatu keluarga yang jauh dari agama, terlahir pula anak-anaknya yang jauh dari agama.

3) Bukan kerabat yang dekat

Kerabat dekat itu adalah kerabat yang memiliki garis keturunan (kerabat atau saudara) antara calon istri dengan calon suami. Bila terjadi pernikahan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki yang masih ada hubungan kekerabatan atau tali persaudaraan berdasarkan garis keturunan antara keduanya, maka pernikahan itu

47


(50)

dapat mengakibatkan lemahnya nafsu syahwat, baik terhadap suami dan atau istri. Apabila tetap dilangsungkan pernikahan, maka dikhawatirkan akan lahir anak-anak yang lemah.48

Anak yang lemah di sini ada dua kemungkinan, yakni: pertama, lemah dalam hal fisik (jasmani), yaitu anak yang lahir cacat tubuhnya. Kedua, lemah dalam hal rohani (jiwa), yaitu si anak akan lahir dengan kecerdasan yang kurang bahkan tergolong idiot.

Sehubungan dengan itu, maka sebaiknya para remaja muslim menghindari pilihan dari perempuan yang masih keluarga dekatnya, sekalipun ia tidak termasuk perempuan yang haram dinikah. Dengan demikian, insyaAllah keluarga yang bakal dibentuk akan lebih mendatangkan kebahagiaan. Anak-anak yang lahir akan lebih sehat baik fisik maupun mentalnya dan jumlah saudaranya pun akan lebih besar.

4) Perawan (gadis)

Setiap laki-laki muslim hendaklah memilih calon istri yang masih gadis (perawan). Hal ini selain erat hubungannya dengan kesuburan perempuan yang bersangkutan sehingga lebih memungkinkan akan melahirkan banyak anak, juga banyak

48

Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malyabary, Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrat al-‘Ain, (Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.), h. 99.


(51)

keistimewaan yang bakal diperoleh oleh suami. Keistimewaan-keistimewaan ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

5 6 - 7 8

9 ' % 4

<

= "

7 > ? 7 5 " 5 6

.

=

'

'

.

C

M

4

]

A

C

ﻥ#

K

*

6

1&

c

b@

' >

;

+

J T $* L 49

Artinya: “Dari Jabir r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hendaklah kalian menikahi wanita yang masih gadis, karena ia lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, lebih kecil kemungkinan berkhianatnya dan lebih bisa menerima pemberian yang sedikit.” (HR. Ahmad)

Dengan demikian, pernikahan antara laki-laki bujangan dengan perempuan yang berstatus gadis merupakan pernikahan yang ideal. Karena kedua belah pihak sama-sama memasuki gerbang kehidupan yang baru dan keduanya pun sama-sama belum memiliki pengalaman. Rasulullah SAW pernah memberikan anjuran untuk menikahi perempuan yang masih gadis, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:

4

%

'

9

P

-@

8

?

7 >

"

=

6

5

<

ی

%

'

9

%

R

'

.

I

i,

@

U

6

5

<

i,

@

C

5

<

%

R

'

.

@

M

@

!

+

J K # L 50

Artinya: “Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, ‘Hai Jabir, dengan siapakah engkau menikah, perawankah atau janda?’ Jawab Jabir, ‘Saya menikah dengan janda.’ Beliau bersabda, ‘Alangkah baiknya jika engkau menikah dengan perawan (gadis). Engkau dapat menjadi hiburannya dan dia pun menjadi hiburan bagimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

49

Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394. 50


(52)

Dalam pandangan Islam, keperawanan seorang perempuan adalah masalah sakral. Keperawanan merupakan barometer baik dan buruknya perempuan tersebut, baik dari segi agama, akhlak, kepribadian, dan sebagainya. Bahkan pernikahan antara laki-laki muslim dan perempuan yang telah hilang keperawanannya akibat hubungan zina itu haram hukumnya. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Qur’an berikut ini:

A3f

<i

0

5b

L

,

ab34

= 2 "

'

,=Ll3y z

7= o "

<i

0

5b

V0

1

,

ab34

p

'

…3y z

@

¡ghJ

C

 D

A  

Bƒ ,

>&

0

MgP

Artinya: “Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki-laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS. An-Nur, 24:3) 5) Subur

Suatu rumah tangga akan terasa hambar dan sepi apabila tidak ada anak. Apabila telah menjalani kehidupan berumah tangga selama bertahun-tahun, tetapi belum dikaruniai seorang anak pun, tentunya hal ini selain menimbulkan kesepian juga sangat menggelisahkan kedua pasangan suami dan istri tersebut. Dengan demikian kesuburan


(1)

pasangan yang ideal, agar terbentuk rumah tangga yang Islami. Di antara kriteria itu adalah harus kafaah. Sewajarnya, setiap orang membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan. Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk membentuk keluarga sakinah. Pada umumnya, laki-laki ingin agar lebih dominan dari pasangannya. Sedangkan sebagian perempuan ingin merasa "terlindung", hingga mencari sesuatu yang "lebih" pada pasangannya. Oleh karena itu, kafaah dalam pernikahan hanya dipersyaratkan atas laki-laki. Adapun seorang perempuan tidaklah dipersyaratkan harus sekufu dengan suaminya.

3. Rumah tangga sakinah memang tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa menciptakan surga dalam rumah tangga, ‘Baiti Jannati’. Demikian juga, banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa menjadikan kehancurannya, diantaranya adalah ketidakcocokan antara suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini sama artinya dengan tidak sekufu. Menjatuhkan pilihan kepada orang yang lebih banyak kesamaannya dalam berbagai hal akan jauh lebih baik hasilnya dibanding menjatuhkan pilihan kepada orang yang terlalu banyak perbedaannya. Semakin banyak kesamaan antara suami dan istri, tentu semakin menjamin keharmonisan pergaulan mereka dalam membina keluarga dan rumah tangga yang bahagia. Namun demikian, dalam memilih jodoh, kesungguhan masing-masing suami-istri dalam menjalankan ajaran agama haruslah dijadikan patokan utama, karena hanya itulah yang akan langgeng.


(2)

B. Saran

1. Dalam rumah tangga yang Islami, suami-istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, hak dan kewajibannya serta melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Bermusyawarah dalam memutuskan apapun dalam keluarga, karena suami-isteri adalah satu-kesatuan yang utuh. Jadikan pasangan kita sebagai partner sekaligus sahabat yang hubungannya berlandaskan rasa cinta dan kasih sayang.

2. Memperhatikan kafaah adalah salah satu aspek penting sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada mengetahuinya setelah berumah tangga.

3. Dalam memilih jodoh, dianjurkan untuk memilih laki-laki/perempuan yang sehat jasmani dan rohaninya di samping hal-hal yang lainnya, seperti masalah keturunannya, ekonominya, dan yang paling penting sekali adalah masalah agamanya.

4. Masalah kafaah ini hendaknya disosialisakan melalui pelajaran agama di sekolah-sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah juga di perguruan tinggi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

____________________. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Syaamil Cipta Media, 2005

Abdurrahman, Abu Muhammad Jibril. Karakteristik Lelaki Shalih, cet.ke-1 Yogyakarta: Wihdah Press, 1999.

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.ke-2. Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2005.

Abidin, Slamet dan Aminuddin. Fiqh Munakahat, cet.ke-1, jil.I dan II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999.

Adhim, M. Fauzil. Saatnya untuk Menikah, cet.III. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.6. t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.

Alam, Andi Syamsu. Usia Ideal untuk Kawin; Sebuah Ikhtiar mewujudkan Keluarga Sakinah, cet.II. Jakarta: Kencana Mas Publishing House, 2006.

Alhamdani, H.S.A. Risalah Nikah; Hukum Perkawinan Islam, alih bahasa oleh Agus Salim. Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Atkinson, Rita L., dkk. Pengantar Psikologi, ed.ke-8, juz II, Penerjemah Nurdjannah

Taufiq. Jakarta: Erlangga, t.th.

Bakri, Sidi Nazar. Kunci Keutuhan Rumah Tangga; Keluarga yang Sakinah, cet.ke-1. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993.

Barik, Haya Binti Mubarak. Ensiklopedi Wanita Muslimah, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, cet.1. Jakarta: Darul Falah, 1998.

Budiman, Leila Ch. Konsultasi Psikologi. Artikel diakses pada hari Senin, 17 November 2008 dari http://kompascybermedia.com/kesehatan.

Bukhari, Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail. al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, juz-6. Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987.

____________________. Shahih Bukhari, juz-3. Beirut: Maktabah al-‘Ashriyyah, 1997.


(4)

Departemen Agama RI. Pedoman Konselor Keluarga Sakinah. Jakarta: Dirjen Bimmas dan Haji, 2001.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.ke-3, ed.ke-2. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Djalil, A. Basiq. Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I. t.t.: Qalbun Salim, 2007.

Ghazaly, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana, 2003

Halim, M. Nipan Abdul. Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.ke-2. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.

Ibn Saurah, Abu Isa Muhammad Ibn Isa. Sunan at-Tirmizi, juz 2. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

Jauziyah, Abu Abdillah Muhammad Ibn Abu Bakar Ibnu al-Qayyim. Zaad al-Ma’ad fi Hadi Khair al-Ibad, juz-4. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1970.

Jaziriy, Abdur Rahman Ibn Muhammad ‘Audh. al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-‘Arba’ah, Jil.I, Juz 1-5. Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th.

Kandahlawi, Muhammad Zakariyya. Aujar al-Masalik ila Muwatha’ Malik. Beirut: Dar al-Fikr, 1974.

Khalafi, Abdul Azhim bin Badawi. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil, cet.1. Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006.

Khawarizmiy, Abul Qasim Mahmud Ibnu Umar al-Zamakhsyary. al-Kasyaf an Haqaiq Tanzil wa Uyun Aqawil fi Wujuh Ta’wil. Kairo: Musthafa al-Baby al-Halby wa Auladah, 1972.

Malyabary, Zainuddin Ibnu Abdul Aziz. Fath al-Mu’in bi Syarh Qurrat al-‘Ain. Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.

Mas’ud, Ibnu dan Abidin, Zainal S. Fiqh Mazhab Syafi’I. Bandung: Pustaka Setia, 2000.


(5)

Muzdhar, M. Atho’ (ed.). Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern; Studi Perbandingan dan Keberanjakan Undang-undang Modern dari Kitab-Kitab Fiqh, cet.I. Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Naisabury, Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy. Shahih Muslim, juz-5. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-Araby, tth.

Nur, Djamaan. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993. Nurhayati. “Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh

Pimpinan Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Nuruddin, Amiur dan Tarijan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.1, cet.ke-3. Jakarta: Kencana, 2006.

Permana, Cecep Yusuf, Bangun Keharmonisan Rumah Tangga Karena Landasan Hati. Artikel diakses pada hari Senin, 19 Maret 2007 dari www.almanhaj.or.id Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet.ke-6. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Sabiq, As-Sayyid. Fiqh as-Sunnah, Jil.II. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1983.

____________________. Fiqh Sunnah 7, alih bahasa oleh Drs. M. Thalib. Bandung: PT. al-Ma’arif, 1981.

Shabuni, Muhammad Ali. Kawinlah selagi Muda; Cara Sehat Menjaga Kesucian Diri, cet.ke-1, Pent. Muhammad Nurdin. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2000. Shan’aniy, Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy. Subul as-Salam Syarh Bulugh

al-Maram min Adillah al-Ahkam, jil.III. Bandung: Dahlan, tth.

Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.ke-2. Jakarta: eLSAS, 2008.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, ed.ke-4, cet.ke-25. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.

Sutarmadi, A. dan Mesraini. Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga. Jakarta: FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006.


(6)

Syafi’I, Abu Abdullah Muhammad Ibnu Idris. al-Umm, juz.5. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Syaukani, Muhammad Ali Ibn Muhammad. Nail al-Authar, juz-5. Kairo: Maktabah al-Iman, tth.

Syihab, M. Quraisy. Tafsir Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-Qur’an, vol.11. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Takariawan, Cahyadi. Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya dalam Masyarakat, cet.1. Solo: Intermedia, 1997.

Umar. “Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.

Umran, Abdur Rahim. Islam dan KB, cet.ke-1, Pent. Muhammad Hasyim. Jakarta: Lentera, 1997.

Zahir, Abdullah. “Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam; Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islami wa Adillatuhu, juz-VII, cet.ke-3. Beirut: Dar al-Fikr, 1989.