Peran suami dalam membina rumah tangga yang sakinah

(1)

(TELAAH KAJIAN TEMATIK)

Skripsi Ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh: Eva Yarosdiana

107034001502

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYRIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

“PERAN SUAMI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA

YANG SAKINAH”

(TELAAH KAJIAN TEMATIK)

Skripsi Ini Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Eva Yarosdiana

107034001502

Pembimbing:

Muslih, Lc, MA

19721024 2003121 002

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYRIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

TANGGA YANG SAKINAH (TELAAH KAJIAN TEMATIK) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 29 September 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua

Dr. Bustamin, M.Si NIP: 19630703 1998031 003

Sekretaris

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A NIP: 19711003 1999032 001

Anggota,

Penguji I

Dr. Bustamin, M.Si NIP: 19630703 1998031 003

Penguji II

Drs. Harun Rasyid. M.A NIP: 19600902 1987031 001

Pembimbing

Muslih, Lc, M.A NIP: 19721024 2003121 002


(4)

(5)

i

Islam telah menetapkan bahwa suami merupakan pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap apa yang ia pimpin. Namun, tidak semua suami mengerti dan memahami tentang peranannya dalam rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya, terkadang suami cenderung ingin lepas dari peranannya itu, bahkan tidak mau peduli sama sekali. Selain itu dampak dari ketidak mengertian dan pemahaman suami tentang peranannya sebagai kepala rumah tangga, terutama dalam membina keluarga yang sakinah juga akan terlihat pada masyarakat. Oleh sebab itu dirasa sangat perlu adanya pemahaman tentang peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Peranan suami dalam hal ini memegang kedudukan yang sangat penting dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah, sesuai dengan kedudukan suami dalam rumah tangga. Peranan suami, yang akhirnya menjadi tanggung jawabnya harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar suami tidak merasa sebagai kepala rumah tangga yang berhak melakukan apa saja terhadap keluarganya sesuai dengan yang ia inginkan, apalagi melakukan kekerasan dalam rumah tangga, yang umumnya dilakukan oleh kaum pria, yaitu suami. Justru sebaliknya suami harus bisa menjaga dan mengayomi seluruh anggota keluarganya, serta mendidiknya, sehingga anggota keluarga itu merasa tentram berada di dalam keluarganya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dengan menggunakan metode Tafsir Maudhu.i (Tematik), maka diperoleh data-data bahwa Islam telah menetapkan peranan-peranan yang dimiliki oleh suami, dimana peranan itu akan menjadi


(6)

ii

tanggung jawab suami dan akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah di akhirat kelak. Menghadapi kenyataan tersebut suami terlebih dahulu harus mengetahui kedudukan dan fungsinya dalam keluarga, baru kemudian suami itu akan mengetahui peranan yang menjadi tanggung jawabnya. Sehingga suami akan lebih mudah dalam melaksanakan peranannya dalam membina rumah tangga yang sakinah.


(7)

iii

Seiring perjalan waktu dan atas karunia Allah Yang Maha Kuasa, dengan selesainya skripsi ini, penulis mempersembahkan puji kepada Allah SWT, Tuhan sekalian alam, yang dengan hidayah dan inayah-Nya, sehingga semuanya mudah untuk penulis lalui. Shalawat dan salam diaturkan kepada Nabi Muhammad saw, keluarga dan para sahabatnya, yang telah menuntun umatnya dari zaman kebodohan (jahiliyah) hingga saat ini, semoga kita umatnya kelak di hari kiamat mendapatkan syafa’at beliau, amin.

Dalam hal ini penulis mengangkat judul tentang “PERAN SUAMI DALAM MEMBINA RUMAH TANGGA YANG SAKINAH (Telaah Kajian Tematik)”. Skripsi ini disusun untuk menambah khazanah keilmuan umumnya dalam bidang Tafsir-Hadis khususnya dalam Tafsir Kajian Tematik.

Penulis sangat yakin bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin hadir tanpa ada pihak-pihak yang membantu, untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

3. DR. Bustamin, M.Si., Lilik Ummi Kaltsum, MA, Kajur dan Sekjur Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Muslih, Lc, MA, DR. Bustamin, M.Si, dan Drs. Harun Rasyid, MA, selaku


(8)

iv

memberikan arahan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga Bapak senantiasa diberikan nikmat sabar dan selalu menjadi suri tauladan bagi kami.

5. Para dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, terima kasih atas segala ilmu yang diberikan. Semoga menjadi ilmu yang berkah dan manfaat di dunia dan di akhirat.

6. Pimpinan Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

7. Yang tercinta ayahanda Yakub prijal, S.Pd, dan ibunda Sri rosyada yang senantiasa mencurahkan kasih sayang dan perhatian dengan sepenuh hati, tak henti-hentinya mendoakan penulis setiap malam dan waktu.

8. Teman-teman kelas dan seluruh teman-teman yang ada di jur TH 2007, yang telah banyak memberikan motivasi serta gagasan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ciputat, 22 September 2011


(9)

v

ا = Tidak dilambangkan ط = t Untuk Vokal Pendek /

ب = b ظ = z harokat dan tanwin

ت = t ع = „ = a pendek

ث = ts غ = gh = i pendek

ج = j ف = f = u pendek

ح = h ق = q konsonan

خ = kh ك = k = an

د = d ل = l = in

ذ = dz م = m = un

ر = r ن = n rangkap / double

ز = z و = w

س = s ھ = h

ش = sy ا = lâ

ص = s ء = ٰ

ض = d ي = y

Untuk Vokal Panjang Untuk Madd dan Diftong

ا = â Panjang ْوا = aw

ْوا = û

و = û Panjang ْيا = ay

ْيا = î


(10)

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

TRANSLITERASI ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 11

D. Metode Penelitian ... 12

E. Tinjauan Pustaka ... 14

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA A. Fungsi Suami ... 17

B. Kedudukan Suami ... 22

C. Kewajiban Suami ... 27

BAB III PANDANGAN ISLAM TERHADAP PERANAN SUAMI A. Kehidupan Keluarga Dalam Islam ... 34

B. Pendapat Ulama Terhadap Peranan Suami Dalam membina Rumah Tangga Yang Sakinah ... 53

BAB IV PERANAN SUAMI DALAM AL-QUR’AN A. Bertanggung Jawab Dalam Surat An-Nisaa’ (4) Ayat 34 ... 59

B. Rumah Tangga Sakinah Dalam Surat An-Nahl (16) Ayat 80 ... 68


(11)

vii

B. Saran-saran ... 78


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan risalah terakhir dari langit ke bumi yang universal. Dan Islam pulalah yang telah membawa dunia menuju revolusi besar dalam berbagai aspek kehidupan. Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan penciptanya tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, dan sebagainya.1 Aturan itu diramu dengan sangat sempurna, sehingga umat yang patuh pada aturan yang dibuat akan menemukan suatu kebahagiaan dan kedamaian. Islam menata hidup perkawinan dengan sempurna, karena masalah ini adalah masalah pokok yang sangat vital. Melalui perkawinan manusia dapat saling mengasihi, menjalin hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan. Kehidupan perkawinan merupakan industri pertama bagi umat sesudahnya untuk meningkatkan industri selanjutnya. Bayangkan, dengan perantaraan seorang suami dan istri, dengan perantaraan hubungan material dan individual, maka lahirlah putera-puteri yang mungil, dengan izin Allah.2

Hikmah diciptakan oleh Allah manusia berpasang-pasangan yang berlainan bentuk dan sifat, adalah agar masing-masing saling membutuhkan, saling memerlukan, sehingga dapat hidup berkembang selanjutnya.3 Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang

1

Nasy.at Al-Masri, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Cet. Ke-8, h. 11.

2

Nasy.at, Nabi Suami Teladan., h. 11.

3

Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam: Tuntunan Keluarga Bahagia


(13)

sulit dibendung. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan, mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya “perkawinan” dan beralihlah kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketentraman dan sakinah.4

Menurut pasal 1 undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa :

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.5

Perjanjian yang dibuat oleh seorang muslim untuk menjadikan seorang

muslimah sebagai istri, merupakan perjanjian yang dibuat atas nama Allah. Karena itu hidup sebagai suami istri bukanlah semata-mata sebuah ikatan yang dibuat berdasarkan perjanjian dengan manusia, yaitu dengan wali dari pihak perempuan dan dengan keluarga perempuan itu secara keseluruhan, serta dengan perempuan itu sendiri, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah membuatperjanjian dengan Allah. Karena itu, pernikahan adalah salah satu di antara tandatanda kekuasaan Allah.6

Allah Swt. berfirman dalam surat Ar-Rûm ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

4

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur.an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11, h. 192.

5

Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1, h. 14.

6

Rusli Amin, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami, (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), Cet. Ke-11, h. 24.


(14)

3

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q. S. Ar-Rûm: 21).

Ayat tersebut menggambarkan jalinan ketentraman, rasa kasih dan rasa sayang sebagai suatu ketenangan yang dibutuhkan oleh masing-masing individu, laki-laki dan perempuan ketika jauh dari pasangannya. Setiap suami dan istri yang menikah, tentu sangat menginginkan kebahagiaan hadir dalam kehidupan rumah tangga mereka, ada ketenangan, ketentraman, kenyamanan dan kasih sayang. Rumah tangga yang menjadi surga dunia! tidaklah identik dengan limpahan materi, kebahagiaan bukanlah sebuah kemustahilan untuk dicapai, sebab kebahagiaan merupakan pilihan dan buah dari cara berfikir dan bersikap. Maka dari itu, hanya dengan pasangannyalah ia dapat menikmati manisnya cinta dan indahnya kasih sayang dan kerinduan.7

Islam menjadikan keluarga sebagai tempat untuk menjaga diri, yaitu menciptakan ketentraman dan keselamatan dari segala bentuk kejahatan yang ditimbulkan oleh orang lain, sehingga keluarga harus dijadikan tempat tinggal yang penuh dengan kebahagiaan agar seluruh anggota keluarga betah di rumah dan selalu merindui.

Untuk mewujudkan keluarga haruslah bersama-sama antara suami dan istri untuk mengekalkan cinta yang merupakan anugerah dari Allah, karena tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas hubungan suami dan istri dalam rumah tangga sangat mempengaruhi keluarga menjadi sakinah mawaddah wa rahmah.8 Kehidupan suami istri itu adalah rumus dari kebahagiaan dunia. Maka ciptakanlah keluarga

7

Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1, h. 82.

8


(15)

yang bahagia agar hidup di dunia juga bahagia.9 Oleh sebab itu, suami istri harus sama-sama menjaga dan menghormati ikatan perkawinan yang telah dibuat sebagai sebuah ikatan yang suci. Agar perkawinan itu menjadi kuat, diperlukan pengikat yang kuat pula. Adapun pengikat perkawinan yaitu:

1. Mawaddah

Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: “Mawaddah” adalah cinta plus Orang yang di dalam hatinya ada mawaddah tidak akan memutuskan hubungan, seperti apa yang terjadi pada orang bercinta. Ini disebabkan hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan, sehingga pintu-pintunya pun tertutup untuk dimasuki keburukan.10

2. Rahmah

Prof. DR. Quraish Shihab mengatakan: “Rahmah” kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan. Rahmah

menghasilkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu buta, tidak mencari keuntungan sendiri, tidak menjadi pemarah apalagi pendendam.11 Kualitas

mawaddah wa rahmah di dalam rumah tangga, yang dipupuk oleh suami dan istri sangat menentukan bagaimana kondisi rumah tangga tersebut, apakah bahagia atau tidak. Lebih tegas Dr. Yusuf al-Qardlawy mengatakan bahwa tidak ada artinya hubungan suami istri yang tidak didasarkan pada cinta dan kasih sayang, badan berdekatan namun ruh berjauhan. Jadi, tidak bisa kita sangkal bahwa istri

9

Abu Mohammad Jibril Abdurrahman, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), Cet. Ke-3, h. 21.

10

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur.an., h. 195.

11


(16)

5

tidak hanya membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhan material belaka, namun istri juga sangat mengharapkan dari suami perhatian yang tulus, perkataan yang halus, wajah yang cerah, senyum yang ceria, senda gurau yang menyenangkan, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra serta berbagai perilaku mulia yang menyejukkan hati dan mendinginkan gundahnya, bahkan itu semua melebihi daripada kebutuhan material.12

Pernikahan dalam Islam menawarkan ketenangan jiwa dan kedamaian pikiran, sehingga laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama dalam cinta, kasih sayang, kepahitan dalam hidup, harmonis, kerjasama, saling menasehati dan toleran meletakkan pondasi mengangkat keluarga Islam dalam suatu lingkungan yang lestari dan sehat.13 Untuk mewujudkan itu, tidak hanya perempuan yang harus dipilih oleh laki, tetapi perempuan pun diberi hak untuk memilih laki-laki yang akan dijadikannya suami. Dan yang terbaik itu adalah yang bagus agamanya.

Sebagaimana Rasulullah. Saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a berkata: Bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhoi akhlak dan agamanya maka nikahkanlah ia, jika tidak kalian lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas”.14

12

Adil Fathi Abdulloh, Menjadi Suami Tercinta, Terj. Bukhori Abu Syauqi, (Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007). Cet. Ke-1, h. xiii.

13

Muhammad Ali Al-Hasyimi, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi, (Jakarta: PT Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1, h. 93.

14

Hadits Hasan dikeluarkan oleh At Tirmidzi (1085) dari hadits Abu Hatim Al Muzani


(17)

Selama ini, orang yang selalu di sorot dalam kehidupan rumah tangga adalah seorang istri, karena dia memang dianggap sebagai yang paling bertanggung jawab tentang kehidupan di dalam rumah, mulai dari melayani suami, merawat dan mendidik anak, ini berakibat ketika ada sesuatu kesalahan di rumah tangga itu, istrilah yang sering disalahkan. Sejujurnya tidaklah pantas untuk selalu menyalahkan istri, karena suami pun ikut bertanggung jawab. Tidak becusnyaseorang istri dalam melayani suami, tidak berhasil dalam mendidik anak dan lain sebagainya, juga menggambarkan bahwa suami tidak bisa menjadi pemimpin dalam rumah tangga tersebut, sehingga ia tidak bisa membimbing istrinya.

Dalam kehidupan rumah tangga ada kalanya laki-laki menjadi pemimpin bagi keluarganya, menjadi bapak bagi anak-anaknya, menjadi teman hidup serta sebagai saudara bagi istrinya. Dengan demikian, istri bukanlah menjadi saingan bagi suami, apalagi sebagai musuh. Tetapi suami dan istri itu akan jalan bersama, saling melengkapi untuk tercapainya cita-cita menjadi keluarga yang sakinah.15 Suami istri adalah pondasi dasar bagi sebuah bangunan rumah tangga, karena itulah Islam menetapkan kriteria khusus baginya, hingga menimbulkan rasa cinta, kasih sayang, nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran serta saling keterikatan.16

15

Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih., h. 1.

16

Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3, h. 21.


(18)

7

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud suami yaitu: “l aki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan”.17 Sedangkan peranan adalah dari kata dasar “peran” yang ditambahkan akhiran “an”., Peran memiliki arti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Sedangkan “peranan” adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.18 Dan sakinah disini adalah kedamaian, ketentraman dan kebahagiaan.19 Jadi, peranan suami dalam membina keluarga

sakinah adalah bagian dari tugas utama yang harus dilakukan oleh suami (laki-laki yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan) untuk mewujudkan keluarga yang penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan kebahagiaan.

Pada diri manusia mempunyai kelebihan dan juga kekurangan, kelebihan. Dan kekurangan itu membuktikan bahwa manusia tidak ada yang sempurna dan sifat yang sempurna itu hanyalah ada pada Allah Swt. Untuk itulah manusia hidup di dunia ini harus saling tolong-menolong dan lengkap melengkapi. Allah Swt juga telah menciptakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam susunan badannya, bentuk dan sifatnya, kulit dan dagingnya, tulang dan darahnya, kepala dan rambutnya, akal dan pikirannya, kekuatan tubuh dan anggotanya, jenis kelamin dan seterusnya.20 Perbedaan-perbedaan itu tentu mempunyai hikmah yang banyak dan laki-laki maupun perempuan tidak akan dapat membantah dan

17

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h. 860.

18

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). Edisi ke-2, h. 751.

19

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 769.

20


(19)

menyangkalnya, sehingga dengan perbedaan itu, mereka dapat saling mengerti, cinta mencintai, sayang menyayangi dan selanjutnya mereka juga dapat saling kuasa menguasai. Maka dari itu pendamping istri yang baik adalah suami yang bertanggungjawab.21 Menurut al-Qur’ân, suami yang bertanggung jawab adalah suami yang bergaul dengan istrinya secara baik dan sabar atas apa yang tidak disukai darinya.22

Sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisâ ayat 19:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.

(Q. S. An-Nisâ: 19).

Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi. mengatakan bahwa suami akan menjaga istrinya, dan memperlakukannya dengan patut seperti yang diperintahkan oleh Allah.23 Ahmad Kusyairi, yang menyebut suami dengan istilah Suami yang Sâlih

mengatakan: “Yang selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah”, keluarga dan semua orang yang ada dalam tanggungannya, dengan ikhlas penuh semangat dan

21

Abu Mohammad, Karakteristik Lelaki Shalih., h. 12.

22

Majdi Fathi Al-Sayyid, Bingkai Cinta Sepasang Merpati: Bahagia Menjadi Suami Ideal dan Istri Ideal., Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1, h. 185.

23

Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi., Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8, h. 83.


(20)

9

lapang dada, yang selalu berusaha membahagiakan istrinya.24 Penuturan Ahmad Kusyairi tersebut, hampir sama dengan pendapat Kasmuri Selamat: yang melaksanakan kewajiban terhadap keluarganya dengan penuh tanggung jawab, bersemangat, penuh perhatian serta berlapang dada.25 Di lain pihak Sholeh Gisymar menyebut suami sebagai suami yang dapat mendidik dan mengarahkan istri pada kebaikan yang dapat menuntunnya menggapai ridâ Ilâhi.26

Berdasarkan dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa ada peranan yang harus dilakukan oleh suami. Ketika peranan itu dilakukan, maka hadirlah di tengah-tengah keluarga kebaikan dan keberkahan. Berbicara tentang keluarga, tentu kita tidak bisa melupakan sosok anak. Dalam Islam, anak dipandang sebagai amanat dari Allah Swt. Amanat yang wajib dipertanggung jawabkan. Jelas sekali tanggung jawab orang tua terhadap anak tidaklah kecil, secara umum inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak dalam rumah tangga. Dengan demikian, pertanggung jawaban amanat tersebut, langsung berhubungan dengan Allah Swt. sebagai pemberi amanat. keluarga merupakan salah satu lembaga yang bertanggung jawab atas pendidikan anak selain sekolah dan masyarakat.

24

Ahmad Kusyairi Suhail, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), Cet. Ke-1, h. 109.

25

Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian: Membina Keluarga Sakinah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet. Ke-6, h. 1.

26


(21)

Adapun alasan penulis memilih judul skripsi ini sebagai berikut:

1. Suami merupakan pemimpin dalam kehidupan rumah tangga yang memiliki peranan yang sangat besar dalam membimbing istri dan mempersiapkan pendidikan untuk anak-anaknya.

2. Inti dari sebuah keluarga itu adanya suami, istri dan anak, maka suami yang bertanggung jawab sangat mutlak diperlukan untuk mencapai cita-cita dari perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, penuh dengan

mawaddah wa rahmah.

3. Melihat realita yang ada, banyaknya suami yang melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

4. Untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang konsep-konsep Islam, diharapkan menjadi sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh semua pihak yang membutuhkan.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Dari permasalahan-permasalahan yang dapat diidentifikasi di atas, kiranya harus dicarikan jawaban dari masalah-masalah tersebut dan menyelesaikannya. Untuk dapat menjadikan sebuah karya tulis yang baik pembatasan terhadap masalah yang akan dikaji merupakan salah satu bagian penting demi terciptanya fokus pembahasan, untuk itu objek kajian yang akan dituangkan ke dalam skripsi ini diidentifikasikan pada hal-hal berikut:


(22)

11

- Suami yang dimaksud adalah yang berstatus sebagai individu dan anggota masyarakat yang menjadi pasangan hidup resmi seorang perempuan yang diikat dengan tali pernikahan.

- Peranan yang dimaksud adalah bagian dari tugas utama (kepala keluarga) yang harus dilakukan oleh suami.

2. Pembatasan Masalah

Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis merasa perlu untuk memberikan suatu pembatasan masalah agar tidak melebar, yaitu:

1. Suami sebagai kepala rumah tangga.

2. Peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. 3. Karakteristik Suami yang bertanggung jawab.

3. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, penulis merumuskan masalah menjadi:

1. Bagaimana peranan suami sebagai kepala rumah tangga dalam membina keluarga sakinah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan penulisan

Setiap karya tulis yang bernilai ilmiah tentunya memiliki tujuan yang ingin dirumuskan dalam perumusan masalah, maka secara spesifik tujuan yang akan dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi suami sebagai kepala rumah tangga dalam persfektif Al-Qur’an.


(23)

b. Untuk mengetahui peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah dalam persfektif Al-Qur’an.

c. Untuk mengetahui kriteria suami yang bertanggung jawab dalam persfektif Al-Qur’an.

Sedangkan tujuan akademis dari penulisan skripsi ini adalah untuk memperluas paradigma berpikir dan wacana keilmuan dalam bidang pendidikan, terutama pendidikan keluarga.

2. Manfaat penulisan

Adapun hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Dari tulisan ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan para orang tua dalam upaya membentuk keluarga yang sakinah.

b. Memberi acuan bagi para pelajar laki-laki untuk menjadi laki-laki yang shaleh/bertanggung jawab dan mampu mengatasi berbagai masalah dalam rumah tangga.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode maudhu’i (tematik). Yaitu cara-cara menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara tertentu.27 Untuk itu harus dilakukan komparasi dan penghimpunan ayat yang saling berkaitan, kemudian dibahas atau ditafsirkan

27

Ahmad Syadali, Ahmad Rofi.i., Ulumul Qur’ân II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke- 1, h. 115.


(24)

13

sesuai dengan kaedah yang berlaku. Dr. M. Quraish Shihab, di dalam karyanya Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Mizan), memberikan defenisi tafsir maudhu.i secara lebih rinci: menghimpun ayat-ayat Al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.28

Orang yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah al-Jalil Ahmad As-Sa’id al-Kumi, ketua jurusan tafsir di Universitas al-Azhar.29

Penulis juga menggunakan metode Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu suatu metode dengan mengadakan studi kepustakaan terhadap buku-buku/kitab-kitab, kamus, majalah, koran, artikel dan sebagainya yang ada hubungan dengan masalah yang akan dibahas.

Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Qur’ân al-Karîm. Sedangkan data sekunder adalah data pendukung berupa buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini.

Teknik pembahasan dalam skripsi ini, adalah deskriptif-analisis, yaitu suatu pendekatan masalah dengan menguraikannya terlebih dahulu sebagai gambaran awal dan setelah itu baru dianalisis. Metode deskriptif dimaksudkan

28

http://www.qalam.or.id/?pilih=news&aksi=lihat&id=341, Pengenalan Singkat Tentang

Metode Tafsir Tematik Sebagai Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20

Nopember 2007.

29


(25)

untuk menggambarkan objek apa adanya, sedangkan metode analisis dianggap perlu guna menganalisis objek yang telah digambarkan sebelumnya.

Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku

“Pedoman Akademik –Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)- yang disusun oleh Hamid Nasuhi, dkk. Terbitan CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2008 – 2009.

E. Tinjauan Pustaka

Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1). Maka tidak menutup kemungkinan ketika skripsi yang disusun oleh penulis ini memiliki kemiripan dengan skripsi penulis lainnya. Dalam beberapa buku dan skripsi yang saya baca, banyak hal khususnya teori dan pendapat yang menjadi perhatian penulis untuk dijadikan penunjang penulisan dan menjadi perbandingan bagi penulis selanjutnya. Dan sebagai tinjauan pustaka penulis dalam menyusun teori-teorinya mengambil dari buku-buku dan skripsi yang bersangkutan dengan kewajiban suami dalam pandangan Islam. Husain Syahatah merupakan penulis sebuah buku dengan judul Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas yang menjadi referensi penulis dalam rangka mengetahui berbagai teori tentang peranan suami dalam membina keluarga yang sakinah. Dalam buku ini dijelaskan bahwa peranan suami itu tidak jauh berbeda dengan peranan istri dalam Islam, perbedaannya adalah suami merupakan pemimpin di dalam keluarga


(26)

15

dan besar larangannya jika suami tidak memperhatikan urusan keluarga (istri dan anak), apalagi tidak memberi nafkah kepada mereka. Dari skripsi yang penulis susun ini terdapat perbedaan dengan tinjauan pustaka yang penulis tunjukan yaitu karya Husain Syahatah Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga; Antara Kewajiban dan Realitas perbedaan tersebut terletak pada penjabaran teori yang lebih melihat dengan jelas kepada kewajiban suami sebagai kepala, pendidik dan pendamping istri dalam rumah tangga.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terbagi menjadi lima bab, setiap bab terdiri dari beberapa sub-sub bab yang dimaksudkan untuk mempermudah dalam penyusunan serta mempelajarinya, dengan sistematika sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang meliputi : latar belakang masalah, identifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian, tinjauan pustaka dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab ini berusaha memberikan gambaran singkat tentang masalah yang akan di bahas pada bab-bab selanjutnya.

Bab kedua membahas tentang gambaran tentang suami yang meliputi : fungsi suami, kedudukan suami, dan kewakiban suami.

Bab ketiga membahas tentang pandangan ulama terhadap peranan suami

dalam al-Qur’an yang meliputi : persepsi ulama tentang peranan suami, pendapat ulama terhadap peranan suami dalam membina rumah tangga yang sakinah.


(27)

Bab keempat membahas tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan peranan suami dalam al-Qur’an yang meliputi : memberikan teladan yang baik dalam surat thaahaa (20) ayat 132, bertanggung jawab dalam surat an-nisaa’ (4) ayat 34, menciptakan rumah tangga sakinah dalam surat an-nahl (16) ayat 80.

Bab lima merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, juga memuat saran-saran yang diperlukan.


(28)

17

BAB II

SUAMI SEBAGAI KEPALA RUMAH TANGGA

A. Fungsi Suami

Sudah jamak dipahami bahwa suami adalah kepala rumah tangga, dan istri adalah ibu rumah tangga. Logika ini tidak bisa diganti dengan sebaliknya. Problemya adalah apa yang dimaksud dengan kepala rumah tangga dan apa yang dimaksud dengan ibu rumah tangga. Disini, adalah yang berlaku umum dalam masyarakat kita adalah bahwa kepala rumah tangga mengurusi urusan-urusan

“besar” dalam rumah tangga, sedangkan yang menyangkut pencarian nafkah, penjagaan hubungan rumah tangga dengan masyarakat, dan urusan-urusan lain yang melibatkan rumah tangga dengan kehidupan sosial. Sementara itu, defenisi ibu rumah tangga adalah bahwa seorang ibu mempunyai tugas-tugas pengaturan rumah tangga berskala kecil, seperti pengaturan rumah dan perabotan, pengaturan urusan dapur, pengaturan urusan keuangan rumah tangga, pengaturan kesejahteraan anggota-anggota rumah tangga dan pengaturan anak.1

Tampaknya, tugas ibu rumah tangga tersebut ringan dan kecil, tetapi pada kenyataannya, seorang ibu rumah tangga dihabiskan waktunya untuk disibukkan dalam rumah tangga tersebut. Di sinilah kadang seorang kepala rumah tangga kurang menyadari tugas-tugas ibu rumah tangga. Jadi, kalau para suami mau jujur terhadap dirinya sendiri, maka suami akan menyadari bahwa tugas-tugas konkrit seorang istri lebih berat dari pada tugas-tugas seorang suami. Maka, kerelaan

1

Majid Sulaiman Daudin, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet. Ke-1, h.276.


(29)

seorang istri untuk menjadi ibu rumah tangga dan keikhlasannya menganggap suami menjadi kepala rumah tangga, adalah penghormatan yang setinggi-tingginya yang dapat diberikan oleh seorang istri kepada suaminya. Dan hal ini memang telah dimekanismekan oleh alam, bahwa pembagian yang seperti itu adalah pembagian yang alamiah.2

Keluarga bisa dianggap sebagai miniatur dari sebuah sistem pemerintahan, yang memerlukan seseorang pemimpin, bertujuan untuk menciptakan negara yang maju, aman dan sejahtera. Begitu juga dengan keluarga, yang memerlukan seorang pemimpin yang biasa disebut dengan kepala rumah tangga untuk menciptakan keluarga yang diimpikan yaitu keluarga yang

sakinah, mawaddahwa rahmah.

Allah telah menetapkan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kini, fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu, disinggung oleh ayat ini dengan menyatakan bahwa: para lelaki, yakni jenis kelamin atau suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, suamilah yang akanbertanggung jawab terhadap keluarga tersebut, karena suami merupakan pemimpinnya. Persoalan yang dihadapi suami istri, seringkali muncul dari sikap jiwa yang tercermin dalam keceriaan wajah atau cemberutnya,

2


(30)

19

sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tapi boleh jadi juga sirna seketika. Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin, melebihi kebutuhan satu perusahaan yang bergelut dengan angka-angka, bukan dengan perasaan, serta diikat oleh perjanjian rinci yang dapat diselesaikan melalui pengadilan.

Murthadha Muthahhari seorang ulama terkemuka Iran dalam bukunya yangditerjemahkan oleh Abu Az-Zahra An-Najafi ke dalam bahasa Arab dengan judul Nizham Huquq al-Mar.ah menulis bahwa keistimewaan antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut3:

1. Dari segi fisik

Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelaki menghirup udara lebih besar/banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki. Sangat adil pula jika Allah melengkapi laki-laki dan wanita dengan perangkat reproduksi yang berbeda, termasuk tanda-tanda seksualkeduanya.4

3

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah.,h. 426.

4


(31)

2. Dari segi psikis

Secara umum lelaki lebih cenderung kepada olahraga, berburu, pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki secara umum cenderung kepada tantangan dan perkelahian, sedangkan perempuan cenderung kepada perdamaian dan keramahan; lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tentram. Perempuan menghindari penggunaan kekerasan terhadap dirinya atau orang lain, karena itu jumlah wanita yang bunuh diri lebih sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang keras pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian, sementara wanita menggunakan obat tidur, racun, dan semacamnya. Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki, yang biasanya lebih berkepala dingin. Perempuan biasanya lebih cenderung kepada upaya menghiasi diri, kecantikan, dan mode yang beraneka ragam serta berbeda bentuk. Di sisi lain, perasaan perempuan secara umum kurang konsisten dibanding dengan lelaki. Perempuan lebih berhati-hati, lebih tekun beragama, cerewet, takut, dan lebih banyak berbasa-basi. Perasaan perempuan lebih keibuan, ini jelas nampak sejak kanak-kanak. Cintanya kepada keluarga serta kesadarannya tentang kepentingan lembaga keluarga lebih besar dari lelaki.

Perbedaan antara laki-laki dan wanita secara fisik dan psikis serta fenomena kodrati di atas sesungguhnya diatur sedemikian rupa oleh Allah untuk menunjang tugas masing-masing. Perlu dicatat bahwa walaupun secara umum pendapat di atas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang ditafsirkan ini, namun


(32)

21

adalah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Justru itulah salah satu keistimewaan yang tidak dan kurang dimiliki oleh pria. Keistimewaan itu amat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anak.5

Wanita secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami, bahkan kekasihnya, di sisi lain pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh istrinya. Karena itu, agama Islam yang tuntunan-tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia, mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup istri dan anak-anaknya.6 Dari kedua faktor yang disebut di atas . keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan dan anak-anak . lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh istri. Suami wajib ditaati oleh istrinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri.

Perlu digarisbawahi bahwa kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami, tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Paradigma pemimpin kaum adalah pelayan mereka, harus dipraktekkan oleh laki-laki dalam memimpin kaum perempuan atau keluarga, agar ia tidak mengembangkan kepemimpinan yang diktator, otoriter dan zalim. Sebab, sebagaimana dijelaskan Taqiyyuddin an-Nabhani dalam buku an-Nizham al-Ijtima.i, bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah rumah tangga bukanlah akad syirkah (perusahaan), akad perdata yang berkonsentrasi pada kawin kontrak atau akad ijarah (sewa menyewa) sehingga istri ibarat budak

5

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., h. 427-428.

6


(33)

bagi suami untuk dipekerjakan. Bukan pula seperti hubungan polisi dan pencuri, sehingga istri selalu terancam dan diteror, dan suami selalu merasa superior. Tetapi hubungan keduanya adalah hubungan sakinah, mawaddah dan rahmah. Yaitu hubungan untuk saling mengondisikan munculnya sakinah (ketentraman dan ketenangan) jiwa, mawaddah (cinta kasih), dan rahmah (rasa sayang).7

Dengan demikian, suami akan menjadi pengayomi yang baik, serta akan mendapatkan pelayanan baik dari istri dan anggota keluarga, bahkan akan mendapatkan lebih baik dari apa yang telah diberikan oleh suami terhadap istri dan anggota keluarganya. Disinilah barangkali hikmah mengapa redaksi atas tidak berbunyi .ar-rijalu aimmat an-nisa,. melainkan berbunyi .ar-rijalu qawwamuna .ala an-nisa. padahal kedua redaksi mempunyai pengertian yang hampir sama. Hal ini tidak lain karena makna yang terdapat dalam kata

.qawwamah. jauh lebih mendalam dan integral daripada kata .imamah.. Termasuk dalam makna .qawwamah. adalah memimpin, meluruskan jika ia (perempuan) itu bengkok (salah), mengayomi, menjaga, melindungi, membina dan mendidik.8 Maka jelaslah bahwa suami menjadi pemimpin, bukan berarti ia harus menjadi otoriter dalam memimpin, tanpa memikirkan apa yang diinginkan oleh istri dan anggota keluarganya.

B. Kedudukan Suami

Walaupun suami merupakan pemimpin dalam keluarga, kepemimpinan suami di sini tidak sampai memutlakkan seorang istri tunduk sepenuhnya. Istri

7

Ahmad Kusyairi, Menghadirkan Surga di Rumah., h. 185.

8


(34)

23

tetap mempunyai hak untuk bermusyawarah dan melakukan tawar menawar keinginan dengan suami berdasarkan argumen-argumen rasional-kondisional. Kepemimpinan suami atas keluarganya tidak menghilangkan hak-hak mereka dalam berbagai hal.

1. Hak istri

Mendapatkan mahar

Hak istri yang pertama kali yang harus dipenuhi oleh seorang suami adalah diberi mahar dengan penuh kerelaan. Ketika istri menghendaki mahar tertentu suami harus memenuhinya tanpa menguranginya sedikit pun. Bahkan istri berhak menolak ketika suaminya ingin menyentuhnya apabila mahar belum diberikan. Namun, jika ingin menjadi perempuan yang shalehah, sebaiknya mempermudah lamaran dan tidak memberatkan mahar.

Mendapatkan pergaulan dengan sebaik-baiknya

Secara naluri perempuan memang memiliki perasaan yang halus, tetapi ia mudah marah. Oleh karena itu, perempuan berhak mendapatkan perlakuan yang lembut dari suaminya saat menghadapinya. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap istri-istrinya.

Mendapatkan nafkah

Istri sangat berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya, meskipun misalnya istri tersebut adalah orang yang kaya. Secara umum termasuk nafkahnya ialah memberi makan dan pakaian.


(35)

Mendapatkan pendidikan

Pendidikan juga menjadi hak istri, apalagi seorang istri nantinya akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, dan apabila ibunya tidak berpendidikan, bagaimana nanti nasib dari anak-anaknya.

2. Kewajiban istri

Seorang istri harus mengatur urusan rumah tangga dan mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari

Sudah menjadi rahasia umum bahwa istri mempunyai kewajiban mengatur urusan rumah tangga dan mempersiapkan kebutuhan hidup sehari-hari, seperti mengatur keuangan rumah tangga, menyiapkan makanan untuk anak dan suaminya, serta yang lainya.

Berkewajiban menjaga kehormatan dan ridha suami

Suami merupakan surga dan sekaligus juga neraka bagi istri, untuk itulah istri harus menjaga kehormatan dan ridha suami.

Wajib taat dan patuh kepada suami

Secara mutlak seorang istri wajib taat kepada suaminya terhadap segala yang diperintahkannya, asalkan tidak termasuk perbuatan durhaka kepada Allah. Sebab memang tidak ada alasan sama sekali bagi makhluk untuk taat kepada sesama makhluk dalam berbuat durhaka kepada Allah. Setiap istri yang taat kepada suaminya yang mukmin, ia akan masuk ke surga Tuhannya.


(36)

25

Membantu suami bertakwa dan taat kepada Allah

Seorang istri wajib membantu suaminya untuk taat kepada Allah, dan memberinya nasehat demi mencari keridhaan Allah. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

Dari Abu Hurairah r.a berkata: Bahwa Rasulullah saw bersabda: Allah merahmati seorang suami yang bangun tengah malam untuk melakukan shalat, lalu ia membangunkan istrinya agar ikut shalat, dan jika istrinya tidak mau bangun, ia memercikkan air pada wajahnya. Dan Allah juga merahmati seorang wanita yang bangun tengah malam untuk shalat, lalu ia membangunkan suaminya agar ikut shalat, dan jika suaminya tidak mau bangun, maka ia memercikkan air pada wajahnya”.

Setia dan ikhlas kepada suami

Setia adalah bukti keikhlasan dan cinta sejati. Seorang istri yang sholehah akan selalu ikhlas kepada suaminya dan menjaga perasaannya. Ia tidak mau membebani suaminya dengan tuntutan-tuntutannya.Ia rela menghadapi kesulitan dengan sabar dan ridha.Jika ia kaya, ia mau membantu suaminya yang miskin. Tidak menyakiti suami

Seorang istri tidak boleh menyakiti suaminya, misalnya dengan cara membangga-banggakan kecantikannya, atau membangga-banggakan harta kekayaannya di hadapannya sampai menyinggungperasaannya.

Agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita pada suatu tingkatan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain dan syari.at-syari.at lain sebelumnya. Bahkan belum pernah dicapai oleh satu umat pun yang menganggap


(37)

diri mereka telah mencapai puncak peradaban dan kebudayaan. Meskipun mereka telah menghormati dan memuliakan kedudukan wanita serta memberikan pendidikan kepada mereka dalam bidang sains dan ilmu kemasyarakatan.

Dengan dibebankannya kepemimpinan kepada suami itulah, maka Kasmuri Kasim, dalam bukunya Suami Idaman Istri Impian mengemukakan empat sifat yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya layak menjadi pemimpin di dalam rumah tangga:

a. Berpengetahuan agama dan mengamalkannya secara sempurna

Yang akan dipercayai sebagai kepala rumah tangga ialah suami, oleh karena itu ia harus mempersiapkan dirinya dengan memperbanyak pengetahuan agama. Disamping mengerjakan perintah agama yang mendasar seperti, shalat, puasa, zakat dan lain-lain, kemudian harus memahami pula bidang yang lain, karena Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan sesuai untuk seluruh zaman.

b. Sempurna akal dan pemikiran

Jika seorang itu ingin menjadi suami maka hendaklah ia berpikiran positif. Karena apabila telah berumah tangga, seorang suami harus memikirkan cara yang terbaik dalam memenuhi segala keperluan rumah tangganya, baik secara lahiriah maupun batiniah.

c. Sehat lahir dan batin

Bagi seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, haruslah terlebih dahulu memperhatikan kemampuan fisiknya, karena lemahnya kemampuan tenaga batin akan membawa rumah tangga menjadi tidak bahagia. Begitu juga


(38)

27

jika sekiranya tidak mampu untuk bekerja karena penyakit dan sebagainya akan menjadikan laki-laki tersebut tidak dapat memberikan nafkah dan tanggung jawab lainnya kepada keluarganya.

d. Memberikan nafkah sesuai dengan kesanggupan

Dalam kehidupan berumah tangga, Islam tidak membebankan kaum wanita supaya mencari nafkah, akan tetapi kewajiban ini harus dilaksanakan oleh kaum laki-laki untuk menyediakan sesuai kesanggupannya. Pada hakikatnya, kehidupan rumah tangga adalah sebuah kerajaan iman. Dalam artian, suami adalah rajanya, istri adalah ratunya dan anak-anak adalah raknyatnya. Suami adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan semua urusannya, karena dialah yang menerima beban tanggung jawab serta amanat.9

C. Kewajiban Suami

Suami adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya terletak responsibilitas yang besar, kewajiban yang bermacam-macam terhadap keluarganya, dirinya dan agamanya yang harus ia letakkan secara seimbang, sehingga satu kewajiban tidak mengurangi kewajiban yang lain.Sesungguhnya Allah swt. Telah berkehendak memberikan amanah kepada perempuan untuk hamil, melahirkan dan menyusui tugas yang amat besar. Karenanya sangat adil, jika kemudian Allah membebankan tugas kepada laki-laki untuk mencari nafkah, untuk memenuhi kebutuhan utama keluarganya dan memberikan perlindungan kepada perempuan sehingga dapat berkonsentrasi menjalankan tugas mulianya.

9

Majid Sulaiman, Hanya untuk Suami., h. 9.


(39)

1. Memberi nafkah lahir dan batin/pergaulan suami istri

Ajaran Islam menetapkan bahwa suami bertanggung jawab untuk menafkahi istrinya, baik nafkah lahir maupun nafkah batin.

a. Nafkah lahir

Rasulullah saw bersabda:

"Telah menceritakan kepada kami Adam bin Abu Iyas Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Adi bin Tsabit ia berkata; Aku mendengar Abdullah bin Yazid Al Anshari dari Abu Mas'ud Al Anshari maka aku berkata; Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah."

Seorang ibu mengandung demi seorang ayah (suami) dan menyusui juga demi sang suami. Oleh karena itu wajib bagi suami member nafkah secukupnya kepada istriya berupa sandang dan papan, agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dalam menjaga dan memelihara bayinya. Walaupun memberi nafkah itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang merupakan kepala rumah tangga, tetapi sesuai dengan dalil yang di atas, memberi nafkah itu tidak boleh berlebih-lebihan, dalam artian melewati batas kemampuan suami itu,yang nantinya akan membuat suami itu sengsara. Dan tidak boleh juga kurang, yang nantinya akan berakibat memberatkan sang istri.

Sesungguhnya Islam melarang seorang suami .menikmati. hasil usaha istrinya. Akan tetapi, aturan ini tidaklah kemudian menjadikan seorang istri tidak


(40)

29

bekerja mencari nafkah, sekiranya memang nafkah yang diberikan oleh suaminya tersebut tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Dan pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri itu terwujud karena dua hal10: Pertama, ia .wajib. mencari nafkah bersama sama suaminya demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumahtangga mereka. Jadi, prinsip yang harus dipegang di sini adalah bahwawalaupun nafkah itu diberikan oleh seorang suami kepada istrinya sebagai hak bagi istrinya, tetapi kegunaan nafkah itu tidak semata-mata untuk kebutuhan istrinya saja (misal, untuk membeli perhiasan atau pakaian), melainkan juga untuk kegunaan suaminya (misal, makan dan minum). Dengan demikian, harta yang diberikan oleh seorang suami pada intinya merupakan harta yang digunakan untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu, pemenuhan akan kebutuhan bersama ini tidak mencukupi, maka seorang istri tidak boleh harus memaksakan diri untuk tidak mau tahu terhadap kekurangan tersebut dengan hanya mengharapkan pemberian nafkah suaminya saja. Dan sang suami pun harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan istri agar dalam memenuhi kebutuhan itu cukup untuk istri, karena kalau tidak itu akan memberatkan istri. Kedua,

pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri hanya bersifat .membantu. suaminya, dan bukan merupakan kewajiban. Bantuan dalam pencarian nafkah yang dilakukan oleh seorang istri kepada suaminya di sini .tidak penting. untuk dilakukan (yakni tidak sebagaimana dalam kasus yang pertama), karena nafkah yang diberikan oleh suaminya telah mencukupi kebutuhan istri dan kebutuhan rumah tangga mereka.

10

Muhammad Muhyidin, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik Istri & Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I. h. 260-261.


(41)

b. Nafkah batin / Pergaulan Suami Istri

Tidak dapat dipungkiri bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki nafsu syahwat, dengan adanya nafsu syahwat itu maka setiap orang ingin memiliki keturunan, yang akhirnya disyariatkanlah perkawinan.Ada ulama berpendapat bahwa hukum memberikan nafkah batin (hubungan suami istri) bagi seorang suami apabila tidak ada halangan adalah wajib. Ada juga yang mengatakan bahwa melakukan hubungan suami istri itu wajib dilakukan setiap empat hari sekali, tetapi ada juga yang berpendapat enam hari sekali.11 Sebenarnya berbagai macam pendapat ulama di atas itu sejalan dengan anjuran Rasulullah saw. yang melarang setiap suami meninggalkan istrinya dalam waktu yang terlalu lama, walaupun untuk tujuan berzikir, beribadah dan jihad. Karena perbuatan yang demikian itu pada hakikatnya akan menyiksa perasaan istri.12 Selain hanya untuk memenuhi kebutuhan nafsu syahwat, memiliki keturunan merupakan salah satu tujuan dari ikatan perkawinan. Oleh karena itu, salah satu dari suami atau istri tidak boleh menghalangi yang lainnya untuk memenuhi hak berhubungan suami istri. Hakberhubungan suami istri ini ditetapkan oleh syara.

Hikmah menggauli wanita adalah untuk menjaga kelestarian jenis manusia melalui kelahiran, bukan sekedar untuk memperoleh kelezatan semata-mata. Karena itulah dilarang untuk menggauli wanita yang sedang haid dan pada tempat yang lain, sebab keadaan keduanya itu tidak akan pernah menghasilkan keturunan.13 Penyebutan istri sebagai .ladang. secara tidak langsung juga mengatakan bahwa suami itu adalah .petani. untuk itulah petani bebas

11

Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian., h. 79.

12

Kasmuri Selamat. Suami Idaman Istri Impian., h. 80.

13


(42)

31

mendatangi ladangnya kapan pun dan darimana pun, yang penting tujuan dari petani tercapai. Dan petani harus bias menggarap ladangnya dan menjaganya dari segala hama, serta ciptakanlah suasana kerohanian yang agar benih yang diharapkan berbuah itu lahir, tumbuh dan berkembang, disertai dengan nilai-nilai suci.14 Untuk menciptakan itu, maka kedepankanlah hubungan seks dengan tujuan kemasalahatan untuk dunia dan akhirat, bukan hanya untuk memuaskan nafsu yang tidak pernah kenyang, serta bertakwalah kepada Allah dalam hubungan suami-istri, bahkan dalam segala hal. Dengan melihat kedua ayat di atas, maka seks merupakan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Karena itu suami dan istri salingmembutuhkan, dan memberikan yang terbaik, sebagaimana petani membutuhkan ladang dan ladang membutuhkan petani. Ketika nafkah bathin ini tidak dilaksanakan oleh seorang suami dan jiwa terlalu lama menantikan belaian cinta dari suami, air mata bias mengalir karena tidak kuat menahan rasa sepi yang mencekam. Sementara tidak ada kekasih yang menguak hasratnya. Bahkan pada tingkat tertentu bisa menyebabkan munculnya ketegangan rumah tangga. Oleh karena itu, nafkah batin harus diberikan oleh suamidengan baik.15

Adapun tentang berapa lama boleh suami meninggalkan istri, Saib bin Jubair berkata16:

"Pada suatu malam, khalifah Umar bin Khattab berjalan-jalan keliling kota Madinah dan hal yang demikian itu sering ia lakukan. Secara kebetulan di dekat rumah salah seorang wanita yang pintunya terkunci, dari luar ia mendengar wanita tersebut mendendangkan syairnya, yang isinya tentang keluhan kesedihan karena sudah terlalu lama ditinggalkan oleh suaminya. Kemudian Umar pun bertanya tentang kemana suaminya. Perempuan itu menjawab bahwa suaminya sedang berjihad fi sabilillah. Besoknya Umar

14

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah., Vol 1, h. 481.

15

Kasmuri Selamat, Suami Idaman Istri Impian., h. 81-82.

16


(43)

mengirim surat kepada suaminya dan menyuruhnya pulang. Kemudian kepada anaknya Hafsah, Umar bin Khattab bertanya: Wahai anakku, berapa lamakah kaum wanita boleh bersabar apabila ditinggal oleh suaminya? Hafsah Menjawab: Subhanullah, orang seperti ayah bertanya kepadaku tentang perkara ini? Umar menjawab: Kalau bukan karena saya ingin memperhatikan permasalahan kaum muslimin, tentu saya tidak akan bertanya tentang masalah ini kepadamu. Hafsah menjawab: Lima bulan atau enam bulan. Mendengar jawaban dari anaknya itu, maka mulai saat itu khalifah Umar bin Khattab menetapkan untuk mujahidin berperang waktunya paling lama enam bulan, waktu berangkat sebulan, tinggal di medan perang selama empat bulan dan kembalipulang selama sebulan"

2. Mempergauli istri dengan baik

Islam memandang rumah tangga dengan mengidentifikasinya sebagai tempat ketenangan, keamanan dan kesejahteraan. Islam juga memandang hubungan dan jalinan suami-istri dengan menyifatinya sebagai hubungan cinta, kasih dan sayang, dan menegakkan unsur ini di atas pilihan dan kemauan mutlak agar semuanya dapat berjalan dengan sambut menyambut, sayang menyayangi dan cinta mencintai. Kewajiban yang harus selalu diperhatikan oleh suami sebagai kepalarumah tangga adalah menjaga kemuliaan istrinya dari hal-hal yang menyebabkan kehormatannya dihina atau hal-hal yang merendahkan martabatnya sebagai manusia. Sang suami harus menjauhi hal-hal yang bisa melukai perasaannya dan berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengingkari janji yang telah dibuat bersama.17

Suami harus memperbaiki pergaulannya dengan istri, untuk itu harus menggauli mereka dengan cara yang mereka senangi. Jangan memperketat nafkah mereka, jangan menyakiti mereka melalui perkataan maupun perbuatan. Atau menyambut mereka dengan wajah yang muram dan menyambut mereka

17


(44)

33

dengan mengerutkan dahi.18 Dan apabila suami tidak menyenangi istrinya karena keaiban akhlak atau fisik mereka yang tidak menyenangkan, bersabarlah, karena Allah menjadikan kebaikan itu menyeluruh, menyangkut segala sesuatu, termasuk pada mereka yang tidak disukai itu.19

Orang-orang saleh pernah berkata, Seorang istri itu laksana botol, maka penuhilah botol itu dengan minuman yang engkau sukai.. Orang saleh yang lain pernah berkata, .Dalam menghadapi seorang wanita, kita memerlukan sedikit humor, tutur kata yang lembut, melipur lara, dan perhatian yang cukup.. Juga diingat, tutur kata yang baik termasuksedekah.

Islam melarang suami melukai perasaan istri dengan perkataan. Karena hal itu yang akan membuka terjadinya pemukulan dan kekerasan lain oleh suami kepada istri, akibatnya istri akan tersakiti secara fisik juga mentalnya, walaupun dalam batas-batas yang dibenarkan oleh syariat karena istri tidak taat kepada suaminya boleh memukulnya. Karena memukul merupakan perubahan hukum dari kesulitan kepada kemudahan karena suatu alas an disebabkan latar belakang hukum asli. Sebab larangan itu merupakan rasa kasihan dan sayang kepada mereka. Menegakkan keadaan yang membolehkan karena suatu alasan, yaitu demi kelanggengan suami istridan terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah

dan rahmah serta menunaikan hak-haknya ketika hak-hak mereka ditinggalkan. Jadi, seorang kepala rumah tangga mempunyai kewajiban; selain harus memberikan nafkah kepada istrinya, baik lahir maupun batin, juga harusmenjaga kehormatan dan perasaan istrinya itu.

18

Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi., Jil 4, h. 384.

19


(45)

34

A.Kehidupan Keluarga dalam Islam 1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan sebuah pondasi dan institusi yang paling dicintai dalam Islam. Masyarakat terbentuk dari unit-unit yang lebih kecil dan keluarga merupakan unit yang paling kuno dan alami serta titik diawalinya kehidupan manusia. Keluarga adalah pusat perkumpulan dan poros untuk melestarikan tradisi-tradisi serta tempat untuk menyemai kasih sayang dan emosional. Unit ini ibarat landasan sebuah komunitas dan ketahanannya akan mendorong ketangguhan sebuah masyarakat.1

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai institusi terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pembangunan sebuah bangsa. Hal ini terkait erat dengan fungsi keluarga sebagai wahana pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.2

Keluarga memiliki peran fundamental dalam menjaga bangsa-bangsa dari dekadensi dan kehancuran. Karena itu, undang-undang juga harus disusun untuk mempermudah terbentuknya keluarga, memelihara kesuciannya, dan memperkuat hubungan kekeluargaan berdasarkan hak-hak dan etika Islam. Dari segi psikologi, keluarga juga punya peranan penting dalam meredam emosi, mencegah depresi, dan memberi dampak-dampak psikis lain bagi seseorang. Anak-anak yang

1

Abdul Hakam Ash-Sha’idi, Menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,2005),h. 37.

2


(46)

35

kehilangan orang tuanya akan larut dalam kesedihan, diliputi rasa takut, bersikap emosi, dan kehilangan rasa tenang. Dari sini terlihat kontribusi positif keluarga dalam menjaga kesehatan mental dan memberi ketahanan terhadap tekanan-tekanan jiwa dan depresi.3

Sedangkan menurut kajian hukum, keluarga dalam literature Islam dikenal dengan istilah al-ahwal as-syakhsyiyyah: ahwal (plural) dari kata tunggal al-hâl, artinya hal, urusan, atau keadaan. Sedangkan as-Syakhsyiyyah berasal dari kata

as-syakhsyu jamaknya asykhasy yang berarti orang atau manusia (al-Insân). As-syakhsyiyyah, berarti kepribadian atau identitas diri-pribadi (jati diri). Disamping istilah tersebut, juga dikenal dengan Huququl usrah/huququl „a‟ilâh (hak-hak keluarga), Ahkamul usrah (hukum-hukum keluarga), dan Qanunul Usrah

(undang-undang keluarga). Hukum keluarga Islam dalam literature bahasa Inggris dikenal dengan: Islamic Family law dan Muslim family law.4

2. Tujuan Berkeluarga

Kata pernikahan, berasal dari kata „nikah„, menurut kamus bahasa Indonesia

berarti „perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi.5

Al-Qur’an menjelaskan kata pernikahan dalam dua bentuk kata yang berbeda, namun memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu, „nikah’ dan

3

Abu Zahwa, Buku Pintar Keluarga Sakinah, (Jakarta: kultumedia, 2003), h.75.

4

Mahmud Al-Shabbagh, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, h. 114.

5

Sri Mulyati, Relasi Suami Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h. 1.


(47)

zawwaja’ yang keduanya memiliki arti „ keberpasangan.6 Kata nikah diulang-ulang Allah dalam al-Qur’an sebanyak 23 kali sementara kata zawwaja sebanyak 80 kali.

Secara eksplisit al-Qurân dan al-hâdits menjelaskan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah karena7 :

a. Cinta, „fankihû mâ tâba lakum’, Sebagai ungkapan perasan terdalam dari hati membuat manusia berkeinginan untuk selalu dekat kepada orang yang dicintainya. Kerinduan akan kekasih yang dilamunkan setiap saat, terpenuhi dengan adanya ikatan perkawinan.

b. Kebutuhan akan keberpasangan sebagai sifat naluriah manusia atau saling

membutuhkan yang ditamsilkan Allah sebagai pakaian „hunna libâsul lakum,

waantum libâsul lahunna. Maksudnya, sebagai kodrat manusia, kita tidak luput dari kelemahan dan kekurangan, sehingga masing-masing pasangan dapat menutupi kelemahan dan kekurangan pasangannya, sebagaimana fungsi pakaian untuk menutup aurat pemakainya, juga sebagai tahsin atau memperindah pemakainya. Karena itu dalam kehidupan berkeluarga, masing-masing suami-istri harus bersungguh-sungguh dan berjuang untuk mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang menggangu dan mengeruhkannya, saling menutupi kelemahan keduanya dan saling mendukung untuk kemajuan keduanya sesuai tujuan Islam.

6

Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Panduan Pernikahan Islami, (Jawa Tengah: 2010), h. 5.

7Adil Abdul Mun’im Abu Abbas,

Ketika Menikah Jadi Pilihan, (jakarta: almahira, 2009), h.


(48)

37

c. Untuk memperoleh keturunan dan pemenuhan hasrat libido secara legal atau syah. Allah menganugerahkan kepada manusia libido ( dorongan seksual). Libido dapat menimbulkan ketegangan dan kegelisahan orang. Ketegangan libido dapat diredakan dengan masturbasi, prostitusi dan free sex, namun ketiga hal tersebut bukan merupakan penyaluran yang yang di ridhai Allah Swt, bahkan haram hukumnya. Free sex dan prostitusi mengandung resiko sangat tinggi, yang berakibat kepada timbulnya penyakit HIV/AIDS. Hanya dengan perkawinan yang syah atau legal penyaluran seksual manusia terpenuhi.

Pernikahan umumnya menimbulkan keinginan untuk memiliki keturunan, dan terjaminnya kelanggengan keturunan umat manusia yang diakui secara hukum, sehingga dengan kumunitas yang banyak, bumi Allah yang luas dan subur ini dapat dikelola atau dimanage secara benar sesuai dengan hukum-hukum Allah, „Hua ansyâkum min al ardi wasta‟marakum fîhâ’. Tidak seperti pasangan yang hidup bersamen leven/kumpul kebo yang pada umumnya tidak mau terbebani kelahiran anak yang berakibat kepada pemusnahan komunitas dan menimbulkan kerugian pada pihak perempuan, yang bisa jadi pelecehan, karena dianggap sebagai alat pemuas sex belaka. d. Untuk memperoleh ketenangan, ketenteraman, dan kasih sayang. Kenyataan

empirik membuktikan orang yang melajang, hidupnya tidak begitu tenang, selalu gelisah. Merasa serba salah. Ingin mencurahkan segala isi hati dan uneg-uneg pikirannya, tapi tidak tahu kepada siapa akan dicurahkan. Dan ketika kegelisahan itu ditumpahkan kepada orang tua, ayah atau ibu, tetapi hal


(49)

itu juga terasa kurang dan masih ada yang mengganjal. Ini disebabkan semua persoalan yang membuat kegelisahan itu tidak seluruhnya tercurahkan. Ada hal-hal yang terkadang kita tabu atau tidak pantas untuk diungkapkan kepada orang tua atau kepada kawan akrab sekalipun. Karena itu ikatan perkawinan membuat kegelisahan dan ketidak nyamanan hati hanya dapat ditumpahkan seluruhnya kepada orang yang kita cintai atau pasangan hidup. Dengan pasangan yang menjadi istri atau suami kita bersedia membuka rahasia yang paling dalam, yang pada gilirannya melahirkan ketentraman dan kasih sayang (sakinah, mawaddah dan rahmah).

e. Karena mengikuti amanah Allah dan sunah Nabi-Nya. Sebagaimana sabda

Rasulullah SAW “Akhoztumuhunna biamânatillah atau Kalian menerima istri berdasar amanah Allah, dan Annikahû sunnatî faman lam ya‟mal bisunnatî falaisâ minnî atau Nikah itu sunahku, barangsiapa yang tidak menikah , maka ia bukan dari golonganku. Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa apa yang diamanahkan itu akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya diharapkan aman ditangan sipenerima amanah. Secara empiris juga dibuktikan bahwa, pasangan suami atau istri tidak akan menjalin ikatan perkawinan tanpa merasa aman dan percaya kepada pasangannya. Artinya, pembelaan suami atas dirinya lebih besar dari pembelaan saudara-saudaranya bahkan orang tuanya. Sementara itu, pernikahan merupakan sunah Nabi Saw, maka sebagai pengikut atau


(50)

39

felowship yang baik dan ta‟at, apa yang diperintahkan Nabi Saw sebagai suatu ajaran harus diikuti dan dilaksanakan.

Dari kelima dasar tujuan berkeluarga di atas, umumnya yang paling dominan dari setiap keberpasangan menikah menginginkan lahirnya anak yang unggul untuk melanjutkan kehidupan dan peradaban manusia.8 Cita-cita luhur itu akan terwujud manakala setiap anggota rumah tangga tekun dan bergairah melaksanakan ajaran Islam. Dan dari rumah tangga yang demikian itulah insya Allah akan lahir keluarga muslim yang baik zurriyatan tâiyyibah atau unggul, sebagaimana do’a Nabi Zakaria As, pada Q.S. Al Imrân: 38,

yaitu komunitas yang tunduk patuh kepada ajaran Islam, “ Ya Tuhan ku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi Engkau keturunan atau zurriyat yang

baik”.9

Secara tegas dapat digaris bawahi bahwa tujuan keluarga ada yang bersifat

intern yaitu kebahagian dan kesejahteraan hidup keluarga itu sendiri, ada tujuan

ekstern atau tujuan yang lebih jauh yaitu untuk mewujudkan generasi atau masyarakat muslim yang maju dalam berbagai seginya atas dasar tuntunan agama.

3. Pilar-Pilar Keluarga Sakinah

Kata sakinah diambil dari akar kata yang terdiri atas huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan, atau anonim dari guncang dan gerak. Berbagai bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk

8

Syaikh Hafiz Ali, Kado Pernikahan..., h. 120.

9


(51)

meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak (beraktivitas di luar).10 Sedangkan menurut Quraish Shihab, sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak.11

Penggunaan kata sakinah dalam pembahasan keluarga pada dasarnya diambil dari Al-Quran surat al-Rûm ayat 21 ”litaskunû ilaihâ” yang artinya bahwa

Allah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tentram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga.12

Kata sakinah yang digunakan dalam mensifati kata ”keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarganya. Ia merupakan tempat kembali kemana pun mereka pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat. Dalam istilah sosiologi ini disebut dengan unit terkecil dari suatu masyarakat.13

10

Said Husin al-Munawwarl, Agenda Generasi Intelektual: Ikhtiar Membangun Masyarakat

Madani, (Jakarta: Pena Madani, 2003), h. 62.

11

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2000), h. 192.

12

Said Husin al-Munawwar, Agenda Keluarga Sakinah, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008, h.62.

13

Miftah Farid, Merajut Benang Kaluarga Sakinah, dalam Jurnal Al-InsanNo. 3 vol. 2, 20, (Jakarta: Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, 2006), h.75.


(52)

41

Keluarga sakinah tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh yang memerlukan perjuangan dan butuh waktu dan pengorbanan. Keluarga sakinah merupakan subsistem dari sistem sosial (social system) menurut Al-Quran, dan bukan “bangunan” yang berdiri di atas lahan yang kosong. Pembangunan keluarga sakinah juga tidak semudah membalik telapak tangan, namun sebuah perjuangan yang memerlukan kobaran dan kesadaran yang cukup tinggi. Namun demikian semua langkah untuk membangunnya merupakan sesuatu yang dapat diusahakan. Meskipun kondisi suatu keluarga cukup seragam, akan tetapi ada langkah-langkah standar yang dapat ditempuh untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga yang indah, keluarga sakinah.14

Nick Stinnet dan John Defrain (1987) dalam studi yang berjudul “The National Study on Family Strength” mengemukakan enam langkah membangun

sebuah keluarga sakinah yaitu:15

a. Menciptakan kehidupam beragama dalam keluarga. Hal ini diperlukan karena di dalam agama terdapat norma-norma dan nilai moral atau etika kehidupan. Penelitan yang dilakukan oleh kedua profesor di atas menyimpulkan bahwa keluarga yang di dalamnya tidak ditopang dengan nilai-nilai religius, atau komitmen agamanya lemah, atau bahkan tidak mempunyai komitmen agama sama sekali, mempunyai resiko empat kali lipat untuk tidak menjadi keluarga bahagaia atau sakinah. Bahkan, berakhir dengan broken home, perceraian, perpisahan tidak ada kesetiaan, kecanduan alkohol dan lain sebagainya.

14

Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga Yang Sakinah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya), h.26.

15


(53)

b. Meluangkan waktu yang cukup untuk bersama keluarga. Kebersamaan ini bisa diisi dengan rekreasi. Suasana kebersamaan diciptakan untuk

maintenance (pemeliharaan) keluarga. Ada kalanya suami meluangkan waktu hanya untuk sang istri tanpa kehadiran anak-anak.

c. Interaksi sesama anggota keluarga harus menciptakan hubungan yang baik antaranggota keluarga, harus ada komunikasi yang baik, demokratis dan timbal balik.

d. Menciptakan hubungan yang baik sesama anggota keluarga dengan saling menghargai. Seorang anak bisa menghargai sikap ayahnya. Begitu juga seorang ayah menghargai prestasi atau sikap anak-anaknya; seorang istri menghargai sikap suami dan sebaliknya, suami menghargai istri.

e. Persatuan dalam keluarga yang memperkuat bangunan rumah tangga. Hal ini diempuh dengan sesegera mungkin menyelesaikan masalah sekecil apapun yang mulai timbul dalam kehidupan keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil jangan sampai longgar, karena kelonggaran hubungan akan mengakibatkan kerapuhan hubungan.

f. Jika terjadi krisis atau benturan dalam keluarga, maka prioritas utama adalah keutuhan rumah tangga. Rumah tangga harus dipertahankan sekuat mungkin. Hal ini dilakukan dengan menghadapi benturan yang ada dengan kepala dingin dan tidak emosional agar dapat mencari jalan keluar yang dapat


(54)

43

diterima semua pihak. Jangan terlalu gampang mencari jalan pintas dengan memutuskan untuk bercerai.16

Langkah-langkah yang dikemukakan oleh Nick Stinnet dan John Defrain di atas lebih menitikberatkan pada sudut pandang psikologis dan sosiologis. Ada pendapat lain yang menitikberatkan pada aspek agama (Islam), yaitu pendapat Said Agil Husin al-Munawwar, yang menyatakan bahwa simpul-simpul yang dapat mengantar atau menjadi prasyarat tegaknya keluarga sakinah adalah:

Dalam keluarga ada harus mahabbah17, mawaddah18 dan rahmah19; a. Hubungan suami isteri harus didasari oleh saling membutuhkan, seperti

pakaian dan pemakainya (hunna libâsun lakum wa antum libâsun lahunna);

b. Dalam pergaulan suami istri, mereka harus memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut, tidak asal benar dan hak (wa‟asyirûhinna bil

ma‟rûf), besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nalai ma‟rûf;

c. Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada lima, yaitu: pertama, memliliki kecenderungan kepada agama; kedua, mudah menghormati yang

16

Dadang Hawari, Al-Quran: Ilmu Kesehatan Jiwa dan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa:1997) h. 237-240.

17

Mawaddah adalah jenis yang lebih melihat kualitas pribadi pasangan. (Said Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …), h.63.

18

Mawaddah adalah jenis yang lebih melihat kualitas pribadi pasangan. (Said Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …), h.63.

19

Rahmah adalah jenis cinta yang lembut, siap berkorban dan siap memberi perlindungan kepada yang dicintai. (Said Agil Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …), h.63, Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008 231 Imam Mustofa: Keluarga Sakinah.


(55)

tua dan menyayangi yang muda; ketiga, sederhana dalam belanja; keempat, santun dalam bergaul; dan kelima, selalu introspeksi;

d. Menurut hadis Nabi yang lain disebutkan bahwa ada empat hal yang menjadi pilar keluarga sakinah, yaitu: peratama, suami istri yang setia (salih dan salihah) kepada pasangannya; kedua, anak-anak yang berbakti kepada orang tuanya; ketiga, lingkungan sosial yang sehat dan harmonis; keempat, murah dan mudah rezekinya.20

Pendapat Said Agil Husin di atas berpijak pada ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari al-Quran dan hadis Nabi. Ada pendapat lain yang hampir serupa, namun hanya berpijak pada ayat-ayat al-Quran sebagai dasar pembentukan keluarga sakinah, yaitu pendapat Mantep Miharso yang menyatakan bahwa untuk merumuskan hakekat keluarga di dalam Al-Quran- yang sebenarnya mengacu pada pembentukan keluarga sakinah dapat dilihat dari unsurnya yang terdapat dalam pemaknaan term-term di dalam Al-Quran, yaitu: Pertama, kesatuan agama atau aqidah, terambil

dari makna yang terkandung dalam kata “al-‟Al”; Kedua, kemampuan atau

kesanggupan mewujudkan ketenteraman, baik secara ekonomis, biologis maupun psikologis, terambil dari makna yang terkandung dalam kata al-Ahl. Kehidupan keluarga sakinah tidak akan tercipta oleh orang yang tidak memiliki kemampuan itu. Ketiga, pergaulan yang baik (al-mu‟asyârah bi al-ma‟rûf) atas dasar cinta dan kasih sayang diantara anggota keluarga, terambil dari makna kata yang terkandung dalam kata al-„Asyîrah.

20

Said Husin al-Munawwar. et.al. Agenda …, h. 63.232 Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun 2008 Imam Mustofa: Keluarga Sakinah dan ...


(1)

77

4. Tidak membuka rahasia isterinya dan tidak membeberkan aibnya.

Seorang suami hendaknya menjadi orang yang paling dipercaya oleh isteri, begitu pula sebaliknya. Tidak membuka rahasia dan tidak membeberkan aib isteri, sebab suami yang diberi kepercayaan terhadapnya, dituntut menjaga dan melindunginya.

5. Berlaku adil terhadap isteri-isterinya, jika memiliki isteri lebih dari satu orang. Seorang suami harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya supaya tidak timbul perpecahan di antara mereka. Jika seorang suami kebetulan memiliki isteri lebih dari satu orang, maka ia memiliki tanggung jawab yang sangat besar yang harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt. Suami berkewajiban untuk berbuat adil terhadap mereka dalam hal makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan tidur. Ia tidak boleh bersikap curang atau dzolim sedikit pun. Karena hal tersebut bisa menimbulkan kemurkaan Allah Swt.


(2)

78 A. Kesimpulan

Dari uraian skripsi ini dapat ditarik kesimpulan,bahwa peran suami adalah: a. Memberikan nafkah lahir & bathin.

b. Bertanggung jawab terhadap keluarga.

c. Memberikan tauladan yang baik terhadap keluarga.

d. Menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

e. Lebih mengutamakan kewajibannya terlebih dahulu dibanding dengan haknya.

Pada dasarnya, seorang suami yang shaleh pasti tahu peranannya, yang menjadi kewajibannya dan sangat menentukan akan terwujudnya rumah tangga yang sakinah, sehingga ia bertanggung jawab terhadap apa yang menjadi peranannya, maka suami itu akan memimpin, mendidik dan memberikan teladan bagi anak-anaknya dalam segala hal. Walaupun peranan suami sangat menentukan, bukan berarti peranan istri tidak menentukan, karena antara suami dan istri akan saling melengkapi, jika demikian maka rumah tangga yang sakinah akan terwujud.

B. Saran-saran

1. Sebelum melangsungkan pernikahan sebaiknya teliti dalam memilih pasangan, baik itu dari pihak laki-laki atau perempuan. Yang paling utama


(3)

79

haruslah yang seagama, karena apabila rumah tangga yang dibangun berdasarkan beda agama maka akan menimbulkan berbagai masalah pemberian pendidikan agama pada anak dan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah sulit, bahkan tidak mungkin untuk dicapai.

2. Hak memimpin keluarga yang dimiliki oleh seorang suami, tidak boleh disalahgunakan, sehingga suami semena-mena terhadap anggota keluarga, apalagi mentelantarkannya. Ingat semua itu akan dipertanggung jawabkan kepada Allah swt.

3. Dalam menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, suami dan istri harus bisa bekerjasama dengan baik, saling melengkapi dan menghargai. Karena tanggung jawab suami dan istri sama besar dan beratnya.

4. Anak adalah amanah Allah yang harus dijaga dan dipelihara bersama. Amanah tersebut pun akan dimintakan pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Untuk itu pendidikan harus menjadi suatu kewajiban yang tidak bias ditawar lagi, apalagi pendidikan agama. Seperti memilih sekolah yang Islami, memperhatikan pergaulan anak dan menciptakan suasana keberagamaan di dalam rumah.

Dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka untuk penelitian selanjutnya penulis mengharapkan agar bisa membahas lebih lengkap mengenai persoalan dalam rumah tangga seperti “peranan istri dalam rumah tangga”, karena disini penulis lebih banyak membahas tentang peranan suami dibandingkan peranan isteri.


(4)

80

(Pasuruan: Hilal Pustaka, 2007). Cet. Ke-1.

Abdurrahman, Jibril, Mohammad, Abu, Karakteristik Lelaki Shalih, (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), Cet. Ke-3.

Adhim, Fauzil, Muhammad, Mencapai Pernikahan yang Barakah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), Cet. Ke-XXI.

Ahmad bin Ali bin Hajr Asqalani, Fathu Al-Bari: Sarah Shahih Bukhari, (Beirut: Daar Kutab Alamiya).

Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Daar Al-Fikr).

Amin, Rusli, M, Rumahku Surgaku: Sukses Membangun Keluarga Islami,(Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003), Cet. Ke-11.

Anwar, Rosihan, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), Cet. Ke-1.

Bukhari. Shahih Bukhari. Terj. Sunarto, dkk. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993). Daudin, Sulaiman, Majid, Hanya untuk Suami, (Jakarta: Gema Insani, 1996), Cet.

Ke-1.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), Cet. Ke-1.

Gisymar, Sholeh, Kado Cinta untuk Istri, (Yogyakarta: Arina, 2005), Cet. Ke-1. Hasyimi, Ali, Muhammad, Menjadi Muslim Ideal, Terj. Ahmad Baidowi,(Jakarta: PT Mitra Pustaka, 1999), Cet. Ke-1.

Kisyik, Hamid, Abdul, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, Terj. Ida Nursida, (Bandung: Al-Bayan, 1996), Cet. Ke-3.

Lembaga Darut-Tauhid, Kiprah Muslimah dalam Keluarga Islam, Terj. A. Chumaidi Umar, (Bandung: Mizan, 1990), Cet. Ke-1.

Maragi, Ahmad, Tafsir Al-Maragi, Terj. Hery Noer Aly, dkk, (Semarang: CV. Toha Putra, 1993), Cet. Ke-2.

Masri, Nasy.at, Nabi Suami Teladan, Terj. Salim Basyarahil. (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), Cet. Ke-8.


(5)

81

Muhyidin, Muhammad, Meraih Mahkota Pengantin: Kiat-kiat Praktis Mendidik Istri & Mengajar Suami, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2003), Cet. Ke-I. Mulyati, Sri, Relasi Suami dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW), UIN

Syarif Hidayatullah, 2004).

Muslim, Husain, Abi, Shahih Muslim. (Beirut: Daar ibn Hazm), Shahih Muslim. Terj. Adib Bisri Musthofa. (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1993).

Nasution, Taat, Amir, Rahasia Perkawinan dalam Islam: Tuntunan Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. Ke-3.

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al-Quran. Terj: As.ad Yasin, dkk, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2000), Cet. Ke-2.

Rofi.I, Ahmad., Syadali, Ahmad., Ulumul Quran II, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-1.

Sabri, Alisuf, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. Ke-1. Sayyid, Fathi, Majdi, Bingkai Cinta Sepasang Merpati, .Bahagia Menjadi Suami

Ideal dan Istri Ideal., Terj. Ibnu Ali, (Jakarta: Aillah, 2005), Cet. Ke-1. Selamat, Kasmuri, Suami Idaman Istri Impian, .Membina Keluarga Sakinah.,

(Jakarta: Kalam Mulia, 2007), Cet. Ke-6. Shihab, Quraish, M, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. Ke-X.

________________, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. Ke-11. Sofyan, Ahmadi, The Best Husband in Islam, (Jakarta: Lintas Pustaka, 2006). Cet.

Ke-I.

Suhail, Kusyairi, Ahmad, Menghadirkan Surga di Rumah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), Cet. Ke-1.

Suyuti, Abdurrahman, Jalaluddin, Jâmi’ al-Hadits, (Beirut: Daar Al-Fikr).

Syahatah, Husain, Husain Syahatah, Menjadi Kepala Rumah Tangga yang Sukses, Terj. Arif Chasanul Muna, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Ke-I.

______________, Tanggung Jawab Suami dalam Rumah Tangga: Antara kewajiban dan Realitas. (Jakarta: AMZAH, 2005), Cet. Ke-I.

Syuasyi., Ali, Hafizh, Kado Pernikahan, Terj. Abdul Roysad Shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), Cet. Ke-8.


(6)

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), Cet. Ke-2.

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), Cet. Ke-1.

www.qalam.or.id. Pengenalan Singkat Tentang Metode Tafsir Tematik Sebagai Salah Satu Metode Tafsir Terbaru. oleh Hamid. Selasa, 20 Nopember 2007.