masalah-masalah yang dihadapinya. Berbeda dengan bimbingan kelompok yang melibatkan banyak orang sehingga suasana kurang akrab dan klien tidak
leluasa dalam menyampaikan masalah yang sedang dihadapi. Bimbingan individu dalam hal ini pemberian bantuan dilaksanakan secara
face to face relationship hubungan empat mata antara pembimbing dengan yang dibimbing. Biasanya masalah-masalah yang dipecahkan melalui cara ini
adalah masalah yang bersifat pribadi. Dalam hal ini pembimbing bersikap penuh simpati dan empati.
Adapun sasaran bimbingan rohani Islam adalah merupakan salah satu kegiatan bimbingan yang bergerak dalam bidang kerohanian. Sasarannya
adalah berfokus pada kepribadian para polisi seperti apakah mereka tertarik terhadap kegiatan kerohanian yang dilaksanakan pihak lembaga kepolisian,
mengikuti setiap kegiatan yang ada dll. Sebab, pada hakikatnya polisi merupakan contoh atau role model bagi masyarakat. Maka perlu diadakan
bentuk bimbingan yang bisa menumbuhkan etos kerja untuk personil polisi. 5. Unsur-unsur Bimbingan Rohani Islam
Ada beberapa unsur-unsur pokok bimbingan menurut Prof. Dr. Prayitno dan Drs. Erman Amti sebagaimana yang dikutipkan antara lain :
a. Pelayanan bimbingan merupakan suatu proses. Ini berarti bahwa pelayanan bimbingan bukan sesuatu yang sekali jadi, melainkan melalui
lika-liku tertentu sesuai dengan dinamika yang terjadi dalam pelayanan ini. b.
Bimbingan merupakan proses pemberi bantuan. “Bantuan” disini bukan materil, tetapi bantuan yang bersifat menunjang bagi pengembangan
pribadi individu-individu yang dibimbing
c. Bantuan itu diberikan kepada individu, baik pendorong maupun kelompok. Contoh bantuan kelompok seperti ceramah
d. Pemecahan masalah dalam bimbingan dilakukan oleh konselor dan atas kekuatan klien orang yang dibimbing itu sendiri
e. Bimbingan dilaksanakan dengan menggunakan berbagai bahan, interaksi, nasihat, ataupun gagasan, serta alat-alat tertentu baik yang berasal dari
klien, pembimbing, maupun di lingkungan f. Bimbingan tidak hanya diberikan untuk kelompok usia tertentu tetapi
untuk semua usia. Terkait dengan ini Dra. Hallen A. seperti yang dikutip menambahkan tentang siapa klien bimbingan rohani, yakni “setiap
individu mulai dari lahirnya sehingga terinternalisasikan norma-norma yang terkandung dalam Al-
qur’an dan Hadits dalam setiap prilaku dan sikap hidupnya.”
13
g. Bimbingan diberikan oleh orang-orang ahli, yaitu orang-orang yang memiliki kepribadian yang terpilih dan telah memperoleh pendidikan serta
latihan yang memadai dalam bidang bimbingan. Berkenaan dengan ini kembali Hallen menegaskan bahwa, “kualifikasi bimbingan rohani tentu
saja tidak lepas dari tugasnya untuk menumbuhkan suburkan sikap hidup yang diridhoi Allah SWT.”
14
h. Pembimbing tidak selaknya memaksakan keinginannya pada klien. i. Bimbingan dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang berlaku
aturan, nilai, dan ketentuan yang bersumber dari agama, adat, hukum, ilmu dan kebiasaan yang berlakukan dan berlaku di masyarakat.
13
Hallen A. Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Quantum Teaching, 2005, hal. 21.
14
Ibid, hal. 21
B. Etos Kerja
1. Pengertian Etos Kerja Etos kerja berasal dari kata kerja Yunani, dapat mempunyai arti sebagai
sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai bekerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etos kerja adalah semangat kerja
yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Secara terminologis kata etos yang mengalami perubahan makna yang meluas.
Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu: a. Suatu aturan umum atau cara hidup
b. Suatu tantanan aturan perilaku c. Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku
15
Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang berkehendak atu berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka
mencapai cita-cita yang positif.
16
Etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang
melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya.
17
Dari keterangan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti cara pandang seorang individu atau kelompok manusia yang berupa
kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita, setiap personil polisi dalam
15
Musa Asy ’arie Islam. Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat, Yogyakarta:
Les’i, 1997, Cet. Ke-1, hal.3.
16
Ibid.
17
Ahmad Amin, Etika, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, hal. 20.
dirinya tidak luput dari semangat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, dan di terima masyakat dengan tidak di sebut sebagai penganguran.
Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan
makna dalam sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal high performance.
18
Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seorang polisi akan ada tatanan atau perilaku dalam diri seseorang untuk menjadi lebih baik dengan
semangat kerja yang tinggi. 1. Fungsi dan Tujuan Etos Kerja
Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah :
a. Pendorong timbulnya perbuatan. b. Penggairah dalam aktivitas.
c. Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan.
19
Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut Kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan
manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti
sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa
18
Tasmara, Etos Kerja, hal. 20.
19
A.Tabrani Rusyan, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: CV Remaja Rosdakarya, 1989, Cet. Ke-8, hal. 63.
kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.
Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidupnya, seperti halnya dengan sholat yang mana sebagai alat atau sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah yang pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan di akhirat nanti. Kebahagiaan hidup di akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk
lebih dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan ladang yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di
akhirat. Manusia sebelum mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk mencari kebahagiaan di
akhirat. Ahli-ahli Tasawuf mengatakan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan dimanapun manusia
menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan,
wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat
menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat. Seperti dalam surat Al-Qashash ayat 77:
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari