Model Integrasi Pemasok-Pembeli Untuk Produk Yang Mengalami Kerusakan Dengan Backorder

(1)

MODEL INTEGRASI PEMASOK-PEMBELI UNTUK PRODUK

YANG MENGALAMI KERUSAKAN

DENGAN BACKORDER

SKRIPSI

BOBBY HERMAN SURYA

060803022

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

MODEL INTEGRASI PEMASOK-PEMBELI UNTUK PRODUK YANG MENGALAMI KERUSAKAN DENGAN BACKORDER

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

BOBBY HERMAN SURYA 060803022

DEPARTEMEN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

PERSETUJUAN

Judul : MODEL INTEGRASI PEMASOK-PEMBELI

UNTUK PRODUK YANG MENGALAMI KERUSAKAN DENGAN BACKORDER

Kategori : SKRIPSI

Nama : BOBBY HERMAN SURYA

Nomor Induk Mahasiswa : 060803022

Program Studi : SARJANA (S1) MATEMATIKA Departemen : MATEMATIKA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juli 2012

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Drs. Suwarno Ariswoyo, M.Si Prof. Dr. Drs. Iryanto, M.Si NIP. 19500321 198003 1 001 NIP. 19460404 197107 1 001

Diketahui/ Disetujui oleh

Departemen Matematika FMIPA USU Ketua,

Prof. Dr. Tulus, M.Si


(4)

PERNYATAAN

MODEL INTEGRASI PEMASOK-PEMBELI UNTUK PRODUK YANG MENGALAMI KERUSAKAN DENGAN BACKORDER

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2012

BOBBY HERMAN SURYA 060803022


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan berkat, kasih dan perlindungan-Nya, yang memampukan penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Drs. Iryanto, M.Si dan Drs. Suwarno Ariswoyo, M.Si selaku Dosen pembimbing atas arahan, nasehat, motivasi, dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Drs. Agus Salim Harahap, M.Si dan Drs. James P. Marbun, M.Kom selaku Dosen pembanding yang banyak memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Tulus, M.Si dan Dra. Mardiningsih, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Matematika FMIPA USU. Bapak dan Ibu Dosen di Departemen Matematika FMIPA USU, dan Staf administrasi Departemen Matematika FMIPA USU. Terima kasih kepada Rio Sitompul sebagai sahabat terbaik yang selalu menemani penulis selama perkuliahan dan dorongan untuk tetap semangat mengerjakan skripsi ini, kepada Christian Sinaga dan Monika Nainggolan atas motivasi dan bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada teman-teman kuliah: Wesley Tambunan, Dedy Purba, Yudha Sihite, Franata Sitepu, Sastro Siallagan, Hotmauli Sinaga, Emma Tobing, Evi Sipayung, Gindo Sitindaon, Marvel Butar-Butar, Herlin Manulang, dan seluruh Mahasiswa matematika stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, buat persahabatan, kebersamaan, dukungan, dan motivasinya bagi penulis selama perkuliahan dan penulisan skripsi ini. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda J. Rajagukguk dan Ibunda E. br. Panjaitan atas doa, kasih sayang, kepercayaan, serta dukungan moril dan materil, yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi penulis untuk tetap semangat dalam perkuliahan dan penulisan skripsi ini. Terima kasih juga kepada abangku Indrangadi Rajagukguk atas nasehat dan motivasinya kepada penulis, juga kepada adikku Asya Rajagukguk atas doa dan dukungannya selama ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga Tuhan membalas segala kebaikan yang sudah diberikan, dan biarlah kasih dan kemurahan Tuhan yang senantiasa menyertai kita. AMIN.

Medan, Juli 2012

060803022 Bobby Herman Surya


(6)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas model integrasi antara pemasok dan pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan diijinkan kekurangan persediaan pada pembeli, dimana kekurangan persediaan diatasi dengan backorder. Pembeli memesan produk kepada pemasok, kemudian pemasok memproduksi dalam ukuran tertentu dan mengirimkannya dengan beberapa kali pengiriman dengan ukuran yang sama. Selama berada dalam persediaan pemasok dan dalam perjalanan menuju pembeli, produk tersebut mengalami kerusakan dengan laju kerusakan konstan. Pemodelan integrasi dilakukan untuk menentukan ukuran lot gabungan pemasok-pembeli dengan backorder, dengan tujuan meminimumkan total biaya gabungan tahunan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan laju kerusakan akan mengakibatkan menurunnya ukuran batch produksi dan meningkatnya jumlah kekurangan persediaan serta meningkatnya total biaya sistem antara pemasok dan pembeli.


(7)

AN INTEGRATED SUPPLIERS-BUYERS MODEL FOR A DETERIORATING ITEM WITH BACKORDER

ABSTRACT

This study discusses an integrated model between suppliers and buyers for a deteriorating item with permitted shortage in buyers, which shortage be solved by backorder. Buyers make an order to supplier, then it produced in certain size and sends them in multi deliveries with the same size. During it is in supplier’s inventory and on the way to the buyers, it have a deteriorating with constant deterioration rate. An integration model with backorder has been develop to find the lot sizing in suppliers-buyers, in order to minimizing the integrate annual total cost that can benefit both of them. This study shows that increasing deteriorate rate lead to declining in production batch and increasing the shortage inventory size and also increasing the integrate total cost in suppliers and buyers.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Gambar ix

Dafar Tabel x

Bab 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Batasan Masalah 3

1.4 Tinjauan Pustaka 4

1.5 Tujuan Penelitian 7

1.6 Kontribusi Penelitian 7

1.7 Metodologi Penelitian 8

Bab 2 Landasan Teori

2.1 Arti dan Peranan Pengendalian Persediaan 9 2.2 Fungsi dan Faktor yang Mempengaruhi Persediaan 11

2.2.1 Fungsi Persediaan 11

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persediaan 12

2.3 Jenis-Jenis Persediaan 13

2.4 Komponen Biaya Persediaan (Inventory Cost) 14 2.4.1 Biaya Pembelian (Purchasing Cost) 14 2.4.2 Biaya Pengadaan (Procurement Cost) 15 2.4.3 Biaya Penyimpanan (Holding Cost/ Carrying Cost) 15 2.4.4 Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost) 17 2.5 Hubungan antara Tingkat Persediaan dan Total Biaya 18

2.6 Model-Model Persediaan 19

2.6.1 Model Deterministik 20

2.6.2 Model Probabilistik 20

2.7 Hubungan Kerusakan Produk dengan Backorder 21

2.8 Hubungan antara Pembeli dan Pemasok 22

2.8.1 Tingkat Persediaan Pembeli 23

2.8.2Tingkat Persediaan Pemasok 25

2.8.3Biaya-Biaya Persediaan pada Pemasok dan Pembeli 26

Bab 3 Pembahasan

3.1 Total Biaya Persediaan Pembeli 28


(9)

3.1.2Biaya Penyimpanan 30

3.1.3Biaya Kekurangan Persediaan 30

3.2 Total Biaya Persediaan Pemasok 31

3.2.1Biaya Setup 32

3.2.2Biaya Penyimpanan 33

3.3 Model Total Biaya Integrasi 33

3.3.1Solusi Optimal 34

3.3.2Interval Optimal � 37

3.4 Langkah-Langkah Penyelesaian 38

3.5 Pembahasan Contoh Numerik 38

Bab 4 Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan 48

4.2 Saran 49


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Hubungan antara Tingkat Persediaan dan Total Biaya 18

Gambar 2.2 Tingkat Persediaan Pembeli 24


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini membahas model integrasi antara pemasok dan pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan diijinkan kekurangan persediaan pada pembeli, dimana kekurangan persediaan diatasi dengan backorder. Pembeli memesan produk kepada pemasok, kemudian pemasok memproduksi dalam ukuran tertentu dan mengirimkannya dengan beberapa kali pengiriman dengan ukuran yang sama. Selama berada dalam persediaan pemasok dan dalam perjalanan menuju pembeli, produk tersebut mengalami kerusakan dengan laju kerusakan konstan. Pemodelan integrasi dilakukan untuk menentukan ukuran lot gabungan pemasok-pembeli dengan backorder, dengan tujuan meminimumkan total biaya gabungan tahunan yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan laju kerusakan akan mengakibatkan menurunnya ukuran batch produksi dan meningkatnya jumlah kekurangan persediaan serta meningkatnya total biaya sistem antara pemasok dan pembeli.


(13)

AN INTEGRATED SUPPLIERS-BUYERS MODEL FOR A DETERIORATING ITEM WITH BACKORDER

ABSTRACT

This study discusses an integrated model between suppliers and buyers for a deteriorating item with permitted shortage in buyers, which shortage be solved by backorder. Buyers make an order to supplier, then it produced in certain size and sends them in multi deliveries with the same size. During it is in supplier’s inventory and on the way to the buyers, it have a deteriorating with constant deterioration rate. An integration model with backorder has been develop to find the lot sizing in suppliers-buyers, in order to minimizing the integrate annual total cost that can benefit both of them. This study shows that increasing deteriorate rate lead to declining in production batch and increasing the shortage inventory size and also increasing the integrate total cost in suppliers and buyers.


(14)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah persediaan merupakan permasalahan yang selalu dihadapi para pengambil keputusan dalam bidang persediaan. Persediaan dibutuhkan karena pada dasarnya pola permintaan tidak beraturan. Persediaan dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian bahwa pada saat dibutuhkan barang-barang tersebut tersedia.

Salah satu masalah dalam persediaan adalah kesulitan dalam menentukan besarnya jumlah persediaan yang harus disediakan dalam memenuhi setiap permintaan. Apabila jumlah persediaan terlalu sedikit, maka dapat mengakibatkan risiko terjadinya kekurangan persediaan (stockout) karena barang tidak dapat didatangkan secara mendadak sesuai permintaan, yang akan menyebabkan terhentinya proses produksi. Selain itu, hal ini dapat menyebabkan konsumen akan beralih ke tempat lain, sehingga dapat mengurangi perolehan laba. Sebaliknya, apabila jumlah persediaan terlalu besar, maka dapat mengakibatkan kerugian akibat dana menganggur yang besar (yang tertanam dalam persediaan), pertambahan biaya penyimpanan barang, biaya penyusutan, pajak, asuransi, dan kerusakan barang.

Pengelolaan persediaan secara tradisional hanya memandang dari satu aspek saja, yaitu pemasok atau pembeli. Hal ini tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak karena kebijakan optimal bagi pemasok belum tentu optimal bagi pembeli. Untuk itu dilakukan sistem pengelolaan persediaan yang melibatkan semua pihak agar diperoleh nilai optimal terhadap sistem secara keseluruhan. Sistem pengelolaan tersebut dikenal dengan Manajemen Rantai Pasok.

Manajemen Rantai Pasok merupakan pendekatan untuk pengelolaan persediaan dan distribusi secara terintegrasi antara pemasok, produsen, distributor, dan


(15)

pengecer untuk meminimasi ongkos sistem secara keseluruhan. Manajemen Rantai Pasok dapat dibedakan dalam tiga aspek yaitu: aspek pemasok dan pembeli, aspek produksi dan distribusi, dan aspek persediaan dan distribusi. Dalam pengembangan model ini, aspek yang akan dibahas adalah pemasok dan pembeli.

Dalam pengelolaan persediaan, jenis produk juga harus menjadi perhatian dalam menentukan kebijakan optimal. Hal ini disebabkan produk-produk tersebut dapat mengalami kerusakan. Produk yang dapat mengalami kerusakan antara lain susu, minuman segar, sayur-sayuran, daging, bahan makanan, produk pharmasi, dan lain-lain. Kerusakan merupakan hal yang penting karena dapat mengakibatkan kerugian, terutama ketika barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mengalami proses kerusakan karena disimpan terlalu lama dalam persediaan. Bentuk kerusakan yang terjadi bermacam-macam, seperti damage, spoilage, atau dryness. Dengan demikian kebijakan pengelolaan persediaan perlu mempertimbangkan faktor kerusakan, dimana umur hidup produk relatif lebih pendek dibanding siklus persediaan.

Pada model persediaan untuk produk yang mengalami kerusakan dengan shortage yang diijinkan, pembeli melakukan pemesanan kepada pemasok, kemudian pemasok memproduksi dengan ukuran tertentu dan mengirimkannya dengan beberapa kali pengiriman dengan ukuran yang sama kepada pembeli, dimana kekurangan permintaan akan dipenuhi dengan pengiriman selanjutnya. Ukuran ini biasanya akan menguntungkan salah satu pihak dalam hal ini pembeli, karena ukuran tersebut merupakan ukuran optimal bagi sistem persediaannya, sementara pihak pemasok harus menanggung resiko biaya yang tinggi. Di sini, pihak pemasok dan pembeli dapat bekerja sama dengan menentukan bersama besarnya jumlah pemesanan yang dapat membagi resiko biaya yang harus ditanggung agar menjadi lebih proporsional bagi kedua belah pihak.

Penelitian pengendalian persediaan dengan mempertimbangkan kerusakan telah banyak dilakukan. Chakrabarty dkk (1998) mengembangkan model persediaan untuk produk yang mengalami kerusakan dengan distribusi Weibull, mengijinkan shortage dan demand yang mengalami peningkatan. Su dkk (2001) mengembangkan


(16)

model persediaan produksi dengan mempertimbangkan laju produksi tergantung demand dan tingkat persediaan. Bhunia dan Maiti (1998) mengembangkan model dengan laju produksi tergantung tingkat persediaan. Wee dkk (1999) mengembangkan model persediaan produksi dengan mempertimbangkan nilai waktu dari uang. Wee dan Hui-Ming (1999) mengembangkan model dengan mempertimbangkan quantity discount, harga dan backorder parsial. Sarker dkk (2000) mengembangkan model kerusakan produk dengan mempertimbangkan faktor inflasi dan penundaan dalam pembayaran. Model-model yang dikembangkan tersebut hanya memperhatikan satu aspek saja, yaitu pemasok atau pembeli.

Berdasarkan dari model-model tersebut, penulis mengembangkan suatu model integrasi pemasok-pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan backorder untuk mendapatkan solusi optimal yang menguntungkan kedua belah pihak.

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana model integrasi pemasok-pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan backorder untuk memperoleh total biaya yang minimum bagi pemasok-pembeli.

1.3 Batasan Masalah

Adapun batasan-batasan masalah yang digunakan dalam model persediaan ini yaitu: 1. Tingkat produksi bersifat deterministik dengan laju yang tetap.

2. Laju kerusakan produk adalah konstan.

3. Tingkat permintaan (�) pembeli dan tingkat produksi (�) pemasok adalah tetap dengan �> �.

4. Tidak terjadi lost sale, permintaan yang tidak terpenuhi akan dilakukan backorder dan dipenuhi dengan pengiriman berikutnya.


(17)

6. Biaya transportasi ditanggung oleh pembeli. 7. Pemenuhan untuk backorder diterima sekaligus.

1.4 Tinjauan Pustaka

Herjanto (2004, hal: 219), menyatakan bahwa persediaan dapat diartikan sebagai bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, dan untuk suku cadang dari suatu peralatan atau mesin.

Ristono (2009, hal: 2), menyatakan bahwa persediaan merupakan suatu model yang umum digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan usaha pengendalian bahan baku maupun barang jadi dalam suatu aktifitas perusahaan. Ciri khas dari model persediaan adalah solusi optimalnya difokuskan untuk menjamin persediaan dengan biaya yang serendah-rendahnya.

Baroto (2002, hal: 53), menyatakan bahwa timbulnya persediaan disebabkan oleh mekanisme pemenuhan atas permintaan, keinginan untuk meredam permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangan, serta adanya keinginan melakukan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga di masa mendatang.

Dua masalah yang dihadapi suatu sistem di dalam mengelola persediaannya (Nasution, 2008, hal: 116) adalah sebagai berikut:

1. Masalah Kuantitaif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penentuan kebijaksanaan persediaan, antara lain:

a. Berapa banyak jumlah barang yang akan dipesan/dibuat. b. Kapan pemesanan/pembuatan barang harus dilakukan. c. Berapa jumlah persediaan pengamanannya.


(18)

2. Masalah Kualitatif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan sistem pengoperasian persediaan yang akan menjamin kelancaran pengelolaan sistem persediaan seperti:

a. Jenis barang apa yang dimiliki. b. Di mana barang tersebut berada.

c. Siapa saja yang menjadi pemasok (supplier) masing-masing item.

Tujuan pengendalian persediaan (Assauri, 1998, hal: 177) dapat diartikan sebagai usaha untuk:

1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga menyebabkan proses produksi terhenti.

2. Menjaga agar penentuan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga biaya yang berkaitan dengan persediaan dapat ditekan.

3. Menjaga agar pembelian bahan baku secara kecil-kecilan dapat dihindari.

Jonrinaldi dan Suprayogi (2006), menyatakan bahwa pada model integrasi antara pemasok dan pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan backorder, total biaya persediaan (��) merupakan gabungan antara total biaya pemasok dan total biaya pembeli, yang dapat dirumuskan sebagai:

�� = total biaya pemasok + total biaya pembeli 1. Total Biaya Pemasok

Total biaya pemasok diperoleh dengan menggabungkan biaya pembuatan (setup cost), biaya penyimpanan (holding cost), dan biaya deteriorasi yang dapat dirumuskan sebagai:

��� = biaya pembuatan + biaya penyimpanan

Jika diketahui:

Biaya pembuatan =�

� Biaya penyimpanan =����

+

����� �


(19)

Maka �� dapat dirumuskan sebagai:

��� =�+����+�����

2. Total Biaya Pembeli

Total biaya pembeli diperoleh dengan menggabungkan biaya pemesanan (ordering cost), biaya penyimpanan (holding cost), dan biaya kekurangan persediaan (shortage cost) yang dapat dirumuskan sebagai:

��� = biaya pemesanan + biaya penyimpanan + biaya shortage

Jika diketahui:

Biaya pemesanan =�+��+����

Biaya penyimpanan = �(�+��) Biaya shortage = �.�

2 2� Maka �� dapat dirumuskan sebagai:

��� =1(�+��+���) +��(��+���) +�.�

2 2� Dengan demikian �� dapat dirumuskan sebagai:

�� = �� +��

�� =��

�+ ����

� +

����� � �+�

1

�(�+��+���) +��(��+���) +�. �2

2��

Dimana:

1. Untuk Sistem Rantai Pasok

�= jumlah pengiriman per siklus produksi

�= ukuran produksi per batch produksi (unit)

� = total waktu siklus (tahun)

� = ukuran pengiriman (unit)

� = laju kerusakan terhadap tingkat persediaan per tahun


(20)

2. Untuk Pemasok

� = laju produksi (unit/tahun)

� = biaya setup per siklus batch pruduksi (Rp/setup)

�� = biaya penyimpanan persediaan (Rp/unit/tahun) �� = luasan di bawah kurva persediaan pemasok

3. Untuk Pembeli

� = laju permintaan (unit/tahun)

� = biaya pemesanan (Rp/pesan)

��= biaya penyimpanan persediaan (Rp/unit/tahun) � = biaya tetap transportasi (Rp/kirim)

� = biaya variabel transportasi (Rp/unit)

�� = luasan di bawah kurva persediaan pembeli � = ukuran stockout (unit)

� = biaya backorder (Rp/unit/tahun)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya model integrasi antara pemasok dan pembeli dengan adanya kebijakan backorder untuk produk yang mengalami kerusakan, untuk memperoleh total biaya persediaan yang minimum.

1.6 Kontribusi Penelitian

Adapun kontribusi dari penelitian ini adalah:

1. Membantu para pemasok dan pembeli untuk mengetahui total biaya persediaan yang minimum untuk produk yang mengalami kerusakan dengan adanya kebijakan backorder.

2. Menambah referensi yang berhubungan dengan masalah persediaan untuk model persediaan dengan backorder yang diharapkan dapat membantu para


(21)

pengambil keputusan dalam mengatasi permasalahan mengenai persediaan barang.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat literatur yang disusun berdasarkan rujukan pustaka, dengan pendekatan sebagai berikut:

1. Mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dan jurnal-jurnal penelitian yang berhubungan dengan penelitian.

2. Mempelajari landasan teori yang mendukung penelitian. 3. Merancang model integrasi pemasok-pembeli.

4. Mengimplementasikan model. 5. Menarik kesimpulan.


(22)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Arti dan Peranan Pengendalian Persediaan

Persediaan dapat diartikan sebagai bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, dan untuk suku cadang dari suatu peralatan atau mesin. Persediaan dapat berupa bahan mentah, bahan pembantu, barang dalam proses, barang jadi, ataupun suku cadang. Bisa dikatakan tidak ada perusahaan yang beroperasi tanpa persediaan, meskipun sebenarnya persediaan hanyalah suatu sumber dana yang menganggur, karena sebelum persediaan digunakan berarti dana yang terikat di dalamnya tidak dapat digunakan untuk keperluan yang lain (Herjanto, 2004, hal: 219).

Ristono (2009, hal: 2) menyatakan bahwa persediaan merupakan suatu model yang umum digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan usaha pengendalian bahan baku maupun barang jadi dalam suatu aktifitas perusahaan. Ciri khas dari model persediaan adalah solusi optimalnya difokuskan untuk menjamin persediaan dengan biaya yang serendah-rendahnya.

Persediaan merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Menurut Baroto (2002, hal: 53), timbulnya persediaan disebabkan oleh:

a. Mekanisme pemenuhan atas permintaan. Permintaan terhadap suatu barang tidak dapat dipenuhi seketika bila barang tersebut tidak tersedia sebelumnya. Dalam menyiapkan suatu barang diperlukan waktu untuk pembuatan dan pengiriman, sehingga hal ini dapat teratasi dengan pengadaan persediaan.


(23)

b. Keinginan untuk meredam ketidakpastian. Ketidakpastian terjadi akibat permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangan, waktu memproduksi barang yang cenderung tidak konstan, dan waktu tenggang (lead time) yang cenderung tidak pasti karena banyak faktor tidak dapat dikendalikan. Ketidakpastian ini dapat diredam dengan mengadakan persediaan.

c. Keinginan melakukan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga di masa mendatang.

Persoalan persediaan yang timbul adalah bagaimana caranya mengatur persediaan, sehingga setiap kali ada permintaan, permintaan tersebut dapat segera dilayani dengan biaya yang minimum. Apabila jumlah persediaan lebih besar dibanding permintaan, hal ini dapat menimbulkan dana besar menganggur yang tertanam dalam persediaan, meningkatnya biaya penyimpanan, dan resiko kerusakan barang yang lebih besar. Namun, jika persediaan lebih sedikit dibanding permintaan, hal ini akan menyebabkan kekurangan persediaan (stockout) yang berakibat proses produksi terhenti, tertundanya kesempatan mendapatkan keuntungan, bahkan dapat berakibat hilangnya pelanggan.

Pengendalian persediaan merupakan serangkaian kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus tersedia, kapan pesanan untuk menambah persediaan harus dilakukan, dan berapa besar pesanan harus diadakan. Sistem ini menentukan dan menjamin tersedianya persediaan yang tepat dalam kuantitas dan waktu yang tepat (Herjanto, 2004, hal: 219).

Ristono (2009, hal: 4), menyatakan bahwa tujuan pengendalian persediaan adalah sebagai berikut:

1. Untuk dapat memenuhi kebutuhan atau permintaan konsumen dengan cepat. 2. Untuk menjaga kontinuitas produksi atau menjaga agar perusahaan tidak

mengalami kehabisan persediaan yang berakibat terhentinya proses produksi. 3. Untuk mempertahankan dan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan.


(24)

4. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari, karena dapat mengakibatkan biaya pemesanan menjadi lebih besar.

5. Menjaga agar persediaan di gudang tidak berlebihan, karena dapat mengakibatkan meningkatnya resiko dan juga biaya penyimpanan di gudang.

Dengan kata lain, tujuan pengendalian persediaan adalah untuk memperoleh kualitas dan jumlah yang tepat dari barang yang tersedia pada waktu dibutuhkan dengan biaya yang minimum untuk keuntungan atau kepentingan perusahaan.

2.2 Fungsi dan Faktor yang Mempengaruhi Persediaan

2.2.1Fungsi Persediaan

Berdasarkan fungsinya, persediaan dapat dikelompokkan dalam empat jenis, yaitu (Herjanto, 2004):

1. Fluctuation Stock/Persediaan Cadangan

Persediaan ini diadakan untuk menjaga terjadinya fluktuasi permintaan yang tidak diperkirakan sebelumnya, dan untuk mengatasi jika terjadi kesalahan/ penyimpangan dalam perkiraan penjualan, waktu produksi dan pengiriman barang. Artinya, persediaan cadangan ini akan mengamankan kegagalan mencapai permintaan konsumen atau memenuhi kebutuhan manufaktur tepat pada waktunya.

2. Anticipation Stock/Persediaan Antisipasi

Merupakan jenis persediaan untuk menghadapi permintaan yang tidak dapat diramalkan. Misalnya pada musim permintaan tinggi, tetapi kapasitas produksi pada saat itu tidak mampu memenuhi permintaan maka persediaan antisipasi akan digunakan. Persediaan ini juga dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan sukarnya diperoleh bahan baku sehingga tidak mengakibatkan terhentinya produksi.


(25)

3. Lot Size Inventory

Merupakan persediaan yang diadakan dalam jumlah yang lebih besar daripada kebutuhan pada saat itu. Cara ini dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari harga barang (discount) karena pembelian dalam jumlah yang besar, atau untuk mendapatkan penghematan dari biaya pengangkutan per unit yang lebih rendah. Faktor penentu persyaratan ekonomis antara lain biaya setup, biaya persiapan produksi atau pembelian, dan biaya transportasi (Ginting, 2007).

4. Pipeline/Transit Inventory

Merupakan persediaan yang sedang dalam proses pengiriman dari tempat asal ke tempat di mana barang itu akan digunakan. Persediaan ini timbul karena jarak dari tempat asal ke tempat tujuan cukup jauh dan bisa menghabiskan waktu beberapa hari atau beberapa minggu.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persediaan

Masalah yang dihadapi perusahaan adalah bagaimana menentukan persediaan yang optimal, oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya persediaan. Persediaan yang dimaksud dalam hal ini adalah persediaan dalam kaitannya dengan kegiatan produksi yakni persediaan bahan baku.

Besar kecilnya persediaan bahan baku dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini (Ristono, 2009):

1. Volume atau jumlah yang dibutuhkan, yaitu yang dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan proses produksi. Semakin banyak jumlah bahan baku yang dibutuhkan, maka akan semakin besar tingkat persediaan bahan baku. Volume produksi yang direncanakan, hal ini ditentukan oleh penjualan terdahulu dan ramalan penjualan. Semakin tinggi volume produksi yang direncanakan berarti membutuhkan bahan baku yang lebih banyak yang berakibat pada tingginya tingkat persediaan bahan baku.

2. Kontinuitas produksi tidak terhenti, diperlukan tingkat persediaan bahan baku yang tinggi dan sebaliknya.


(26)

3. Sifat bahan baku, apakah cepat mengalami kerusakan (durable good) atau tahan lama (undurable good). Barang yang tidak tahan lama tidak dapat disimpan lama, oleh karena itu bila bahan baku yang diperlukan tergolong barang yang tidak tahan lama maka tidak perlu disimpan dalam jumlah banyak.

Sedangkan untuk bahan baku yang sifatnya tahan lama, tidak ada salahnya perusahaan menyimpannya dalam jumlah yang besar. Agar kontinuitas produksi tetap terjaga, maka untuk berjaga-jaga perusahaan sebaiknya memiliki apa yang dinamakan dengan persediaan cadangan (safety stock). Persediaan cadangan atau disebut pula persediaan pengaman adalah persediaan minimal bahan baku yang dipertahankan untuk menjaga kontinuitas produksi.

2.3 Jenis-Jenis Persediaan

Handoko (1984) menjelaskan bahwa setiap jenis persediaan mempunyai karakteristik khusus tersendiri dan cara pengelolaan yang berbeda. Menurut jenisnya, persediaan dapat dibedakan atas:

1. Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang-barang berwujud seperti baja, kayu, dan komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari supplier atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya.

2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk.


(27)

3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi.

4. Persediaan barang dalam proses (work in process), yaitu persediaan barang-barang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi.

5. Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barang-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada pelanggan.

2.4 Komponen Biaya Persediaan (Inventory Cost)

Secara umum dapat dikatakan bahwa biaya sistem persediaan adalah semua pengeluaran dan kerugian yang timbul sebagai akibat adanya persediaan. Biaya sistem persediaan terdiri dari biaya pembelian, biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya kekurangan persediaan (Nasution, 2009):

2.4.1 Biaya Pembelian (Purchasing Cost)

Biaya pembelian adalah biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang. Besarnya biaya pembelian ini tergantung pada jumlah barang yang dibeli dan harga satuan barang. Biaya pembelian menjadi faktor penting ketika harga barang yang dibeli tergantung pada ukuran pembelian. Situasi ini biasa disebut sebagai quantity discount atau price break dimana harga barang per unit akan turun bila jumlah barang yang dibeli meningkat. Dalam kebanyakan teori persediaan, komponen biaya pembelian tidak dimasukkan ke dalam total biaya sistem persediaan karena diasumsikan bahwa harga barang per unit dipengaruhi oleh jumlah barang yang dibeli sehingga komponen biaya pembelian untuk periode waktu tertentu (misalnya 1 tahun) konstan dan hal ini tidak akan mempengaruhi berapa banyak barang yang harus dipesan.


(28)

2.4.2 Biaya Pengadaan (Procurement Cost)

Biaya pengadaan dibedakan atas 2 jenis sesuai asal usul barang, yaitu biaya pemesanan (ordering cost) bila barang yang diperlukan diperoleh dari pihak luar (supplier) dan biaya pembuatan (setup cost) bila barang yang diperlukan diperoleh dengan memproduksi sendiri.

1. Biaya pemesanan (ordering cost)

Biaya pemesanan adalah semua pengeluaran yang timbul untuk mendatangkan barang dari luar. Biaya ini meliputi biaya untuk menentukan pemasok (supplier), pengetikan pesanan, pengiriman pesanan, biaya pengangkutan, biaya penerimaan dan seterusnya. Biaya ini diasumsikan konstan untuk setiap kali pemesanan.

2. Biaya pembuatan (setup cost)

Biaya pembuatan adalah semua pengeluaran yang timbul dalam mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya ini timbul di dalam pabrik yang meliputi biaya menyusun peralatan produksi, menyetel mesin, mempersiapkan gambar kerja dan seterusnya.

Karena kedua biaya tersebut mempunyai peran yang sama, yaitu pengadaan barang, maka kedua biaya tersebut disebut sebagai biaya pengadaan (procurement cost).

2.4.3 Biaya penyimpanan (Holding Cost/Carrying Cost)

Biaya penyimpanan adalah semua pengeluaran yang timbul akibat menyimpan barang. Besar kecilnya biaya penyimpanan sangat tergantung pada jumlah rata-rata barang yang disimpan. Semakin banyak rata-rata persediaan, maka biaya penyimpanan menjadi besar dan sebaliknya. Biaya ini meliputi:

1. Biaya Memiliki Persediaan (Biaya Modal)

Penumpukan barang di gudang berarti penumpukan modal, dimana modal perusahaan mempunyai ongkos (expense) yang dapat diukur dengan suku


(29)

bunga bank. Oleh karena itu, biaya yang ditimbulkan karena memiliki persediaan harus diperhitungkan dalam biaya sistem persediaan. Biaya memiliki persediaan diukur sebagai persentase nilai persediaan untuk periode waktu tertentu.

2. Biaya Gudang

Barang yang disimpan memerlukan tempat penyimpanan sehingga timbul biaya gudang. Biaya gudang dan peralatannya disewa maka biaya gudangnya merupakan biaya sewa sedangkan bila perusahaan mempunyai gudang sendiri maka biaya gudang merupakan biaya depresiasi.

3. Biaya Kerusakan dan Penyusutan

Barang yang disimpan dapat mengalami kerusakan dan penyusutan karena beratnya berkurang atau jumlahnya berkurang karena hilang. Biaya kerusakan dan penyusutan biasanya diukur dari pengalaman sesuai dengan persentasenya.

4. Biaya Kadaluarsa (Absolence)

Barang yang disimpan dapat mengalami penurunan nilai karena perubahan teknologi dan model seperti barang-barang elektronik. Biaya kadaluarsa biasanya diukur dengan besarnya penurunan nilai jual dari barang tersebut.

5. Biaya Asuransi

Barang yang disimpan diasuransikan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran. Biaya asuransi tergantung jenis barang yang diasuransikan dan perjanjian dengan perusahaan asuransi.

6. Biaya Administrasi dan Pemindahan

Biaya ini dikeluarkan untuk mengadministrasikan persediaan barang yang ada, baik pada saat pemesanan, penerimaan barang maupun penyimpanannya dan biaya untuk memindahkan barang dari, ke, dan di dalam tempat penyimpanan, termasuk upah buruh dan biaya peralatan handling.


(30)

2.4.4 Biaya Kekurangan Persediaan (Shortage Cost)

Biaya kekurangan persediaan adalah biaya yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya persediaan yang lebih kecil dari jumlah yang diperlukan atau biaya yang timbul apabila persediaan yang tidak dapat mencukupi permintaan. Keadaan ini akan menimbulkan kerugian karena proses produksi akan terganggu dan kehilangan kesempatan mendapat keuntungan atau kehilangan pelanggan karena kecewa sehingga beralih ke tempat lain. Biaya kekurangan persediaan dapat diukur dari:

1. Kuantitas yang tidak dapat Dipenuhi

Biasanya diukur dari keuntungan yang hilang karena tidak dapat memenuhi permintaan atau dari kerugian akibat terhentinya proses produksi. Kondisi ini diistilahkan sebagai biaya penalti atau hukuman kerugian bagi perusahaan dengan satuan misalnya: Rp/unit.

2. Waktu Pemenuhan

Lamanya gudang kosong berarti lamanya proses produksi terhenti atau lamanya perusahaan tidak mendapatkan keuntungan, sehingga waktu menganggur tersebut dapat diartikan sebagai uang yang hilang. Biaya waktu pemenuhan diukur berdasarkan waktu yang diperlukan untuk memenuhi gudang dengan satuan misalnya: Rp/satuan waktu.

3. Biaya Pengadaan Darurat

Supaya konsumen tidak kecewa maka dapat dilakukan pengadaan darurat yang biasanya menimbulkan biaya yang lebih besar dari pengadaan normal. Kelebihan biaya dibandingkan pengadaan normal ini dapat dijadikan ukuran untuk menentukan biaya kekurangan persediaan dengan satuan misalnya: Rp/setiap kali kekurangan. Kadang-kadang biaya ini disebut juga biaya kesempatan (opportunity cost).

Ada perbedaan pengertian antara biaya persediaan aktual yang dihitung secara akuntansi dengan biaya persediaan yang digunakan dalam menentukan kebijaksanaan persediaan. Biaya persediaan yang diperhitungkan dalam penentuan kebijaksanaan persediaan hanyalah biaya-biaya yang bersifat variabel (incremental cost), sedangkan


(31)

biaya yang bersifat konstan seperti biaya pembelian tidak perlu diperhitungkan karena tidak mempengaruhi hasil optimal yang diperoleh.

2.5 Hubungan antara Tingkat Persediaan dan Total Biaya

Pada pengendalian persediaan, persoalan utama yang ingin dicapai adalah meminimumkan total biaya operasi perusahaan. Hal ini berkaitan dengan berapa jumlah barang yang harus dipesan dan kapan pemesanan itu harus dilakukan.

Keputusan mengenai besarnya jumlah persediaan menyangkut dua kepentingan yaitu kepentingan pihak yang menyimpan dengan pihak yang memerlukan barang. Keputusan itu bisa dikategorikan menjadi dua yaitu:

1. Jumlah barang yang dipesan harus ditentukan dan waktu pada saat pemesanan barang masuk konstan.

2. Jumlah barang yang dipesan dan waktu pesanan harus ditentukan.

Salah satu pendekatan terhadap kedua keputusan ini adalah memesan dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk meminimumkan biaya pemesanan. Cara lainnya adalah memesan dalam jumlah sekecil-kecilnya untuk meminimumkan biaya pemesanan. Tindakan yang paling baik akan diperoleh dengan mempertemukan kedua titik ekstrim tersebut (Supranto, 1988).

Gambar 2.1 berikut memperlihatkan hubungan antara tingkat persediaan dan total biaya (Siagian, 1987).

Biaya (Rp) Total Inventory Cost

Total Biaya Holding Cost

Minimum

Ordering cost

0 Pesanan Optimum Tingkat Persediaan (Q)


(32)

Pada gambar 2.1 terlihat bahwa jika Q semakin besar, berarti pemesanan akan semakin jarang dilakukan, sehingga biaya pemesanan (ordering cost) akan semakin kecil. Sebaliknya jika Q semakin kecil, berarti pemesanan akan semakin sering dilakukan, sehingga biaya pemesanan yang dikeluarkan akan semakin besar. Akibatnya jika Q semakin besar (bergeser ke kanan), maka kurva ordering cost semakin menurun.

Biaya penyimpanan (holding cost) digambarkan sebagai sebuah garis lurus yang dimulai pada tingkat persediaan nol (Q = 0). Hal ini disebabkan karena komponen biaya ini secara langsung tergantung pada tingkat persediaan rata-rata. Semakin besar jumlah barang yang dipesan akan mengakibatkan semakin besar tingkat persediaan rata-rata, sehingga biaya penyimpanan akan semakin besar, yang mengakibatkan kurva holding cost semakin meningkat.

Dari gambar 2.1 terlihat bahwa antara holding cost dan ordering cost berhubungan terbalik dimana jumlah keduanya akan menghasilkan kurva total inventory cost yang convex (Mulyono, 2004). Jadi tinggi (jarak) kurva total inventory cost pada setiap titik Q merupakan hasil penjumlahan tinggi (jarak) kedua kurva komponen biaya tersebut secara tegak lurus. Solusi optimal dari fungsi tujuan akan ditemukan pada saat total inventory cost minimum (Subagyo dkk, 2000).

2.6 Model-Model Persediaan

Dalam melakukan pengendalian persediaan, sangatlah penting untuk mengetahui apakah permintaan yang ada termasuk permintaan bebas (independent) atau permintaan terikat (dependent).

Permintaan independent merupakan permintaan atas produk atau barang yang bersifat bebas, artinya tidak ada keharusan membelinya untuk kepentingan proses produksi. Sebagai contoh adalah permintaan untuk barang jadi atau suku cadang pengganti (spare part). Permintaan dependent atau disebut juga permintaan terikat,


(33)

merupakan permintaan yang disebabkan jika produk atau barang tersebut tidak ada, maka proses produksi suatu perusahaan tidak akan dapat berjalan.

Model persediaan dapat dibedakan menjadi dua jenis (Taha, 1982), yaitu:

2.6.1 Model Deterministik

Model deterministik ditandai oleh karakteristik permintaan dan periode kedatangan pesanan yang dapat diketahui secara pasti sebelumnya. Model ini terdiri dari dua, yaitu:

1. Deterministik Statis

Pada model ini tingkat permintaan setiap unit barang untuk tiap periode diketahui secara pasti dan bersifat konstan.

2. Deterministik Dinamik

Pada model ini tingkat permintaan setiap unit barang untuk tiap periode diketahui secara pasti, tetapi bervariasi dari satu periode ke periode lainnya.

Model dasar untuk persediaan deterministik adalah model Economic Order Quantity (EOQ). Model ini merupakan model sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah pesanan yang ekonomis, yaitu jumlah pesanan yang memenuhi total biaya persediaan minimum dengan mempertimbangkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan, sehingga diharapkan tidak akan ada kekurangan persediaan.

2.6.2 Model Probabilistik

Model probabilistik ditandai oleh karakteristik permintaan dan periode kedatangan pesanan yang tidak dapat diketahui secara pasti sebelumnya, sehingga perlu didekati dengan distribusi probabilitas. Model ini dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Probabilistik Stationary

Pada model ini tingkat permintaan bersifat random, dimana probability density function dari permintaan konstan tidak berubah sepanjang waktu dan tidak dipengaruhi oleh waktu setiap periode.


(34)

2. Probabilistik Non Stationary

Pada model ini tingkat permintaaan bersifat random, dimana probability density function dari permintaan bervariasi dari satu periode ke periode lainnya.

2.7 Hubungan Kerusakan Produk dengan Backorder

Dalam melakukan pengelolaan persediaan, jenis produk juga harus menjadi perhatian dalam menentukan kebijakan yang optimal. Hal ini disebabkan produk dapat mengalami kerusakan yang mengakibatkan kerugian bagi pemasok maupun pembeli. Kerusakan dapat terjadi ketika produk disimpan terlalu lama dalam persediaan dan ketika produk yang akan disalurkan oleh pemasok berada dalam perjalanan menuju pembeli. Produk yang dapat mengalami kerusakan antara lain susu, minuman segar, sayur-sayuran, daging, bahan makanan, produk pharmasi, gasoline dan lain-lain (Jonrinaldi dan Suprayogi, 2006).

Bentuk kerusakan yang terjadi bermacam-macam, seperti:

1. Damage yaitu kerusakan fisik produk yang disebabkan oleh benturan, gesekan, dan lainnya.

2. Spoilage yaitu kerusakan produk yang disebabkan oleh pembusukan. 3. Dryness yaitu kerusakan produk yang disebabkan oleh kekeringan.

Suatu produk dikategorikan rusak apabila terdapat kerusakan atau cacat pada produk sehingga tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan (Handhajani, 2005). Produk yang mengalami kerusakan tidak dapat diperbaiki, sehingga sebagai gantinya pembeli melakukan backorder (pemesanan kembali) untuk memenuhi kekurangan persediaan.

Backorder (pemesanan tertunda) adalah pemesanan barang atau jasa yang diterima perusahaan tetapi baru dapat dipenuhi kemudian setelah perusahaan mempunyai persediaan. Pemesanan tertunda akibat kekurangan persediaan banyak dilakukan pada perusahaan yang persediaannya bernilai tinggi (mahal) yang dapat


(35)

mempengaruhi tingginya biaya penyimpanan. Misalnya Dealer mobil dan mesin industri, jarang memiliki persediaan besar karena alasan ini (Herjanto, 2004).

Ristono (2009, hal: 55) menyatakan bahwa suatu backorder merupakan permintaan yang tidak dapat dipenuhi pada saat sekarang akibat kekurangan persediaan (stockout), tetapi kemudian dipenuhi pada periode yang akan datang. Di dalam situasi yang bersifat backorder, suatu perusahaan tidak kehilangan penjualan (pelanggan yang tidak terpenuhi) ketika persediaan habis. Hal ini dikarenakan pelanggan yang loyal (setia) terhadap produk tertentu akan menolak menggunakan produk lain dan lebih memilih untuk menunggu sampai produk tersebut tersedia. Oleh karena itu, permintaan akan dipenuhi ketika perusahaan menerima pesanan berikutnya.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa backorder terjadi akibat produk mengalami kerusakan yang menyebabkan kekurangan persediaan (stockout) sehingga sebagai gantinya, pembeli akan melakukan pemesanan kembali kepada pemasok pada periode berikutnya.

2.8 Hubungan antara Pembeli dan Pemasok

Manajemen Rantai Pasok merupakan metode atau pendekatan untuk mengelola aliran produk secara terintegrasi yang melibatkan pihak-pihak pengelola persediaan mulai dari supplier sampai pemakai akhir untuk meminimasi ongkos sistem secara keseluruhan (Pujawan, 2005, hal: 22).

Pengertian Manajemen Rantai Pasok menurut (Jonrinaldi dan Suprayogi, 2006) adalah pendekatan untuk pengelolaan persediaan dan distribusi secara terintegrasi antara pihak pemasok, produsen, distributor, dan pengecer untuk meminimasi ongkos sistem secara keseluruhan. Manajemen Rantai Pasok bertujuan untuk meminimasi biaya untuk seluruh rantai pasok yang terlibat sehingga kebijakan persediaan yang diperoleh merupakan optimal untuk seluruh sistem. Dalam hal ini, pihak rantai pasok yang akan bekerja sama adalah antara pemasok dan pembeli.


(36)

Pembeli memesan sejumlah unit produk kepada pemasok. Produk yang dipesan tersebut mengalami kerusakan selama dalam persediaan dengan laju kerusakan � konstan sehingga jumlah yang dipesan � akan lebih besar dari jumlah permintaan �. Produk yang mengalami kerusakan tersebut tidak dapat diperbaiki sehingga mengakibatkan kerugian bagi pembeli. Kerugian tersebut digambarkan sebagai biaya kerusakan � yang harus ditanggung oleh pembeli.

Untuk memenuhi pesanan dari pembeli, maka pemasok memproduksi dalam � batch produksi dalam selang waktu 1. Sebelum produk tersebut dikirim ke pembeli, akan terlebih dahulu disimpan dalam persediaan. Selama berada dalam persediaan, produk tersebut mengalami kerusakan. Produk yang telah diproduksi tersebut dikirim dengan beberapa kali � pengiriman dan ukuran pengiriman � unit yang sama dalam selang waktu �3. Dalam perjalanan produk tersebut juga akan mengalami kerusakan dan dikenakan biaya transportasi � per pengiriman. Produk yang mengalami kerusakan selama berada dalam persediaan dan ketika dalam perjalanan tersebut, akan digantikan pada periode pengiriman produk berikutnya dengan ukuran stockout � unit dan biaya backorder �. Oleh sebab itu, pemasok memproduksi produk dalam jumlah melebihi permintaan pembeli (�> �) untuk mengantisipasi adanya backorder akibat kerusakan.

2.8.1Tingkat Persediaan Pembeli

Gambar 2.2 menunjukkan tingkat persediaan pembeli sebagai fungsi dari waktu � dengan backorder. Dari gambar diketahui bahwa � merupakan jumlah setiap pemesanan, sedangkan � merupakan backorder, yaitu jumlah produk yang dipesan oleh pembeli tetapi belum dapat dipenuhi. (� − �) menunjukkan on hand inventory, yaitu jumlah persediaan pada setiap awal siklus persediaan, yaitu persediaan setelah dikurangi backorder.


(37)

Gambar 2.2 Tingkat Persediaan Pembeli

Dimana:

� = ukuran pengiriman (unit)

� = ukuran stockout (unit)

�3 = waktu antara dua pengiriman berturut-turut (lead time) � = total waktu siklus (tahun)

Gambar 2.2 di atas merupakan bentuk kurva penggantian kuadratik dengan lead time 3, karena permintaan dianggap konstan sehingga persediaan berkurang dalam jumlah yang sama dari waktu ke waktu (berkurang secara linier). Pada waktu tingkat persediaan mencapai nol, pesanan untuk batch yang baru dapat diterima, sehingga tingkat persediaan naik kembali sampai q.

Setiap siklus persediaan terdiri dari dua buah kurva pola kuadratik yang menunjukkan adanya dua tahap. Tahap pertama adalah tahap dimana permintaan pembeli dapat dipenuhi dengan on hand inventory. Tahap ini digambarkan sebagai kuva besar yang terletak di atas sumbu datar, dengan tinggi (q - J). Sedangkan tahap kedua adalah tahap dimana on hand inventory sudah nol karena sudah habis dan pesanan konsumen dapat diambil setelah tersedia beberapa waktu kemudian. Tahap ini digambarkan sebagai kurva yang terletak di bawah sumbu datar, dengan tinggi J yang menunjukkan jumlah barang yang tidak terpenuhi akibat kerusakan dan sebagai gantinya pembeli dapat memperolehnya pada periode pengiriman berikutnya (backorder).


(38)

2.8.2Tingkat Persediaan Pemasok

Produk jadi (finished goods) merupakan produk-produk yang telah selesai diproses atau diolah dan siap untuk dikirim kepada pembeli. Pemasok sebagai pihak yang memproduksi produk, sedangkan pembeli adalah pihak yang melakukan permintaan produk kepada pemasok untuk diproduksi. Transaksi diawali dengan pemesanan produk oleh pembeli kepada pemasok dengan biaya pesan �, pada suatu horison perencanaan � yang terdiri atas beberapa periode �3 yang sama. Setelah menerima pesanan dari pembeli, pemasok melakukan setup dengan biaya sebesar � untuk memulai proses produksi. Pemasok mengeluarkan biaya transportasi � untuk pengiriman produk sebanyak � pengiriman dengan ukuran yang sama kepada pembeli.

Tingkat persediaan pemasok sebagai fungsi dari waktu � ditunjukkan pada gambar 2.3. Total waktu siklus � dibagi menjadi dua komponen yaitu �1 adalah waktu selama pemasok berproduksi, dan �2 adalah waktu dimana pemasok berhenti berproduksi dan hanya mengirimkan sejumlah unit produk kepada pembeli melalui persediaan yang ada.


(39)

Dimana:

�= ukuran produksi per batch produksi (unit)

� = laju produksi (unit/tahun)

� = laju permintaan (unit/tahun)

�1 = waktu pemasok berproduksi

�2 = waktu pemasok berhenti berproduksi � = total waktu siklus (tahun)

2.8.3Biaya-Biaya Persediaan pada Pemasok dan Pembeli

(Ginting, 2007) Dengan memperhatikan hubungan terintegrasi antara pemasok dan pembeli tunggal seperti yang telah diuraikan di atas, terdapat lima biaya yang mempengaruhi pengoptimalan total biaya persediaan sebagai berikut:

1. Biaya Pemesanan

Biaya pemesanan merupakan biaya yang dikeluarkan pembeli sehubungan dengan pemesanan produk ke pemasok. Besar kecilnya biaya pemesanan tidak tergantung pada kuantitas pesanan tetapi frekuensi pemesanan. Semakin sering memesan produk maka biaya yang dikeluarkan akan semakin besar dan sebaliknya.

2. Biaya Pembuatan

Biaya pembuatan adalah semua biaya yang ditimbulkan untuk persiapan memproduksi produk. Biasanya biaya ini timbul di dalam pabrik, yang meliputi biaya menyetel mesin, biaya mempersiapkan gambar kerja, dan sebagainya.

3. Biaya Transportasi/Pengangkutan

Biaya ini meliputi seluruh biaya yang menyangkut pengangkutan produk dari pemasok menuju pembeli. (Indrajit, 2002) Beberapa kondisi yang menimbulkan biaya ini yaitu pengangkutan dari gudang pemasok ke pelabuhan muat, pengangkutan dari pelabuhan muat ke pelabuhan tujuan, pengangkutan dari pelabuhan tujuan ke gudang pembeli, pengangkutan dari gudang pembeli


(40)

yang satu ke gudang pembeli yang lain, bongkar muat di pelabuhan muat, bongkar muat di pelabuhan tujuan, dan resiko klaim angkutan yang tak tertagih.

4. Biaya Penyimpanan

Biaya penyimpanan merupakan biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penyimpanan produk di gudang. Besar kecilnya biaya ini sangat tergantung pada jumlah rata-rata produk yang disimpan di gudang.

5. Biaya Kerusakan

Biaya kerusakan timbul akibat produk yang disimpan dalam persediaan mengalami kerusakan karena tidak dapat bertahan lama. Kerusakan produk dapat juga terjadi ketika produk berada dalam perjalanan menuju pembeli.


(41)

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Total Biaya Persediaan Pembeli

Pembeli melakukan pemesanan produk sejumlah �� kepada pemasok dengan frekuensi pengiriman �. Laju permintaan tahunan pembeli ke pemasok adalah �. Selama satu siklus waktu pengiriman �3, terdapat � jumlah produk yang rusak sehingga ukuran pengiriman adalah:

�= �+��3 (3.1)

Karena persediaan bergerak dari � unit ke nol unit dan berkurang secara konstan dengan laju kerusakan � selama waktu �3, maka jumlah produk rata-rata yang rusak tiap siklus adalah:

�=���3

2 (3.2)

Dengan mensubstitusi nilai � pada (3.2) ke persamaan (3.1), maka ukuran pengiriman menjadi:

�= ���3

2 +��3 (3.3)

Lamanya �3 merupakan jumlah kebutuhan selama kurun waktu � yang dipenuhi oleh frekuensi pengiriman �, sehingga dapat ditulis �3 =�. Jadi dengan mensubstitusikan nilai �3 ke persamaan (3.3), maka diperoleh total waktu siklus sebagai berikut:

�= 2��

2�+�� (3.4)

Setiap siklus persediaan pembeli terdiri dari dua buah kurva yang menunjukkan adanya dua tahap (gambar 2.2). Tahap pertama yaitu pada kurva yang


(42)

terletak di atas sumbu datar dengan tinggi �, maka rata-rata persediaan adalah �

2.

Sejumlah � unit berkurang akibat kerusakan selama pengiriman, sehingga luas kurva di atas sumbu datar adalah jumlah rata-rata persediaan dikurang jumlah unit yang berkurang atau �

2− �.

Tahap kedua yaitu pada kurva yang terletak di bawah sumbu datar. Jika jumlah kekurangan persediaan adalah � maka jumlah kekurangan persediaan rata-rata adalah

2. Sehingga luas kurva di bawah sumbu datar adalah �2

2�. Jadi dengan menjumlahkan

luas kurva di atas sumbu datar dengan luas kurva di bawah sumbu datar, maka diperoleh luas kurva persediaan pembeli per total waktu siklus sebagai berikut:

��

� =�� = � 2− �+

�2

2� (3.5)

Pada model ini ada tiga macam biaya persediaan paling mendasar, yaitu biaya pemesanan (ordering cost), biaya penyimpanan (holding cost), dan biaya kekurangan persediaan (shortage cost) pada pembeli. Biaya persediaan pada model yang akan dikembangkan meliputi beberapa biaya, antara lain:

3.1.1Biaya Pemesanan

Biaya pemesanan merupakan biaya yang dikeluarkan pembeli untuk mendatangkan pesanan produk dari pemasok. Dalam hal ini, salah satu biaya pemesanan adalah biaya transportasi. Produk yang dipesan dikenakan biaya transportasi sebesar � untuk setiap kali � pengiriman dan biaya variabel transportasi � per unit ukuran pengiriman � untuk setiap kali � pengiriman ke pembeli. Biaya pemesanan diperoleh dengan menjumlahkan biaya pesan � dan biaya transportasi per total waktu siklus �, dimana

�= 2��

2�+��, sehingga diperoleh:

Biaya pemesanan =�+��+���

= �+��+���2�� 2�+��


(43)

3.1.2Biaya Penyimpanan

Biaya penyimpanan adalah biaya yang harus ditanggung pembeli akibat menyimpan barang dalam gudang. Dalam kasus ini, biaya kerusakan produk merupakan biaya penyimpanan. Selama dalam penyimpanan, produk mengalami kerusakan dengan laju kerusakan � konstan dan dikenakan biaya kerusakan sebelum digunakan. Jadi biaya penyimpanan dapat diperoleh dengan menjumlahkan biaya simpan � dan biaya kerusakan � yang berada dalam luas kurva persediaan pembeli, diperoleh:

Biaya penyimpanan =����

� + �����

= ���

��(��+���)

= ��

2− �+ �2

2��. (��+���) (3.7)

3.1.3Biaya Kekurangan Persediaan

Biaya kekurangan persediaan adalah biaya yang timbul karena persediaan yang tidak dapat mencukupi permintaan. Dalam hal ini, kekurangan persediaan terjadi akibat produk mengalami kerusakan. Pada kurva yang terletak di bawah sumbu datar persediaan pembeli, dapat dilihat bahwa jika jumlah kekurangan adalah �, maka jumlah kekurangan rata-rata adalah �

2. Sehingga jumlah kekurangan persediaan

rata-rata adalah �2

2�. Jadi dengan mengalikan biaya kekurangan persediaan � dengan jumlah

kekurangan persediaan rata-rata, maka diperoleh:

Biaya kekurangan persediaan =�.�2

2� (3.8)

Pada model ini, total biaya persediaan pembeli merupakan gabungan dari biaya pemesanan, biaya penyimpanan, dan biaya kekurangan persediaan, sehingga dengan menggunakan persamaan (3.6), (3.7) dan (3.8) maka total biaya persediaan pembeli (��) selama total waktu siklus � dapat dirumuskan sebagai:

�� = �2�+��

2�� �(�+��+���) +� � 2− �+

�2

2��. (��+���) +�. �2


(44)

3.2 Total Biaya Persediaan Pemasok

Jika � menyatakan jumlah produk yang mengalami kerusakan pada pemasok di akhir siklus �, maka jumlah � dipengaruhi oleh laju kerusakan � pada luasan di bawah kurva persediaan pemasok �, sehingga � =�.�. Karena persediaan bergerak dari nol unit ke � unit dan bertambah secara konstan dengan laju kerusakan � selama waktu �, diperoleh:

Total jumlah produk yang rusak = �+���

2 (3.10)

Ukuran lot produksi pemasok � akan sama dengan banyaknya pengiriman � yang dilakukan dalam ukuran batch pesanan � pembeli sehingga � = ��. Ketika pemasok telah menyelesaikan seluruh proses produksi, maka pemasok akan mengirimkan produk sejumlah � ke pembeli dengan jumlah pengiriman �. Karena terdapat sejumlah � rusak, maka untuk pengiriman selanjutnya ukuran lot produksi pemasok menjadi:

�= ��+� (3.11) Lamanya �1 merupakan jumlah pengiriman selama kurun waktu � berjumlah sebesar � yang dapat dipenuhi oleh produksi �, sehingga dapat ditulis sebagai berikut:

1 =�

=��+�

� (3.12)

Tingkat persediaan produk yang rusak pada pemasok diperoleh dengan menjumlahkan akumulasi produksi dengan akumulasi pesanan pembeli. Akumulasi produksi merupakan jumlah kebutuhan � sebesar � yang dipenuhi oleh produksi �. Karena laju kerusakan � selama kurun waktu �, maka akumulasi produksi adalah

��.�

��. Sedangkan akumulasi pesanan pembeli diperoleh dengan mengurangi jumlah

produksi � dengan kebutuhan � per laju produksi selama siklus waktu �1. Karena laju kerusakan � selama kurun waktu �, maka akumulasi pesanan pembeli adalah

��.��−�

� � �1. Jadi tingkat persediaan produk yang rusak pada pemasok adalah sebagai


(45)

�+���2 = ���.���+���.��−� � �1� (3.13) Kemudian substitusi nilai �1 pada (3.12) ke persamaan (3.13), sehingga tingkat persediaan produk yang rusak pada pemasok menjadi seperti berikut:

�+���

2 = �� � � ��+�

��+� 2 �.�

�−�

� �� (3.14)

Tingkat persediaan pemasok terdiri dari dua buah kurva yang menunjukkan adanya dua tahap yaitu pada waktu �1 dan �2 (gambar 2.3). Karena �= �.� maka

�� =�, sehingga besar luasan di bawah kurva persediaan pemasok �� dapat diperoleh

dari persamaan (3.14) seperti berikut:

�� =�= ��.��−12+�2 −��2�

atau

��

� = � � =� �

� �−

1 2+

� 2 −

��

2�� (3.15)

Pada model ini ada dua macam biaya persediaan paling mendasar, yaitu biaya pembuatan (setup cost) dan biaya penyimpanan (holding cost) pada pemasok. Biaya persediaan pada model yang akan dikembangkan meliputi beberapa biaya, antara lain:

3.2.1Biaya Setup

Biaya pembuatan (setup cost) adalah biaya yang ditanggung pemasok dalam mempersiapkan produksi suatu barang. Biaya setup diperoleh dari biaya setup per siklus batch produksi selama total waktu �, diperoleh:

Biaya setup =�

= 2��� 2�+�� =�.�2�+��


(46)

3.2.2Biaya Penyimpanan

Biaya penyimpanan adalah biaya yang harus ditanggung pemasok akibat menyimpan barang dalam gudang. Dalam kasus ini, biaya kerusakan merupakan biaya penyimpanan. Selama dalam penyimpanan dan dalam perjalanan menuju pembeli, produk mengalami kerusakan dengan laju kerusakan � konstan dan dikenakan biaya kerusakan. Jadi biaya penyimpanan dapat diperoleh dengan menjumlahkan biaya simpan � dan biaya kerusakan � pada luasan di bawah kurva persediaan pemasok, sehingga diperoleh:

Biaya penyimpanan =����+�����

= ���

��. (��+���)

= � ��−12+�2−��2��. (�+��) (3.17)

Pada model ini, total biaya persediaan pemasok merupakan gabungan dari biaya setup dan biaya penyimpanan, sehingga dengan menggunakan persamaan (3.16) dan (3.17) maka total biaya persediaan pemasok (��) selama total waktu siklus � dapat dirumuskan sebagai:

�� = �.�2�+��

2�� �+�� � � �− 1 2+ � 2 − ��

2��. (�� +���)� (3.18)

3.3 Model Total Biaya Integrasi

Total biaya integrasi (��) merupakan gabungan dari total biaya persediaan pembeli dan total biaya persediaan pemasok pada persamaan (3.9) dan (3.18), sehingga total biaya integrasi dapat dirumuskan sebagai berikut:

�� = ��+��

��(�,�) =��2�+��

2�� �(�+��+���) +� � 2− �+

�2

2��. (��+���) +�. �2

2��+

��.�2�+��

2�� �+�� � � �− 1 2+ � 2− ��


(47)

��(�,�) =��2�+��

2�� �(�+��+���+�)�+�� � 2− �+

�2

2��(��+���)�+ ��2 2� + �(�+��)� �� � − 1 2+ � 2 − ��

2��� (3.19)

3.3.1Solusi Optimal

Apabila sebuah fungsi bidang berupa cekungan (parabola ke atas) atau cembungan (parabola ke bawah) atau yang lebih dikenal dengan nama fungsi bidang konveks atau fungsi bidang konkav, maka fungsi bidang tersebut akan memiliki nilai minimum atau maksimum. Titik optimal tersebut dikatakan sebagai titik balik atau titik kritis atau saddle point. Pada titik ini, maka nilai derajat kemiringan bidang singgungnya adalah nol atau memiliki gradien atau tangen sudutnya sama dengan nol, yang jumlahnya mengikuti jumlah variabel keputusan yang ada. Gradien bidang singgung di titik kritis diperoleh dengan cara menurunkan fungsi yang bersangkutan terhadap masing-masing variabel keputusannya.

Fungsi yang terdiri dari satu variabel bebas, maka digunakan turunan biasa untuk memperoleh nilai minimum atau maksimumnya. Sedangkan untuk fungsi yang terdiri dari dua variabel bebas, maka digunakan turunan parsial untuk memperoleh nilai minimum atau maksimumnya.

Menurut teorema (Gazali, W dan Soedadyatmodjo, 2007), jika �(�,�) kontinu untuk variabel bebas � dan � dalam daerah �, maka:

1. Syarat perlu �(�,�) mencapai ekstrem/belok bila �

���(�,�) = 0 dan �

���(�,�) = 0

2. Syarat cukup bila ��2

��2�(�,�)�.�

�2

��2�(�,�)� − �

�2

�����(�,�)� 2

> 0,

sehingga diperoleh:

1. Maksimum bila ��2

��2�(�,�)�< 0 atau �

�2

��2�(�,�)�< 0 2. Minimum bila ��2

��2�(�,�)�> 0 atau �

�2


(48)

Dari persamaan 3.19 dapat diketahui bahwa �� merupakan fungsi dengan dua variabel bebas � dan �, sehingga adapun tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan �∗ optimal dan �∗ optimal untuk memperoleh ��∗ optimal. Hal tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan teorema di atas yaitu dengan aturan derivative pertama dari fungsi, sehingga persamaan ��(�,�) diturunkan secara parsial terhadap

� dan terhadap �, kemudian menyamakannya dengan nol. Syarat perlu yaitu �

����(�,�) = 0 dan �

����(�,�) = 0, sehingga diperoleh: �

����(�,�) =�

−�(�+�+��)

��2 +

�� 2�+�

��+���

2 −

�2(+�)

2�2 � −

��2

2�2+�(��+

�)�2�−�+��−��2� �� (3.20)

����(�,�) =�−(��+���) + �

�(��+���)�+ ��

� (3.21)

Syarat cukup ��(�,�) diperoleh dengan uji turunan parsial kedua diperoleh:

�2

��2��(�,�) =

2�(�+�+��)

��3 +

�2(+�)

�3 +

��2

�3 > 0

�2

��2��(�,�) =

(�+��)

� +

� � > 0 �2

������(�,�) =− � �2−

�� �2 Sehingga,

���22��(�,�)�.�

�2

��2��(�,�)� − �

�2

������(�,�)� 2

=�2�(�+�+��)

��3 +

�2(+�)

�3 +

��2

�3�.�

(�+��)

� +

�� − �− � �2−

�� �2�

2

> 0

Dari persamaan (3.20), �

����(�,�) = 0, maka diperoleh: �(�+�+��)

��2 +

�2(+�)

2�2 +

��2 2�2 =

�� 2 +

(+�)

2 +

(+�)(2�−�+��−��)

2� 2�(�+�+��)

2��2 +

�2(+�)

2��2 +

���2

2��2 =

�� 2 +

(�+��)

2 +

(�+��)(2�−�+��−��)

2�

1 2�

2�(�+�+��) ��2 +

�2(+�)

��2 +

���2

��2�=

1

2���+ (��+���) +

(�+��)(2�−�+��−��)


(49)

2�(�+�+��)+�2�(�+��)+���2

��2 =��+ (��+���) +

(�+��)(2�−�+��−��)

� �2 = 2�(�+�+��)+�2�(�+��)+���2

����+(�+��)+(�+��)�(2−�)� � +�−1��

Sehingga nilai optimal �∗ adalah:

�∗ = 2�(�+�+��)+�2�(��+���)+���2

����+(�+��)+(�+��)�(2−�)� � +�−1��

(3.22)

Berdasarkan teorema tersebut, jika �

����(�,�) = 0, �2

��2��(�,�) > 0 dan

���22��(�,�)�.�

�2

��2��(�,�)� − �

�2

������(�,�)� 2

> 0, maka �∗ bernilai minimum sehingga �� akan minimum.

Dari persamaan (3.21), �

����(�,�) = 0, maka diperoleh: �� � + � �(��+���) =��+��� ��+�(�+��) =�(�+��) ���+ (�+��)�= �(�+��) Sehingga nilai optimal �∗adalah:

=

�(��+���)

�+��+��� (3.23)

Berdasarkan teorema tersebut, jika �

����(�,�) = 0, �2

��2��(�,�) > 0 dan

���22��(�,�)�.����22��(�,�)� − � �2

������(�,�)� 2

> 0, maka �∗ bernilai minimum sehingga �� akan minimum.

Dengan mensubstitusi nilai �∗ pada (3.23) ke persamaan (3.22), maka diperoleh nilai optimal �∗ menjadi seperti berikut:


(50)

�2 =2�(�+�+��)+� ���� + ���� � + �� + ���� 2 �(�+��)+������� + ���� � + �� + ���� 2

����+(+�)+(+�)(2−�)� � +�−1��

� ���+ (�+��) +�(�+��)�(2−�)�

� +� −1���=

2�(�+�+��)

�2 +

� �(��+���)2

��+���+��

2�(�+�+��)

�2 =� ���+ (��+���) +�(�� +���)� (2−�)

� +� −1��� − � �(��+���)2

��+���+��

�2 = 2�(�+�+��)

����+(�+��)+�(�+��)�(2−�)�+�−1��−����+���� 2 ��+���+���

Sehingga nilai optimal �∗ menjadi seperti berikut:

�∗ =

2�(�+�+��)

����+(�+��)+�(�+��)�(2−�)�

� +�−1��−����+���� 2 ��+���+���

(3.24)

Jadi, nilai ��∗ dapat diperoleh dengan mensubstitusi nilai �∗ pada (3.24) dan nilai �∗ pada (3.23) ke persamaan (3.19), sehingga diperoleh:

��∗(,) =��2�+��∗

2��∗ �(�+��+���∗+�)�+��

�∗

2 − �∗+ �∗2

2�∗�(��+

���)�+��

∗2

2�∗ +�(��+���)�∗�

� �− 1 2+ � 2− ��

2��� (3.25)

3.3.2Interval Optimal

Jika jumlah pengiriman � ≥ 1, maka � menjadi batas maksimum ukuran pengiriman ketika �= 1. Sehingga dengan mensubstitusi nilai � = 1 ke persamaan (3.24), maka nilai optimal �∗ adalah:

�∗

≤ �(+�)+�(2��+�(�+�+�)+���−��) ���+����2 ��+���+��


(51)

Jika jumlah pengiriman � meningkat maka ukuran pengiriman � akan menurun, dan sebaliknya jika jumlah pengiriman � menurun maka ukuran pengiriman

� akan meningkat. Sehingga dari (3.22) diperoleh nilai optimal �∗ sebagai berikut:

�∗ ≥ � 2��(�+�+�)

(�+��+��)�2��+�2(�−�)� (3.27)

3.4 Langkah-Langkah Penyelesaian

Langkah-langkah penyelesaian untuk permasalahan model integrasi pemasok-pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan backorder, dapat diselesaikan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Tetapkan �= 1.

2. Mulai perhitungan dari �= 0 sampai �= 0,2 dengan kenaikan tetap 0,025. 3. Untuk setiap � dan �, gunakan persamaan (3.24) untuk menghitung �∗ dan

persamaan (3.23) untuk menghitung �∗.

4. Tentukan total biaya integrasi ��∗ dengan persamaan (3.25) untuk setiap � dan

� dan perolehan nilai �∗ dan �∗ optimal.

5. Tentukan total biaya integrasi paling minimum pada langkah 4. Jika ��∗ selalu naik untuk setiap nilai � dan �, maka tetapkan nilai ��∗ yang paling minimum sebagai nilai optimum. Sehingga diperoleh �∗, �∗, �∗ dan �∗.

6. Ulangi langkah 1 sampai dengan langkah 5 untuk � =�+ 1.

3.5 Pembahasan Contoh Numerik

Untuk sistem rantai pasok: � = Rp50 per unit Untuk pemasok:

� = 16000 unit per tahun � = Rp600 per batch


(52)

Untuk pembeli:

� = 4000 unit per tahun � = Rp25 per pesan

= Rp7 per unit tiap tahun � = Rp50 per pengiriman � = Rp1 per unit

�= Rp15 per unit tiap tahun

(Masing-masing biaya dalam ribuan rupiah)

Akan ditentukan ukuran pengiriman dan ukuran stockout yang optimal sehingga total biaya integrasinya adalah minimum untuk 4 kali pengiriman (�= 4).

Penyelesaian:

Untuk menyelesaikan permasalahan ini, harus mengikuti langkah-langkah penyelesaian yang diberikan.

1. Untuk pengiriman pertama (� = 1) Mulai dengan �= 0

�=

2(4000)(25 + 600 + 50) 1�7 + (6)�2(4000)16000 � − �4922��

=�5400000 7,77 =�694980,69 = 834

�=(834)(7) 15 + 7 = 5838

22 = 265


(53)

�� = ��22(4000)

(834)�(25 + 50 + 834 + 600)�+��

834

2 −265 +

(265)2

2(834)�(7)�+

(152)(265)2

(834) +�(6)(834)�

4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)�� = (4,8)(1509) + (194,1)(7) + 631,52 + (5004)(0,125) = 7243,2 + 1358,71 + 631,52 + 625,5

= 9858,93

Untuk � = 0,025 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,025+�7+50(0,025)�+��6+50(0,025)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,025)�2 7+50(0,025)+15��

=� (8000)(675)

0,025 + 8,25 + 3,625−2,93

=�5400000 8,97 =�602006,69 = 776

�=(776)(8,25) 15 + 8,25 = 6402

23,25 = 275

�� = ��2(4000)+(0,025)(776)

2(776) �(25 + 50 + 776 + 600)�+��

776

2 −275 +

(275)2

2(776)�(8,25)�+

(15)(275)2

2(776) +�(7,25)(776)�

4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)�� = (5,17)(1451) + (161,73)(8,25) + 730,91 + (5626)(0,125)

= 7501,67 + 1334,27 + 730,91 + 703,25 = 10270,1


(54)

Untuk � = 0,05 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,05+�7+50(0,05)�+��6+50(0,05)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,05)�2 7+50(0,05)+15��

=� (8000)(675) 0,05 + 9,5 + 4,25−3,68

=�5400000 10,12 =�533596,84

= 730

�=(730)(9,5) 15 + 9,5 = 6935

24,5 = 283

�� = ��2(4000)+(0,05)(730)

2(730) �(25 + 50 + 730 + 600)�+��

730

2 −283 +

(283)2

2(730)�(9,5)�+

(15)(283)2

2(730) +�(8,5)(730)�

4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)�� = (5,5)(1405) + (136,85)(9,5) + 822,83 + (6205)(0,125)

= 7727,5 + 1300,07 + 822,83 + 775,62 = 10626,02

Untuk � = 0,075 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,075+�7+50(0,075)�+��6+50(0,075)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,075)�2 7+50(0,075)+15��

=� (8000)(675)


(55)

=�5400000 11,21 =�481712,76 = 694

�=(694)(10,75) 15 + 10,75 = 7460,5

25,75 = 290

�� = ��2(4000)2+(0,075)(694)

(694) �(25 + 50 + 694 + 600)�+��

694

2 −290 +

(290)2

2(694)�(10,75)�+

(15)(290)2

2(694) +�(9,75)(694)�

4000 16000−

1 2+

1 2−

4000 2(16000)�� = (5,8)(1369) + (117,59)(10,75) + 908,86 + (6766,5)(0,125)

= 7940,2 + 1264,09 + 908,86 + 845,81 = 10958,96

Untuk � = 0,1 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,1+�7+50(0,1)�+��6+50(0,1)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,1)�2

7+50(0,1)+15��

=� (8000)(675) 0,1 + 12 + 5,5−5,33

=�5400000 12,27 =�440097,8 = 663

�=(663)(12) 15 + 12


(56)

= 7956 27 = 295

��=��2(4000)+(0,1)(663)

2(663) �(25 + 50 + 663 + 600)�+�� 663

2 −295 + (295)2

2(663)�(12)�+ (15)(295)2

2(663) +�(11)(663)� 4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)��

= (6,08)(1338) + (102,13)(12) + 984,45 + (7293)(0,125) = 8135,04 + 1225,56 + 984,45 + 911,62

= 11256,67

Untuk � = 0,125 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,125+�7+50(0,125)�+��6+50(0,125)��2(4000)

16000��−��7+50

(0,125)�2 7+50(0,125)+15��

=� (8000)(675)

0,125 + 13,25 + 6,125−6,21

=�5400000 13,29 =�406320,54 = 637

�=(637)(13,25) 15 + 13,25 = 8440,25

28,25 = 299

�� = ��2(4000)2+(0,125)(637)

(637) �(25 + 50 + 637 + 600)�+��

637

2 −299 +

(299)2

2(637)�(13,25)�+

(15)(299)2

2(637) +�(12,25)(637)�

4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)��


(57)

= (6,34)(1312) + (89,67)(13,25) + 1052,6 + (7803,25)(0,125) = 8318,08 + 1188,13 + 1052,6 + 975,41

= 11534,22

Untuk � = 0,15 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,15+�7+50(0,15)�+��6+50(0,15)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,15)�2 7+50(0,15)+15��

=� (8000)(675) 0,15 + 14,5 + 6,75−7,13

=�5400000 14,27 =�378416,26 = 615

�=(615)(14,5) 15 + 14,5 = 8917,5

29,5 = 302

�� = ��2(4000)+(0.15)(615)

2(615) �(25 + 50 + 615 + 600)�+��

615

2 −302 +

(302)2

2(615)�(14,5)�+

(15)(302)2

2(615) +�(13,5)(615)�

4000 16000−

1 2+

1 2−

4000 2(16000)�� = (6,58)(1290) + (79,65)(14,5) + 1112,24 + (8302,5)(0,125)

= 8488,2 + 1154,92 + 1112,24 + 1037,81 = 11793,17


(58)

Untuk � = 0,175 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,175+�7+50(0,175)�+��6+50(0,175)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,175)�2 7+50(0,175)+15��

=� (8000)(675)

0,175 + 15,75 + 7,375−8,07

=�5400000 15,23 =�354563,36 = 595

�=(595)(15,75) 15 + 15,75 = 9371,25

30,75 = 305

�� = ��2(4000)+(0.175)(595)

2(595) �(25 + 50 + 595 + 600)�+��

595

2 −305 +

(305)2

2(595)�(15,75)�+

(15)(305)2

2(595) +�(14,75)(595)�

4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)�� = (6,81)(1270) + (70,67)(15,75) + 1172,58 + (8776,25)(0,125)

= 8648,7 + 1113,05 + 1172,58 + 1097,03 = 12031,36

Untuk � = 0,2 �=

2(4000)(25+600+50)

1�0,2+�7+50(0,2)�+��6+50(0,2)��2(4000) 16000��−�

�7+50(0,2)�2 7+50(0,2)+15��

=� (8000)(675) 0,2 + 17 + 8−9,03


(1)

=�5400000 16,17 =�333951,76 = 578

�=(578)(17) 15 + 17 = 9826

32 = 307

��=��2(4000)+(0,2)(578)

2(578) �(25 + 50 + 578 + 600)�+��

578

2 −307 +

(307)2

2(578)�(17)�+ (15)(307)2

2(578) +�(16)(578)�

4000 16000− 1 2+ 1 2− 4000 2(16000)��

= (7,02)(1253) + (63,53)(17) + 1222,95 + (9248)(0,125) = 8796,06 + 1080,01 + 1222,95 + 1156

= 12255,02

Dengan cara yang sama untuk setiap � dan � yang diberikan dimana �= 1 sampai dengan � = 4 dan �= 0 sampai dengan � = 0,2 dengan kenaikan tetap 0,025, sehingga diperoleh nilai �∗, �∗ dan ��∗ yang ditunjukkan dalam tabel optimal berikut:

Tabel 3.1. Hasil perhitungan model integrasi untuk berbeda-beda

� �=� �=� �=� �=�

� � �� � � �� � � �� � � ��

0,000 834 265 9858,93 519 165 9583,08 368 117 9612,17 289 92 9711,39 0,025 776 275 10270,10 480 170 10043,83 338 120 10110,24 265 94 10232,08 0,050 730 283 10626,02 449 174 10468,77 316 122 10557,52 247 96 10685,38 0,075 694 290 10958,96 425 177 10836,60 297 124 10960,64 232 97 11126,89 0,100 663 295 11256,67 404 180 11187,69 282 125 11337,75 219 97 11531,82 0,125 637 299 11534,22 386 181 11521,50 269 126 11707,97 209 98 11908,36 0,150 615 302 11793,17 371 182 11852,38 258 127 12038.07 200 98 12269,79 0,175 595 305 12031,36 358 183 12128,29 248 127 12356,06 192 98 12608,96 0,200 578 307 12255,02 346 184 12407,62 239 127 12668,34 185 98 12749,54


(2)

Dari tabel 1 di atas, diperoleh total biaya integrasi minimum untuk setiap � kali pengiriman berturut-turut sebagai berikut:

��1∗ = 9858,93; �1 = 0 dengan �1∗ = 834 dan �1∗= 265

��2∗ = 9583,08; �2 = 0 dengan �2∗ = 519 dan �2∗ = 165

��3∗ = 9612,17; �3 = 0 dengan �3∗ = 368 dan �3∗ = 117


(3)

BAB 4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Masalah persediaan antara pemasok dan pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan adanya backorder, dapat diselesaikan dengan menggunakan model integrasi pemasok-pembeli yaitu dengan menggabungkan total biaya persediaan pemasok dan total biaya persediaan pembeli untuk memperoleh total biaya sistem yang minimum. Oleh karena itu diperoleh:

1. Model integrasi pemasok-pembeli:

��∗(,) =��2�+��∗

2��∗ �(�+��+���∗+�)�+�� �∗

2 − �∗+ �∗2

2�∗�(��+

���)�+�� ∗2

2�∗ +�(��+���)�∗� � �− 1 2+ � 2− �� 2���

2. Ukuran pengiriman � optimal:

�∗ =

� 2�(�+�+��)+�

2(+�)+���2 ����+(�+��)+(�+��)�(2−�)�

� +�−1��

3. Ukuran kekurangan persediaan (stockout) � optimal:

=

�(� +��)

�+��+���

Hasil perhitungan model integrasi memperlihatkan bahwa laju kerusakan � dapat mempengaruhi jumlah produksi dan total biaya. Peningkatan laju kerusakan akan mengakibatkan menurunnya ukuran lot kelompok (batch) produksi dan meningkatnya ukuran kekurangan persediaan (stockout) serta meningkatnya total biaya sistem tahunan.


(4)

4.2 Saran

Penelitian ini hanya sebatas membahas model integrasi antara pemasok tunggal dan pembeli tunggal dengan produk tunggal. Penulis berharap, pembaca dapat mengembangkan penelitian pada masalah persediaan dengan multipemasok, multipembeli, multiproduk ataupun dengan permintaan yang bersifat probabilistik serta biaya backorder yang tidak konstan sehingga penerapannya lebih efektif dan lebih bermanfaat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Assauri, Sofjan. 1998. Manajemen Produksi dan Operasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Baroto, Teguh. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bhunia, A.K., Maiti, M. 1998. “Deterministic Inventory Model for Deteriorating Items with Finite Rate of Replenishment Dependent on Inventory Level”.

Computers and Operation Research, Vol. 25 No. 11, pp. 997-1006.

Chakrabarty, T., Giri, B.C., Chaundhuri, K.S. 1998. “An EOQ Model for Items with Weibull Distribution Deterioration, Shortages and Trended Demand: An Extension of Philip’s Model”. Computers and Operation Research, Vol. 25 No. 78 pp. 649-657.

Gazali, W., dan Soedadyatmodjo. 2007. KALKULUS. Edisi Kedua. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ginting, R. 2007. Sistem Produksi dan Operasi. Edisi pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Handhajani, S.B.P. 2005. Usulan Model Sistem Persediaan Bahan Baku dengan Mempertimbangkan Ongkos Kerusakan dan Crashing (Studi Kasus pada PT. ‘X’ Terbuka di Sidoarjo). Jurnal Ekonomi dan Manajemen. 6(1): hal. 35-46. Handoko, T.H. 1984. Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Pertama.

Yogyakarta: BPFE.

Herjanto, Eddy. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Kedua. Jakarta: Grasindo.

Indrajit, R.E. 2002. Konsep Manajemen Supply Chain. Jakarta: Grasindo.

Jonrinaldi dan Suprayogi. 2006. “Biaya Transportasi Tidak Linear dalam Model Siklus Persediaan Optimal Gabungan untuk Produk yang Mengalami Deteriorasi”. Jurnal Teknik Industri 6(1): hal. 59-68.

Mulyono, Sri. 2004. Riset Operasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nasution, A.H., dan Prasetyawan, Y. 2008. Perencanaan dan Pengendalian Produksi.

Edisi Pertama. Surabaya: Graha Ilmu.


(6)

Ristono, Agus. 2009. Manajemen Persediaan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarker, Bhaba R., Jamal, A.M.M., Wang, Shaojun. 2000. “Supply Chain Models for Perishable Products Under Inflation and Permissible Delay in Payment”.

Computers and Operation Research, Vol. 27, pp. 59-75.

Siagian, P. 1987. Penelitian Operasional Teori dan Praktek. Jakarta: UI Press.

Su, Chao-Ton, Lin, dan Chang-Wang. 2001. “A Production Inventory Model which Considers The Dependence of Production Rate on Demand and Inventory Level”. Production Planning and Control, Vol. 12 No. 1, pp. 69-75.

Subagyo, Pangestu, Marwan Asri, dan Hani Handoko. 2000. Dasar-Dasar Operations Research. Edisi kedua. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Supranto, Johannes. 1988. Riset Operasi untuk Pengambilan Keputusan. Jakarta: UI Press.

Taha, Hamdy A. 1982. Operations Research. Third Edition. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Wee, Hui-Ming. 1999. “Deteriorating Inventory Model with Quantity Discount, Pricing and Partial Backordering”. Int. J. Of Production Economics, Vol. 59, pp. 511-518.

Wee, Hui-Ming, Law, Sh-Tyan. 1999. “Economic Production Lot Size for Deteriorating Items Taking Account of The Time-Value of Money”.