Latar Belakang Masalah Pangguni Uttiram (Suatu Ritual Hindu-Tamil di Kuil Shri Thendayudabani, Kota Lubuk Pakam, Sumatera Utara)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelompok suku bangsa Tamil di Indonesia berasal dari negara India bagian selatan. Kelompok suku bangsa Tamil ini banyak terdapat di Sumatera Utara seperti Pematang Siantar, Lubuk Pakam, Langkat, Binjai, dan Medan. Banyak dari mereka didatangkan pada zaman kolonial Belanda untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Kelompok suku bangsa Tamil kemudian berkembang secara turun-temurun hingga sekarang di Indonesia. Suku bangsa Tamil adalah mayoritas pemeluk Agama Hindu. 1 Meskipun pada hakekatnya ajaran Hindu di berbagai daerah semua sama, namun dalam praktik keagamaan yang tampak pada upacara-upacaranya mungkin berbeda. Perbedaan ini tidak terlepas dari faktor kebudayaan. Agama Hindu menjadi agama yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat pemeluknya. Agama Hindu banyak menjalani kepercayaannya melalui praktik upacara. Berbagai upacara pemujaan dilakukan sebagai bakti mereka kepada Dewa- dewanya. Seperti yang kita ketahui misalnya pada masyarakat Bali. Agama Bali 2 1 Agama Hindu sesungguhnya adalah suatu proses antropologis, yang hanya karena nasib ironis saja diberi nama agama. Dengan pangkal kepada Weda-weda yang terkandung di dalamnya dirinya adat-istiadat dan gagasan-gagasan salah satu atau beberapa suku bangsa, agama Hindu sudah bergulir terus di sepanjang abad hingga kini, sebagai suatu bola salju yang makin lama menjadi besar karena menghisap adat-istiadat dan gagasan-gagasan bangsa yang dijumpainya di dalam dirinya Harahap, 1994: 89. 2 Penyebutan Agama Bali mengacu kepada Agama Hindu yang terdapat di Bali. Penggunaan sebutan ini memang masih menjadi perdebatan di kalangan Hindu-Bali. Universitas Sumatera Utara 2 juga terwujud dalam upacara dan agama dalam bentuk upacara, diwariskan dari generasi ke generasi selanjutnya melalui praktik keagamaannya. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari orang Bali dengan berbagai macam pelaksanaan upacaranya Abdullah, 2002: 45. Hal serupa itu juga akan terlihat pada masyarakat Tamil. Masyarakat Tamil di Indonesia adalah kelompok suku pendatang yang kemudian berkembang di Indonesia. Oleh karena masyarakat keturunan suku bangsa Tamil ini telah menjadi bagian dari warga negara Indonesia, maka mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama, terutama dalam kehidupan beragama. Pada saat-saat tertentu, umat Hindu-Tamil melaksanakan upacara agama diantaranya Aadi Tirula, Ganisher Puja, Nawaratri, Pangguni Uttiram, Kartigeya. Ritual ini biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu menurut kalender Hindu-Tamil sebagai perayaan khusus kepada setiap Dewa-dewanya. Bentuk upacaranya sama yakni pemujaan Dewa, akan tetapi latar belakangnya berbeda. Beranjak dari hal tersebut, penulis mencoba memberi perhatian khusus pada salah satu ritual yang diberi nama Pangguni Uttiram. Kata “pangguni uttiram” berasal dari penamaan salah satu bulan dari kalender Hindu-Tamil, yaitu bulan Pangguni, dan Uttiram adalah satu dari 27 bintang dalam astrologi Hindu-Tamil. Pangguni Uttiram adalah hari raya bagi umat Hindu-Tamil. Hari raya ini diperingati sebagai hari kelahiran atau ulang tahun Dewa Murugar. Bagi umat Hindu-Tamil, pelaksanaan ritual ini saatnya bagi mereka untuk meminta sesuatu atau saatnya bagi mereka yang ingin membayar niat mereka karena keinginannya telah terpenuhi. Universitas Sumatera Utara 3 Seperti yang dikisahkan oleh Bapak Thegu 70 Tahun: “Murugar adalah anak pertama dari Dewa Siwa dan Amen Dewi Parwati. Sifat Murugar lebih keras dari adiknya Ganisher Dewa Ganesha. Hingga suatu hari Murugar ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang diberikan Amen kepada Ganisher. Murugar cemburu jika ia dibedakan dengan adiknya. Dalam perkelahian antara Murugar dan Ganisher, Amen pun mengirim Murugar ke bumi. Turunlah Murugar ke bumi untuk melihat kehidupan manusia di muka bumi. Ini sebagai hukuman karena Murugar telah menentang Amen. Dalam perjalanannya tersebut, Murugar melihat banyaknya manusia yang berbuat jahat karena godaan Asura makhluk jahat. Ia menceritakan itu pada ibunya, lalu ibunya menjanjikan jika ia dapat mengalahkan Asura maka ia akan diberi kekuasaan untuk memimpin manusia di bumi. Dalam sebuah peperangan, kekuatan Murugar tidak dapat mengalahkan Asura. Lalu ibunya memberikan Vel tombak sebagai senjata untuk menyerang Asura. Murugar kemudian mencari jejak Asura dalam persembunyian. Dalam cerita itu Asura bersembunyi di lautan yang dalam dengan wujud sebuah pohon Mangga. Dengan kebesaran Murugar ia melemparkan Vel itu yang membelah pohon dan mematahkannya. Akhirnya ia dapat mengalahkan Asura. Asura mengakui Murugar sebagai Dewa dan memohon maaf. Sebagian diri Asura berubah menjadi Burung Merak yang siap melayani sebagai wahana Murugar, dan sebagiannya yang lain berubah menjadi seekor ular kemenangan. Keduanya ini yang menjadi identik dari Murugar. Atas kemenangannya membinasakan kejahatan, Murugar disambut meriah dengan nyanyian dan tari-tarian. Dia diarak ke seluruh penjuru kota dengan kereta kencana. Seluruh kota yang dilalui arak-arakan Murugar akan mendapatkan berkah atas kemenangan itu. ” Dalam kisah itu kemudian Murugar menjadi Dewa yang dianggap memiliki kekuatan besar, pemberi berkah dan keselamatan, serta pemurah. Sehingga setiap peristiwa yang dialami Murugar diperingati dalam bentuk upacara keagamaan, seperti ulang tahun hari kelahiran yang diperingati setiap Bulan Pangguni, atau pada Bulan Thai diperingati sebagai hari kemenangan karena telah menang dalam peperangan. Untuk menebus dosa, atau meminta berkah kepada Dewa Murugar bisa saja dilakukan pada saat upacara Thaipusam yang dilakukan pada Bulan Thai. Hal ini kembali lagi pada niat seseorang, kapan ia akan membayarnya. Namun sebagian orang melakukannya di Bulan Pangguni. Alasannya karena Pangguni Uttiram hanya dirayakan di Kuil Murugar. Murugar sendiri merupakan Dewa Universitas Sumatera Utara 4 yang mendapat pemujaan khusus di kuil tersebut. Oleh karena itu, perayaan akan lebih meriah di kuil tersebut. Sementara itu, ritual Pangguni Uttiram tidak hanya memiliki fungsi agama saja, akan tetapi juga memiliki fungsi sosial. Selain menjalankan kewajiban agamanya, pada perayaan ini orang-orang Tamil dapat bertemu dan berkumpul dengan sesama suku bangsa Tamil dari berbagai daerah. Pertemuan ini dimanfaatkan untuk saling mengenal diantara mereka yang tinggal di daerah yang berjauhan. Sehingga dalam perayaan ini dapat juga menimbulkan rasa solidaritas bagi masyarakat Tamil itu sendiri. Pada tahun 1880 Masehi untuk pertama kalinya ritual Pangguni Uttiram diadakan seiring dengan dibangunnya Kuil Shri Thendayudabani di Lubuk Pakam. Selain memberi fungsi agama dan fungsi sosial bagi masyarakat Tamil sendiri, ritual ini dapat menjadi salah satu tujuan wisata bagi masyarakat umum. Ini terlihat dengan antusiasnya masyarakat di luar Tamil yang turut menghadiri dan menyaksikan acara ini. Bagi masyarakat Tamil, ritual ini boleh saja diikuti oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, maupun golongan. Di satu sisi, ritual Pangguni Uttiram adalah upacara keagamaan dimana para umat yang hadir menjalani ibadahnya sesuai ajaran Hindu. Namun di sisi lain, akan tampak keunikan mewarnai dalam pelaksanaannya. Sebab dalam pelaksanaan tersebut dijumpai juga unsur-unsur kebudayaan lain di luar budaya Tamil seperti seni pertunjukan Barongsai dan Jaran Kepang. Tradisi Pangguni Uttiram telah dilakukan selama lebih dari seratus tahun. Namun pada zaman pemerintahan Orde Baru, tradisi ini pernah dilarang. Alasannya, karena perayaan yang dilakukan di luar kuil ini dianggap dapat Universitas Sumatera Utara 5 mengganggu stabilitas keamanan pada waktu itu. Sehingga pada masa itu hanya dilakukan di dalam kuil. Dengan demikian ada beberapa ritual yang tidak bisa dilakukan secara lengkap. Tahun 1999 dari kalangan pemuda Tamil berupaya mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengadakan kembali ritual ini secara utuh. Karena bagi mereka ritual yang dilakukan di luar kuil merupakan bagian dari ibadah yang wajib dijalani. Sehingga pada tahun 1999 ritual itu sudah dapat kembali dilakukan di luar kuil dan dapat disaksikan oleh masyarakat umum. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui secara mendalam mengenai ritual Pangguni Uttiram. Hal ini untuk melihat dan menggambarkan bagaimana umat Hindu-Tamil menjaga tradisi ini hingga masuknya unsur-unsur budaya lain dalam pelaksanaannya hingga saat ini.

1.2 Perumusan Masalah