Perjanjian Internasional Terkait CITES

13 Jika dilihat dari 80 negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Belgia, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia, Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela. 17 Negara-negara yang menandatangani konvensi CITES disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima, dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara telah bergabung menjadi anggota Kovensi dimana Bosnia dan Herzegovina sebagai negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak menjadi anggota CITES, yaitu Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti, Irak, Kiribati, Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Korea Utara, Sudan Selatan, Tajikistan, Tonga, Turkmenistan, dan Tuvalu. Konvensi CITES tidak berlaku di Pulau Faroe.

2.2 Perjanjian Internasional Terkait CITES

Perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah: kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud 17 Tonny Soehartono dan Ani Mardiastuti, 2003, Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia, Japan International Cooperation Agency, Jakarta, h. 9. 14 untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. 18 Beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut suatu perjanjian internasional antara lain: traktat yang merupakan pengambil alihan dari istilah tractaat dalam bahasa Belanda atau istilah treaty dalam bahasa Inggris, Konvensi yang berasal dari kata convention dalam bahasa Inggris, deklarasi yang berasal dari kata declaration, statuta yang berasal dari kata statute, pakta yang berasal dari kata pact, protokol yang berasal dari kata protocol, piagam yang merupakan terjemahan dari kata charter, persetujuan yang merupakan terjemahan dari kata agreement, dan istilah perjanjian yang merupakan istilah generik untuk menyebut segala macam dan bentuk perjanjian. 19 Proses perumusan perjanjian internasional dilakukan dengan penunjukkan masing-masing pihak yang diberikan tugas dan kewenangan untuk melakukan perundingan. Setelah melakukan proses perundingan antara wakil-wakil para pihak, maka tahap kedua yaitu penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian dimana hal ini menunjukan bahwa para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian. Dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa: “The adoption of the text of a treaty at an international conference takes place by the vote of two thirds of the States present and voting, unless by the same majority they shall decide to apply a different rule” 20 . Sesuai 18 I Wayan Parthiana, Op.cit, h. 12. 19 Ibid, h. 26-27 20 Article 9 point 2 Konvensi Wina 1969 15 dengan hal tersebut ketentuan pengadopsian naskah perjanjian CITES 21 dilakukan melalui konferensi internasional dengan persetujuan dari dua per tiga negara- negara yang hadir dan memberikan suaranya, berbagai usulan amandemen yang dari semua peserta disampaikan ke sekretariat sekurang-kurangnya 90 hari sebelum rapat, amandemen memiliki kekuatan bagi anggota ketika telah disetujui selama 60 hari setelah dua per tiga peserta setuju mengamandemen instrumen ini. Tahap lanjutan dari penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian adalah pengontentikan atau pengesahan yang akan meningkatkan status dari naskah perjanjian sehingga naskah tersebut menjadi final dan definitif. “The text of a treaty is established as authentic and definitive: a by such procedure as may be provided for in the text or agreed upon by the States participating in its drawing up; or” 22 dalam Convention on International Trade in Engdangered of Wild Fauna and Flora CITES, instrumen perjanjian internasional tersebut terdapat didalam Article XX Ratification, acception, approval dan Article XXI Accesion. Bahwa negara peserta diberikan kebebasan memlilih cara apa yang akan dilakukan untuk mengesahkan CITES ini. Article XXI dijelaskan konvensi memberikan jangka waktu yang tidak terbatas untuk negara yang melakukan pengesahan dengan cara aksesi. Setelah secara resmi diterima, naskah yang otentik perjanjian tersebut belum mengikat para pihak, maka untuk terikat pada perjanjian suatu negara perlu menyatakan persetujuannya untuk terikat ataupun menolak secara tegas untuk 21 Article XVII Convention on International Trade in Endangered of Spesies Wild Fauna and Flora CITES 22 Article 10 point a Konvensi Wina 1969 16 tidak terikat. Karena persetujuan ataupun penolakan untuk terikat pada suatu perjanjian adalah manifestasi dari kedaulatan negara. Sebagai negara berdaulat, dia tidak bisa dipaksa oleh kekuatan apapun untuk menerima sesuatu yang tidak dikehendakinya, seperti menyatakan terikat pada suatu perjanjian internasional. Dijelaskan dalam Konvensi Wina 1969 bahwa: 23 “The consent of a state to be bound by a treaty is expressed by the signature of its representative when: a the treaty provides that signature shall have that effect; b it is otherwise established that the negotiating States were agreed that signature shoukd have that effect; or c the intention of the States to give that effect to the signature appears from the full powers of its representative or was expressed during the negotiation.” Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sebagai parties dalam merumuskan CITES yang merupakan perjanjian internasional dilakukan dengan cara signature penandatanganan, untuk mengikat anggotanya. Hal ini diatur didalam Article XIX CITES bahwa: “The present Convention shall be open for signature at Washington until 30th April 1973 and thereafter at Berne until 31st December 1974” 24 . Oleh Indonesia CITES ditandatangani di Washington pada bulan Maret 1973. 25 Setelah penandatanganan, persetujuan untuk terikat pada perjanjian dinyatakan salah satunya dengan aksesi, dalam Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa: 26 “The consent of a State to be bound by treaty is expressed by accesion when: 23 Article 12 point 1Konvensi Wina 1969 24 Article XIX Convention on International Trade in Endangered of Spesies Wild Fauna and Flora CITES 25 Lampiran 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1978 26 Article 15 Konvensi Wina 1969 17 a the treaty provides that such consent may be expressed by that State by means of accession; b it is otherwise established that the negotiating States were agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession; or c all the parties have subsequently agreed that such consent may be expressed by that State by means of accession.” Aksesi atau pengesahan perjanjian internasional dalam hukum nasional diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 memberikan acuan bahwa Pengesahan Perjanjian Internasional dengan undang-undang bila tentang: 27 1 Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara; 2 Perubahan wilayahpenetapan batas wilayah negara RI; 3 Kedaulatanhak berdaulat negara; 4 HAM lingkungan hidup; 5 Pembentukan kaidah hukum baru; 6 Pinjaman hibah luar negeri. Terhadap Pasal 10 ini Undang-Undang No.24 Tahun 2000 yang berkaitan dengan Keppres No.43 Tahun 1978 tentang Aksesi CITES menjelaskan bahwa Pengesahan Perjanjian melalui keputusan presiden dilakukan atas perjanjian yang mensyaratkan adanya pengesahan sebelum memulai berlakunya perjanjian, tetapi memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Jenis-jenis perjanjian yang termasuk dalam kategori ini, diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, penghindaran pajak berganda 27 Sefriani, 2011, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta, h.37. 18 dan kerja sama perlindungan penanaman modal serta pengesahan yang bersifat teknis. 28 Adapun pengaturan perlindungan satwa langka di tingkat internasional yang berkaitan dengan CITES, salah satunya pengaturan hukum lunak di tingkat internasional ialah semua produk hukum internasional yang tidak mempunyai kekuatan mengikat binding power tapi digunakan sebagai dasar pembentukan hukum masa yang akan datang. 29 Yang menjadi hukum lunak tersebut antara lain: a. Deklarasi Stockholm 1972 Deklarasi ini merupakan sejarah yang penting dalam perkembangan hukum lingkungan, sehingga perkembangan lingkungan telah memperoleh dorongan yang kuat, baik bertaraf nasional, regional, maupun internasional. Dengan dikeluarkannya konferensi tentang penanganan lingkungan hidup, ini berhasil melahirkan sebuah konsep atau pola pembangunan yang disebut dengan pola pembangunan yang berkelanjutan sustainable development dengan wawasan lingkungan yaitu suatu konsep yang mengatur pola pembangunan dengan memperhatikan lingkungan supaya kelestarian lingkungan tersebut dapat terus terjaga sehingga dapat dinikmati oleh generasi yang selanjutnya. Dalam suatu resolusi khusus, konferensi menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup Sedunia” 28 Ibid, h. 38 29 Sukanda Husin, 2006, Pengaturan Perlindungan Kenekaragaman Hayati dalam Lingkungan Internasional edisi XV, Jurnal Hukum Universitas Andalas, Sumatera Utara, h. 38. 19 b. Deklarasi Rio 1992 Deklarasi ini diadakan dalam rangka memperingati Deklarasi Stockholm 1972 yang ke-20, dengan nama konferensi United Nation Conference on Environment and Development UNCED. Deklarasi Rio ini merupakan penegasan kembali terhadap deklarasi Stockholm mengenai pentingnya perlindungan terhadap lingkungan secara global. Meskipun prinsip-prinsip yang termuat dalam Deklarasi Rio ini tidak mengatur secara tegas mengenai perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa langka, namun terdapat prinsip-prinsip yang menyinggung mengenai teori pembangunan berkelanjutan sustainable development. 30 Meskipun Deklarasi Stockholm dan Deklarasi Rio tidak menyinggung secara langsung mengenai perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa langka, namun berdasarkan dua deklarasi inilah lahir konvensi-konvensi internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional mengenai perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang didalamnya termasuk jenis tumbuhan dan satwa. Sedangkan bentuk pengaturan terhadap satwa langka yang berbentuk hukum keras yaitu suatu produk hukum yang proses pembuatannya melalui 3 tahap yakni negosiasi, penandatangan, dan ratifikasaksesi, diantaranya: a. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES merupakan perjanjian dengan fokus pada perlindungan spesies tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional serta 30 Koesndi Hardjasoemantri, 2012, Hukum Tata Lingkungan, GadjaMada University Press, Yogyakarta, h. 6 20 tindakan eksploitasi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 31 Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan ini. Meskipun CITES mengikat para pihak, CITES menyediakan kerangka kerja yang harus dihormati oleh para pihak. Para pihak harus mengadopsi peraturan domestiknya sendiri untuk memastikan bahwa CITES diimplementasikan di tingkat nasional. Sampai dengan tanggal 21 Januari 2009 CITES telah memiliki 176 party. 32 Indonesia telah mengaksesi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora CITES, melalui Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978. Ini merupakan transformasi hukum internasional ke hukum nasional. Dengan diaksesinya CITES maka konvensi tersebut mengikat bagi Indonesia, serta berkewajiban untuk melindungi spesies langka dari perdagangan internasional. Selain itu setiap pihak dalam konvensi harus menunjuk satu atau lebih otoritas pengelola yang bertanggung jawab dalam mengelola sistem perizinan dan menunjuk satu atau lebih otoritas ilimiah yang menilai dampak perdagangan terhadap kelestarian spesies tersebut. 33 b. Convention on Biological Diversity 1992 Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati ini ditandatangai oleh 159 negara dan Uni Eropa dan mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 1993 31 Roby Yolis Pata’dungan, 2013, “Implementasi CITES Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora Dalam Upaya Konservasi Penyu di Indonesia”, Ejournal Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur h. 921. 32 “CITES” Loc.cit. 33 Ibid 21 dan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kenekaragaman Hayati KKH melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1994, yang merupakan hasil dari konferensi Rio 1992 sebagai keberhasilan masyarakat internasional dalam mengupayakan perlindungan keanekaragaman hayati 34 . Konvensi ini adalah konvensi pertama yang mengatur seluruh aspek keanekaragaman hayati termasuk habitat dan ekosistem dari tumbuhan dan satwa langka tersebut. Tujuan dari CBD ini tercantum dalam Pasal 1 menyatakan: “Tujuan Konvensi ini, seperti yang tertuang dalam ketetapan- ketetapannya, ialah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetic secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan teknologi itum maupun dengan pendanaan yang memadai.” 35 c. Protocol Cartagena Protocol Cartagena adalah kesepakatan antara para pihak mengatur tata cara gerakan lintas batas negara yang secara sengaja termasuk penanganan dan pemanfaatan suatu organisme hidup yang dihasilkan oleh bioteknologi modern dari suatu negara ke negara lain oleh seseorang atau badan hukum. Indonesia telah meratifikasi protokol ini melalui Undang- Undang No. 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena tentang Keanekaragaman Hayati atas Konservasi tentang Keanekaragaman 34 Sukanda Husin, Jurnal Loc.cit 35 Pasal 1 Convention on Biological Divesity 1992 terjemahan bahasa Indonesia 22 Hayati pada tanggal 16 Agustus 2004, dan jumlah negara yang telah menandatangani dan meratifikasi ini sebanyak 134 negara.

2.3 Pengertian Perdagangan Satwa Langka