Tenaga Kerja Pertanian Per Kecamatan
SELISIH KEBUTUHAN TENAGA KERJA PERTANIAN PER KECAMATAN TAHUN 2008
-200000.00 -100000.00
0.00 100000.00
200000.00 300000.00
400000.00 500000.00
600000.00
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
BULAN
JU M
LA H
P E
TA N
I H
O K
BAE DAWE
GEBOG JATI
JEKULO KALIWUNGU
KOTA MEJOBO
UNDAAN
Gambar 33 Selisih Kebutuhan Tenaga Kerja Pertanian Per Kecamatan Kabupaten Kudus.
Selisih kebutuhan tenaga kerja tertinggi terjadi di Kecamatan Dawe dan terendah di Kecamatan Jekulo Gambar 33. Dari sini diketahui, bahwa Kecamatan
Jekulo, Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Kota terdapat kekurangan tenaga kerja pertanian pada bulan-bulan tertentu.
Kekurangan tenaga kerja pertanian pada puncak masa tanam, di bulan Pebruari dan Oktober pada Kecamatan Kaliwungu, Kota dan Jekulo, dipenuhi dari kecamatan
yang lain. Kekurangan tenaga kerja pada bulan-bulan tersebut dipenuhi dari kecamatan-kecamatan disekitarnya, sehingga terjadi arus perpindahan tenaga kerja
pertanian menuju tiga kecamatan tersebut. Kekurangan tenaga kerja pertanian ini juga diantisipasi dengan penggunaan traktor tangan pada saat penanaman 34,6 atau
17 dari 49 dari responden untuk mengurangi pemakaian tenaga kerja pertanian. Daerah-daerah dengan status tenaga kerja pertanian surplus, dapat dikatakan
bahwa ada tenaga kerja yang tidak terserap pada bulan-bulan tertentu. Di bulan Desember ada delapan kecamatan dengan status surplus artinya, ada tenaga kerja
yang tidak terserap di bidang pertanian. Secara sosial, tenaga kerja pertanian yang tidak terserap ini akan menimbulkan pengangguran, dan tidak adanya pendapatan
dari usahatani. Usahatani menjadi strategis karena merupakan sektor yang menyediakan
makanan pokok bagi sebagian masyarakat. Tenaga kerja merupakan faktor penting dalam sistem usahatani padi, dimana kebutuhan selalu berfluktuasi dan seringkali
sulit dipenuhi oleh petani. Pengalaman beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa penggunaan tenaga manusia untuk mengisi kekurangan tenaga kerja pada saat
puncak kegiatan usahatani mendorong bertambahnya populasi penduduk. Kondisi ini akan menghambat penerimaan teknologi baru dan menurunnya produktifitas tenaga
kerja. Hal ini juga akan membatasi petani untuk memilih sumber tenaga selain harus menggunakan anggota keluarganya sebagai sumber tenaga yang murah. Untuk itu
diperlukan alternatif, salah satunya adalah mekanisasi pertanian melalui teknologi alsintan Ananto dan Alimansyah, 2009. Dari pengamatan data primer diketahui
bahwa 34,6 17 dari 49 responden dari responden menggunakan traktor tangan yang dapat disewa untuk pengolahan tanah. Dalam hal ini, efisiensi pemakaian tenaga
kerja pertanian telah dilakukan. Dari hasil perhitungan antara kebutuhan tenaga kerja pertanian dan
ketersediaan tenaga kerja pertanian di Kabupaten Kudus tahun 2008, dapat diketahui bahwa dalam satu tahun, di Kecamatan Kota dan Kecamatan Jekulo terjadi defisit
tenaga kerja pertanian. Sedangkan dinamika kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja pertanian dapat dilihat bahwa pada bulan Januari sampai dengan September serta
bulan Nopember. Dari data yang diperoleh bahwa Kecamatan Kota dan Jekulo mengalami defisit tenaga kerja pertanian pada waktu tersebut. Pada bulan Oktober,
Kecamatan Kota, Kaliwungu dan Jekulo mengalami defisit tenaga kerja pertanian dimana pada bulan ini terjadi puncak masa tanam. Pada bulan Desember, hanya
Kecamatan Kota yang mengalami defisit tenaga kerja pertanian. Gambar 32 menyajikan pola penggunaan tenaga kerja di daerah pengamatan yang sangat
dipengaruhi oleh musim, karena data menunjukkan adanya kelebihan atau kekurangan tenaga kerja pada bulan tertentu.
Musim tanam di wilayah pengamatan adalah tiga kali masa tanam: dua kali masa tanam serta satu kali masa tanam untuk tanaman tahunan tebu. Dapat dikatakan
bahwa tenaga kerja pertanian di wilayah pengamatan secara umum masih terpenuhi karena pada bulan-bulan tertentu dimana terjadi masa tanam serentak, masih bisa
diantisipasi dengan memakai tenaga kerja dari kecamatan lain. Kecamatan lain yang
tenaga kerjanya tidak mengalami defisit juga terjadi ketidak seragaman permulaan musim tanam untuk memenuhi tenaga kerja pertanian di kecamatan tersebut.
Dari data primer juga diketahui bahwa sebagian besar responden 79 memiliki pekerjaan selain sebagai petani. Artinya curahan waktu yang dipergunakan
untuk bertani sebenarnya tidak dominan, karena diluar musim tanam dan perawatan, masih ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan sehingga memberikan nilai tambah
secara ekonomi. Menurut Ananto et al. 1994, perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian merupakan hal yang wajar. Hal ini sejalan dengan
preferensi generasi muda di pedesaan yang berbeda. Di Indonesia, berkembangnya sektor nonpertanian yang dibarengi dengan tingkat pendidikan telah mendorong
keluarnya tenaga kerja muda di pedesaan dari pertanian ke non pertanian. Hai ini dirangsang oleh tingkat upah yang lebih baik dan keterjaminan pendapatan,
dibandingkan di sektor pertanian yang bersifat musiman. Data primer yang diperoleh menunjukkan bahwa usia responden 71 dibawah
56 tahun. Artinya tenaga kerja pertanian di Kabupaten Kudus adalah tenaga kerja dalam usia produktif. Hal ini berbeda dengan kasus di enam kecamatan di Jawa Barat
yang dilakukan oleh Ananto et al. 1990. Penelitian ini menunjukkan tenaga kerja yang tinggal di desa adalah tenaga kerja yang relatif sudah tua dengan pendidikan
yang rendah, karena tidak mampu bersaing di luar. Hal ini tercermin dari rendahnya mobilitas, 93 dari tenaga yang tinggal tersebut hanya bekerja di desa, 6,9 di luar
desa dan 0,1 di luar kecamatan, dan hampir tidak ada yang bekerja di luar kabupaten. Dari tingkat partisipasi tenaga kerja di desa sebagian besar dalam
usahatani, namun tidak diikuti oleh curahan hari kerja yang tinggi. Sebagai contoh, curahan hari kerja untuk pengolahan tanah hanya 13-15 hari per tahun, panen dan
pasca panen 21 hari, sedangkan hari kerja efektif di sektor industri dan jasa berkisar antara 96-289 hari pertahun.
Kekurangan tenaga kerja untuk usahatani padi, khususnya pengolahan tanah, semula dapat dipenuhi oleh tenaga kerja musiman dari luar daerah, tetapi sekarang
tenaga kerja migran makin langka karena terbukanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian dan perbaikan usahatani melalui intensifikasi dan ekstensifikasi di daerah
asal. Hal ini sejalan dengan penelitian Colter 1981 dalam Ananto 1990. Upaya mencukupi kekurangan tenaga dengan meningkatkan mobilitas mengalami kesulitan
karena tingkat upah pengolahan tanah tidak menarik Ananto et al., 1990. Keadaan ini menyebabkan petani mencari alternatif untuk menekan biaya produksi. Salah
satunya adalah pemakaian traktor untuk pengolahan tanah. Dengan pemakaian traktor maka terjadi efisiensi dalam pemakaian tenaga kerja pertanian. Dan hal ini
pula yang terlihat di wilayah pengamatan. Meskipun dalam kenyataannnya petani di wilayah tertentu sudah kesulitan untuk mendapatkan buruh tani, namun dari
penelitian diketahui bahwa hanya Kecamatan Kota, Kaliwungu dan Jekulo yang secara akumulatif mengalami kekurangan tenaga kerja per bulannya. Bila dilihat
Kecamatan Kota, dengan jumlah petani yang sedikit 121 orang yang terdiri dari 72 petani sendiri dan 49 buruh tani sesuai data dari Kudus Dalam Angka 2009, dengan
luas sawah 176 ha dan lahan pertanian non sawah 46 ha, maka total kebutuhan tenaga kerja adalah 79194 HOK per tahun. Dengan asumsi rata-rata kebutuhan tenaga
kerja pada sawah padi untuk dua kali masa tanam adalah 422 HOK per ha, dan kebutuhan lahan pertanian non sawah untuk budidaya ubikayu 107 HOK per tahun.
Asumsi lainnya sesuai dari pengamatan data primer adalah hanya 30 dari petani sendiri yang tidak mempunyai pekerjaan lain dan bertani penuh waktu serta
mencurahkan waktunya untuk pertanian dan tidak mempunyai pekerjaan selain bertani. Sehingga dapat diketahui bahwa jumlah hari kerja yang dimiliki oleh petani
Kecamatan Kota dalam satu tahun 365 hari adalah 25769 hari sehingga diperlukan 53425 HOK tambahan tenaga kerja dari luar daerah atau diperlukan alternatif
pengganti dengan penggunaan alsintan. Apabila asumsi 30 petani sendiri tidak digunakan dan dianggap semua petani mencurahkan waktunya untuk pertanian, maka
jumlah hari kerja selama setahun adalah 31523 hari atau terjadi akumulasi kekurangan tenaga kerja pertanian adalah sebesar 47671 HOK.
Demikian pula perhitungan yang terjadi pada kecamatan lain sehingga dinamika ketersediaan tenaga kerja selama satu tahun dari Bulan Januari sampai dengan
Desember 2008 dapat dilihat pada Gambar 33.
Januari Pebruari
Maret April
Mei Juni
Juli Agustus
September Oktober
Nopember Desember
Gambar 34 Kartogram Dinamika Ketersediaan Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Kudus Tahun 2008.
Antisipasi kekurangan tenaga kerja dilakukan dengan permulaan masa tanam yang tidak bersamaan, sehingga tenaga kerja pertanian dapat bekerja secara
bergiliran. Hal ini dapat dijumpai pada pengamatan data primer, dimana fluktuasi rata-rata kebutuhan tenaga kerja per bulannya tidak terlalu tajam.
Daerah-daerah dengan status tenaga kerja pertanian surplus, atau lebih dari kebutuhan, dapat dikatakan bahwa ada tenaga kerja yang tidak terserap pada bulan-
bulan tertentu. Masalah yang terjadi adalah pada saat off-season. Pada masa on- season penganggur ini dibutuhkan lagi sehingga mereka tidak perlu meninggalkan
tempat tinggalnya jauh-jauh secara permanen. Salah satu pemecahannya berupa
migrasi musiman ke daerah lain, namun tindakan seperti ini mahal bila ditinjau dari biaya sosial. Salah satu alternatifnya adalah mengembangkan jenis-jenis kegiatan off-
farm atau non-farm di daerah pedesaan, yang disesuaikan dengan irama musiman. Menurut Sumarsono 2003, keuntungan dari kegiatan ini dapat mengikat mereka
untuk tetap tinggal di desa sehingga kemajuan dan keberhasilan mereka juga akan membawa dampak positif bagi pengembangan desa.
Dari data primer diketahui bahwa 79 petani memiliki pekerjaan selain sebagai petani. Artinya curahan waktu yang dipergunakan untuk bertani sebenarnya tidak
dominan, karena diluar musim tanam dan perawatan, masih ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan sehingga memberikan nilai tambah secara ekonomi. Secara sosial ini
akan menjadi permasalahan bagi 21 dari petani yang hanya menggantungkan kehidupannya dari bertani, karena tidak adanya kegiatan usahatani, dan berimplikasi
pada tidak adanya tambahan pendapatan yang menyebabkan rendahnya pendapatan petani. Untuk itu pengembangan usaha kecil menengah yang berbasis komoditas,
untuk memberi nilai tambah perlu mendapat perhatian khusus agar sektor pertanian dapat seiring sejalan dengan perkembangan sektor lainnya, tanpa harus meninggalkan
daerahnya. Bila dilihat dari produktivitasnya, maka pemakaian alat mesin pertanian akan
meningkatkan efisiensi serta menambah produktivitas petani dalam berusahatani. Produktivitas sendiri didefinisikan sebagai perbandingan antara hasil yang didapat
dengan dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan persatuan waktu Simanjuntak, 1997. Pemakaian alat mesin pertanian dapat mempersingkat waktu
pengerjaan kegiatan usahatani sehingga dapat meningkatkan efisiensi usahatani. Selisih kebutuhan tenaga kerja di Kabupaten Kudus tanpa memperhitungkan
batas kecamatan, dapat dilihat pada Gambar 35. Ketersediaan tenaga kerja ini ternyata masih surplus bila dilihat dalam satu kabupaten. Masalah tenaga kerja
pertanian, apabila dilihat dalam ruang yang lebih luas kabupaten maka tampak seperti tidak bermasalah. Namun bila diamati pada wilayah kecamatan, maka defisit
tenaga kerja pertanian dapat teramati.
SELISIH KEBUTUHAN TENAGA KERJA PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TIAP BULAN
200000 400000
600000 800000
1000000 1200000
1400000 1600000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
BULAN
J U
M LA
H P
E TA
N I
H O
K
Gambar 35 Selisih Kebutuhan Tenaga Kerja Pertanian di Kabupaten Kudus per Bulan
. Dinamika pergerakan tenaga kerja pertanian ini dapat dilihat pada ruang dan
waktu yang lebih kecil lagi, misalnya wilayah desa, dengan pengamatan penggunaan tenaga kerja secara mingguan, dan hal ini disarankan untuk penelitian-penelitian
selanjutnya mengenai dinamika tenaga kerja pertanian. Permasalahan umum yang terjadi pada masyarakat yang sedang berkembang
dari dari corak agraris ke ekonomi industri juga makin memperburuk pilihan bagi petani yang berpendidikan rendah. Disatu pihak akan terjadi pengangguran tenaga di
sektor pertanian karena adanya penggunaan alat mesin pertanian, dan dilain pihak terjadi permintaan kebutuhan tenaga kerja industri, tetapi tenaga yang berlebih di
sektor pertanian tersebut tidak bisa diserap oleh sektor industri karena memerlukan tenaga dengan keterampilan tertentu. Menurut Sumarsono 2009, keadaan ini
menyebabkan terjadinya pengangguran pekerja akibat penggunaan alat dan teknologi maju. Sehingga kebijakan mekanisasi dan penggunaan alat dan mesin pertanian di
suatu wilayah juga harus mempertimbangkan status ketersediaan tenaga kerja pertanian. Penggunaan alat mesin pertanian yang tepat dapat meningkatkan
produktivitas dan bukannya menciptakan pengangguran.
5.3. Hubungan antara Tingkat Ketersediaan Tenaga Kerja Pertanian dengan Pendapatan Usahatani di Kabupaten Kudus
Untuk melihat hubungan antara ketersediaan tenaga kerja pertanian dengan pendapatan usahatani, dipergunakan Analisis Kuantifikasi Hayasi I. Ketersediaan
tenaga kerja pertanian diamati dari asal tenaga kerja, apakah dari desa setempat ataukah dari luar desakecamatan. Disamping ketersediaan tenaga kerja pertanian
juga diamati faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendapatan usahatani. Dengan analisis ini dapat diketahui nyata atau tidaknya setiap variabel yang diamati terhadap
pendapatan usahatani di Kabupaten Kudus. Nyata atau tidaknya pengaruh suatu variabel terhadap pendapatan usaha tani diketahui dengan cara menetapkan batas r
kritis yang dihitung berdasarkan nilai t pada tabel Sebaran t dengan selang kepercayaan 95. Hasil perhitungan disajikan pada Tabel 7.
Dari hasil perhitungan tersebut diketahui nilai r kritis adalah 0,24. Variabel pengamatan dinyatakan berpengaruh nyata apabila memiliki korelasi parsial yang
nilainya lebih tinggi dari batas r kritis yang telah ditetapkan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pola irigasi, keuntungan, serta pola tanam
yang berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani. Sedangkan asal tenaga kerja dari desa setempat atau dari luar wilayah tidak berpengaruh nyata terhadap
pendapatan usaha tani. Selama tenaga kerja terpenuhi pada saat diperlukan, hal ini tidak berpengaruh terhadap pendapatan usahatani pada wilayah pengamatan.
Pola irigasi menentukan ketersediaan air yang juga mempengaruhi pola tanam dalam berusaha tani. Dengan curah hujan yang relatif sama karena wilayah berada
dalam satu wilayah iklim, sehingga ketersediaan air disebabkan oleh perbedaan infrastruktur pengairan yaitu irigasi teknis, setengah teknis maupun tadah hujan yang
mempengaruhi pendapatan usahatani di wilayah pengamatan. Pola tanam dengan pemilihan tanaman tahunan atau tanaman padi juga
mempengaruhi pendapatan usahatani. Hal ini dikarenakan harga komoditas dari masing-masing tanaman yang diusahakan berbeda.
Tabel 7 Hasil Analisis Hayasi I Hubungan Antara Ketersediaan Tenaga Kerja Pertanian Dan Variabel Lainnya Dalam Mempengaruhi Pendapatan Usahatani
Variabel Kategori
Skor Kategori
Rentang Korelasi
Parsial
Usia 1 56
-1490778 2148474
0.062237 2 56
657696 Tanggungan Keluarga
1 2 -193664.5
9489562 0.100086
2 2 9295897
Pekerjaan Lain 1 Tanpa pekerjaan lain
1172722 1512195
0.042609 2 Dengan pekerjaan lain
-339472.3 Luas Lahan
1 1 Ha -3758552
6577466 0.223533
2 2 Ha 2818914
Status Kepemilikan 1 Sewa
4054791 5066367
0.138363 2 Bengkok
2000518 3 Milik sendiri
-1011576 Pola irigasi
1 Tadah Hujan -10986480
15273288 0.415114
2 Setengah teknis 4286810
3 Teknis 2227254
Keuntungan 1 Tidak menguntungkan
-15745800 30861760
0.753647
2 menguntungkan 15115960
Pola Tanam 1 Padi
– tan lain -2459999
33259876 0.720166
2 Padi - tan lain
– tan lain
-12416590 3 Padi - padi
-11224130 4 Padi
– padi – tan lain 7275405
5 Padi – padi - padi
-9620120 6 Tebu
20843280 Asal tenaga kerja
1 Dari luar desakab 3579057
5845794 0.205077
2 Desa setempat -2266736
Konstanta 3.822
R2 0.765
Dari skor kategorikal dapat diketahui bahwa tanaman tebu menghasilkan skor kategorikal tertinggi karena harga panen tebu per hektarnya menghasilkan
keuntungan lebih tinggi dalam satu tahun dibanding tanaman lainnya. Disamping itu perawatannya relatif mudah dan tidak banyak memerlukan tenaga kerja sehingga
pendapatan untuk usahataninya juga lebih baik. Variabel keuntungan juga memberikan hasil yang berbeda nyata. Perhitungan keuntungan disini adalah
pendapatan usahatani dikurangi kebutuhan hidup. Untuk meringkas ulasan yang terkait dengan dinamika tenaga kerja pertanian,
yang selanjutnya akan dikaitkan dengan daya dukung lahan pada bab selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan tenaga kerja di Kabupaten Kudus mengalami
defisit tertinggi pada bulan Pebruari dan Oktober, dimana pada bulan ini terjadi puncak masa tanam. Sedangkan pada bulan Desember, terjadi surplus tenaga kerja
pertanian tertinggi. Keadaan defisit dan surplus tenaga kerja pertanian ini membawa permasalahan baik dalam usahatani maupun dari sisi sosial. Kegiatan off-season pada
saat terjadi surplus tenaga kerja pertanian serta pemakaian alat mesin pertanian pada saat terjadi defisit tenaga kerja pertanian dapat dipertimbangkan selama penggunaan
alat mesin pertanian dapat meningkatkan produktivitas usahatani. Secara mikro, ketersediaan tenaga kerja tidak berpengaruh nyata terhadap pendapatan usahatani,
selama pada waktu yang diperlukan tenaga kerja yang diperlukan dapat dipenuhi apakah dari desa setempat atau dari luar wilayah.