Christiaan Beker, The Triumph of God; The Essence of Paul Thought, hlm. 16

30 ―Paulus berteologi secara kontekstual‖, mungkin suatu pernyataan yang aneh mengingat bahwa Paulus dahulunya termasuk anggota Farisi lih. Flp. 3:5 yang dikenal menafsirkan dan memberlakukan hukum Taurat dan Injil secara statis kaku. 36 Menurut Thielman yang mengutip pendapat Sanders, pengalaman Paulus bersama dengan Kristus telah mengubahkan kehidupannya termasuk pola pikir Paulus. 37 Paulus kini menafsirkan Injil dan juga Taurat sebagaimana konteks yang dihadapinya. Hal ini bukan berarti Injil yang dipahami dan diberitakan oleh Paulus berubah-ubah. Terkait hal ini Beker berpendapat bahwa “the core of the Gospel for Paul is not static message that can simply be imposed as fixed doctrine on contingent circumstances. But, conversely, it cannot simply be accommodated to whatever the situation demands”. 38 Rupanya Paulus mampu menangkap dan memahami ‗inti‘ dari Injil. ‗Inti‘ Injil tersebut yang seharusnya dipertahankan sekaligus diolah sedemikian rupa, sehingga mempunyai ―bentuk‖ yang sesuai dengan konteks pemberitaanya. Inti Injil seharusnya tidak ditafsirkan seperti hukum statis yang memberatkan seseorang yang melakukannya, namun inti Injil juga Rasul Paulus itu sendiri penuh dengan ‗ketidaksinambungan‘ satu dengan yang lain?‖. Oleh karena itulah, Raisanen lebih memilih jalan untuk menghargai sifat mandiri dari masing-masing surat Paulus dengan menganggap bahwa tidak ada yang disebut dengan ―pusat teologi Rasul Paulus‖. Penulis sendiri berpendapat bahwa Rasul Paulus sebenarnya mempunyai ―pusat teologi‖. Mengingat bahwa Rasul Paulus sendiri mempunyai kesadaran akan keberbedaan konteks pelayanannya, maka Rasul Paulus tentunya mengolah ―pusat teologinya‖ sendiri dan ―membingkainya‖ dalam bentuk yang sesuai dengan konteks pelayanannya. Bandingkan dengan pendapat Beker yang mengatakan bahwa “the letter form, with its combination of particularity and claim to authority, reflects the way Paul does theology” The Triumph of God, Hlm. 5. Lebih lanjut lagi, Beker menambahkan bahwa Paul‟s proclamation focuses on interplay between coherence and contingency in response to the question. How can the truth of the Gospel be proclaimed in such a way that it fulfils its intended purpose in concrete situations? For this reason it is necessary to be always mindful of the interaction between fundamental content and situational context. For content non only influences context, but it is also shaped by context Hlm. 16. Sekalipun argumentasi teologis Rasul Paulus dalam surat-suratnya berbeda, namun semuanya memiliki kesamaan, yaitu bersumberkan pada kebenaran Injil dan merupakan hasil interaksi dengan situasi konkret Jemaat. Rasul Paulus meyakini bahwa kebenaran Injil mempunyai nilai universal yang bisa ―masuk‖ dalam konteks yang berbeda-beda, sekalipun dengan ―bingkai‖ yang berbeda. Hal ini membuat Rasul Paulus mengolah kebenaran Injil tersebut sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteks yang dihadapinya. Dalam kerangka pikir demikian, maka Rasul Paulus sebenarnya berteologi secara kontekstual. Menurut Gerrit Singgih, secara sederhana kontekstualisasi merupakan sebuah upaya pencarian harga diri sendiri sebagai orang Kristen di tengah-tengah konteks di mana ia berada. Kontekstualisasi adalah suatu proses penginterpretasian suatu pahambudaya tertentu dalam bingkai kebudayaan lain, guna memahami kebudayaan tersebut secara baru. Kontekstualisasi mengandaikan adanya proses yang dinamis, di mana ada upaya merekonstruksi ―yang lama‖ dengan merelevansikan dalam ―masa kini‖. Dalam proses tersebut, pada akhirnya ada perubahan nilai- nilai, dengan catatan nilai yang ―baru‖ tersebut relevan dan sesuai dengan konteks masa kini E. Gerrit Singgih, Berteologi dalam Konteks, Hlm. 1-32. 36 Kaum Farisi lebih sering muncul malah dalam keempat Injil. Dalam empat Injil, seringkali dikisahkan bahwa kaum Farisi sering terlibat dalam perdebatan mengenai pemberlakuan Hukum Taurat, misal puasa, sabat, perceraian, dll. Kaum Farisi digambarkan sebagai kaum yang fanatik terhadap Taurat. Wajar jika mengingat bahwa kaum Farisi merupakan ―kelanjutan‖ dari kaum Hasidim. Lihat ―Farisi‖ dan ―Hasidim‖ dalam W.R.F. Browning, Kamus Alkitab; A Dictionary of the Bible Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008. Hlm. 103-104; 134. Bandingkan juga dengan pendapat Wenham yang mengatakan bahwa Paul‟s own interpretation of the Jesus-tradition was flexible, lihat Paul; Followers of Jesus or Founder of Christianity, Grands Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company. 1995 Hlm. 409 37 Frank Thielman, A Contextual Approach; Paul the Law, hlm. 37 38

J. Christiaan Beker, The Triumph of God; The Essence of Paul Thought, hlm. 16

31 tidak serta merta berlaku dalam semua keadaan. Perlu adanya ―pengolahan‖ terhadap kebenaran Injil yang akan diberitakan. Lebih lanjut lagi Beker menambahkan bahwa “the uniqueness the proprium of Paul‟s hermeneutic manifest itself in the interplay between the changing and unchanging elements of the Gospel. Paul is capable of transforming the Gospel into a living word in various context without, on the whole, compromising the totality of the Gospel or without trivializing the specific particularities that each situation demands. Paul‟s commitment to the truth of the Gospel and its concrete effectiveness clearly shows the interaction between coherence and contingency”. 39 Dengan demikian, Paulus memang mentransformasi berita Injil sedemikian rupa sehingga sesuai dengan konteks pelayanannya. 40 Rasul Paulus memang terlihat seperti tidak konsisten, akan tetapi ketidakkonsistenannya tersebut bukan karena latar belakang pemikirannya namun dikarenakan adanya interaksi antara pemikirannya dengan situasi dari masing-masing Jemaat yang berbeda. Dalam hal inilah sebenarnya tampak jelas dari kekonsistenan Rasul Paulus, yaitu konsisten terhadap kebenaran inti Injil dan konsisten akan upaya memberitakan Injil dalam dan sesuai dengan konteks yang ada kontekstualisasi Injil. Pemberitaan mengenai Karya Kristus Seperti halnya kedua belas Rasul yang memberitakan Injil secara kontekstual, Paulus pun juga demikian. Perbedaannya ialah bahwa Rasul Paulus lebih menekankan karya Yesus dalam pemberitaan injilnya dibandingkan dengan gelar-gelar pada diri Yesus. Apakah dengan demikian berarti bahwa gelar-gelar pada diri Yesus tidak berarti bagi Rasul Paulus? Mengapa Rasul Paulus lebih tertarik memberitakan karya dibanding gelar? Karya Yesus seperti apa yang diberitakan oleh Rasul Paulus dan bagaimana Rasul Paulus sendiri memahami karya Yesus? Jika melihat soteriologi Rasul Paulus seperti pada bagian Pendahuluan, maka tampak bahwa Rasul Paulus lebih menekankan karya dan peran Yesus dalam karya 39

J. Christiaan Beker, The Triumph of God; The Essence of Paul Thought, hlm. 17