Groenen, Sejarah Dogma Kristologi Yogyakarta: Kanisius. 2005. Hlm. 30

11 BAB II PAULUS DAN TRADISI KEKRISTENAN MULA-MULA

I. Tradisi Kekristenan Mula-mula

Setelah Yesus, orang Nazaret, hilang dari panggung sejarah, maka mulailah orang memikirkan siapa Dia sebenarnya berikut juga pengalaman semasa bersama dengan Dia. Dalam diri para pengikut Yesus ada keyakinan bahwa Yesus sebenarnya hidup, tetap berarti, bermakna dan relevan bagi manusia. 1 Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Yesus – bahkan setelah kematian-Nya – memberikan pengaruh yang cukup besar bagi diri para pengikut-Nya. Pengalaman bersama dengan Yesus – semasa masih hidup – ternyata tidak hanya menjadi kenangan bagi para pengikut-Nya – secara khusus para murid, namun juga mengubahkan pola kehidupan religius mereka. Perubahan dalam kehidupan pribadi para pengikut Yesus ini ternyata menumbuhkan kesadaran dalam diri mereka untuk ―mengenalkan‖ Yesus kepada orang lain. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pewartaan mengenai Yesus melalui tulisan-tulisan ataupun tradisi lisan. Konsep ataupun rumusan iman – baik secara individu maupun dalam komunitas tertentu – terhadap Yesus tentunya tidak jauh berbeda dengan pewartaan mengenai diri Yesus itu sendiri, yang dibawakan oleh para pemberita Injil. Para pemberita Injil memberitakan Yesus sesuai dengan keyakinan mereka sendiri akan sosok Yesus tersebut. Dengan pemberitaan Injil tersebut, maka orang-orang yang sebelumnya tidak mengenal Yesus akhirnya menjadi kenal, bahkan ada pula yang akhirnya menjadi pengikut Yesus. Kepercayaan dan keyakinan iman yang ada dalam individu atau suatu masyarakat tertentu mengenai diri Yesus tentunya juga tidak jauh berbeda dengan konsep atau iman mengenai Yesus yang diberitakan kepadanya. Berdasarkan hal tersebut, pewartaan iman akan Yesus turut mempengaruhi iman seseorang atau masyarakat di mana Yesus diberitakan. Demikian pula sebaliknya, iman seseorang atau masyarakat tertentu akan Yesus secara tidak langsung pula memberikan gambaran bagaimana Yesus diberitakan di tempatkonteks tersebut. Masa-masa pasca-Paskah memang menjadi suatu moment tersendiri bagi para pengikut Yesus. Masa-masa tersebut menjadi waktu di mana para pengikut Yesus mulai 1

C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi Yogyakarta: Kanisius. 2005. Hlm. 30

12 mempergumulkan dan merefleksikan seluruh pengalamanya bersama Yesus dan juga tentang siapa Yesus sebenarnya. Terlepas dari permasalahan mengenai kebangkitan apakah merupakan fakta historis atau tidak, ternyata tradisi lisan ataupun tulisan-tulisan pada masa itu menyiratkan suatu keyakinan akan kebangkitan Yesus. Dengan demikian tampak bahwa refleksi atas pengalaman Paskah merupakan titik tolak seluruh iman akan Yesus. 2 Pengalaman Paskah tersebut meyakinkan para pengikut Yesus akan pewartaan-Nya dan tindakan-Nya semasa Ia masih hidup bersama-sama dengan mereka. Kehidupan Yesus yang dulu merupakan teka-teki bagi mereka kini mulai dapat tersingkap dan dipahami. Dalam masa-masa inilah kristologi mulai berkembang. Jika pengalaman Paskah merupakan titik tolak iman Kristen, maka bisa dikatakan pula pengalaman Paskah merupakan titik di mana Yesus masuk dalam kehidupan religius para pengikutnya. Proses masuknya ―Yesus‖ dalam kehidupan religius para pengikut-Nya pun bukan berarti tidak ada permasalahan di dalamnya. Ketika mereka mengalami perubahan dalam kehidupan religius mereka, ternyata ada suatu kesadaran untuk melakukan ‗misi‘. Misi untuk mewartakan Injil, termasuk di dalamnya mewartakan siapa Yesus. Namun, ternyata dalam pewartaan inipun ada permasalahan. Para pemberita Injil berhadapan dengan konteks budaya dan alam pikir yang berbeda. Misalnya, sekalipun banyak orang khususnya masyarakat Yahudi Palestina yang mengenal Yesus tatkala Dia masih hidup, namun mereka mempunyai penghayatan akan Yesus yang berbeda dengan para pengikut Yesus. Begitu pula dalam konteks Yunani, di mana Yesus kurang begitu familiar dengan kehidupan mereka. Situasi seperti inilah perbedaan konteks dan alam pikir yang mendorong para pemberita Injil mengolah tradisi iman mereka dan mengembangkannya sesuai dengan konteks di mana mereka memberitakan Injil. Kesadaran untuk mengolah dan mengembangkan tradisi iman inipun juga tidak lepas dari adanya kesadaran akan misi untuk mewartakan Injil. Tentunya kesadaran akan misi ini tidak hanya sekedar mewartakan, namun juga mengupayakan agar apa yang mereka beritakan dapat diterima dengan baik sesuai konteks masyarakat tertentu. 2

C. Groenen, Sejarah Dogma Kristologi, Hlm. 32