Model Konseptual Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku

156 sangat ditentukan oleh besarnya palka dan besarnya kapal yang dipakai sebagai kapal penangkap. Kapal huhate pada umumnya membutuhkan es balok sebanyak 20 sampai 30 balok es. Balok-balok es itu kemudian dihancurkan menjadi kepingan-kepingan kecil dan dimasukan ke dalam palka. Sedangkan pada kapal pancing tonda hanya membutuhkan 2 sampai 3 balok es dan pada kapal pukat cincin digunakan es sebanyak 5 sampai 10 balok. Kristal-kristal es yang telah dihancurkan tadi mempunyai fungsi yang sama juga pada kapal pancing tonda dan pukat cincin. Adapun matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku disajikan pada Tabel 72 Tabel 72 Matriks pengembangan teknologi tepat guna perikanan tangkap di Maluku No Alat tangkapkapalteknologi Kondisi saat ini Pengembangan teknologi 1 Huhate - Pancing - Kapal - Modifikasi palka - Bahan bambu - Ukuran kapal kecil - Tidak efisien dalam penyimpanan hasil tangkapan - Bahan fiberglass - Ukuran kapal diperbesar - Lebih efisien dengan menggunakan styrofoam pada dinding palka 2 Pancing tonda - Alat tangkap - Kapal - Modifikasi cool box - Teknologi penangkapan ikan tuna dengan menggunakan metode layang- layang - Ukuran snar kecil No 800 - Type kail “J” shapped - Ukuran kapal kecil - Tidak efektif dalam penyimpanan hasil tangkapan - Teknologi penangkapan secara manual - Ukuran snar lebih besar No 1000 - Type kail cyrcle shapped - Ukuran kapal diperbesar - Menggunakan styrofoam - Menggunakan layang- layang sebagai alat bantu penangkapan 3 Pukat cincin - Kapal - Modifikasi palka - Modifikasi winch - Ukuran kapal kecil - Tidak efisien dalam penyimpanan hasil tangkapan - Hauling jaring menggunakan tenaga manusia - Ukuran kapal diperbesar - Lebih efisien dengan menggunakan bahan styrofoam pada dinding palka - Menggunakan winch sebagai alat bantu pada waktu hauling Sumber: Hasil penelitian 2009

5.7 Model Konseptual Pengembangan Perikanan Pelagis di Maluku

Model konsep ini adalah merupakan tindak lanjut dari penggalian issu yang terjadi pada saat ini dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat 155 mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung pelaksanaan suatu kebijakan. Suatu kebijakan akan selalu mengutamakan tujuan tanpa memperhatikan masalah yang terjadi di lapangan, hal ini yang menyebabkan tidak optimalnya suatu kebijakan. Hasil dari penelitian yang dilakukan ini mencoba menggali issu yang terjadi dengan berbagai macam permasalahaan yang lebih dominan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perikanan tangkap di Provinsi Maluku dengan melihat kembali kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah selama ini, apakah seimbang dengan jalannya roda pembangunan perikanan tangkap di daerah ini. Setelah mencoba menganalisis faktor-faktor tersebut, ternyata hasil yang diperoleh lebih cenderung dan mengarah pada ketidakseimbangan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan permasalahaan pada masyarakat. Kebijakan yang diharapkan yaitu dapat mampu merubah penggunaan teknologi yang selama ini dalam mengelola sumberdaya dengan penggunaan tekonolgi baru sehingga pengelolaannya dapat diimplementasikan dengan tepat sasaran serta rasional. Hal ini didukung oleh pendapat Nugroho 2003 yang menjelaskan bahwa sebuah kebijakan yang selalu diutamakan adalah tujuan mengamati masalah yang ada. Permasalahaan internal perikanan tangkap yang selama ini terjadi di provinsi Maluku antara lain: 1 keterbatasan akses terhadap informasi dan sistem data base, 2 pendanaan, 3 infrastruktur sarana dan prasarana, 4 sumberdaya manusia, 5 over fishing dan kerusakan lingkungan, 6 serta belum adanya aturan- aturan yang mengatur potensi sumberdaya alam. Masalah eksternal, baik makro- ekonomi, politik, hukum dan kelembagaan adalah 1 illegal fishing akibat penegakan hukum dan pengawasan di laut yang lemah, 2 perizinan, 3 kebijakan sektoral sangat menonjol, 4 belum ada implementasi tata ruang laut provinsi, 5 instrumen monoter belum mendukung pengembangan bisnis perikanan, 6 politik dan keamanan. Permasalahaan yang selama ini terjadi di Provinsi Maluku adalah sangat kompleks dan hasil analisis menyatakan bahwa posisi teknologi alat penangkapan ikan di perairan Maluku berada pada phase pertumbuhan, hal ini membuktikan bahwa dalam mengimplementasikan suatu kebijakan di daerah harus dilakukan 156 secara bersama-sama dan disepakati oleh semua unsur yang terkait didalamnya dengan mempunyai suatu komitmen bersama berdasarkan ketersediaan potensi sumberdaya, alokasi unit penangkapan, penerapan alat penangkapan tepat guna, pengembangan unit penangkapan, serta strategi pengembangan perikanan pelagis. Permasalahaan tersebut dapat bermanfaat bagi nelayan, menambah PAD, kelestarian sumberdaya, serta berguna bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta. Pelaksanaan UU No 32 tahun 2004 itu minimal memiliki dua implikasi terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, khususnya dalam hal pewilayahan daerah penangkapan ikan, yaitu: 1 Pemerintah Provinsi harus dengan lebih pasti mengetahui potensi perikanan serta batas-batas wilayahnya sebagai dasar untuk menentukan jenis dan tipe kegiatan perikanan yang sesuai dengan daerahnya, 2 Pemerintah Provinsi harus mampu mengalokasikan 4 mil dari 12 mil laut berada dibawah wewenangnya kepada kotakabupaten yang selanjutnya dikelola pemanfaatannya Nikijuluw et al. 2007. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa pembangunan perikanan dapat berjalan dengan baik dengan memperhatikan aspek-aspek seperti lingkungan strategis, potensi, dan pemanfaatan sumberdaya perikanan, permasalahaan yang ada dalam sistem produksi, IPTEK dan SDM, hukum dan kelembagaannya. Dua komponen utama dalam bidang pengelolaan sektor perikanan adalah sumberdaya perikanan sebagai objek yang dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, serta sumberdaya manusia sebagai pengelola dengan dua pihak penting didalamnya yaitu pihak pengelola yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan sektor perikanan, dan pihak pengguna sektor perikanan yang memanfaatkan secara langsung sumberdaya perikanan tersebut. Pemerintah dan masyarakat adalah merupakan mitra yang setara dalam kerjasama untuk pelaksanaan tugas dan tanggungjawab proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Menurut Jentoft 1989 yang diacu oleh Nikijuluw 2002 mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dengan alasan efisiensi dalam hal ini dikarenakan sumberdaya ikan merupakan sumberdaya bersama common property sehingga dampak eksternalitasnya dapat dikurangi tidak melebihi kapasitas yang berakhir dengan efisiensi, terwujudnya keadilan dalam 155 pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya antara nelayan skala kecil dengan nelayan skala besar, kemampuan otoritas pelaksanaan tugas dan fungsinya dapat berjalan baik dengan memperhitungkan batasan kewenangan, luasnya daerah dan kompleksitas masalah dapat teratasi dengan mudah sehingga secara tidak langsung menghasilkan keuntungan ekonomi. Permasalahaan yang dialami oleh nelayan sekarang ini di Maluku adalah kurangnya dana yang disiapkan oleh pemerintah, swasta sehingga hal ini sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya. Solusi yang diperlukan untuk maksud ini adalah pinjaman modal oleh pemerintah dengan bunga yang rendah sehingga nelayan dapat memilikinya bunga rendah dari pemerintah dan berpengaruh secara langsung terhadap pengembangan perikanan pelagis yang akan dikembangkan. Bentuk kerjasama serta partisipasi masyarakat dan pengusaha dalam mengoptimalkan suatu aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan akan mencapai sasaran apabila kerjasama tersebut dapat diwujudkan melalui suatu proses. Hal ini dibuktikan oleh pendapat Suharyanto et al. 2005 yang mengatakan bahwa bentuk ko-management yang berbasis pada masyarakat akan sangat membantu untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan yang bersifat berkelanjutan. Salah satu pola kemitraan yang dapat dikembangkan adalah dengan sistim pola inti rakyat dimana pemerintah sebagai pembina utama, pengusaha sebagai mitra pembina dan nelayan sebagai mitra binaan. Program kemitraan seperti ini, dipandang dapat dikembangkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina. Dalam mengembangkan program kemitraan seperti ini, pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakkan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama sehingga dapat berkembang dengan baik. Pengembangan model perikanan pelagis yang akan dikembangkan dengan berbagai pertimbangan diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi pemanfaatan pengelolaan sumberdaya ikan di Maluku. 156 Pengelolaan sumberdaya ikan yang baik akan selalu melibatkan semua unsur terkait yang berkompeten dalam pemanfaatan potensi sumberdaya. Untuk mewujudkan suatu keberhasilan dalam proses pengelolaan yang bertanggungjawab dan lestari maka dibutuhkan suatu kerjasama. Setiap pihak yang berkepentingan menjalankan dan mematuhi kesepakatan yang berlaku dan ditetapkan bersama baik itu formal maupun non formal untuk mencapai suatu tujuan, maka dengan mudah suatu sistem industri perikanan yang ada dapat digerakkan dan diarahkan. Menurut Nikijuluw 2002, bentuk ko-manajemen adalah suatu bentuk pendistribusian tanggungjawab dan kewenangan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya ikan antara pemerintah dan masyarakat nelayan maupun swasta. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi persoalan tersebut adalah dengan adanya transformasi model teknologi dan inovasi baru dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional. Hal tersebut merupakan syarat penting yang harus dipenuhi dalam rangka penciptaan perbaikan tingkat output dan produktifitas hasil tangkapan. Kenyataan yang ada sekarang adalah bahwa nelayan-nelayan tradisional dengan teknologi dan kapasitas unit penangkapan yang masih rendah menyebabkan mereka hanya terkonsentrasi pada daerah penangkapan di sekitar pantai dimana potensi sumberdaya ikan di wilayah tersebut semakin menurun akibat meningkatnya upaya penangkapan. Namun demikian transformasi teknologi dan inovasi baru harus juga diimbangi dengan perubahan-perubahan yang mempengaruhi seluruh struktur sosial, politik dan kelembagaan masyarakat nelayan. Tanpa adanya perubahan-perubahan tersebut, maka modernisasi dan peningkatan kapasitas penangkapan menjadi kontraproduktif. Pemilihan jenis dan bentuk introduksi teknologi perlu mempertimbangkan kondisi tingkat pengangguran di wilayah yang bersangkutan karena introduksi teknologi di samping dapat memberikan dampak positif terhadap produktifitas, tetapi terkadang memberikan dampak negatif karena penggunaan teknologi maju memberikan peluang tergesernya peran tenaga kerja manusia dalam proses produksi tersebut. Apabila tingkat pengangguran begitu tinggi, maka alternatif teknologi tepat guna dan padat karya mungkin dapat menjadi alternatif, tetapi 155 apabila tingkat pengangguran tergolong rendah, maka pengenalan teknologi- teknologi yang lebih efisien dapat menjadi pertimbangan. Bentuk teknologi yang relatif aman dikembangkan adalah teknologi yang bersifat skala netral neutral scale. Teknologi jenis ini dapat digunakan pada skala usaha mana saja maupun dalam kondisi ketenagakerjaan dengan tingkat pengangguran maupun rendah dengan sama efektifnya. Teknologi yang relevan dalam memacu pertumbuhan produksi perikanan dan pendapatan nelayan adalah teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas penangkapan ikan yaitu berupa memperbesar armada penangkapan dan penggunaan alat tangkap yang lebih efisien dan produktif. Pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat dan swasta dalam hubungan pelaku pembangunan perikanan yang pada hakekatnya adalah cara untuk memperkenalkan atau melembagakan sistem pengambilan keputusan yang dilakukan bersama-sama dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya. Kerjasama yang baik dalam suatu komitmen yang tepat guna mencapai tujuan dengan menekan permasalahaan-permasalahaan yang ada maka dengan sendirinya terjadi kompetisi yang sehat dalam suatu usaha akan tercipta. Nikijuluw 2002, mengatakan bahwa setiap perilaku yang melalui ko- manajemen akan menciptakan status pengelolaan perikanan yang lebih tepat, efisien serta lebih adil dan merata. Sumberdaya manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempercepat proses pembangunan termasuk pembangunan perikanan tangkap. Manusia mampu menciptakan dan menggunakan teknologi hingga produktivitas meningkat, oleh karena itu pengembangan sumberdaya manusia seharusnya mendapat prioritas dalam pembangunan perikanan tangkap. Pengembangan sumberdaya manusia perikanan dapat ditempuh dengan cara informal seperti: penyuluhan, pendidikan dan latihan, magang, studi banding, serta dengan cara formal melalui pendidikan reguler di sekolah-sekolah perikanan. Model yang dibangun ini diharapkan akan memberikan arti penting dalam pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku yang akan diatur dan dirancang secara intern sesuai kekuatan yang ada dengan tujuan dan masalah keseimbangan sumberdaya serta teknologi dalam merumuskan kebijakan. 227 Gambar 79 Model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku Potensi lestari ikan pelagis Alokasi unit penangkapan ikan Penerapan alat penangkapan tepat guna Prioritaskan unit penangkapan ikan Strategi pengembangan perikanan pelagis KONDISI PERIKANAN PELAGIS DI PERAIRAN MALUKU SAAT INI 1 Pemerintah 2 Masyarakat 3 Swasta GOAL Jaminan Keselamatan sumberdaya Kesejahteraan nelayan PAD 227 Gambar 79 menunjukkan bahwa implementasi optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan di perairan Maluku dapat dilakukan melalui instrumen perijinan dari pemegang otoritas sumberdaya lokal, sesuai dengan kewenangan Pemerintah Provinsi dan KabupatenKota perlu dikelola dengan pertimbangan kapasitas sumberdaya yang tersedia. Optimalisasi alokasi unit penangkapan di perairan Maluku membutuhkan suatu stakeholeder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif kabupatenkota di Maluku. Dalam rangka pengembangan perikanan pelagis ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, setiap pemerintah kabupatenkota cenderung menentukan besar potensi sumberdaya ikan sesuai dengan luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan ikan tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan yang beruaya dari satu perairan ke perairan lain sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Selain itu, sumberdaya bersifat common property resourches dan pengelolaannya bersifat open access. Nikijuluw 2002 mengemukakan bahwa sifat eksludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengawasan dan pengendalian tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap sehingga pengawasan oleh pemegang otoritas manajemen sumberdaya semakin sulit diimplementasikan. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan sumberdaya ikan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan RPP ikan pelagis secara terpadu oleh kabupatenkota yang memanfaatkan sumberdaya secara langsung di perairan Maluku. RPP tersebut diharapkan dapat memberikan arah pengelolaan yang lebih jelas, terorganisir, dan transparan bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis. Penyusunan RPP sebaiknya melibatkan para stakeholders perikanan seperti nelayan, pedagang ikan, pemasok alat tangkap, pemerintah, masyarakat dan swasta. Keterlibatan seluruh stakeholders dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong peningkatan ”rasa memiliki” 155 dan ”rasa tanggung jawab” untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan Martosubroto 2007. Seperti di Indonesia, pengelolaan sumberdaya perikanan di Maluku dilakukan dalam akses terbuka dan pengendalian ijin penangkapan. Bentuk pengelolaan pertama dapat menimbulkan inefiensi alokasi dan degradasi sumberdaya. Kondisi pengelolaan akses terbuka masih terus berlangsung hingga saat ini. Bentuk pengelolaan kedua menghasilkan efisiensi alokasi sumberdaya. Secara teoritis, bentuk pengelolaan kedua dapat dilakukan pada titik maximum economic yield. Dengan demikian, penerapan alat penangkapan tepat guna di perairan Maluku harus dilakukan secara kehati-hatian dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena implementasi penerapan pengembangan alat tangkap tepat guna belum maksimal karena 75 alat penangkapan ikan berukuran kecil dan bersifat tradisional. Namun, intensifikasi modal dan modifikasi teknologi tepat guna masih sangat dibutuhkan baik bagi peningkatan kemampuan armada penangkapan. Misalnya, untuk menjangkau daerah penangkapan di ketiga wilayah WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan yang ada di Maluku dibutuhkan kemampuan kapal pukat cincin purse seine yang dilengkapi dengan peralatan navigasi, alat bantu penangkapan, dan alat deteksi ikan echosounder untuk meningkatkan efektifitas operasi penangkapan. Pendekatan yang dilakukan di Provinsi Maluku terhadap model pengembangan perikanan pelagis tidak hanya didekati dari satu segi, namun harus dari beberapa segi yang dianggap penting untuk mendapatkan pemecahan yang objektif. Pendekatan integratif sangat penting diperlukan untuk mengkaji seluruh faktor guna mendapatkan pemecahan masalah yang terjadi secara optimal. Berdasarkan lingkup kajian meliputi segala aspek manajemen yang mempengaruhi pengembangan perikanan pelagis di Maluku, maka dalam penelitian ini digunakan pendekatan sistem terhadap alat penangkapan ikan dari berbagai hubungan yang kompleks. Pendekatan cluster dalam pengembangan sumberdaya perikanan pelagis dapat diartikan sebagai suatu bentuk pendekatan yang berupa pemusatan kegiatan perikanan di suatu lokasi tertentu. Upaya ini dilakukan guna meningkatkan 156 efisiensi dan efektifitas dengan menurunkan komponen biaya dari hulu sampai hilir dalam produksi suatu komoditi. Cluster dapat berupa kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas dan bahkan bisa berupa sebuah wilayah lintas negara. Pengembangan sumberdaya perikanan dengan pendekatan cluster dimana sekelompok usahaindustri yang saling terkait dari berbagai aspek usaha dan beroperasi dalam wilayah yang saling berdekatan diyakini mampu untuk tumbuh dan berkembang. Dengan pendekatan cluster tersebut dapat mengurangi biaya transaksi, meningkatkan daya saing dan efisiensi produksi. Mengingat sebagian besar komoditas perikanan Indonesia di ekspor dalam bentuk produk primer, maka dengan pendekatan cluster diharapkan terbangun suatu industri pengolahan hasil perikanan yang kuat dengan dukungan subsistem- subsistem lainnya sehingga nilai tambah suatu produk dapat ditingkatkan dan memperkuat daya saing komoditas ekspor Indonesia. Pelaku utama dalam pengembangan cluster perikanan adalah pelaku yang terlibat pada usaha tersebut baik yang bersifat individu maupun lembagaperusahaan. Dengan keterlibatan yang aktif dari para pelaku tersebut dimungkinkan cluster tersebut dapat semakin besar dan kuat. Keberhasilan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis membutuhkan strategi yang jelas dan tepat sehingga potensi sumberdaya dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan. Model pengembangan perikanan pelagis di perairan Maluku dapat diterapkan jika ditunjang oleh beberapa asumsi yaitu: 1 pendapatan meningkat, 2 dapat meningkatkan PAD, 3 kelestarian sumberdaya terkendali, dan 4 peran pemerintah, masyarakat, dan swasta dapat menunjang pelaksanaan pengelolaan sumberdaya. 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1 Tingkat pemanfaatan ke-enam jenis ikan pelagis kecil di perairan Maluku masih dibawah tingkat potensi lestari dengan tingkat pengupayaannya masih normal. Tingkat pemanfaatan dan pengupayaan ke-enam jenis ikan pelagis besar di perairan Maluku masih dibawah tingkat potensi lestari sehingga perlu pengembangan secara berkelanjutan. 2 Teknologi tepat guna untuk alat tangkap yang dapat dikembangkan di perairan Maluku adalah huhate, pancing tonda, dan jaring insang permukaan 3 Alokasi optimum unit penangkapan perikanan pelagis adalah pukat cincin 257 unit, pukat pantai 260 unit, bagan 1419 unit, huhate 1457 unit, pancing tonda 40940 unit, dan jaring insang permukaan 30.000 unit. 4 Modifikasi prototipe unit penangkapan yang dilakukan di perairan Maluku dapat meningkatkan sumberdaya ikan. 5 Strategi penerapan pengembangan perikanan pelagis di Maluku adalah dengan penambahan armada, penerapan CCRF dan aturan batas penangkapan, optimalisasi potensi SDI, peningkatan investasi, pengadaan cold storage, penerapan teknologi tepat guna dan penerapan ukuran mata jaring yang selektif. 6 Model konseptual pengembangan perikanan pelagis di Maluku dirancang berdasarkan potensi sumberdaya sehingga dapat meningkatkan produktifitas.

6.2 Saran

1 Kebijakan yang sudah dihasilkan dapat diimplementasikan oleh Pemerintah. 2 Untuk melestarikan sumberdaya, maka Pemerintah Daerah segera membuat aturan yang sesuai sehingga sumberdaya tetap berkelanjutan. 3 Untuk meningkatkan efisiensi penangkapan maka teknologi tepat guna sangat dibutuhkan bagi pengembangan perikanan tangkap. DAFTAR PUSTAKA Abidin SZ, 2004. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah Jakarta. Hal 63-76. Andarto E, Sutedjo D. 1993. Proses Perencanaan Kapal Tuna Long Line. Surabaya. Halaman 76-89. Adhuri DL,Wahyono A, Indrawasih R. 2005 . Fishing In, Fishing Out: Memahami Konflik-Konflik Kenelayanan di Kalimantan dan Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan PMB- LIPI. Jakarta. Atmaja SB, Haluan J. 2003. Perubahan Hasil Tangkapan Lestari Ikan Pelagis di Laut Jawa dan Sekitarnya. Buletin PSP Vol XII No. 2. Hal 31-40. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Atmaja SB, Wiyono ES, Nugroho D. 2001. Karakteristik Sumber Daya Ikan Pelagis Kecil di Laut Cina Selatan dan Perkembangan Eksploitasinya. Buletin PSP Vol X No. 1. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Halaman 51-64. Arif S. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. 135 hal. Arif S. 2007. Konflik Nelayan dan Pengkavlingan Laut http:groups.yahoo.comgroupppi-kyushumessage1801 . Tanggal 18-01-2010 Ayodhyoa 1972. Craft and Gear. Corespondence Course Center. Jakarta. Bahari R, 1989. Peranan Koperasi Perikanan dalam Pengembangan Perikanan Rakyat. Jakarta. 18-19 Desember 1989. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. 125 hal. Baruardi ASR. 2002. Model Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap di Gorontalo. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. 167 hal. Barus H, Badrudin, Naamin. 1991. Potensi Sumberdaya Perikanan laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan. Prossiding Forum II Perikanan, Sukabumi, 18-21 Juni 1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta. 170 hal. Mulyono S, 1991. Operations Research. Lembaga Penerbit. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. 247 hal.