Garcinia dicirikan oleh pembentukan biji tanpa pengaruh organ jantan, pembentukan embrio yang berjalan cepat sebelum terjadinya anthesis,
terbentuknya proembrio adventitious dari nucellar atau integumen, terbentuknya beberapa kecambah dari satu biji atau jarangtidak diperoleh tanaman jantan den
Nijs dan van Dijk 1993. Tanaman manggis termasuk apomiksis obligat, sehingga perbaikan genetik tidak dapat dilakukan dengan persilangan Lim 1984, Richards
1990, Asker dan Jerling 1992.
2.3 Keragaman Manggis
Selama ini diketahui bahwa tanaman manggis memiliki keragaman genetik sempit karena mempunyai mekanisme reproduksi secara apomiksis Horn 1940,
Cox 1976, Verheij 1991. Manggis menurut Richards 1990 dikategorikan sebagai agamospermy obligat dengan reproduksi melalui sel adventif proembrio
jaringan ovular. Menurut Koltunow 1993, biji fertil yang dihasilkan dari reproduksi apomiktik mengandung embrio dengan konstitusi genetik yang sama
dengan tetua betina, apabila tidak mengalami mutasi. Pada reproduksi apomiksis, biji terbentuk tanpa reduksi jumlah kromosom dan fertilisasi sehingga
keturunannya akan identik dengan induknya den Nijs dan van Dijk 1993. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa manggis memiliki variasi
baik secara morfologi maupun genetik. Berdasarkan pengamatan Mansyah et al. 2002 pada populasi manggis di Sumatera Barat menunjukkan adanya variasi
morfologi seperti panjang daun, bobot buah, tebal kulit buah, total padatan terlarut TPT. Penelitian Mansyah et al. 2002 tersebut diperkuat oleh penelitian
menggunakan RAPD Random Amplified Polymorphic DNA menunjukkan bahwa adanya variasi genetik berdasarkan hasil analisis RAPD menurut Mansyah
et al. 2008, 14 dari 18 progeni tidak menunjukkan kesamaan dengan induknya. Begitu juga dengan Ramage et al. 2004 melaporkan berdasarkan studi RAF
Randomly Amplified DNA Fingerprinting terhadap 37 asesi tanaman manggis, 70 menunjukkan tidak adanya variasi.
2.4 Analisis Keragaman
Keragaman tanaman secara umum dapat didekati dari morfologi dan molekuler. Penanda morfologi merupakan wujud nyata dari keragaman fenotipik.
Namun penanda ini memiliki kelemahan karena dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Pedoman yang digunakan untuk analisis morfologi pada manggis
yaitu berdasarkan deskriptor manggis yang dikeluarkan oleh IPGRI 2003. Keterbatasan penanda morfologi adalah hanya mampu membedakan keragaman
secara fenotipik untuk itu diperlukan penanda lainnya yang diharapkan memberikan hasil yang lebih akurat. Penanda molekuler langsung berintegrasi
dengan genetik dan menggambarkan keadaan genom yang sesungguhnya. Dasar dari penanda ini adalah polimorfisme protein atau DNA. Terdapat berbagai
penanda DNA yang telah digunakan untuk analisis keragaman manggis seperti RAPD Random Amplified Polymorphic DNA, AFLP Amplified Fragment
Length Polymorphism, SSR Simple Sequence Repeats, ISSR Inter Simple Sequence Repeats, RAF Randomly Amplified DNA Fingerprinting, dan analisis
isoenzim. Menurut Tanskley 1983 penanda molekuler dapat mendeteksi variasi genetik pada tingkat jaringan atau seluler dan polimorfismenya tidak dipengaruhi
oleh lingkungan.
2.4.1 Penanda RAPD
Penanda RAPD merupakan dominan marker yang dapat diaplikasikan pada sejumlah besar sampel dengan cara relatif sederhana, cepat, dan murah.
Penanda ini memiliki panjang primer 10 bp, yang dapat menempel secara acak pada situs target homolognya dalam genom. Kelemahan teknik ini adalah
reprodusibilitas yang rendah Jones et al. 1997. Kelemahan ini dapat diatasi dengan membuat reaksi dan kondisinya sehomogen mungkin, skrining primer,
memilah pita-pita fragmen DNA yang jelas, menggunakan suhu annealing yang optimal, dan penambahan 1-2 basa pada primer untuk mempertinggi spesifikasi
penempelan DNA Tanaka dan Taniguchi 2002.
2.4.2 Penanda SSR
Teknik SSR digunakan sebagai penanda karena mudah dan relatif murah pada tahapan setelah ditemukan primer spesifiknya, keberadaannya melimpah
dan tersebar di seluruh genom tanaman, dan dengan sampel dalam jumlah sedikit, mencukupi untuk amplifikasi dengan PCR Ribaut et al. 2002. Salah satu teknik
yang memanfaatkan mikrosatelit adalah Sequence-tagged microsatellite sites STMSs atau sequence-tagged sites STS Puspendra et al. 2002. Keuntungan
STMSs adalah menggunakan sepasang primer yang sudah didisain khusus untuk masing-masing spesies dan penanda ini bersifat ko-dominan Puspendra et al.
2002, Hiu liu 1998. Penanda STMS memungkinkan mendapat derajat polimorfisme dan variasi yang tinggi karena sekuen DNA mikrosatelit dapat
mengandung urutan basa dengan panjang berbeda-beda pada genom populasi. Bentuk berulangnya yang umum adalah dinukleotida. Frekuensinya cukup tinggi
dalam genom dan lebih mudah dideteksi dibandingkan mikrosatelit dengan tri- dan tetranukleotida Hiu Liu 1998, Scotti et al. 2002. Variasi dapat terjadi dalam
ukuran panjang mikrosatelit pada lokus-lokus individu yang spesifik, sehingga penanda ini berpeluang polialelik pada individu dengan tingkat mutasi tinggi atau
menyerbuk bebas menjadikan penanda ini mempunyai manfaat banyak dalam pemuliaan Puspendra et al. 2002.
2.4.3 Penanda ISSR
Penanda ISSR merupakan marker yang berkembang lebih akhir dibanding RAPD, RFLP, dan SSR Staub et al. 1996, Gupta dan Varshney 2000.
Kelemahan dari teknik seperti RAPD mempunyai reprodusibilitas yang rendah, AFLP memerlukan biaya yang tinggi, SSR memerlukan desain primer yang
khusus. Teknik ISSR mengatasi kelemahan diatas Zietkiewiez et al. 1994, Gupta et al. 1994, Wu et al. 1994, Meyer et al. 1993. Teknik ini digunakan untuk studi
filogenetik, mempelajari keragaman genetik, penanda DNA, pemetaan genom. Metode ini menggunakan SSR sebagai primer yang digunakan untuk
mengamplifikasi terutama diantara daerah SSR. Mikrosatelit atau SSR merupakan short tandem repeatss STRs atau variable number of tandem repeats VNTRs
yang terdiri 1-4 basa yang tersebar diseluruh genom tanaman eukariot Tautz dan
Renz 1984. Inter Simple Sequence Repeats ISSR merupakan bagian mikrosatelit yang tidak mengkode protein non koding region sedangkan SSR
merupakan merupakan daerah yang mengkode protein Sudarsono 2008, komunikasi pribadi.
Teknik ISSR berdasarkan metode PCR Gambar 3, mengamplifikasi DNA di antara daerah mikrosatelit dengan arah berlawanan. Penanda ini biasanya
memiliki panjang primer 16-25 bp, biasanya menggunakan perulangan basa seperti di, tri, atau tetra nukleotida. Primer yang digunakan bisa Un-anchored
Gupta et al. 1994, Meyer et al. 1993, Wu et al. 1994 atau primer Anchored primer posisi 3
’ atau 5’ Zietkiewiez et al. 1994.
Gambar 3 Skema ISSR dengan PCR. Skema primer tunggal AG8, unanchored a, anchored
pada 3’ b, anchored pada 5’ c dengan DNA target TCn
Keunggulan dari penggunaan ISSR seperti mudah digunakan, cepat, murah, dan menurut Lenham dan Brennan 1999 lebih polimorfisme jika
dibandingkan dengan RAPD. Rata-rata polimorfisme per primer untuk ISSR 6.5 lebih tinggi jika dibandingkan dengan RAPD hanya sebesar 2.0. Selain itu ISSR
lebih reproducible jika dibandingkan penanda RAPD Qian et al. 2001. Penanda ISSR telah banyak digunakan untuk mempelajari polimorfisme DNA tanaman jati
di India Narayanan et al. 2007. Penanda ISSR juga diketahui telah dapat memetakan peta keterpautan genetik pada tanaman Catharanthus roseus Gupta et
al. 2002.
2.4.4 Penanda AFLP
Teknik AFLP merupakan penggabungan dari RFLP dan RAPD, berdasarkan pada amplifikasi PCR selektif fragmen restriksi dari pemotongan
total DNA genomic. Teknik ini meliputi tiga tahapan, yaitu : 1 restriksi DNA dan ligasi adapter oligonukleotida, 2 amplifikasi selektif set fragmen restriksi,
dan 3 analisis gel dari fragmen restriksi. AFLP marker merupakan marker dominan. Kemampuan teknik AFLP lebih tinggi dalam mendeteksi jumlah lokus-
lokus polimorfik jika dibandingkan dengan RFLP dan RAPD Powell et al. 1996, efisiensi diskriminasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan RAPD dan ISSR
Archak et al. 2003, dan menghasilkan reprodusibilitas yang tinggi Jones et al. 1997. Menurut Vos et al. 1995, teknik ini bisa memberikan informasi genetik
yang lebih akurat. Kegunaan penanda ini antara lain: pemetaan genom tanaman, marker assisted selection MAS, menguji kebenaran suatu tipe. Rata-rata jumlah
pita yang diamplifikasi per sampel per pasangan primer adalah 10-50.
III. METODOLOGI
3.1 Bahan Tanaman
Sampel tanaman manggis berasal dari Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Purwakarta. Sampel terdiri dari tiga generasi masing-masing berjumlah satu
pohon Gambar 4. Daun dan buah diambil pada bagian ujung cabang pohon manggis yang berasal dari cabang yang berbeda dengan pengambilan sampel
berdasarkan ketinggian tanaman setengah ke bawah 1 dan setengah ke atas 2 dan masing-masing ketinggian dibagi menjadi empat sektor utara, timur, selatan,
barat. Biji dari buah Gambar 5 kemudian dikecambahkan P2 ’, P3’, P4. Umur
sampel pohon induk manggis P1 ± 180 tahun, P2 ± 150 tahun adalah anak pohon induk P1, dan P3 ± 120 tahun adalah anak pohon induk P2 berdasarkan
komunikasi dengan petani manggis Wanayasa dan perhitungan rata-rata pertumbuhan lingkar batang pohon pertahun.
Gambar 4 Lokasi pengambilan sampel pohon induk manggis di Desa Babakan, Kecamatan
Wanayasa, Kabupaten
Purwakarta Sumber:
http:maps.google.com. P1
P2 P3
U S
B T
B T
S U
2 1
P1 U
S B
T B
T S
U 2
1
P2 U
S B
T B
T S
U 2
1
P3
P2
P3
P4
Dikecambahkan pada tahun 2009
Dikecambahkan pada tahun 2009
Dikecambahkan pada tahun 1809
Dikecambahkan pada tahun 1959
Dikecambahkan pada tahun 1979
Dikecambahkan pada tahun 2009
Gambar 5 Metode pengambilan sampel daun dan buah manggis Wanayasa antar generasi berdasarkan ketinggian pohon atas, bawah dan pembagian
sektor utara, timur, selatan, barat.
Keterangan : P1=Pohon induk tunggal yang dikecambahkan ± 180 tahun yang lalu, P2=Progeni dari P1 yang
dikecambahkan ± 150 tahun yang lalu, P3= Progeni dari P2 yang dikecambahkan ± 120 tahun yang lalu
1=bawah, 2=atas U=Utara, T=Timur, S=Selatan, B=Barat,
P1U1=Sampel diambil dari pohon induk P1 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah
P1U2= Sampel diambil dari pohon induk P1 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas
P2U1= Sampel diambil dari pohon induk P2 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah
P2U2= Sampel diambil dari pohon induk P2 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas
P3U1= Sampel diambil dari pohon induk P3 bagian utara bawah, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah
P3U2= Sampel diambil dari pohon induk P3 bagian utara atas,T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas
P2 ’=Progeni dari P1 yang dikecambahkan saat ini, P3’=Progeni dari P2 yang dikecambahkan saat
ini, P4=Progeni dari P3 yang dikecambahkan saat ini P2
’U1=Progeni P1 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah,
P2 ’U2=Progeni P1 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian
dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas, P3
’U1=Progeni dari P2 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah,
P3 ’U2=Progeni dari P2 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian
dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas, P4U1=Progeni dari P3 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian bawah yang kemudian
dikecambahkan saat ini, T1=timur bawah, S1=selatan bawah, B1=barat bawah P4U2=Progeni dari P3 yang buahnya berasal dari sektor utara bagian atas yang kemudian
dikecambahkan saat ini, T2=timur atas, S2=selatan atas, B2=barat atas
3.2 Prosedur Penelitian