2006, tingkat pendidikan sangat menentukan daya nalar seseorang yang lebih baik sehingga memungkinkan untuk menyerap informasi dan dapat berfikir secara
rasional dalam menanggapi informasi atau setiap masalah yang dihadapi. Begitu pula yang diungkapkan Nadesul 2006, bahwa tingkat pendidikan dan wawasan
hidup sehat yang dimiliki menentukan tingginya derajat kesehatan seseorang dan keluarganya. Hal ini sejalan dengan pendapat Notoadmodjo 2010 dalam
Firmansyah N. dan Mahmudah 2012, sebagaimana umumnya semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah mendapatkan informasi dan akhirnya mempengaruhi perilaku seseorang, hal ini juga berpengaruh pada ibu dalam
pemberian asi eksklusif. Namun hal ini berbeda dengan hasil penelitian Ayunsari dkk. 2013, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif yang menunjukkan nilai p-value sebesar 0.606.
2.3. Pekerjaan Kepala Keluarga
Analisis yang dilakukan terhadap jawaban yang diberikan responden mengenai pekerjaan kepala keluarga, diketahui mayoritas pekerjaan kepala
keluarga responden sebagai wiraswasta sebanyak 40 responden 58,8, sedangkan pekerjaan kepala keluarga responden sebagai pegawai negeri sipil
sebanyak 18 responden 26,5, pekerjaan kepala keluarga responden sebagai petani sebanyak 6 responden 8,8, dan pekerjaan kepala keluarga lain-lain
sebanyak 3 responden 4,4. Menurut Pontes dkk. 2008 yang dikutip oleh Destriatania 2010, pekerjaan ayah dianggap sebagai penghalang keterlibatan
Universitas Sumatera Utara
dalam konsultasi prenatal sehingga rendahnya kesempatan untuk belajar dan menambah pengetahuan mereka mengenai pemberian ASI menyebabkan mereka
enggan untuk mendukung dan terlibat dalam proses menyusui. Hal ini sejalan dengan penelitian Fadjriah 2012, yang menyatakan bahwa ayah yang bekerja
pada umumnya memahami mengenai ASI Eksklusif, akan tetapi mereka tidak mendukung ibu dalam memberikan ASI Eksklusif karena alasan kesibukan kerja.
2.4. Pekerjaan Ibu
Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, mengenai pekerjaan ibu menunjukkan bahwa status pekerjaan ibu yang bekerja sebanyak 35 responden
51,5, sedangkan status pekerjaan ibu yang tidak bekerja sebanyak 32 responden 47,1. Menurut Roesli 2000, pekerjaan merupakan alasan yang
sering digunakan oleh ibu untuk berhenti menyusui bayinya, seharusnya walaupun bekerja ibu dapat tetap memberikan ASI secara Eksklusif dengan
memiliki pengetahuan yang benar tentang menyusui, memiliki perlengkapan memerah ASI, dan mendapat dukungan di lingkungan kerja. Sama seperti yang
diungkapkan oleh visness dkk. 1997 yang dikutip oleh Destriatania 2010, Kembalinya ibu ke dunia kerja lebih dini dan kondisi tempat kerja yang kurang
mendukung menyebabkan ia tidak dapat melanjutkan pemberian ASI pada bayinya. Dukungan pemberian ASI secara Eksklusif di tempat kerja tertuang
dalam pasal 83 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang dikutip oleh Kemalasari 2009, menyatakan bahwa buruhpekerja perempuan yang anaknya
masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika
Universitas Sumatera Utara
hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Dan hasil penelitian Tan 2011, menunjukkan bahwa pada ibu-ibu yang bekerja menunjukkan kegagalan
pemberian ASI eksklusif lebih tinggi dibandingkan pada ibu yang tidak bekerja, ini disebabkan faktor seperti penyapih dalam persiapan untuk kembali ke
pekerjaan, kelelahan ibu dan kesulitan dalam tuntutan pekerjaan. Sedangkan hasil
penelitian Firmansyah N. dan Mahmudah 2012, menunjukkan bahwa tidak ada
pengaruh pekerjaan responden terhadap pemberian ASI eksklusif, karena responden yang tidak bekerja memiliki lebih banyak waktu untuk memberikan
ASI eksklusif sedangkan responden yang bekerja dapat menyediakan ASI eksklusif cadangan di rumah.
2.5. Penghasilan Keluarga