17
b. Kultur sekolah yang negatif
Kultur sekolah yang negatif merupakan kultur yang kontra terhadap peningkatan mutu pendidikan, yang dalam arti kata lain resisten
terhadap perubahan. Dalam hal ini sekolah harus menyadari dan memahami secara benar
kultur sekolah yang berkembang di sekolah, sehingga pihak sekolah mampu menindaklanjuti ataupun meminimalisir kultur sekolah yang berkembang
didalam sekolah dalam perbaikan kualitas sekolah. Kerja sama setiap warga sekolah dalam memberikan informasi serta wawasan akan unsur kultur
sekolah ada yang bersifat positif dan negatif, dalam kaitannya dengan mengenali aspek kultural yang cocok dan menguntungkan serta aspek yang
cenderung dapat melemahkan dan merugikan pihak sekolah terkait. Berikut beberapa contoh fenomena yang mudah dikenali dan diyakini dapat
mencerminkan berbagai aspek kultural, yang masing-masing berkaitan dengan kualitas moralitas, dan multikultural Farida Hanum, 2008: 14-15.
a. Artifak terkait kultur positif
1 Ada ambisi untuk meraih prestasi, pemberian penghargaan pada
yang berprestasi. 2
Hidup semangat menegakan sportivitas, jujur, mengakui keunggulan pihak lain.
3 Saling menghargai perbedaan.
4 Salig percaya trust.
18
b. Artifak terkait kultur negatif
1 Banyak jam kosong dan absen dari tugas.
2 Terlali permisif terhadap pelanggaran nilai-nilai moral.
3 Adanya friksi yang mengarah pada perpecahan, terbentuknya
kelompok yang saling menjatuhkan. 4
Penekanan pada nilai pelajaran bukan pada kemampuan.
4. Identifikasi Kultur Sekolah
Menurut Kotter Farida Hanum, 2008: 11 memberikan gambaran tentang kultur dalam dua lapisan. Lapisan pertama atau biasa disebut dengan
artifak sebagian dapat diamati dan sebagian yang tidak dapat teramati yaitu: arsitektur, tata ruang, eksterior dan interior, kebiasaan dan rutinitas,
peraturan-peraturan, cerita-cerita, upacara, ritual, simbol, logo, slogan, bendera, gamba, tanda-tanda, sopan santun, cara berpakaian, dan hal-hal
lainnya yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Lapisan kedua yang merupakan nilai-nilai yang diyakinin dan anut yang dianggap
benar, baik dan penting oleh kelompok. Dalam lapisan kedua ini sulit untuk
diamati karena bersifat abstrak dan terletak di dalam kehidupan kelompok.
Menurut Stolp dan Smith membagi kultur menjadi tiga lapisan, lapisan pertama untuk artifak yang cenderung dapat diamati karena
berhubungan dengan ritual sehari-hari dalam lingkungan sekolah, lapisan kedua yang merupakan nilai serta keyakinan yang merupakan ciri utama dari
sekolah, sedangkan lapisan yang ketiga adalah asumsi, yaitu simbol, nilai serta keyakinan yang tidak dapat diamati namun terus menerus memiliki
19
dampak terhadap perilaku warga sekolah. Lapisan – lapisan kultur tersebut
dapat digambarkan pada gambar 1.
Gambar 2. Lapisan –lapisan kultur sekolah Mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Stolp dan Smith,
Depdiknas 2004 juga mengemukakan budaya sekolah memiliki tiga lapisan, yaitu:
1 Lapisan yang berintikan pada norma dan dapat diamati, seperti:
arsitektur, tata ruang, eksterior dan interior, kebiasaan dan rutinitas, peraturan-peraturan, cerita-cerita, ritus-ritus, simbol-simbol, logo-logo,
slogan, bendera, gambar-gambar, tanda-tanda, sopan-santun, dan cara berpakaian. Lapisan pertama ini berintikan norma kelompok atau
perilaku yang telah lama dimiliki kelompok yang pada umumnya sukar untuk diubah dan biasa disebut artifak.
2 Lapisan yang berintikan pada nilai-nilai dan keyakinan yang sifatnya
tidak dapat diamati, berupa nilai-nilai yang dianut kelompok, berhubungan dengan yang penting, yang baik, dan yang benar. Lapisan
kedua ini tidak dapat diamati karena terletak dalam kehidupan kelompok. Jika lapisan pertama yang berintikan norma perilaku yang sukar diubah,
lapisan kedua yang berintikan nilai-nilai dan keyakinan sangat sukar diubah serta memerlukan waktu untuk berubah.
3 Lapisan ketiga adalah asumsi yang bersifat abstrak dan tersembunyi,
tidak dapat diamati tetapi melekat dan berdampak pada perilaku kelompok. Sebagai contoh adalah asumsi bahwa anak dengan NEM
rendah akan sulit untuk diajak maju.
ARTIFAK NILAI KEYAKINAN
ASUMSI