IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA.

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Zismeda Taruna NIM 12110244005

PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA" yang disusun oleh Zismeda Taruna, NIM 12110244005 ini telah dipertahankan di depan Dewan . Penguji pada tanggal22 Agustus 2016 dan dinyatakan lulus.

Nama Jabatan

LusilaAndrianiPurwastuti, M.Hum. Ketua Penguji Riana Nurhayati,M.Pd.


(5)

MOTTO

“Apa yang kamu pilih itulah yang harus kamu jalani, jangan menjadi pecundang atas apa yang kamu pilih”


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, karya ini saya persembahkan untuk :

1. Bapak, ibu, dan kakak-kakakku 2. Almamaterku, KP FIP UNY


(7)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA

Oleh Zismeda Taruna NIM 12110244005

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan 1) implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta, 2) faktor pendukung dan faktor penghambat implementasi kebijakan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif naturalistik. Subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, wakasek kesiswaan, guru BK, wali kelas, siswa, dan karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Metode pengumpulkan data melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Tahap dalam teknik analisis data yang digunakan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Keabsahan data dilakukan dengan cara triangulasi sumber dan teknik. Hasil penelitian menunjukkan implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta sudah membentuk tim pelaksana berserta tugas masing-masing, tahap interpretasi menggunakan cara sosialisasi. Sosialisasi dilakukan saat rapat sekolah dan MOS, SMA Gadjah Mada sudah melakukan tahapan aplikasi dengan menerapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok berupa penetapan anggaran dan peralatan dengan melakukan sosialisasi dan sudah memasang tanda dilarang merokok. Faktor pengambat implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta terjadi pada faktor komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Faktor pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta dapat dijumpai pada faktor sumber daya dan disposisi.


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dengan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK DI SMA GADJAH MADA YOGYAKARTA” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun guna memenuhi syarat untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini diberikan bantuan, arahan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta atas izin yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan atas izin yang diberikan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Lusila Andriani Purwastuti, M.Hum., Dosen Pembimbing skripsi yang selalu memberikan perhatian dan dengan sabar serta senantiasa memberikan ilmu, bimbingan dan motivasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian disekolah.

5. Ibu dan Bapak Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membantu peneliti dalam mengambil data penelitian.

6. Kedua orang tua dan kakak-kakakku yang selalu memberikan doa dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat sekaligus orang yang membantu penelitian, Ratri Pupitasari, Adi B. Nugroho, Nico Rista Sandy, dan Kevin Audrio terima kasih karena telah membantu pengambilan data penelitian di sekolah dan selalu memberi motivasi.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kebijakan Pendidikan ... 12

1. Pengertian Kebijakan ... 12

2. Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 13

3. Tingkatan Kebijakan Pendidikan ... 14

4. Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan ... 15


(11)

2. Tahap Implementasi Kebijakan ... 19

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan ... 21

C. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ... 28

D. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah ... 31

1. Ketentuan Umum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah ... 31

2. Tujuan ... 31

3. Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah ... 32

4. Penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah ... 32

E. Penelitian yang Relevan ... 34

F. Kerangka Berpikir ... 37

G. Pertanyaan Penelitian ... 39

BAB III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 40

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

C. Subjek dan Obyek Penelitian ... 41

D. Teknik Pengumpulan Data ... 42

E. Instrumen Penelitian ... 43

F. Teknik Analisis Data ... 46

G. Uji Keabsahan Data ... 48

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 50

1. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 50

2. Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada ... 59

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 66

4. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 83

5. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 85


(12)

2. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan KTR di SMA

Gadjah Mada Yogyakarta ... 93

3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 103

4. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 109

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(13)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara ... 44

Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 45

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Studi Dokumentasi ... 46

Tabel 4. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 51

Tabel 5. Keadaan Sumber Daya SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 58

Tabel 6. Tim Pelaksana Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 88

Tabel 7. Pelaksana Tahapan Implementasi Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 90

Tabel 8. Penetapan Anggaran dan Peralatan Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 92

Tabel 9. Faktor Penghambat Internal dalam Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 105

Tabel 10. Faktor Eksternal Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 107

Tabel 11. Faktor Pendukung Pelaksanaan Kebijakan KTR di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ... 109


(14)

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1. Proses Pembuatan Kebijakan ... 15

Gambar 2. Kerangka Berpikir ... 38

Gambar 3. Triangulasi Sumber Data ... 48

Gambar 4. Triangulasi Teknik ... 49

Gambar 5. Siswa Merokok di Koridor Sekolah ... 63

Gambar 6. Siswa Merokok di Koridor Sekolah ... 69

Gambar 7. Puntung dan Bungkus Rokok di sekitar Koridor Sekolah ... 69


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Pedoman Wawancara ... 118

Lampiran 2. Pedoman Observasi ... 123

Lampiran 3. Pedoman Dokumentasi ... 124

Lampiran 4. Hasil Wawancara ... 125

Lampiran 5. Analisis Data ... 151

Lampiran 6. Catatan Lapangan ... 160

Lampiran 7. Foto Penelitian ... 168

Lampiran 8. Surat Ijin Penelitian ... 173


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebiasaan merokok di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan sekunder yang dianggap sebagai kebutuhan primer oleh sebagian orang, terutama para perokok. Merokok sudah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat di Indonesia. Merokok di tempat umum sudah tidak dianggap lagi sebagai hal yang tabu oleh masyarakat. Hampir setiap tempat di Indonesia dapat kita jumpai para perokok yang sedang menikmati sebatang rokok dalam berbagai kondisi. Kegiatan tersebut tak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun para remaja baik pria maupun wanita juga terlihat sedang menikmati kegiatan merokok.

Tidak dapat dipungkiri bahwa merokok mengandung sensasi kenikmatan tersendiri. Sensasi kenikmatan pada rokok bukan merupakan satu-satunya alasan untuk merokok, ada beberapa motivasi lain yang diketahui melatarbelakangi seseorang untuk merokok, sehingga lambat laun berpotensi menimbulkan kecanduan. Beberapa motivasi itu antara lain menganggap bahwa rokok adalah simbol kejantanan, rokok adalah simbol kebebasan. Masyarakat dalam aspek sosial menganggap menghisap rokok adalah simbol pergaulan, toleransi, persahabatan, dan solidaritas. Menghisap rokok terlihat keren, atraktif, dan sensual. Para perokok juga meyakini bahwa rokok bisa menghilangkan beberapa perasaan kurang nyaman seperti menghilangkan rasa stress, menghilangkan rasa pedih, menghilangkan rasa cemas dan


(17)

menghilangkan rasa lelah. Beberapa perokok juga menjelaskan bahwa menghisap rokok adalah cara mencapai konsentrasi, menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan etos kerja, dan dapat melancarkan datangnya ide sehingga membantu menyelesaikan masalah. Menghisap rokok tidak hanya menimbulkan stimulus yang telah diuraikan di atas, adapula anggapan lain yang membuat merokok itu nikmat yaitu ketika selesai makan, sambil minum kopi atau teh maupun dilakukan setelah bangun tidur di pagi hari maupun ketika sebelum berangkat tidur di malam hari. Faktor internal kebiasaan merokok muncul karena rasa ingin tahu sehingga mencoba-cobanya. Faktor eksternal yang mempengaruhi dan mendorong seseorang untuk merokok adalah kondisi lingkungan. Menghisap rokok karena meniru kebiasaan dari keluarga sebagai contohnya menirukan orang tua mereka yang merokok (Alfi, 2011: 27-31).

Terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa kebiasaan merokok sulit untuk dihentikan, bahkan ada anggapan bahwa merokok bukanlah suatu kebiasaan yang buruk bagi kesehatan. Anggapan menghilangkan kebiasaan merokok sulit akan lebih kuat jika terjadi pada perokok yang menjadikan rokok sebagai pelarian atas segala macam masalahnya terlebih lagi saat sudah stress dan emosi. Mereka merasa lebih tenang saat menghisap sebatang rokok.

Banyak di antara para perokok belum mengetahui zat apa saja yang terkandung di dalam sebatang rokok yang sedang mereka nikmati. Di dalam sebatang rokok terkandung 4.000 jenis senyawa kimia. 400 di dalamnya merupakan zat beracun yang berbahaya untuk tubuh, dan 43 di antaranya


(18)

bersifat karsinogenik. Komponen utama yaitu Nikotin yang merupakan suatu zat berbahaya penyebab kecanduan, zat ini bisa menimbulkan efek santai sehingga menyebabkan kebiasaan merokok sulit untuk ditinggalkan oleh pecandu rokok. Komponen dalam rokok TAR merupakan zat berbahaya penyebab kanker (karsinogenik) dan berbagai penyakit lainnya. Komponen rokok yang berupa karbonmonoksida (CO) adalah salah satu gas beracun yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam darah, sehingga dapat menurunkan konsentrasi dan timbulnya penyakit berbahaya. Konsumsi rokok merupakan salah satu faktor risiko utama terjadinya berbagai penyakit tidak menular seperti penyakit jantung koroner, stroke, kanker, penyakit paru kronis dan diabetes mellitus yang merupakan penyebab kematian utama di dunia, termasuk di Indonesia. Saat ini, lebih dari 60 juta penduduk Indonesia adalah perokok aktif dan 8 orang per menit meninggal karena rokok. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun dan menempatkan Indonesia ke peringkat ketiga dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia setelah China dan India. Indonesia termasuk salah satu produsen rokok terbesar di dunia. Meningkatnya kebutuhan rokok telah menjadi pengeluaran ke dua bagi masyarakat Indonesia (depkes.go.id).

Pencantuman peringatan atas dampak yang akan diderita oleh perokok dalam bungkus rokok sudah ada. Peringatan pada bungkus rokok menyebutkan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Gangguan kesehatan akibat asap rokok tidak hanya akan diterima oleh perokok, namun juga dapat


(19)

mengganggu kesehatan orang lain di sekitarnya. Penelitian terbaru juga menunjukkan adanya bahaya dari second-hand smoke, yaitu asap rokok yang terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada di sekitar perokok atau bisa disebut juga dengan perokok pasif. Sebanyak 62 juta perempuan dan 30 juta laki-laki Indonesia menjadi perokok pasif di Indonesia, dan yang paling menyedihkan adalah anak-anak usia 0-4 tahun yang terpapar asap rokok berjumlah 11,4 juta anak. data tersebut jelas menunjukkan bahwa begitu bahayanya paparan asap rokok, namun hal tersebut tidak memberi pengaruh yang signifikan untuk menurunkan angka perokok (depkes.go.id).

Upaya dalam menurunkan jumlah perokok di Indonesia memang tidak mudah. Ada beberapa permasalahan yang kompleks di antaranya adalah aspek ekonomi, dan sosial. Namun bagaimanapun juga masyarakat berhak memperoleh udara segar untuk memperoleh sirkulasi pernafasan yang sehat. Hak tersebut mendapatkan landasan hukum dalam UUD 1945 dalam pasal 28 H ayat (1) yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Untuk mengatasi hal tersebut, maka ditetapkan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.

Konsep Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terdapat dalam Undang-Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 115. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan mengamanatkan dalam upaya menciptakan lingkungan yang sehat, maka setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain dalam memperoleh lingkungan yang sehat, baik fisik, biologi,


(20)

maupun sosial, dan setiap orang berkewajiban untuk berperilaku hidup sehat dalam mewujudkan, mempertahankan, serta memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Lingkungan yang sehat dapat terwujud antara lain dengan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di fasilitas kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja dan tempat umum serta tempat-tempat lain yang ditetapkan.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Pengertian tersebut tertuang dalam pasal pertama Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Asap Rokok. Diharapkan dengan pedoman tersebut terjadi intervensi yang kuat terhadap pengendalian perokok yang sering menghisap rokok di sembarang tempat.

Menteri Pendidikan mengeluarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Di Lingkungan Sekolah. Kebijakan ini ditetapkan untuk memberi dukungan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Tujuan dari Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Di Lingkungan Sekolah ini ditetapkan atas dasar melindungi para generasi muda yang sedang menempuh pendidikan di sekolah dari paparan asap rokok yang berbahaya dan secara tidak langsung diharapkan menurunkan angka perokok pada pelajar.


(21)

Pada kenyatannya banyak perokok yang masih melanggar Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, dengan tetap merokok di area tersebut. Sering kita jumpai pula pelanggaran tersebut terjadi di sekolah. Sekolah merupakan salah satu kawasan tanpa rokok, karena akan mengakibatkan terganggunya kegiatan belajar mengajar. Beberapa guru, tenaga kependidikan bahkan kepala sekolah dengan santainya merokok di sekolah tanpa memikirkan akibat dari kebiasaan yang tidak baik tersebut. Efek dari kebiasaan itu adalah ketika para siswa yang melihatnya merasa bahwa merokok adalah hal yang wajar dilakukan. Anggapan tersebut sedikit banyak akan memberikan pengaruh bagi pelajar untuk mencoba merokok. Sebagian pelajar di Indonesia kini telah menjadi perokok aktif. Beberapa dari mereka terang-terangan memperlihatkan bahwa mereka adalah perokok dan menganggap itu adalah hal yang biasa, bahkan bisa dianggap sebagai pembuktian bahwa perokok itu keren. Beberapa pelajar yang merokok tidak semua berani menunjukkan identitasnya karena takut dihukum oleh sekolah dan orang tua yang melarang anaknya untuk merokok.

Berita yang diunggah oleh Humas UGM (Gusti Grehenson) pada hari Jumat, 27 Mei 2011 mengungkapkan bahwa 16 persen pelajar SMP dan SMA di Kota Yogyakarta adalah perokok. Jumlah presentase perokok tersebut dibagi menjadi dua golongan, yaitu sebanyak 12 persen termasuk ke dalam golongan perokok eksperimenter dan 4 persen sisanya adalah perokok regular. Perokok eksperimenter merupakan golongan pelajar yang masih mencoba-coba merokok, sedangkan perokok regular merupakan kelompok pelajar yang sudah rutin mengkonsumsi rokok setiap hari. Perincian persentase perokok


(22)

disampaikan oleh Yayi Suryo Prabandari. sebagai ketua tim peneliti menyebutkan untuk pelajar SMP jumlah perokok eksperimenter 10,32 persen dan perokok regular 2,38 persen. Jumlah perokok ekperimenter dan regular terjadi peningkatan untuk pelajar SMA yaitu sebanyak 13,28 persen dan 2,38 persen. Survei mengenai jumlah perokok juga dilakukan pada guru dari 30 SMP dan 30 SMA di Kota Yogyakarta. Hasil survei tersebut menyatakan 10 persen dari seluruh guru yang menjadi responden adalah perokok, bahkan 68 persen guru SMP dan SMA tersebut mengaku bahwa mereka merokok di lingkungan sekolah. Survei tersebut dilakukan terhadap 2.015 pelajar SMP dan SMA serta 1.602 guru dari 30 SMP dan 30 SMA oleh Quit Tobacco Indonesia, Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Gajah Mada.

Hasil penelitian dari Fify Rosaliana (2015) menjelaskan bahwa di SMA Gadjah Mada masih dijumpai guru dan siswa yang merokok di lingkungan sekolah. SMA Gadjah Mada menyediakan ruang khusus merokok yang bertujuan untuk meminimalisir siswa yang merokok saat jam pelajaran berlangsung dan warga sekolah diharapkan untuk tidak merokok di koridor sekolah padahal jelas disebutkan pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No.188/Menkes/PB/I/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Asap Rokok bahwa salah satu Kawasan Tanpa Rokok adalah di sekolah. Ruang khusus merokok tersebut juga tidak dapat menampung keseluruhan guru dan siswa yang ingin merokok yang mengakibatkan masih banyak guru dan siswa yang merokok di koridor sekolah.


(23)

Hasil pra-observasi di SMA Gadjah Mada menemukan beberapa siswa yang merokok di lingkungan sekolah. Beberapa ada yang merokok di sekitar koridor sekolah, di ruang satpam, di parkiran sepeda motor, dan di dalam kelas. Pihak sekolah membiarkan siswa yang merokok dan tidak ada sanksi yang tegas kepada para perokok tersebut. Contoh yang tidak bagus juga ditemukan adalah seorang guru yang merokok di lingkungan sekolah. Guru tersebut merokok di ruang guru yang tentu saja masih masuk dalam lingkungan sekolah. Dampak dari warga yang merokok di SMA Gadjah Mada sangat menganggu bagi mereka yang tidak merokok. Udara segar yang seharusnya mereka bisa nikmati menjadi tercemar akibat asap rokok.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan yang ada, diantaranya:

a. Kebiasaan merokok di Indonesia saat ini merupakan kebutuhan sekunder yang dianggap sebagai kebutuhan primer oleh sebagian orang hal ini berdampak meningkatnya perokok di Indonesia.

b. Terjadi anggapan yang salah mengenai kegiatan menghisap rokok.

c. Terdapat keyakinan pada masyarakat bahwa kebiasaan merokok sulit untuk dihentikan

d. Ancaman kesehatan bagi perokok aktif dan pasif masih mengintai.

e. Indonesia menempati peringkat ketiga dengan jumlah perokok aktif tertinggi di dunia.


(24)

f. Banyak para perokok yang melanggar kebijakan kawasan tanpa rokok. g. Angka perokok di kalangan pelajar tinggi, dengan didominasi oleh pelajar

SMA.

h. Siswa dan Guru SMA Gadjah Mada Yogyakarta banyak yang merokok di lingkungan sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Agar penelitian sesuai dengan tujuan peneliti dan masalah yang dikaji tidak terlalu luas, maka tidak semua masalah yang teridentifikasi akan diteliti. Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan mempertimbangkan keterbatasan peneliti baik tenaga, waktu, dan biaya maka peneliti membatasi permalahan yang berfokus pada implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

2. Apakah faktor penghambat dan pendukung implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta ?


(25)

E. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk :

1. Mendeskripsikan implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan faktor penghambat dan pendukung implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Berikut adalah manfaat teoritis dan praktis dari penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta:

a. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi dan pengetahuan sebagai referensi serta acuan penelitian berikutnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah. Manfaat teoritis terkait dengan Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Prodi Kebijakan Pendidikan yaitu memberikan rujukan dalam pengembangan penelitian di bidang implementasi kebijakan khususnya mengenai kebijakan pendidikan yang terkait dengan mata kuliah politik pendidikan.


(26)

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Dinas Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil sebuah kebijakan serta bahan evaluasi dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.

2) Bagi Pihak Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan oleh pihak sekolah terkait dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah.

3) Bagi Orang tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan orang tua siswa dalam memberikan perhatian kepada perilaku anaknya yang merokok di sekolah.

4) Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi kepada masyarakat agar tidak menjual rokok di sekitar sekolah.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kebijakan Pendidikan 1. Pengertian Kebijakan

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy” digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Oleh karena itu kita memerlukan batasan atau konsep kebijakan publik yang tepat (Budi Winarno, 2007: 16).

Sudiyono (2007: 2) menjelaskan bahwa kebijakan adalah sebuah tindakan rekayasa sosial (social engineering) yang dilakukan oleh kelompok atau individu untuk mencapai tujuan. Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang bersifat tidak terbatas pada satu tindakan, melainkan melibatkan satu tindakan dengan tindakan lain.

James E. Anderson mengatakan bahwa kebijakan adalah serangkaian tindakan yang memiliki tujuan yang diikuti oleh seseorang atau sekelompok pelaku terkait dengan suatu permasalahan tertentu, karena kebijakan terkait dengan tindakan untuk memecahkan permasalahan (Sudiyono, 2007: 4). James E. Anderson memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan (Arif Rohman, 2009: 108).

Kebijakan dilihat dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan sebagai kegiatan atau tindakan terkait dengan suatu permasalahan tertentu


(28)

dan dilakukan oleh aktor terkait (pejabat, kelompok, dan instansi pemerintah) untuk mencapai tujuan tertentu.

2. Pengertian Kebijakan Pendidikan

Kebijakan dalam dunia pendidikan dapat diartikan dalam berbagai istilah. Istilah tersebut antara lain: (1) perencanaan pendidikan (educational planning), (2) rencana induk tentang pendidikan (master plan of education), (3) peraturan pendidikan (educational regulation), dan (4) kebijakan tentang pendidikan (policy of education). Keempat istilah tersebut memiliki perbedaan isi dan cakupan makna dari masing-masing yang ditunjuk oleh istilah tersebut (Arif Rohman, 2009: 107-108).

Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140) mendefinisikan kebijakan pendidikan sebagai keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi, misi pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.

H. M. Hasbullah (2015: 41) mendefinisikan kebijakan pendidikan sebagai berikut :

Kebijakan pendidikan adalah seperangkat aturan sebagai bentuk keberpihakan dari pemerintah dalam upaya membangun sistem pendidikan sesuai dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan bersama. Keberpihakan tersebut menyangkut dalam konteks politik, anggaran, pemberdayaan, tata aturan, dan sebagainya. Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategi pendidikan yang dijabarkan dari visi dan misi pendidikan, dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan


(29)

pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu.

Kebijakan pendidikan dilihat dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai tindakan atau upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan suatu masalah atau pun meningkatkan kualitas pada pendidikan dengan mempertimbangkan aspek yang terkait (konteks politik, anggaran, pemberdayaan, tata aturan). Kebijakan pendidikan dapat meningkatkan kualitas pendidikan dengan strategi yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan tujuan jangka panjang untuk menyongsong pendidikan di masa mendatang.

3. Tingkatan Kebijakan Pendidikan

Kebijakan pendidikan pada dasarnya dibedakan berdasarkan tingkatan. Ali Imron (2008:24) mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan jika dilihat dari perspektif pengambil kebijakan, dapat dibedakan menjadi 4 (empat) tingkatan yaitu 1) tingkat kebijakan nasional (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu MPR/DPR/DPD), 2) tingkat kebijakan umum (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu pemerintah atau eksekutif, sehingga sifat kebijakan yang dihasilkan bersifat umum dan merupakan kebijakan eksekutif), 3) tingkat kebijakan khusus (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan 4) tingkat kebijakan teknis (penentu kebijakan pada tingkat ini yaitu pejabat eselon 2 ke bawah, seperti Direktorat Jendral atau pimpinan lembaga non departemen).


(30)

Berdasarkan pendapat dari pakar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkatan kebijakan pendidikan yaitu kebijakan nasional (makro), kebijakan daerah (meso), dan kebijakan teknis (mikro).

4. Tahapan Proses Pembuatan Kebijakan Pendidikan

Proses pembuatan kebijakan pendidikan tidaklah jauh berbeda dengan proses pembuatan kebijakan publik. William N. Dunn (2003: 25) menyebutkan proses pembuatan kebijakan adalah 1) penyusunan agenda, 2) formulasi kebijakan, 3) adopsi kebijakan, 4) implementasi kebijakan, dan 5) penilaian kebijakan. William N. Dunn menggambarkan tahapan kebijakan pendidikan sebagai berikut:

Gambar 1. Proses Pembuatan Kebijakan (William N. Dunn, 2003) Penyusunan

Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

Penilaian Kebijakan


(31)

Berdasarkan gambar di atas, William N. Dunn menjelaskan proses pembuatan kebijakan sebagai berikut

1) Penyusunan Agenda

Tahap ini yaitu menyusun suatu masalah yang akan dicari pemecahan masalah. Berbagai permasalahan yang ada dimasukkan ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Permasalahan yang ada di agenda kebijakan didefinisikan dan dicari pemecahan masalahnya sesuai dengan alternatif yang ada.

2) Formulasi Kebijakan

Tahap kedua dalam proses pembuatan kebijakan yaitu formulasi kebijakan. Pada tahap ini aktor pembuat kebijakan merumuskan alternatif kebijakan (solusi dari permasalahan) berdasarkan permasalahan yang ada dalam agenda kebijakan.

3) Adopsi Kebijakan

Tahap ketiga dalam proses pembuatan kebijakan yaitu membahas beberapa alternatif yang telah ditawarkan oleh para perumus kebijakan, kemudian dilakukan adopsi dengan dukungan dari pembuat kebijakan. 4) Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan hanyalah menjadi sebuah wacana apabila kebijakan tersebut tidak dilakukan implementasi. Kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif solusi pemecahan masalah haruslah diimplementasikan. Implementasi kebijakan bertujuan untuk mencapai tujuan kebijakan yang telah dirumuskan.


(32)

5) Penilaian Kebijakan

Kebijakan yang telah diimplementasikan perlu dilakukan penilaian atau evaluasi agar dapat dilihat sejauh mana kebijakan tersebut mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Penilaian kebijakan melibatkan indikator keberhasilan yang digunakan sebagai standar keberhasilan implementasi kebijakan.

Proses perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari aktor pembuat kebijakan. Aktor pembuat kebijakan harus mempunyai dasar berupa pendekatan teori dalam merumuskan kebijakan dan memilih komponen utama dalam pembuatan kebijakan pendidikan. Arif Rohman (2009: 130) menjelaskan,

Ada lima teori perumusan kebijakan pendidikan, yaitu: (a) teori radikal, (b) teori advokasi, (c) teori transkriptif, (d) teori sinoptik, dan (e) teori inkremental. Teori radikal mementingkan kepada diverivikasinya dan pelimpahan tugas kepada lembaga penyelenggara di tingkat lokal, sehingga kreatifitas lembaga lokal lebih dihargai. Sebaliknya, teori advokasi cenderung mementingkan peran pemerintah pusat yang masih dominan dalam perumusan kebijakan pendidikan. Teori transkiptif berorientasi kepada prasyarat adanya dialog pusat dengan daerah dan lembaga penyelenggara pendidikan. Teori sinoptik menekankan kepada metode berfikir sistem dalam perumusan kebijakan. Sedangkan teori inkremental menekankan pada perumusan kebijakan pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari perencanaan kebijakan yang berjangka panjang.

Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembuatan kebijakan harus melalui tahapan yang urut dan tidak dapat dilakukan secara terpisah atau salah satu tidak dilakukan karena tahapan dalam proses pembuatan kebijakan merupakan


(33)

seusai dengan kebutuhan. Tahapan proses pembuatan kebijakan adalah tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.Penelitian ini lebih fokus untuk membahas implementasi kebijakan karena pada tahapan ini banyak faktor yang mempengaruhi sebuah kebijakan dapat berjalan baik atau tidak.

B. Implementasi Kebijakan

1. Konsep Implementasi Kebijakan

Van Meter dan Van Horn dalam Arif Rohman (2009: 134) mengungkapkan bahwa implementasi kebijakan merupakan semua tindakan yang dilakukan oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan kepada pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditentukan terlebih dahulu, yakni tindakan-tindakan yang merupakan usaha sesaat untuk mentransformasikan keputusan ke dalam istilah operasional, maupun usaha berkelanjutan untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

H. M. Hasbullah (2015: 94) memaparkan secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Keseluruhan proses penetapan kebijakan baru ini bisa dimulai apabila tujuan dan sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program telah


(34)

dirancang dan juga sejumlah dana telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan dan sasaran tersebut.

Arif Rohman (2012: 107) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan pendidikan merupakan proses yang tidak hanya menyangkut perilaku-perilaku badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan kepada kelompok sasaran (target groups), melainkan juga menyangkut faktor-faktor hukum, politik, ekonomi, sosial yang langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dari berbagai pihak yang terlibat dalam program. Kesemuannya itu menunjukkan secara spesifik dari proses implementasi yang sangat berbeda dengan proses formulasi kebijakan pendidikan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa impelementasi kebijakan merupakan seluruh tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Implementasi kebijakan mentransformasikan sebuah kebijakan ke dalam istilah operasional agar mudah dipahami oleh pelaksana kebijakan dan objek kebijakan.

2. Tahap Implementasi Kebijakan

Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa tahapan yang akan dilalui. Charles O. Jones dalam buku Politik Ideologi Pendidikan (Arif Rohman, 2009: 135) menjelaskan bahwa implementasi adalah suatu aktivitas atau tahapan yang dimaksudkan untuk melaksanakan kebijakan. Ada tiga pilar aktivitas atau tahapan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut


(35)

1) Pengorganisasian, pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-unit serta metode untuk menjalankan program agar bisa berjalan sesuai dengan tujuan.

2) Interpretasi, aktivitas menafsirkan agar suatu program menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan sesuai harapan.

3) Aplikasi, berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, pembayaran atau yang lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.

Joko Widodo (2010: 90-94) menyebutkan beberapa tahapan implementasi kebijakan yaitu tahap interpretasi, tahap organisasi, dan tahap aplikasi. Berikut penjelasan dari tahapan tersebut :

1) Tahap Interpretasi

Tahap Interpretasi merupakan tahap penguraian pokok dari suatu kebijakan yang bersifat abstrak agar lebih operasional dan mudah dipahami sehingga dapat dimengerti oleh para pelaku dan sasaran kebijakan.

2) Tahap Organisasi

Tahap Organisasi yaitu tindakan peraturan dan penetapan pembagian tugas pelaksana kebijakan termasuk di dalamnya terdapat kegiatan penetapan anggaran, kebutuhan sarana dan prasana, penetapan tata kerja, dan manajemen implementasi kebijakan.


(36)

3) Tahap Aplikasi

Tahap aplikasi merupakan tahap pelaksanaan kebijakan sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Tahapan ini merupakan tahapan untuk menerapkan kebijakan untuk mengatasi masalah dan/atau meningkatkan mutu pada sasaran kebijakan

Kesimpulan dari beberapa pendapat di atas adalah dalam implementasi kebijakan mempunyai tahapan yang dilakukan. Tahapan dalam implementasi kebijakan adalah tahap interpretasi, tahap organisasi, dan tahap aplikasi. Tahapan tersebut dilakukan untuk mengoperasikan program atau kebijakan agar sesuai dengan tujuan.

3. Faktor Penentu Implementasi Kebijakan

Tahap implementasi kebijakan merupakan tahapan yang penting dari sebuah kebijakan. Tahap implementasi kebijakan menentukan hasil dari kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan dibuat dengan tujuan memperbaiki suatu aspek dengan strategi yang tepat namun kebijakan tersebut bisa terjadi ketidakberhasilan karena pada tahap implementasi kebijakan belum bisa berjalan sesuai dengan kebijakan. Penentu keberhasilan atau kegagalan pada implementasi kebijakan dipengaruhi beberapa faktor. Faktor penentu keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan perlu dilakukan analisis. Analisis faktor-faktor tersebut bisa digunakan untuk bahan pertimbangan untuk meminimalisirkan segala kemungkinan kegagalan yang terjadi dan memaksimalkan keberhasilan pada tahap implementasi kebijakan.


(37)

Brian W. Hogwood & Lewis A.Gunn (Arif Rohman, 2012: 107-108) mengemukakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan suatu kebijakan dapat dikatakan sempurna (perfect implementation), maka dibutuhkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan atau instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.

b. Untuk pelaksanaan suatu program, harus tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai.

c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan harus benar-benar ada atau tersedia.

d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang handal.

e. Hubungan kausalitas tersebut hendaknya bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya.

f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil.

g. Adanya pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat

i. Adanya komunikasi dan koordinasi yang sempurna.

j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Arif Rohman (2009: 147-149) mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan dan kegagalan implementasikan kebijakan yaitu:

a. Faktor pertama yang menentukan keberhasilan dan kegagalan pada implementasi kebijakan berkaitan dengan rumusan kebijakan yang telah dibuat oleh pengambil keputusan (decision maker). Berhubungan tentang bagaimana rumusan kalimatnya jelas atau tidak, tujuannya tepat atau tidak, sesuai dengan sararan atau tidak, terlalu sulit dipahami atau tidak, mudah diinterpretasikan atau tidak, mudah dilaksanakan atau tidak dan sebagainya. Pembuat kebijakan diharapkan mempertimbangkan hal-hal tersebut sebagai pertimbangan kesepakatan dalam perumusan kebijakan.


(38)

b. Faktor kedua berkaitan dengan personil pelaksananya. Personil pelaksana mempunyai latar belakang yang berbeda seperti budaya, bahasa, serta ideologi kepartaian. Tingkat pendidikan, pengalaman, motivasi, komitmen, kesetiaan, kinerja, kepercayaan, diri, kebiasaan-kebiasaan, serta kemampuan bekerjasama dari setiap kepribadian personil pelaksana akan mempengaruhi cara kerja mereka dalam implementasi kebijakan. c. Faktor ketiga dari penentu kegagalan dan keberhasilan implementasi

kebijakan adalah faktor organisasi pelaksana. Organsasi pelaksana dapat menentukan implementasi kebijakan diperhatikan dari jaringan sistem, hirarki kewenangan masing-masing bagian, strategi distribusi pekerjaan, model kepemimpinan dari kepala organisasi, peraturan organisasi, target yang ditetapkan pada masing-masing tahap, model monitoring yang digunakan dan model evaluasi yang dipakai.

Pendapat lain dikemukakan Model Edward III dalam buku Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi (Subarsono, 2012: 90-92) terdapat empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan pada implementasi kebijakan. Faktor tersebut yaitu faktor (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi. Berikut penjelasan dari beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan:

1) Faktor Komunikasi (Communication)

Faktor komunikasi merupakan proses pemberian informasi kepada petugas pelaksana kebijakan. Edward III informasi mengenai kebijakan


(39)

perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar para pelaku kebijakan dapat mengetahui apa yang harus mereka persiapkan dan lakukan untuk menjalankan kebijakan tersebut sehingga tujuan dan sasaran kebijakan dapat dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Joko Widodo, 2010: 97).

Model Edward III berpendapat bahwa dimensi dalam komunikasi kebijakan terdiri dari dimensi transmisi (transmission), kejelasan (clarity), dan konsistensi (consistency). Berikut penjelasan beberapa dimensi dalam komunikasi kebijakan:

a) Dimensi Transmisi

Dimensi transmisi mengharapkan agar kebijakan disampaikan tidak hanya kepada pelaksana (implementators) kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan serta pihak-pihak yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung. b) Dimensi Kejelasan

Dimensi kejelasan menginginkan kebijakan yang ditransmisikan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan dapat diterima dan dimengerti dengan jelas agar mereka mengetahui tujuan dan maksud dari kebijakan tersebut sehingga dapat mempersiapkan segala sesuatu untuk mensukseskan kebijakan tersebut dengan efektif dan efisien. c) Dimensi Konsistensi

Dimensi konsistensi menginginkan implementasi kebijakan berlangsung efektif dengan cara pemberian perintah-perintah


(40)

pelaksanaan harus konsisten dan jelas agar kebijakan yang diterapkan tidak membingungkan.

2) Faktor Sumber daya (Resources)

Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Sumber daya merupakan sarana untuk melaksanakan kebijakan. Sumber daya tersebut berupa sumber daya manusia, sumber daya anggaran, sumber daya peralatan, dan sumber daya kewenangan. Berikut penjelasan mengenai sumber daya dalam implementasi kebijakan:

a) Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia dapat berwujud implementator atau aparatur yang mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan. Implementator harus memiliki keahlian dan kemampuan melaksanakan kebijakan serta perlu mengetahui siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan.

b) Sumber Daya Anggaran

Edward III dalam Joko Widodo (2010: 100) menyatakan bahwa terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepada sasaran kebijakan juga terbatas. Terbatasnya insentif yang diberikan kepada implementator merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan program. Kesimpulannya adalah jika sumber daya anggaran terbatas maka akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping


(41)

program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah.

c) Sumber Daya Peralatan

Edward III dalam Joko Widodo (2010: 102) menjelaskan bahwa sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan sebagai operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan untuk memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan.

d) Sumber Daya Kewenangan

Sumber daya kewenangan merupakan hal yang penting dalam implementasi kebijakan. Sumberdaya kewenangan akan menentukan keberhasilan dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Joko Widodo (2010: 103) menjelaskan bahwa:

Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan ini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan.

Pelaksana kebijakan diberikan wewenang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri dalam melaksanakan kebijakan yang menjadi kewenangannya. Kewenangan tersebut diharapkan mampu mensuskseskan implementasi kebijakan.

3) Faktor Disposisi (Disposition)


(42)

kebijakan. Implementator diharapkan memiliki disposisi yang baik sehingga tidak terjadi perbedaan perspektif dengan pembuat kebijakan. Edward III dalam Joko Widodo (2010:104-105) menjelaskan bahwa :

jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Kesimpulan dari faktor disposisi adalah menuntut pelaksana kebijakan untuk memberikan kemampuan terbaiknya untuk melaksanakan kebijakan. Kemampuan pelaksana kebijakan menjadi penentu keefektifan implementasi kebijakan.

4) Faktor Struktur Birokrasi (Bureaucratic Structure)

Struktur organisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap implementasi kebijakan. Struktur organisasi memiliki prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP). SOP berhubungan dengan mekanisme, sistem dan pedoman pelaksanaan kebijakan. SOP dibuat untuk memberikan pedoman dalam sebuah organisasi untuk melaksanakan suatu program dan kebijakan. Edward III dalam Joko Widodo (2010: 107) menyatakan bahwa :

jelas tidaknya standar operasi, baik menyangkut mekanisme, sistem dan prosedur pelaksanaan kebijakan, pembagian tugas pokok, fungsi dan kewenangan, dan tangggung jawab diantara pelaku, dan tidak harmonisnya hubungan diantara organisasi pelaksana satu dengan yang lainnya ikut pula menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.


(43)

mempunyai beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan sebuah kebijakan. Faktor penentu yang mempengaruhi implementasi kebijakan di antaranya adalah komunikasi (transmisi, kejelasan, konsistensi), sumber daya (sumber daya manusia, anggaran, peralatan, kewenangan), disposisi, dan struktur birokrasi

C. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah tempat atau area yang ditetapkan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, mengkomersialkan, menawarkan, maupun mempromosikan produk tembakau. (Depkes.go.id)

Indonesia mempunyai beberapa peraturan yang telah ditetapkan mengenai kebijakan kawasan tanpa rokok, yaitu :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Hal yang bersangkutan mengenai kawasan tanpa rokok terdapat pada Pasal 113 dan Pasal 115. Berikut uraian Pasal 113 dan pasal 115: Pasal 113:

1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak menganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

2) Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.

Pasal 115:

1) Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat untuk bermain;


(44)

f. tempat kerja; dan

g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.

2) Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya.

2. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan tersebut mewajibkan pemerintah daerah menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayah pemerintahannya. Peraturan penetapan kawasan tanpa rokok mempunyai tujuan yang tercantum pada Pasal 2 sebagai berikut:

a. Memberikan acuan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kawasan tanpa rokok;

b. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya asap rokok; c. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi

masyarakat;

d. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kawasan tanpa rokok yang dimaksud Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011 terdapat pada pasal 3 sebagai berikut:

a. Fasilitas pelayanan kesehatan; b. Tempat proses belajar mengajar; c. Tempat anak bermain;

d. Tempat ibadah; e. Angkutan umum; f. Tempat kerja; g. Tempat umum; dan

h. Tempat lainnya yang ditetapkan.

3. Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Peraturan Gubernur menetapkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok Nomor 42 Tahun 2009. Peraturan Gubernur mengenai Peraturan Kawasan Tanpa Rokok menyebutkan


(45)

penetapan kawasan dilarang merokok dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dan/kelompok rentan (bayi, balita, ibu hamil, dan lansia) terhadap risiko gangguan kesehatan akibat asap rokok serta menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian akibat asap rokok. Tujuan penetapan peraturan kawasan tanpa rokok di DIY untuk mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih serta mewujudkan masyarakat yang sehat. Area atau tempat kawasan tanpa rokok sesuai dengan pedoman kawasan tanpa rokok pada Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011. 4. Kota Yogyakarta sebagai bagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta juga

mengeluarkan peraturan kawasan tanpa rokok. Peraturan tersebut dituangkan pada Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Pasal 3 pada peraturan tersebut memberikan penjelasan mengenai tujuan penetapan kawasan tanpa rokok yaitu:

Pasal 3:

1) Memberikan pencegahan dari akibat bahaya asap rokok bagi perokok aktif dan/atau perokok pasif;

2) Memberikan area atau lingkungan yang bersih dan sehat bebas dari asap rokok;

3) Memberikan perlindungan bagi kesehatan masyarakat umum dari akibat buruk merokok.

4) Memberikan rasa aman dan nyanab warga; dan

5) Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat masyarakat.


(46)

5. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015.

D. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

1. Ketentuan umum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015. Pengertian dan ketentuan umum Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah tertulis dalam pasal 1 sebagai berikut:

1. Sekolah adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/SDLB), Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP/SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA/SMALB), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik negeri maupun swasta. 2. Lingkungan sekolah adalah lokasi tempat berlangsungnya kegiatan

belajar mengajar baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler.

3. Pihak lain adalah orang yang melakukan aktivitas di dalam lingkungan sekolah, selain kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik.

4. Kawasan tanpa rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, dan/atau mempromosikan rokok.

2. Tujuan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah Tujuan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 pada pasal 2 yaitu kawasan tanpa rokok bertujuan untuk menciptakan Lingkungan sekolah yang bersih, sehat,


(47)

3. Sasaran Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

Kebijakan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah mempunyai sasaran yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 pada pasal 3. Sasaran Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah adalah sebagai berikut:

a. Kepala sekolah b. Guru

c. Tenaga kependidikan d. Peserta didik; dan

e. Pihak lain di dalam Lingkungan sekolah

4. Penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah

Untuk mendukung penyelenggaraan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, pihak sekolah wajib melakukan hal-hal sesuai dengan pasal 4, pasal 5, pasal 6, dan pasal 7 dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015. Hal-hal yang perlu dilakukan sekolah adalah sebagai berikut:

Pasal 4 :

a. memasukkan larangan terkait rokok dalam aturan tata tertib sekolah;


(48)

yang dilakukan oleh perusahan rokok dan/atau organisasi yang menggunakan merek dagang, logo, semboyan, dan/atau warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas perusahan rokok, untuk keperluan kegiatan kurikuler atau ekstra kulikuler yang dilaksanakan di dalam dan di luar Sekolah;

c. memberlakukan larangan pemasangan papan iklan, reklame, penyebaran pamflet, dan bentuk-bentuk iklan lainnya dari perusahaan atau yayasan rokok yang beredar atau dipasang di Lingkungan Sekolah;

d. melarang penjualan rokok di kantin/warung sekolah, koperasi atau bentuk penjualan lain di Lingkungan Sekolah; dan

e. memasang tanda kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah. Pasal 5 :

1) Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan Pihak lain dilarang merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok di Lingkungan Sekolah.

2) Kepala sekolah wajib menegur dan/atau memperingatkan dan/atau mengambil tindakan terhadap guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik apabila melakukan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

3) Kepala sekolah dapat memberikan sanksi kepada guru, tenaga kependidikan, dan Pihak lain yang terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah. 4) Guru, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik dapat

memberikan teguran atau melaporkan kepada kepala sekolah apabila terbukti ada yang merokok di Lingkungan Sekolah. 5) Dinas pendidikan setempat sesuai dengan kewenangannya

memberikan teguran atau sanksi kepada kepala sekolah apabila terbukti melanggar ketentuan Kawasan tanpa rokok di Lingkungan Sekolah berdasarkan laporan atau informasi dari guru, tenaga kependidikan, peserta didik, dan/atau Pihak lain. Pasal 6 :

Larangan penjualan rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d dan pasal 5 ayat (1) berlaku juga terhadap larangan penjualan permen berbentuk rokok atau benda lain yang dikonsumsi maupun yang tidak dikonsumsi yang menyerupai rokok atau tanda apapun dengan merek dagang, logo, atau warna yang bisa diasosiasikan dengan produk/industri rokok.


(49)

Pasal 7 :

1) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Peraturan Menteri ini secara berkala paling sedikit dalam satu tahun.

2) Dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota menyusun dan menyampaikan hasil pelaksanaan pemantauan kepada walikota, bupati, gubernur, dan/atau menteri terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya.

3) Sekolah wajib melakukan pembinaan kepada peserta didik yang merokok di dalam maupun di luar Lingkungan Sekolah sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.

E.Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh:

1. Sulistianto Purbo Prasetyo pada tahun 2015 dengan judul “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Di Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini didasari oleh berbagai masalah diantaranya yaitu (1) Masih banyak mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang melanggar kebijakan kawasan tanpa rokok di kampus UNY, (2) Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta yang dirasa masih kurang optimal. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui (1) implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta, (2) faktor penghambat dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Universitas Negeri Yogyakarta. Jenis penelitian pada penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif kualitatif. Narasumber penelitian adalah Wakil Rektor II, lima Dekan, dua wakil Dekan, tujuh


(50)

karyawan, dan sepuluh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan (1) observasi, (2) wawancara, dan (3) dokumentasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah peneliti itu sendiri yang terlibat langsung dalam penelitian. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan trianggulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan model penelitian interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Universitas Negeri Yogyakarta tidak berjalan dengan efektif. Pelaksanaan kebijakan tersebut mengalami beberapa hambatan yaitu: (1) komunikasi yang kurang baik antar pelaksana maupun ke kelompok sasaran, (2) sumber daya manusia maupun anggaran yang masih kurang memadai, (3) kurangnya komitmen dan dedikasi dari para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan, (4) Struktur birokrasi dan tidak adanya SOP dalam proses pelaksanaan kebijakan.

2. Siti Sunarti pada tahun 2015 dengan judul “Penerapan Kawasan Tanpa Asap Rokok Di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Samarinda”. Penelitian ini dilatar belakangi oleh kebiasaan merokok di Indonesia menurut Rikesdas 2010, rata-rata umur mulai merokok secara nasional adalah 17,6 tahun dengan persentase penduduk yang mulai merokok tiap hari terbanyak pada umur 15-19 tahun. Mengatasi masalah tersebut sebagian besar lembaga pendidikan menerapkan kawasan bebas asap rokok. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan Kawasan Tanpa Rokok di STIKES Muhammadiyah Samarinda. Metode Penelitian yang digunakan


(51)

adalah studi kasus dengan strategi eksploratif. Subjek penelitian ditentukan secara purposive. Teknik pengumpulan data menggunakan (1) observasi, (2) diskusi kelompok terarah (DKT), dan (3) wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa STIKES Muhammadiyah Samarinda mulai menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) pada tahun 2011 sesuai dengan SK No. 0579/II.3.Au/Kep/2011. Strategi yang digunakan dalam penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yaitu adanya peraturan dan sanksi tertulis bagi mahasiswa, sosialisasi tentang Kawasan Tanpa Rokok dibantu oleh organisasi mahasiswa penerapan Kawasan Tanpa Rokok didukungan oleh pimpinan dosen, staf, dan mahasiswa. Kesimpulan dari penelitian ini menjalaskan bahwa penerapan Kawasan Tanpa Rokok di kampus dapat mempengaruhi perilaku merokokmahasiswa, dosen dan staf administrasi.

Relevansi dari kedua penelitian di atas yaitu sama-sama meneliti tentang implementasi kawasan tanpa rokok. Perbedaan penelitian di atas terdapat pada jenjang pendidikan yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh Sulistianto Purbo Prasetyo pada tahun 2015 mengambil tentang implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok pada tingkat perguruan tinggi yaitu di Universitas Negeri Yogyakarta. Siti Sunarti pada tahun 2015 meneliti tentang penerapan kawasan tanpa asap rokok pada tingkat perguruan tinggi yaitu di Sekolah Tinggi Kesehatan Muhammadiyah Samarinda.


(52)

F. Kerangka Berpikir

Kebiasaan merokok yang tidak terkendali mulai meresahkan masyarakat khususnya bagi masyarakat yang tidak merokok atau sering disebut perokok pasif. Kebebasan menghirup udara yang segar kini tercemar oleh ulah para perokok yang tidak mempedulikan lingkungan sekitar saat mereka sedang merokok. Efek kesehatan tentu saja mengancam perokok aktif dan perokok pasif serta tanpa disadari perilaku tersebut menjadi contoh buruk bagi generasi penerus bangsa. Mereka akan meniru perilaku tersebut dan menganggap merokok di sembarang tempat adalah hal yang biasa.

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ditetapkan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Konsep Kawasan Tanpa Rokok terdapat dalam Undang – Undang Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 115 dan Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 188/MENKES/PB/I/2011 No.7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Kawasan Tanpa Rokok. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok didukung oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Walikota Yogyakarta, dengan Pergub Nomer 42 Tahun 2009 dan Perwal Nomor 12 Tahun 2015 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menetapkan Peraturan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Sekolah. Peraturan tersebut memberikan ketegasan batas – batas kawasan tanpa rokok di sekolah dengan harapan terciptanya lingkungan yang sehat di dalam lingkungan sekolah.


(53)

Berikut adalah alur ilustrasi dari kerangka berpikir dalam penelitian ini :

Gambar 2. Kerangka Berpikir Implementasi Undang – Undang Kesehatan No.36

tahun 2009 tentang Kesehatan

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di

Sekolah.

Implementasi Kebijakan Teori Charles O. Jones  Tahap Pengorganisasian  Tahap Interpretasi  Tahap Aplikasi

Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta

Faktor Pendukung :  Komunikasi  Sumber Daya  Disposisi

 Struktur Birokrasi

Faktor Penghambat :  Komunikasi  Sumber Daya  Disposisi


(54)

G.Pertanyaan Penelitian

a. Bagaimana langkah-langkah dalam implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

b. Bagaimana komunikasi dalam implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

c. Bagaimana peran sumber daya sekolah dalam implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

d. Bagaimana disposisi pelaksana terhadap kebijakan Kawasan Tanpa Rokok SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

e. Bagaimana struktur birokrasi implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?

f. Faktor apa saja yang menjadi pendukung dan penghambat dalam implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta?


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan Penelitian

Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta” menggunakan pendekatan kualitatif, berdasarkan permasalahan yang diajukan dalam penelitian yang lebih mengutamakan pada menggambarkan dan mengungkap sebuah peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Nana Syaodih Sukmadinata (2006: 60) dalam buku metode penelitian pendidikan. Lexy J. Moleong (2009: 6) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian dengan tujuan untuk memahami fenomena seperti perilaku, persepsi, tindakan, motivasi, dan persoalan pada subjek penelitian.

Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif naturalistik karena penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami sesuai dengan keadaan sebenarnya. Penelitian ini bermaksud menjelaskan data dari keterangan-keterangan yang didapat dari lapangan berupa hasil observasi di lapangan, dokumentasi, dan wawancara kepada subjek yang diteliti saat pelaksanaan penelitian.

Sukardi (2006: 3) menjelaskan bahwa penelitian naturalistik merupakan salah satu metode ilmiah yang berusaha mengungkap keadaan sebenarnya yang mungkin menutup dan tersembunyi, yang disebakan oleh adanya cerita secara lisan maupun tertulis yang dibuat oleh orang-orang terdahulu tentang kejadian nyata dengan cara-cara yang kurang nyata.


(56)

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini memilih lokasi di SMA Gadjah Mada Yogyakarta yang beralamat di Jalan Ibu Ruswo, Yudonegaran GM II/208. Alasan peneliti memilih tempat penelitian ini karena ingin mengetahui bagaimana penerapan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Secara garis besar di SMA Gadjah Mada masih dijumpai banyak pelajar, dan beberapa guru yang masih merokok di lingkungan sekolah. Secara garis besar SMA Gadjah Mada Yogyakarta tepat untuk penelitian ini karena di sekolah tersebut terdapat banyak siswa yang merokok di sekolah dan disediakan tempat khusus merokok di lingkungan sekolah. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Mei 2016.

C. Subjek dan Objek Penelitian

Pemilihan subjek atau narasumber dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling (sampel bertujuan). Sugiyono (2012:124)

purposive sampling adalah teknik penentuan narasumber atau informan

dengan pertimbangan tertentu. Penentuan sampel atas dasar kriteria atau pertimbangan tertentu dimaksudkan untuk mendapat berbagai macam narasumber yang tepat dengan sebanyak mungkin informasi sehingga dapat diperoleh kebenaran dari data yang disampaikan oleh narasumber. Berikut yang menjadi narasumber pada penelitian ini:


(57)

2. Wakasek Kesiswaan SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai koordinator pelaksanaan 7 K (Keamanan, Kebersihan, Ketertiban, Keindahan, Kesehatan, dan Kerindangan)

3. Guru Bimbingan dan Konseling SMA Gadjah Mada Yogyakarta selaku pihak yang berhubungan langsung dengan peserta didik dan memberikan bimbingan kepada siswa.

4. Wali kelas SMA Gadjah Mada Yogyakarta selaku penyelenggara administrasi kelas termasuk di dalamnya tata tertib siswa

5. Siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai sasaran Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah.

6. Karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta sebagai warga sekolah yang ikut berpengaruh lingkungan sekolah.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, dokumentasi, dan wawancara. Penjelasan teknik pengumpulan yang dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Observasi

Pengumpulan data dengan observasi menuntut peneliti untuk terjun langsung ke lapangan untuk mengamati dan mengawasi keadaan seperti tempat, ruang, kegiatan, artefak lingkungan, peristiwa, perasaan, tujuan dan tingkah laku subjek penelitian pada waktu tertentu (M. Djunaidi, 2012: 165). Observasi langsung ke lapangan diharapkan dapat


(58)

mengoptimalkan hasil yang didapatkan. Peneliti dapat melihat langsung keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan.

2. Dokumentasi

Teknik pengumpulan dokumentasi merupakan mencari informasi melalui catatan peristiwa yang sudah terjadi, dapat berupa tulisan, gambar, atau dokumen yang berbentuk karya dari seseorang (Sugiyono. 2012: 329). Dokumentasi dalam penelitian dapat berupa dokumen kebijakan mengenai kawasan tanpa rokok mulai yang berlaku untuk umum sampai pada tingkat sekolah serta dokumen profil sekolah.

3. Wawancara

Moleong (2009: 186) mengatakan teknik pengumpulan data wawancara adalah teknik yang menjadikan percakapan yang dilakukan oleh peneliti dan narasumber. Peneliti mengajukan pertanyaan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Narasumber memberikan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan oleh peneliti. Narasumber dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri. Guba dan Lincoln dalam Rulam Ahmadi (2014: 104-105) mengungkapkan manusia memiliki beberapa karakteristik sebagai intrumen penelitian yaitu kepekaan, kemampuan beradaptasi, penekanan keseluruhan, pengembangan dasar pengetahuan, kesegeraan proses, kesempatan untuk


(59)

klarifikasi dan pembuatan rangkuman serta memiliki kesempatan untuk menyelidiki.

Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian membutuhkan alat atau saran yang membantu memudahkan pengambilan data di lapangan. Arikunto (2010: 136) menjelaskan bahwa instrumen penelitian merupakan fasilitas atau sarana yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan informasi terkait dengan penelitian secara sistematis sehingga dapat mempermudah pengumpulan dan pengolahan data. Instrumen yang digunakan untuk membantu peneliti dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Penjelasan instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara adalah sebuah instrumen berupa daftar pertanyaan yang dipersiapkan untuk memperoleh informasi dari sejumlah narasumber dengan hasil yang pada dasarnya memiliki kesamaan dan mencakup materi yang sama (Rulam Ahmadi, 2014: 134). Kisi-kisi pedoman wawancara yang digunakan penelitian ini sebagai berikut:

Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara No Aspek yang dikaji Indikator yang

dikaji Narasumber

1

Pelaksanaan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

Prosedur pelaksanaan kebijakan

Kepala sekolah, guru dan karyawan sekolah


(60)

Lanjutan Tabel 1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara No Aspek yang dikaji Indikator yang

dikaji Narasumber Proses

pelaksanaan kebijakan

Kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan sekolah 2 Faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok a. Faktor pendukung b. Faktor penghambat

Kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan sekolah

2. Pedoman Obsevasi

Pedoman observasi memberikan arah dalam pelaksanaan observasi penelitian. Pedoman penelitian membantu memudahkan peneliti membagi fokus-fokus penelitian secara terstruktur. Penelitian ini menggunakan pedoman observasi untuk memperoleh informasi mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Berikut kisi-kisi pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian ini,

Tabel 2. Kisi-kisi Pedoman Observasi

No Aspek yang diamati Pengamatan yang dilakukan

Lokasi Observasi

1 Tempat lokasi penelitian

a. Letak geografis / lokasi sekolah b. Profil sekolah

SMA Gadjah Mada Yogyakarta 2 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Mengamati penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok SMA Gadjah Mada Yogyakarta


(61)

3. Pedoman Studi Dokumentasi

Pedoman studi dokumentasi digunakan untuk memperoleh tambahan data maupun informasi yang berhubungan dengan penelitian. Studi dokumentasi diharapkan akan memperkuat data yang diperoleh dari wawancara dan observasi. Pedoman studi dokumentasi yang digunakan pada penelitian ini sebagai berikut :

Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi No Aspek yang

dikaji

Indikator yang

dikaji Sumber Data 1 Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok

a. Dasar hukum kebijakan b. Latar belakang

kebijakan

a. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015

b. Peraturan Gubernur DIY Nomor 42 Tahun 2009

c. Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2015

2

Pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Prosedur pelaksanaan kebijakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015

F. Teknik Analisis Data

Bodgan dan Biklen dalam (Moleong, 2009: 248) menjelaskan bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif adalah mengumpulkan,


(62)

mengorganisasikan, mengklasifikasikan, dan memilah-milah data untuk mendapatkan data yang penting menjadi sebuah informasi.

Teknik analisis data mempunyai tahap yang harus dilakukan setelah proses pengumpulan data untuk memperoleh informasi yang baik yaitu: (1) data reduction (reduksi data), (2) data display (interpretasi data), (3) conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan). Sugiyono (2012:246-252) menjelaskan tahap-tahap analisis data tersebut sebagai berikut :

1. Reduksi data

Tahap reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, mengklasifikasikan data pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Reduksi data menyederhanakan data hasil dari wawancara untuk memperoleh data yang lebih fokus.

2. Penyajian data

Penyajian data dalam penelitian kualitatif berupa teks naratif dalam bentuk uraian, bagan, hubungan antar variabel dan lain-lain. Penelitian ini akan menyajikan uraian mengenai implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di SMA Gadjah Mada Yogyakarta.

3. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan dan verifikasi data adalah tahap ketiga dalam proses analisis data. Verifikasi data dilakukan dalam penelitian secara berkesinambungan untuk memperoleh kesimpulan dengan bukti yang kuat dan bersifat kredibel.


(63)

G. Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data yang digunakan untuk menguji kredibilitas informasi atas data yang diperoleh dari penelitian ini adalah trianggulasi. Trianggulasi data yaitu pengecekkan data dengan membandingkan antara data yang diperoleh. Pembandingan data yang sering dilakukan yaitu melalui berbagai sumber yang berbeda (Djunaidi, 2012: 322).

Trianggulasi data pada penelitian ini melibatkan subyek penelitian. Subyek penelitian yang pertama adalah kepala SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Subyek penelitian kedua yaitu guru dan karyawan SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Subyek penelitian ketiga adalah siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta. Ketiga subyek di atas diharapkan dapat memberikan hasil yang bersifat kredibel. Berikut adalah triangulasi sumber data pada penelitian ini,

Gambar 3. Triangulasi Sumber Data Kepala SMA Gadjah

Mada Yogyakarta

Guru dan Karyawan SMA Gadjah Mada

Yogyakarta

Siswa SMA Gadjah Mada Yogyakarta


(64)

Triangulasi data dalam penelitian ini juga dilakukan pada teknik pengumpulan data yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Triangulasi pada teknik pengumpulan data diharapkan dapat meningkatkan keabsahan data yang diperoleh dari penelitian. Berikut adalah triangulasi teknik pada penelitian ini,

Gambar 4. Triangulasi Teknik

Wawancara Studi Dokumentasi


(65)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

1. Profil SMA Gadjah Mada Yogyakarta a. Sejarah Sekolah

SMA Gadjah Mada Yogyakarta resmi didirikan pada tanggal 28 Februari 1982 di bawah naungan Yayasan Pendidikan Pioner Yogyakarta. Nama SMA Gadjah Mada diambil dari nama Patih Gadjah Mada yang merupakan Patih Kerajaan Majapahit yang terkenal dengan nama besarnya sebagai penyatu nusantara. Nama Gadjah Mada menjadi harapan agar Sekolah Menengah Atas (SMA) tersebut tumbuh menjadi besar, sebesar nama Patih Gadjah Mada.

SMA Gadjah Mada Yogyakarta pertama kali berdiri masih menempati gedung sekolah SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan Yogyakarta. SMA Gadjah Mada Yogyakarta menerima siswa baru pertamanya pada tahun pelajaran 1982/1983. Satu tahun kemudian yaitu tahun pelajaran 1983/1984 lokasi SMA Gadjah Mada berpindah tempat dari SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan ke Jalan Langenastran Lor No. 12 Langenastran Yogyakarta, sampai tahun pelajaran 1989/1990.

Tahun 1990/1991 SMA Gadjah Mada Yogyakarta berpindah tempat dari SD Negeri Gedong Kuning, Banguntapan ke Jalan langenastran Lor No. 12 Langenastran Yogyakarta ke Jalan Ibu Ruswo, Yudonegaran GM II/208 yang merupakan wilayah milik Kraton


(1)

198

Pasal 19

(1) Pembinaan pelaksanaan KTR dalam rangka pengembangan kemampuan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat.

(2) Pembinaan pelaksanaan KTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh SKPD sesuai bidang tugasnya dan/atau wewenangnya di bawah koordinasi Sekretaris Daerah.

Pasal 20 Pembinaan KTR dilaksanakan dengan : a. bimbingan

b. penyuluhan;

c. pemberdayaan masyarakat; dan d. menyiapkan petunjuk teknis.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 21

(1) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan dan SKPD lainnya bersama- sama masyarakat, badan, lembaga dan/atau organisasi kemasyakatan melakukan pengawasan pelaksanaan KTR.

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dibentuk Tim Pengawas KTR yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota.

Pasal 22

(1) Pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).

(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaporkan oleh masing-masing SKPD sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah setiap 3 (tiga) bulan sekali.

Pasal 23

(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR wajib melakukan inspeksi dan pengawasan di KTR yang menjadi tanggung jawabnya.

(2) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR harus melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada SKPD terkait setiap 3 (tiga) bulan sekali.

Pasal 24

(1) SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan dan SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan ketertiban berkoordinasi dengan SKPD lainnya melakukan inspeksi dan pengawasan di KTR.

(2) SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan selanjutnya melaporkan hasil inspeksi dan pengawasan kepada kepada Walikota.

Pasal 25

Pelaksanan pengawasan dan inspeksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.


(2)

199

BAB VI PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 26

(1) Partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk:

a. memberi saran, pendapat, dan pemikiran, usulan dan pertimbangan berkenaan dengan pemantauan dan pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok;

b. pemberian bimbingan dalam penyuluhan serta penyebarluasan

informasi kepada masyarakat tentang Kawasan Tanpa Rokok;

c. menetapkan lingkungan tanpa asap rokok di rumah dan lingkungan tempat tinggalnya;

d. melakukan pengadaan dan pemberian bantuan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok;

e. melaporkan setiap orang yang melanggar Pasal 15 kepada, pengelola, pimpinan dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok; dan

f. mengingatkan setiap orang yang terbukti melanggar Pasal 16.

(2) Walikota atau Satuan Kerja Perangkat Daerah yang mempunyai tugas pokok dan fungsi dalam urusan kesehatan menyebarluaskan informasi

berkenaan dengan partisipasi masyarakat dalam penataan dan

pengelolaan Kawasan Tanpa Rokok. BAB VII

SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 27

(1) Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR yang melanggar ketentuan Pasal 15, dikenakan sanksi berupa:

a. peringatan lisan; b. peringatan tertulis;

c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau

d. pencabutan izin atau rekomendasi pencabutan izin sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah.

(2) Tata cara pemberian Sanksi Administratif di KTR:

a. tim pengawas KTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) memberikan peringatan lisan kepada pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR;

b. apabila peringatan lisan tidak diindahkan selama 30 (tiga puluh) hari kalender, maka tim pengawasan KTR memberikan peringatan tertulis kepada pengelola, pimpinan atau penanggung jawab KTR;

c. apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak peringatan tertulis diterima, pimpinan atau penanggungjawab KTR belum memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan tertulis, maka Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok diberikan sanksi berupa penghentian sementara; dan

d. Setelah masa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada huruf c berakhir dan pengelola, pimpinan, atau penanggungjawab KTR belum memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peringatan tertulis, maka Pengelola, pimpinan atau penanggung jawab kawasan tanpa rokok diberikan sanksi berupa pencabutan izin


(3)

200

BAB VIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Peraturan Walikota ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kota Yogyakarta.

Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Maret 2015 WALIKOTA YOGYAKARTA,

ttd

HARYADI SUYUTI Diundangkan di Yogyakarta

pada tanggal 2 Maret 2015

SEKRETARIS DAERAH KOTA YOGYAKARTA,

ttd TITIK SULASTRI


(4)

201

LAMPIRAN I KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2015

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

TANDA LARANGAN MEROKOK

WALIKOTA YOGYAKARTA, ttd


(5)

202

No. Indikator Ged. I Ged. II Ged. III Ged. IV Ged. V Sebutkan lokasi di dalam gedung yang diperiksa,

seperti: lobi, ruang tunggu, ruang kerja, restoran, bar, ruang kelas, kamar kecil, ruang tunggu pasien, ruang dokter, kamar hotel, dll)

Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak

1 Ditemukan orang merokok di dalam gedung

2 Ditemukan ruang khusus merokok di dalam gedung

3 Ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk

4 Tercium bau asap rokok

5 Ditemukan asbak dan korek api di dalam gedung

6 Ditemukan puntung rokok di dalam gedung

7

Ditemukan indikasi kerjasama dengan Industri tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet, tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard, dll)

8 Ditemukan penjualan rokok di lingkungan gedung Kawasan Tanpa

Rokok.

LAMPIRAN II KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 12 TAHUN 2015

TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

FORMULIR ATAU LEMBAR PENGAWASAN KAWASAN TANPA ROKOK

Section A Nama

Formulir Pemantauan Wilayah KTR Implementasi KTR 100%

Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor .... Tahun 2015

Logo Pemkot

Institusi : Nama Petugas Inspeksi:

Tanggal Kunjungan :

Waktu Kunjungan :


(6)

203

Section C

Pertanyaan untuk Pengelola Gedung: Komentar tambahan

oleh Petugas Inspeksi

Apakah anda tahu tentang kebijakan KTR di Kota Yogyakarta yang melarang orang merokok di

1 dalam gedung? Ya

2 Apakah anda mendukung dan melaksanakan kebijakan KTR di Kota Yogyakarta ? Ya

Apakah anda tahu bahwa Kebijakan KTR harus dilaksanakan oleh Pengelola

3 Gedung? Ya

Apakah anda tahu bahwa Pengelola Gedung akan terkena sanksi jika tidak melaksanakan

4 Kebijakan KTR? Ya

Tidak Tidak Tidak Tidak 5

Kendala apa saja yang anda hadapi ketika melaksanakan

Kebijakan Kota Yogyakarta Bebas Rokok di lembaga anda? Tolong sebutkan.

Solusi apa saja yang dapat dilakukan? Tolong sebutkan. 1

2 3

1 2 3

Section D

Masukkan kepada Pengelola Gedung untuk perbaikan (Petugas Inspeksi harus langsung memberikan masukkan berdasarkan hasil inspeksi)

Petugas Inspeksi: Kepala Institusi/ Pimpinan Pengelola Gedung

Tandatangan: ( ) Tandatangan: ( )

Nama Nama

WALIKOTA YOGYAKARTA, ttd