sosial budaya dan dampaknya bagi pelaku perdagangan eceran setempat. Pasal 12 terkait  perizinan  juga  memiliki  klausul  yang  sesungguhnya  apabila  dilaksanakan
akan  menjadi  bentuk  pemberdayaan  peritel  lokal,  dimana  format-format  ritel modern  diutamakan  diserahkan  kepada  pelaku  usaha  lokal.  Hal  ini  memiliki  arti
apabila  peritel  keciltradisional  dapat  berevolusi  menjadi  ritel  modern,  maka konsumen ritel yang selama ini menjadi milik mereka akan loyal terhadapnya.
C. Kebijakan Pembatasan Waktu Buka
Beberapa  pelaku  usaha  ritel  keciltradisional  membuka  gerainya berbedabeda.  Untuk  warungtoko  tradisional  mereka  melakukannnya  mulai  dari
pagi  sampai  sekitar  pukul  08.00-09.00  malam.  Sementara  pasar  tradisional biasanya  buka  hampir  24  jam  kerja.  Melalui  pembatasan  jam  buka  yang
ditetapkan oleh Perpres 1122007 dan Permendag 532008, maka diharapkan akan tetap  ada  ruang  bagi  pelaku  usaha  ritel  keciltradisional  untuk  bisa  memperoleh
konsumen yang berbelanja di tokowarung dan pasar. Perpres  1122007  dan  Permendag  532008  pun  menunjukkan  waktu  jam
buka untuk hipermarket, supermarket dan Department Store ditetapkan jam 10.00 sampai  22.00  untuk  setiap  hari  Senin
–  Jum‘at  dan  10.00  sampai  23.00  untuk setiap  hari  Sabtu
–  Minggu.  Tetapi  sayangnya  hal  ini  tidak  terjadi  untuk  ritel modern skala kecil yakni minimarket dan
convenience store
. Padahal potensi ritel ini  mendistorsi  pasar  pelaku  usaha  ritel  keciltradisional  sangat  besar  sekali,
terutama bagi warungtoko jenis
pop  mom store
kelontong yang biasanya juga buka sepanjang hari.
2.2.4. Kebijakan Pemerintah Lokal Kabupaten Sleman
Kautsar 2009,
mengemukakan elemen
dasar desentralisasi
penyelenggaraan  pemerintahan  adalah:
Pertama,
urusan  pemerintahan  yang diberikan  kepada  daerah,  dimana  kewenangan  tersebut  merupakan  isi  otonomi
yang  menjadi  dasar  bagi  daerah  untuk  mengatur  dan  mengurus  kepentingan masyarakat.
Kedua,
lembaga  yang  merupakan  wadah  atau  organisasi  untuk melaksanakan  otonomi  yang  diberikan  kepada  daerah.
Ketiga
,  personil  yang mempunyai  kecakapan  untuk  menjalankan  otonomi  yang  menjadi  kewenangan
daerah.
Keempat,
sumber-sumber  keuangan  untuk  membiayai  pelaksanaan otonomi  daerah,
Kelima
,  unsur  perwakilanDPRD  yang  merupakan  perwujudan demokrasi  dari  wakil-wakil  rakyat  di  daerah  yang  telah  mendapatkan  legitimasi
melalui  pemilu  sebagai  unsur  penyelenggaraan  pemerintahan  daerah.
Keenam
, pelayanan  publik  yang  merupakan  produk  akhir  penyelenggaraan  pemerintahan
daerah  untuk  meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat  yang  dilaksanakan  secara efektif,  efisien  dan  akuntabel.
Ketujuh
,  pembinaan  dan  dan  pengawasan  dari pemerintah berupa penetapan pedoman, arahan, supervisi, monitoring dan evaluasi
dalam implementasi otonomi daerah. Dengan demikian dapatlah dipahami, bahwa model  desentralisasi  di  Indonesia,  kebijaknannya  di  tentukan  oleh  pemerintah
pusat,  sedangkan  implementasinya  dilaksanakan  oleh  pemerintah  daerah. Hubungan  antara  kedua  organ  pemerintah  tersebut,  yaitu  pemerintah  pusat  dan
pemerintah  daerah  bersifat  tergantung  dependent  dan  bawahan  sub-ordinat. Berdasarkan  hal  tersebut  secara  diagramatik,  Kautsar  2009,  menggambarkan
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sebagaimana gambar 2.3.