Tabel 1.2.5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Transfer ASI Milk Transfer pada Proses Menyusui
Transfer ASI Frekuensi
Persentase
Baik Tidak Baik
6 24
20,0 80,0
Total 30
100,0
Ditinjau dari transfer ASI Milk Transfer, berdasarkan tabel 1.2.5 dapat dilihat bahwa terdapat 24 orang responden 80 dengan transfer ASI yang tidak baik,
sedangkan transfer ASI yang baik sebanyak 6 orang 20.
2. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian ini dilakukan dengan tujuan menggambarkan keefektifan proses menyusui pada ibu menyusui di Klinik Bersalin Mariani
Medan yang meliputi posisi ibu dan bayi yang benar Body position, perlekatan bayi yang tepat Latch, keefektifan hisapan bayi pada payudara effective
sucking, dan transfer ASI Milk transfer. a. Keefektifan Proses Menyusui Effective Breastfeeding
Analisa hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden 30 berusia 26-30 tahun. Kelompok usia tersebut termasuk kedalam kelompok usia
reproduktif yaitu antara 23-28 tahun Potter Perry, 2006. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden dengan proses meyusui yang tidak
efektif berusia 26-30 tahun 88,9.
Universitas Sumatera Utara
Mayoritas responden 43,3 menyusui bayi yang merupakan anak pertama dan didapat sebanyak 9 responden dengan proses menyusui yang tidak
efektif. Sedangkan 2 responden 6,6 yang menyusui bayi yang merupakan anak keempat, proses menyusuinya tergolong efektif. Asumsi peneliti hal ini mungkin
berkaitan dengan belum berpengalamannya ibu dalam praktek menyusui, mengingat bayi yang disusui merupakan anak pertama. Hal ini juga sesuai dengan
penelitian Yuliani 2007 yang berjudul “Pengaruh Pengetahuan Ibu tentang ASI dan Kondisi Ibu Baru Lahir terhadap Keputusan Pemberian ASI” yang
mengatakan bahwa jumlah anak berpengaruh terhadap pengetahuan ibu karena praktek ibu menyusui sangat berhubungan dengan proses belajar dari praktek ibu
menyusui pada anak sebelumnya. Mayoritas responden 50 berpendidikan SMA dan sebanyak 8 orang
dengan proses menyusui yang efektif. Sedangkan pada responden yang berpendidikan SMP terdapat 2 orang responden dengan proses menyusui yang
tidak efektif dan 2 orang responden yang berpendidikan SD dengan proses menyusui yang tidak efektif. Asumsi peneliti tingkat pendidikan mempengaruhi
perilaku ibu dalam praktek menyusui. Data dari Center for Diseasse Control CDC pada tahun 2005 menyatakan bahwa angka menyusui lebih rendah pada
ibu yang berpendidikan dibawah jenjang sekolah menengah atas daripada ibu yang jenjang pendidikannya lebih tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat Muzaham 1995 yang mengatakan bahwa jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan mendorong seseorang untuk mencari
informasi tentang hal yang sedang terjadi dan dengan pendidikan formal pada
Universitas Sumatera Utara
dasarnya akan memberikan kemampuan dalam menyerap informasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki responden, maka semakin mudah dan
berwawasan luas mengetahui tentang teknik menyusui yang benar sehingga proses menyusui menjadi efektif.
Dilihat dari pekerjaan, mayoritas responden yaitu sebanyak 24 orang 80 merupakan ibu rumah tangga dan sebanyak 14 orang diantaranya dengan
proses menyusui yang tidak efektif. Sedangkan ibu yang bekerja sebagai PNS dan Pegawai swasta sebanyak 4 orang 13,3, memiliki proses menyusui yang
efektif. Sementara hasil penelitian Goyal 2006 menyatakan proses menyusui yang tidak efektif lebih banyak ditemukan pada kategori ibu yang bekerja 24.
Asumsi peneliti, pekerjaan juga berpengaruh terhadap keefektifan proses menyusui. Hal ini disebabkan ibu yang bekerja mempunyai lingkungan yang lebih
luas sehingga informasi yang didapat lebih banyak, sedangkan bagi ibu yang tidak bekerja apabila informasi dari lingkungan kurang maka pengetahuannya juga
kurang, terlebih bila ibu tersebut tidak aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan kesehatan maka informasi yang diterimanya akan lebih sedikit. Penelitian
Purwanti 2004 menemukan bahwa ibu yang tidak bekerja kurang mendapatkan informasi tentang menyusui disebabkan karena ibu kurang memiliki kesempatan
untuk mendapatkan pertukaran informasi dan pengalaman baik dari lingkungan kerja maupun dari luar.
Menurut Association of Women Health, Obstentric and Neonatal Nurses 2000, proses menyusui merupakan proses dimana bayi menerima ASI.
Universitas Sumatera Utara
Greenwood 2002 menyatakan bahwa proses menyusui dikatakan efektif apabila selama proses baik bayi maupun ibu merasakan kepuasan dan bebas dari rasa
sakit. Keefektifan proses menyusui oleh Mulder 2006, didefinisikan sebagai proses interaktif antara ibu dan bayi yang berakibat secara langsung pada transfer
ASI dari payudara ibu kepada bayi, dalam perilaku yang menggambarkan terpenuhinya kebutuhan ibu dan bayi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki proses menyusui yang tidak efektif 53,3. Mulder 2006, menyatakan posisi
tubuh antara ibu dan bayi yang benar, perlekatan yang tepat, keefektifan hisapan bayi pada payudara dan transfer ASI yang baik merupakan komponen proses
menyusui yang efektif. Riordan 2005, menyatakan bahwa proses menyusui bukan merupakan perilaku tunggal, tetapi serangkaian perilaku yang saling
mempengaruhi satu dengan yang lain. Dari data hasil penelitian ditemukan bahwa masalah utama penyebab
ketidakfektifan proses menyusui adalah trasfer ASI yang tidak baik 80. Asumsi peneliti hal ini berhubungan dengan tingginya angka ketidakefektifan
hisapan bayi 73,3 yang disebabkan oleh perlekatan yang tidak tepat pada payudara 76,7. Perlekatan yang maksimal dapat memfasilitasi refleks bayi saat
proses menyusui. Agar bayi dapat menghisap secara efektif, maka bayi harus mengambil cukup banyak payudara ke dalam mulutnya, bukan hanya menghisap
puting, agar lidah bayi dapat memeras sinus laktiferus yang berada tepat dibawah areola Fitria, 2011. Cara yang tepat untuk mengetahui proses menyusui berjalan
secara efektif dan bayi mendapat cukup ASI adalah dengan memastikan ibu dan
Universitas Sumatera Utara
bayi berada dalam posisi menyusui yang benar dan melekat dengan tepat pada payudara sehingga refleks bayi saat menghisap terfasilitasi dan transfer ASI dapat
berjalan dengan baik Lawson, 2007. b. Posisi ibu dan bayi yang benar Body position
Berdasarkan hasil penelitian, sebagaimana yang telah dipaparkan pada tabel 1.2 menunjukkan bahwa mayoritas responden menyusui dalam posisi yang
benar 73,3. Asumsi peneliti mayoritas responden telah memiliki pengetahuan yang baik tentang posisi menyusui sehingga dapat menyusui dalam posisi yang
benar. Menurut Perinasia 2003, pengetahuan yang baik membuat ibu tahu bagaimana menyusui bayinya dengan teknik menyusui yang benar. Hal tersebut
tidak sesuai dengan hasil penelitian Mayasari 2011 yang berjudul “Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Primigravida Trimester III Terhadap Teknik
Menyusui yang Benar” dimana masih terdapat 74 orang ibu 76,3 dari respondennya yang tidak mengetahui posisi menyusui yang benar.
Lawson 2007, menyatakan bahwa posisi tubuh antara ibu dan bayi yang tidak benar merupakan masalah terbesar penyebab tidak berhasilnya proses
menyusui. Selain itu kejadian lecet puting juga lebih mudah terjadi pada posisi menyusui yang tidak benar. Blair 2003 , juga menyatakan bahwa posisi tubuh
antara ibu dan bayi merupakan hal yang paling utama untuk menentukan perlekatan pada payudara yang tepat sehingga hisapan bayi pada payudara efektif
dan transfer ASI dapat berlangsung dengan baik. Dalam penelitian ini, lebih banyak ibu muda 20 tahun yang memiliki
posisi yang tidak benar dibandingkan ibu yang berusia lebih tua. Hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan penelitian Goyal di Libya 2006, dimana posisi menyusui yang tidak benar lebih banyak pada ibu berusia 20 tahun 22,2. Hal yang sama juga
dinyatakan oleh Kronborg dkk, di Denmark 2009 , Gupta di India Utara 2008, dan Santo dkk di Brazil 2007 yang melaporkan bahwa posisi yang tidak benar
dalam proses menyusui lebih banyak pada ibu yang tergolong remaja. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas ibu multipara
memiliki posisi menyusui yang benar dibandingkan ibu primipara. Asumsi peneliti hal ini berhubungan dengan pengalaman ibu dalam menyusui anak yang
sebelumnya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Goyal 2006, yang menunjukkan bahwa mayoritas 74 dari ibu multipara memiliki posisi dan
perlekatan yang baik dalam proses menyusui. Hal yang sama juga dikemukakan Kronborg dan Coca 2009, yang melaporkan bahwa parietas secara bermakna
dapat dikaitkan dengan posisi tubuh antara ibu dan bayi yang benar dan perlekatan pada payudara yang tepat. Namun, Gupta 2008 dalam penelitiannya tidak
menemukan keterkaitan yang bermakna antara parietas dengan posisi tubuh antara ibu dan bayi yang benar dan perlekatan pada payudara yang tepat.
Dari keenam pernyataan dalam lembar observasi yang menggambarkan posisi tubuh yang benar antara ibu dan bayi, paling banyak responden yaitu
sebanyak 29 orang 96,6 melakukan tindakan benar pada pernyataan pertama ibu dalam posisi yang nyaman. Menurut Jones 2005, rasa nyaman merupakan
faktor psikologis yang dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin sehingga mempengaruhi pengeluaran ASI Let-down reflex.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian Dian 2009 yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif’ menyatakan bahwa produksi ASI dapat
meningkat atau menurun tergantung stimulasi pada kelenjar payudara dimana salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah faktor psikologis ibu pada saat
menyusui. Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian Prasetyono 2009, yang menyatakan bahwa 80 kegagalan ibu menyusui disebabkan oleh faktor
psikologis. Keadaan psikologis ibu dalam keadaan tidak nyaman, kesal, kurang
percaya diri, dan kecemasan akan produksi ASI dapat merangsang kelenjar hipofisis untuk menekan pengeluaran hormon oksitosin yang mengatur
pengeluaran ASI Sulistyawati,2009. Sebanyak 12 orang responden 40 melakukan paling banyak tindakan salah
pada pernyataan keenam badan bayi condong ke arah ibu. Posisi badan ibu yang condong ke arah bayi pada saat menyusui dapat menyebabkan kelelahan.Posisi
tubuh yang benar adalah badan bayi condong ke arah ibu. Posisi ini dapat meminimalkan pengeluaran energi dan memberikan ibu waktu istirahat Suryani,
2007. c. Perlekatan bayi yang tepat Latch
Ditinjau dari perlekatan bayi yang tepat pada payudara, dapat dilihat bahwa mayoritas responden 76,7 masuk dalam kategori perlekatan yang tidak
tepat. Menurut Daulat 2003, perlekatan yang tidak tepat pada payudara dapat mengakibatkan puting lecet. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Fitria 2011
yang berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI” yang
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa keadaan lecet puting merupakan salah satu faktor yang menghambat pemberian ASI dan penyebab utama terjadinya lecet puting adalah
perlekatan yang tidak baik. Puting lecet dapat menyebabkan mastitis peradangan payudara, oleh karena itu salah satu penanganan yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya lecet puting adalah dengan teknik menyusui yang benar meliputi posisi dan perlekatan bayi yang tepat pada payudara Daulat, 2003.
Penelitian Lamontagne, dkk 2008 yang berjudul “The Breastfeeding Experience of Woman with Major Difficulties Who Use the Service of a
Breastfeeding Clinic” juga menyatakan bahwa lecet puting merupakan masalah utama 89 yang paling sering dihadapi ibu menyusui dan merupakan alasan
ibu berhenti menyusui bayinya 39 . Lawson 2007, menyatakan bahwa memposisikan bayi dengan benar dan perlekatan yang tepat pada payudara dapat
mengurangi resiko terjadinya lecet puting. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Coca 2009, dimana ditemukan adanya hubungan yang bermakna
antara perlekatan yang tidak tepat dengan kejadian lecet puting dan mastitis. Perlekatan yang maksimal dapat memfasilitasi refleks bayi saat proses
menyusui. Agar bayi dapat menghisap secara efektif, maka bayi harus mengambil cukup banyak payudara ke dalam mulutnya, bukan hanya menghisap puting, agar
lidah bayi dapat memeras sinus laktiferus yang berada tepat dibawah areola. Perlekatan yang kurang maksimal akan mengurangi keefektifan hisapan bayi pada
payudara. Bila bayi tidak melekat dengan baik, hanya menghisap puting, bayi akan menarik puting, menggigit dan menggesek kulit payudara sehingga
menimbulkan rasa sangat nyeri dan bila bayi terus menyusu akan merusak kulit
Universitas Sumatera Utara
puting dan menimbulkan luka ataupun retak pada puting Mulder, 2006 ; Fitria, 2011.
Sasaran perlekatan yang tepat pada payudara adalah memposisikan bibir bawah paling sedikit 1,5 cm dari pangkal puting susu. Bayi harus mengulum
sebagian besar areola di dalam mulutnya. Hal ini akan memungkinkan bayi menarik sebagian dari jaringan payudara masuk ke dalam mulutnya dengan lidah
dan rahang bawah. Bila diposisikan dengan benar, jaringan puting susu, payudara dan sinus laktiferus akan berada dalam rongga mulut bayi,sehingga lidah dan
langit-langit dapat memeras ASI secara sempurna. Puting susu akan masuk sejauh langit-langit lunak bayi dan bersentuhan dengan langit-langit tersebut. Sentuhan
ini akan merangsang refleks menghisap pada bayi. IDAI, 2008 ; Sulistyawati, 2009.
d. Keefektifan hisapan bayi pada payudara effective sucking Ditinjau dari keefektifan hisapan bayi pada payudara, dapat dilihat bahwa
mayoritas responden 73,3 masuk dalam kategori hisapan yang tidak efektif. Asumsi peneliti hal ini berkaitan dengan perlekatan bayi pada payudara.
Sebagaimana telah dipaparkan bahwa mayoritas responden 76,7 masuk dalam kategori perlekatan yang tidak tepat. Hal ini sesuai dengan penyataan Mulder
2006 yang menyatakan bahwa perlekatan yang tepat dapat memfasilitasi hisapan yang efektif pada payudara, sebaliknya perlekatan yang tidak tepat dapat
mengurangi keefektifan hisapan bayi pada payudara.
Universitas Sumatera Utara
Pada posisi perlekatan yang tepat, rahang bawah bayi akan menutup pada jaringan payudara, penghisapan akan terjadi, dan puting susu akan ditangkap
dengan baik dalam rongga mulut, sementara lidah memberikan penekanan secara berulang-ulang seperti memeras secara teratur sehingga ASI akan keluar dari
duktus laktiferus Walker,2011. Faktor usia gestasi dan berat bayi lahir juga mempengaruhi keefektifan
hisapan. Hal ini disebabkan bayi yang lahir prematur umur kehamilan kurang dari 34 minggu sangat lemah dan tidak mampu menghisap secara efektif.
Lemahnya kemampuan menghisap pada bayi dapat disebabkan oleh berat badan yang rendah dan belum sempurnanya fungsi organ Aritonang, 2007.
Hal lain yang berpengaruh pada kemampuan bayi untuk dapat menghisap secara efektif adalah pemberian susu formula. Pemberian susu formula secara
bergantian dengan menyusu pada ibu dapat mengakibatkan bayi bingung puting nipple confusion. Hal ini terjadi karena mekanisme menyusu yang berbeda
antara keduanya. Menyusu pada puting ibu memerlukan usaha yang lebih daripada minum pada botol, yaitu bayi harus mempergunakan otot pipi, gusi,
langit-langit dan lidahnya. Sementara itu, menyusu dengan botol membuat bayi pasif menerima susu karena dot sudah mempunyai lubang diujungnya, sehingga
bayi dapat menelan susu yang terus mengalir tanpa dihisap. Hal tersebut membuat kurang efektifnya hisapan bayi pada payudara Maryunani, 2009.
e. Transfer ASI Milk transfer Ditinjau dari transfer ASI Milk Transfer, dapat dilihat bahwa mayoritas
responden 80 dengan transfer ASI yang tidak baik. Asumsi peneliti hal ini
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan tingginya angka ketidakefektifan hisapan bayi 73,3 yang disebabkan oleh perlekatan yang tidak tepat pada payudara 76,7. Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Riordan 2005, yang menyatakan bahwa proses menyusui bukan merupakan perilaku tunggal, tetapi serangkaian perilaku yang
saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Sebanyak 20 orang responden 66,6 dapat merasakan sensasi
kesemutan sewaktu ASI keluar dan ada ASI yang menetes di payudara ibu di bagian yang berlawanan dengan payudara yang digunakan untuk menyusui.
Kemudian ada sebanyak 27 orang responden 90 yang tidak dapat melihat dan mendengar bunyi bayi menelan ASI. Sensasi kesemutan sewaktu ASI keluar dan
ada ASI yang menetes di payudara ibu merupakan tanda transfer ASI yang baik yang dipengaruhi oleh refleks pengeluaran letdown reflex dan hormon oksitosin
Cadwell, 2006. Faktor psikologis juga dapat mempengaruhi transfer ASI. Pikiran dan
perasaan seorang ibu sangat mempengaruhi refleks let-down atau refleks pengeluaran ASI. Keadaan psikologis ibu yang dapat meningkatkan produksi
hormon oksitosin antara ain perasaan dan curahan kaish sayang ibu pada bayinya, mendengar celoteh atau tangisan bayi, memikirkan bayi dan ibu merasa tenang.
Sedangkan kondisi ibu dalam keadaan sedih, kesal, kecewa, kurang percaya diri, cemas terhadap bentuk payudara dan tubuh, dan takut ASI tidak mencukupi
kebutuhan bayi dan adanya rasa sakit sewaktu menyusui Derek Jones, 2005 : Maryunani, 2009.
Universitas Sumatera Utara
3. Keterbatasan Penelitian