B. Vermicomposting
Salah satu metode pengomposan adalah vermicomposting yang melibatkan cacing tanah  sebagai  dekomposer.  Aira  et  al.  2002  mengungkapkan  vermicomposting
merupakan  proses  biooksidasi  dan  pemantapan  bahan  organik  yang  melibatkan tindakan  bersama  cacing  tanah  dan  mikroorganisme.  Lebih  lanjut  Edwards  dan
Bohlen,  1986  dalam  Parthasarathi,  2007  mengungkapkan  vermicomposting merupakan  proses  biologi  yang  tergantung  pada  cacing  dan  aktivitas
mikroorganisme  dimana  bergantung  pada  suhu,  kelembaban,  suplai  oksigen  dan kemampuan  degradasi  limbah  organik  sebagai  substrat  makanan  untuk  cacing
tanah.
Hasil  akhir  proses  vermicomposting  berupa  vermikompos    vermicast. Biokonversi  limbah  hasil  vermicomposting  menghasilkan  dua  produk  yang
berguna  yaitu  biomassa  cacing  tanah  dan  vermicompost  Garg  et  al.,  2005. Mashur  2001  mengemukakan  bahwa  vermikompos  adalah  kompos  yang
diperoleh  dari  hasil  perombakan  bahan-bahan  organik  yang  dilakukan  cacing tanah. Vermikompos merupakan campuran kotoran cacing tanah casting dengan
sisa  media  atau  pakan  dalam  budidaya  cacing  tanah.  Vermicast  juga  diyakini mengandung  hormon  dan  enzim  yang  terkandung  selama  proses  bahan  organik
melewati  usus  cacing  tanah.  Hormon-hormon  dan  enzim  diyakini  untuk merangsang pertumbuhan tanaman dan mencegah patogen tanaman Gajalakshmi
dan Abbasi, 2004.
Keberhasilan  vermicomposting  tergantung  pada  kualitas  limbah  organik  yang diberikan sebagai  makanan untuk  cacing tanah dan juga pada kelembaban, suhu,
pH,  dan  aerasi  yang  merupakan  faktor-faktor  penting  yang  mempengaruhi pengomposan Parthasarathi, 2007.
C.  Cacing Tanah
Cacing tanah termasuk dalam ordo Oligochaeta dan filum Annelida. Tubuh cacing dilindungi oleh kutikula kulit bagian luar dan memiliki segmen yang berbentuk
cincin dimana setiap segmennya terdapat seta. Seta merupakan rambut yang relatif keras dan berukuran pendek pada setiap segmen Palungkun, 2006.
Lee  1985  dalam  Ilyas  2009  mengelompokkan  spesies  cacing  tanah  ke  dalam tiga  kategori  ekologi  berdasarkan  strategi  mencari  makanan  dan  membuat  liang
yaitu  spesies  epigeic,  endogeic  dan  anecic.  Cacing  tanah  epigeic  hidup  di  dalam atau  dekat  permukaan  sampah  dan  memakan  sampah  organik  yang  kasar  serta
sejumlah  sampah  yang  belum  terurai.  Cacing  tanah  epigeic  membuat  liang ephemeral  ke  dalam  tanah  mineral  selama  periode  diapause.  Tubuhnya  kecil
dengan  pigmen  warna  seragam  Gajalakshmi  dan  Abbasi,  2004.  Cacing  tanah endogeic  hidup  di  dalam  tanah  yang  lebih  dalam  dan  memakan  tanah  serta
kumpulan  bahan-bahan  organik.  Cacing  tanah  ini  tidak  memiliki  pigmen  tubuh dan  membuat  liang  horizontal  yang  bercabang  kedalam.  Cacing  tanah  anecic
hidup  di  dalam  sistem  liang  vertikal  yang  lebih  permanen  yang  dapat  meluas beberapa meter ke dalam tanah.
Tidak  semua  jenis  cacing  dapat  dibudidayakan  dalam  proses  vermicomposting. Gajalakshmi dan Abbasi 2004 mengemukakan spesies cacing yang cocok untuk
vermicomposting  dengan  kriteria:  mudah  untuk  dibudidayakan,  menyukai  bahan yang  akan  di  vermicompost  dan  tingkat  menghasilkan  vermicast  yang  tinggi  per
cacing dari tiap unit volume yang didegradasi.
Jenis  cacing  yang  umum  dipakai  dalam  proses  vermicomposting  yaitu  jenis  L. rubellus  dan  E.  fetida  dikarenakan  kedua  jenis  cacing  ini  memiliki  keungulan-
keunggulan.  Menegristek  Bidang  Pendayagunaan  dan  Pemasyarakatan  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 2003 menyatakan cacing jenis L. rubellus memiliki
keunggulan  dibandingkan  cacing  jenis  Pheretima  dan  Perionyx  karena produktivitasnya  tinggi  penambahan  berat  badan,  produksi  telur    anakan  dan
produksi bekas cacing ”kascing” serta tidak banyak bergerak.
E. fetida mempunyai keunggulan bila dibandingkan dengan spesies lain terutama kemampuannya  yang  tinggi  dalam  reproduksi  dan  merombak  bahan  organik
sebagai pakannya. Seekor induk cacing tanah E. fetida atau ”earthworm breeder”
menghasilkan  satu  kokon  setiap  7-10  hari.  Kokon  tersebut  menetas  antara  14-21 hari apabila keadaannya lembab dengan temperatur 29-30°C. Setiap kokon dapat
menghasilkan 2-20 ekor  anak dengan perkiraan rata-rata tujuh anak cacing Lee, 1985 dalam Mashur dkk., 2001.
Bila dibandingkan dengan L. rubellus, E.  fetida memiliki toleransi temperatur 40 -90ºF.  Kondisi  yang  ideal  adalah  70-75ºF.    L.  rubellus  dapat  bertahan  di  bawah
temperatur  tersebut.  Menurut  Vermiplex  2005  ukuran  cacing  tanah  L.  rubellus sekitar  4  inchi  sedangkan  E.  fetida  sekitar  2,5  inchi.  Kedua  jenis  cacing  ini
ditemukan  di  permukaan  tanah  tetapi  L.  rubellus  bergerak  jauh  lebih  dalam dibandingkan E.  fetida yang lebih menyukai permukaan tanah.
Cacing  tanah,  rayap  dan  semut  merupakan  organisme-organisme  tanah  yang berfungsi  sebagai
”ecosystem  engineer”,  peranannya  sangat  penting  didalam proses  -  proses  yang  terjadi  di  dalam  tanah  Fragoso  et  al.,  1997  dalam  Nurida,
2001.  Lebih  lanjut  diungkapkan  Mulat  2003  dalam  Agus  2005  cacing  tanah berperan  dalam  membangun  rongga-rongga  tanah  yang  berakibat  tanah  menjadi
gembur  sehingga  aerasi  tanah  menjadi  lebih  baik  dan  juga  sebagai  pemakan berbagai  sisa  bahan  organik  saphrofagus.  Selain  memakan  bahan  organik,
cacing  tanah  juga  memakan  mikroorganisme  tanah  dan  tanah  itu  sendiri  dan kemudian  dikeluarkan  dalam  bentuk  kotoran  cacing  yang  disebut  kascing.
Kotoran  cacing  kascing  mengandung  unsur  hara  yang  lengkap  baik  unsur  hara makro dan mikro yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.
Perkembangan  dan  aktivitas  cacing  tanah  juga  dibatasi  oleh  faktor  pH.  Menurut Singh  et  al.  2005  cacing  tanah  sangat  sensitif  terhadap  pH,  sehingga  pH  tanah
atau  limbah  kadang  -  kadang  menjadi  faktor  yang  membatasi  distribusi,  jumlah dan jenis cacing tanah.
Menurut  Soepardi  1983  cacing-cacing  tertentu  memerlukan  sejumlah  kapur. Oleh  karena  itu  di  daerah  yang  banyak  mengandung  kapur  yang  dapat
dipertukarkan,  jumlah  cacing  melonjak  tinggi.  Karena  keterbatasan  sistem pencernaannya, cacing tanah membutuhkan tingkat asam tertentu untuk mencerna
makanannya. Menurut Waluyo 1993 dalam Brata 2006 penambahan kapur 0,3 dari  berat  campuran  media  akan  menaikkan  pH  0,14-0,39  dan  pH  tertinggi
yang dicapai sebesar 7,91.
Tingginya  kemampuan  cacing  tanah  dalam  merombak  limbah  organik  dan meredam bau busuk yang menyengat maka cacing tanah juga dapat dimanfaatkan
sebagai  alternatif  untuk  mencegah  pencemaran  lingkungan  terutama  yang ditimbulkan oleh limbah ternak, limbah pasar dan limbah rumah tangga Mashur
dkk., 2001.
D.  Mikroorganisme aktinomisetes, bakteri dan fungi