Antihistamin Ranitidin HCl TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Antihistamin

Histamin suatu autacoid atau hormon lokal adalah suatu amin nabati yang ditemukan oleh dr. Paul Ehrlich 1878 dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histisin melalui dekarboksilasi enzimatis. Asam amino ini masuk kedalam tubuh terutama dalam daging protein yang kemudian diubah secara enzimatis menjadi histamin Tan, 2007. Antihistamin digunakan dalam pengobatan penyakit alergi tertentu. Kerjanya, menekan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh histamin, suatu zat kimia yang dilepas selama proses reaksi antibodi dari respon alergi Ansel, 1989. Histamin bekerja dengan menduduki reseptor tertentu pada sel yang terdapat pada permukaan membran. Saat ini didapatkan 3 jenis reseptor histamin H 1, H 2, H 3 , reseptor tersebut termasuk golongan reseptor yang berpasangan dengan protein Setiabudy, 2008. Obat antihistamin yang hingga kini dikenal dapat dibedakan menjadi dua. Yang satu dirancang untuk antagonistik terhadap histamin yang berinteraksi dengan reseptor H 1 , yang biasanya digunakan untuk mengurangi reaksi alergi karena disebabkan oleh terlepasnya histamin dalam tubuh. Sedangkan yang lain adalah antagonis terhadap histamina yang berinteraksi dengan reseptor H 2 Sardjoko, 1993. Universitas Sumatera Utara Obat ini menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor-H 2 di lambung. Efeknya adalah menurunkan tekanan darah. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung atau usus, gunanya sebagai zat pelindung tambahan pada terapi. Penghambat asam yang dewasa ini banyak digunakan adalah: simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidi yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklis dari histamin Tan, 2007.

2.3 Ranitidin HCl

Gambar 1. Struktur Ranitidin Hidroklorida Menurut Ditjen POM 1995, ranitidin hidroklorida memiliki informasi yaitu: Rumus Molekul : C 13 H 22 N 4 O 3 S.HCl Nama Umum : Ranitidin Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai kuning pucat, praktis tidak berbau, peka terhadap cahaya dan kelembaban. Melebur pada suhu lebih kurang 140ºC, dan disertai peruraian. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, cukup larut dalam etanol, dan sukar larut dalam kloroform. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, dan tidak tembus cahaya. Indikasi : Sebagai antagonis reseptor-H 2 Universitas Sumatera Utara Ranitidin HCl ranin, rantin, renatac, zantac, zantadin merupakan antagonis kompetitif histamin yang khas pada reseptor H 2 sehingga secara efektif dapat menghambat sekresi asam lambung, menekan kadar asam dan volume sekresi lambung. Ranitidin digunakan untuk tukak lambung atau usus dan keadaan hipersekresi yang bersifat patologis. Efek samping dari ranitidin antara lain adalah nyeri kepala, pusing, mual, dan diare . Setelah pemberian oral, ranitidin diserap 39-87. Ranitidin mempunyai masa kerja cukup panjang, pemberian dosis 150 mg, efektif menekan sekresi asam lambung selama 8-12 jam. Dosis: 150 mg 2 dd atau 300 mg sebelum tidur Siswandono, 1995. Ranitidin menghambat reseptor H 2 secara selektif. Perangsangan reseptor H 2 akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidin sekresi asam lambung akan dihambat Setiabudy, 2008; Tan, 2007. Daya menghambat senyawa ini terhadap sekresi asam lebih kuat. Tidak merintangi perombakan oksidatif dari obat-obat lain sehingga tidak mengakibatkan interaksi yang tidak diinginkan. Resorpsinya pesat dan baik Tan, 2007. Semua antagonis reseptor H 2 mengatasi tukak lambung dengan cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat penghambat reseptor histamin H 2. Terapi antagonis reseptor H 2 dapat membantu proses penyembuhan tukak lambung. Efek samping antagonis reseptor H 2 adalah diare, gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, pusing, dan rasa letih Depkes RI, 2009. Universitas Sumatera Utara Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin diekskresi terutama melalui ginjal. Karena ekskresi antagonis reseptor H 2 terutama melalui ginjal maka pada pasien gangguan fungsi ginjal dosis perlu dikurangi Setiabudy, 2008.

2.4 Disolusi